Jumat, 17 Mei 2019

#Kamis_Cerpen - Tema Ramadan - Kilau Ramadan di Hati Azrael - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org




Jemari lentik Attaya tak henti bergerak di keypad ponsel pintar. Sudah satu jam ia berselancar di sosial media. Bukan untuk memposting atau berkomentar di status FB-teman, melainkan berbalas chat via inbox bersama akun yang baru dua bulan menjadi bagian list pertemanan. Azrael, akun bergambar animasi Jepang memegang samurai yang sedari awal sudah berhasil mencuri perhatian.
“Kapan kita bisa bertemu?”
Chat terakhir dari Azrael yang belum dibalas Attaya. Bukan ia tak mau bertemu, tetapi ada sedikit ragu jika lelaki di seberang kecewa setelah bertatap muka. Cukup lama menimbang jawaban, ia pun mengirim balasan.
“Yakin ingin bertemu? Bagaimana jika tak sesuai ekspektasimu?”
Tiga titik bergerak, tanda akun seberang tengah mengetik balasan. Tak sampai lima belas detik, Attaya sudah bisa membaca pesan Azrael.
“Belum pernah aku seyakin ini. Kamu yang tentukan tempatnya. Oke?”
Attaya menggigit bibir bawah. Berharap dapat meredam gugup dan degupan jantungnya yang tak berirama.
“Sabtu besok tepat jam lima sore, di alun-alun Malang. The Chamber jadi clue kita. Gimana?”
Bukan jawaban yang diterima Attaya, melainkan stiker kucing dengan tangan membentuk simbol oke. Sudut bibir wanita itu tertarik ke atas, membentuk senyum dengan pipi berbalur rona merah muda. Entah kenapa, ia begitu bahagia.

***

Mata cokelat Attaya mengedar ke penjuru alun-alun. Ia mencari sosok yang berjanji akan datang menemuinya. Wanita itu menggelengkan kepala. Cukup konyol harus memercayai seseorang dari dunia maya. Terlebih wajah asli pun tak pernah diketahuinya.
Setelah mengitari alun-alun, Attaya yang kelelahan memilih duduk di bangku. Ia mengeluarkan novel The Chamber, buku yang menjadi bahasan pertamanya dengan Azrael. Kembali ia tersenyum mengingat awal kedekatan dengan si Lelaki Misterius.
"Attaya!"
Senyum Attaya pudar. Tubuhnya mendadak tegang mendengar suara bass dari arah samping kanan. Perlahan, ia menoleh dan mendapati sosok bertubuh tegap berdiri hanya tiga langkah dari tempatnya. Ia memakai kaus dan celana jeans hitam. Ransel bertengger di punggung dengan satu tangan memegang jaket.
Hal mengejutkan juga dirasakan Azrael. Tak menyangka wanita yang setiap saat berkomunikasi dengannya begitu menawan. Namun, secepat ia jatuh hati, secepat itu juga harus menelan kecewa. Meski ada sesuatu yang mencubit kesadaran, ia tetap mengulas senyum. Didekatinya wanita berjilbab merah muda.
"Hai, aku Azrael," ucap Azrael sembari mengulurkan tangan kanan.
Mata Attaya mengerjap sesaat, lalu membalas jabat tangan Azrael. Sekuat tenaga, ia menahan gemuruh dadanya agar tak terdengar oleh lelaki berhidung mancung itu. Kepalanya menunduk tak berani menatap mata tajam berwarna cokelat pekat. Kini, ia dapat melihat jelas tato bermotif tribal dengan huruf hiragana memenuhi tangan sebelah kanan.
"Maaf, membuatmu menunggu. Tadi busnya kena macet di pinggiran kota." Azrael melepas tangannya lalu mengambil duduk di samping kanan Attaya.
Kepala Attaya menggeleng samar. "Tidak apa-apa, aku juga baru sampai."
Untuk beberapa saat keduanya hanya diam. Keakraban yang terjadi selama ini, tertimbun rasa kaget dan canggung. Fakta yang baru diketahui seakan memukul mundur keberanian untuk bersama. Bagaimanapun ada sekat pembeda yang nyata di antara mereka.
"Ayo, kita makan!" seru Azrael memecah keheningan.
Attaya mengangkat wajah lalu menoleh ke samping. Beberapa detik kemudian, ia mengangguk setuju. Keduanya bangkit dari bangku dan berlalu menuju sebuah restoran cepat saji di seberang jalan.
Setelah membayar bill, Azrael mengajak Attaya duduk di meja dekat jendela. Dengan begitu, mereka bisa melihat pemandangan kota pada waktu senja. Perlahan tapi pasti, keduanya mulai berinteraksi. Obrolan seru mulai mengalir, hingga rasa canggung pun hilang.
"Terima kasih sudah mau bertemu denganku." Azrael bersuara saat keduanya duduk di bangku tunggu Terminal Arjosari. Tiga jam sudah, ia dan Attaya bersama untuk mengobati rasa penasaran. Jadi, sudah waktunya ia kembali ke Surabaya.
"Sama-sama, tapi maaf jika aku tak sesuai ekspektasimu," sahut Attaya sembari menoleh ke arah Azrael.
Bibir merah pucat Azrael tersenyum. Ia lalu berujar, "pasti kamu kaget saat melihatku."
Attaya mengangguk membenarkan. Penampilan Azrael memang sudah mengagetkannya. Wajah rupawan, tato memenuhi tangan, dan kalung berliontin ... salib.
"Aku harap perbedaan ini, tidak menjadi alasanmu untuk menjauh." Mata beriris cokelat pekat milik Azrael menatap tajam wanita berjilbab itu.
"Tentu tidak, El! Kamu tetap teman baikku," jawab Attaya sembari tersenyum.
Tatapan mereka terkunci. Saling menyelisik mimik muka masing-masing. Tak sulit bagi Azrael membaca percikan asmara di wajah Attaya. Kenyataannya, ia juga sudah jatuh cinta pada wanita berkulit putih itu.
"Kopi dan gula memiliki rasa berbeda, tapi bisa jadi candu saat berpadu," ucap Azrael lirih. Namun, masih bisa didengar Attaya.
Azrael mengamati paras cantik di depannya. Ingin rasanya, ia membawa pergi jauh Attaya tanpa mengingat pembeda di antara mereka. "Meski terkesan mustahil, tapi aku ingin bersamamu, Ta."
Mata Attaya membulat sempurna. Tak percaya jika lelaki tampan di dekatnya mengutarakan perasaan. Sebagian hatinya melayang bahagia, tapi sisi lain menjerit untuk mengabaikan permintaan Azrael. Attaya memalingkan wajah. Ia mulai dilanda bimbang sekarang.
Suasana berubah hening. Keduanya hanya diam dengan pikiran berkelana. Tak lama kemudian, sebuah bus patas berhenti. Azrael memakai jaket hoodie dan ranselnya, lalu bangkit dari bangku tunggu.
"Soal yang tadi tidak perlu dipikirkan. Aku tahu itu sangat mustahil bagimu. Terima kasih untuk hari ini. Semoga kita bisa bertemu lagi. Selamat tinggal, Ta." Azrael menatap Attaya untuk terakhir kali. Kemudian memutar badan bersiap untuk pergi, tapi ....
"Biarkan rasa yang menuntun kita," sergah Attaya cepat.
Azrael langsung membalikkan badan, hingga dapat melihat Attaya yang tersenyum manis. Perlahan bibirnya pun menyunggingkan senyum. Tangan kanannya terulur lalu mengusap puncak kepala sang wanita. "Minggu depan, aku akan datang lagi."
Kepala Attaya mengangguk lalu mengucapkan salam perpisahan. Tatapannya terus mengikuti Azrael sampai lelaki itu hendak masuk ke bus. Ia sadar ini sebuah dosa. Namun, rasa itu sudah telanjur tertancap di dalam hati. Ia hanya berusaha jujur dengan perasaannya.

***
Jalinan kasih mereka bertahan hampir satu tahun. Setiap Minggu, Azrael akan datang menemui Attaya. Kemudian keduanya akan berlanjut dengan berbincang atau menjelajah kota Malang. Banyak hal menyenangkan yang dilakukan bersama, hingga benih cinta semakin tumbuh subur di hati mereka. Ada kalanya mereka saling berdiskusi tentang topik yang sedang hangat, tak terkecuali soal keyakinan. Namun, sepandai-pandainya mereka menyembunyikan fakta, tetap saja hubungan beda keyakinan terendus juga. Kedua keluarga murka saat tahu jalinan asmara mereka.



***
"Jadi, kita hanya berakhir seperti ini." Suara bass dari lelaki bersurai cokelat terdengar kecewa. Tak percaya bahwa wanita yang meratu di hatinya, meminta mundur dari tahta.
Sang lawan bicara memalingkan wajah ke arah jendela. Melempar pandangan jauh ke arah barat. Tempat matahari biasa berpulang. "Memang berat, tapi ini yang terbaik." Attaya bersuara lirih nyaris tak terdengar. Namun, suasana senyap sore di kedai kopi berlogo putri duyung hijau, mampu menggaungkan ucapannya.
"Aku lelah berjuang, El. Restu itu tak kunjung datang." Air mata mulai menumpuk di mata Attaya.
"Baiklah, aku mengerti. Namun, aku belum berhenti berharap. Jika kita terlahir untuk saling melengkapi, maka Tuhan pasti akan memberi jalan," ucap Azrael menutup perbincangan.
Keduanya beradu tatap, menyelami perasaan gundah dalam dada. Pembahasan ini memang telah lama bergulir. Namun, belum juga menemukan titik akhir. Azrael yang percaya tentang institusi tujuh sakramen. Sementara Attaya mempercayai enam rukun iman. Dua jalan yang tak searah, meski punya satu tujuan menyembah Tuhan. Mereka saling mencintai, tapi tak akan pernah menggadaikan keyakinan yang menjadi harga mati. Rumit dan sensitif.

***
Tiga purnama berlalu sejak perpisahan terjadi. Azrael belum juga mampu melupakan si pencuri Hati. Semakin rindu saat setiap malam, ia bermimpi aneh dengan menjadi imam salat, sedangkan Attaya sebagai makmum. Mimpi itu terus berulang hampir setiap malam. Ia akan terbangun bersamaan dengan suara azan Subuh dari masjid tak jauh dari rumah.
Suatu hari, Azrael duduk sendirian di kursi food court. Ia menunggu teman kerjanya yang sedang melakukan salat Jumat. Lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid dekat area kantor, mampu menenggelamkannya dalam lamunan. Ada kedamaian dan rasa hangat yang menyelusup ke hatinya. Apalagi saat terdengar khotbah. Ia mendengarkan isi dengan saksama. Air matanya menetes saat membayangkan gambaran tentang hari kiamat. Tiba-tiba bayangan mimpinya bersama Attaya kembali berkelebat di kepala.
Usai makan siang, Azrael langsung membuka laptop. Ia hendak mencari jawaban dari setiap pertanyaan tentang Islam yang mengganggu pikiran. Sejak kenal Attaya, ia melepas kalung sebagai atribut keyakinannya. Bukan karena bentuk pembangkangan, melainkan sebagai wujud toleransi. Ia juga sering berdiskusi soal agama sebagai bahan pengetahuan. Namun sekarang, ia ingin tahu lebih. Khotbah yang didengarnya tadi, begitu menancap kuat di simpul otak. Ia diserang dahaga untuk memahami agama secara benar sesuai hati nurani. Tanpa paksaan dan tanpa tendensi pada doktrin yang mengalir sebelum ia lahir.
Ketertarikannya pada Islam mampu menarik simpati dari Emir. Melalui sang sahabat, ia dapat memahami lebih banyak tentang akidah dan keimanan. Ia juga sering diajak menghadiri pengajian terbuka, berdiskusi dengan ustaz, dan belajar sembahyang. Bahkan ia telah menghapus tato dengan cairan khusus. Tentu saja semua dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dari keluarga.
Dua bulan sudah Azrael mendalami agama. Ia pun mengutarakan maksudnya menjadi mualaf pada keluarga. Namun, amukan dan cacian didapatkannya. Ia tak patah arang karena memang sulit menyelaraskan isi kepala, terutama hal sensitif menyangkut keyakinan. Lelaki berkulit putih itu dipaksa bersabar, hingga keluarga besar mampu menerima dengan lapang. Pada bulan berikutnya, usaha dan kesabarannya berbuah manis. Perlahan keluarga mulai menerima keputusannya. Mereka salut akan kegigihannya mempertahankan keinginan berpindah keyakinan.
Ramadan pertama yang bertepatan dengan hari Jumat, menjadi waktu paling bersejarah dalam kehidupan Azrael. Ia telah resmi melepas nama baptis Ignatius, setelah mengucap dua kalimat syahadat. Mohammad Azrael Soebono adalah nama barunya saat ini. Proses itu mampu menarik air mata haru, baik bagi Emir maupun orang tuanya. Perasaan damai, lega, dan bahagia seketika menyelimuti hatinya.

***
Attaya tengah membereskan meja kerja saat terdengar bunyi notifikasi dari ponsel. Ia sengaja mengabaikan dan lebih melanjutkan pekerjaan. Terlebih sebentar lagi sudah waktunya pulang. Ketika hendak meraih tas, ponselnya kembali berbunyi. Penasaran, ia pun meraih benda pipih dan membuka layar.
“Selamat sore, Attaya. Apa pekerjaanmu telah selesai?”
“Jika kamu ada waktu, aku ingin bicara sesuatu. Aku sudah ada di depan kantormu.”
Jantung Attaya berdetak cepat kala membaca dua chat dari Azrael. Ia tak menyangka jika sang mantan menghubunginya lagi. Tanpa sadar bibirnya tersenyum lega karena dapat berkomunikasi kembali dengan Azrael. Setelah enam purnama terpisah jarak hingga membuat hati bergejolak. Kini, ia dapat meluapkan rindu tertahannya. Bergegas ia menyambar tas, lalu setengah berlari ke luar kantor.
Dada Attaya berdebar tak keruan ketika melihat punggung tegap Azrael dari kejauhan. Tanpa membuang waktu, ia menghampiri sang mantan yang berdiri membelakangi. Tubuhnya terlonjak saat tiba-tiba Azrael membalikkan badan.
"Assalaamu'alaikum, Attaya," sapa Azrael dengan tersenyum manis.
Mata indah Attaya terbelalak. Ia kaget mendapat salam dari lelaki di depannya. Ia mengamati penampilan Azrael. Mulai dari baju koko hitam lengan pendek yang melekat sempurna, hingga tangan tanpa tato.
"Wa’alaikumsallam," jawab Attaya dengan bibir bergetar. "Se---sejak kapan?" Matanya mulai memanas melihat perubahan lelaki istimewanya.
"Dua minggu yang lalu," sahut Azrael.
"Masya Allah!" Hanya ucapan itu yang keluar dari bibir Attaya. Setelahnya, ia tenggelam dalam tangis haru.
Azrael melangkah untuk memangkas jarak dengan Attaya. Tangan kanannya terulur lalu mengusap puncak kepala berbalut pashmina ungu muda. "Terima kasih sudah datang di kehidupanku. Terima kasih sudah membuatku mengenal dan mencintai Islam."
Attaya tak menjawab. Justru tangisnya semakin menjadi. "Bukan karena aku, El. Semua terjadi karena kehendak Allah," ujarnya di sela isakan.
Kepala Azrael mengangguk. "Ya, semua karena Allah dan hidayah itu datang melalui kamu."
Kepala Attaya mendongak. Azrael mengulas senyum lebar. "Untuk itu, meski sadar ilmuku masih seujung kuku, tapi aku ingin menyempurnakan ibadah denganmu, Ta. Aku akan menemui Abah untuk melamarmu."
Attaya bergeming dengan mimik kaku. Ia hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala. Ucapan Azrael membuatnya kehilangan kata-kata. Ia terlampau bahagia dengan niatan sang mantan. Lamaran yang selama ini hanya menjadi angan belaka. Sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Rasa syukur tak terbendung di hati Azrael. Bertemu Attaya merupakan rencana Allah paling indah. Baginya, Attaya serupa kilau yang menerangi kehampaan hatinya dalam mencari kebenaran. Kini, ia tak hanya mendapatkan cinta, melainkan juga keislaman yang menjadi pedoman hidupnya.

Tamat

Pati, 16 Mei 2019

Biodata Penulis

Penulis mulai belajar literasi Agustus tahun lalu. Dulu, menganggap menulis sebagai terapi emosi. Namun sekarang, perlahan mulai mendalami literasi, hingga telah memiliki dua buku antologi bersama beberapa penulis lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.