Jemari lentik Attaya tak henti
bergerak di keypad ponsel pintar.
Sudah satu jam ia berselancar di sosial media. Bukan untuk memposting atau
berkomentar di status FB-teman, melainkan berbalas chat via inbox bersama
akun yang baru dua bulan menjadi bagian list
pertemanan. Azrael, akun bergambar animasi Jepang memegang samurai yang sedari
awal sudah berhasil mencuri perhatian.
“Kapan kita bisa bertemu?”
Chat terakhir dari Azrael yang
belum dibalas Attaya. Bukan ia tak mau bertemu, tetapi ada sedikit ragu jika
lelaki di seberang kecewa setelah bertatap muka. Cukup lama menimbang jawaban,
ia pun mengirim balasan.
“Yakin ingin bertemu? Bagaimana
jika tak sesuai ekspektasimu?”
Tiga titik bergerak, tanda akun
seberang tengah mengetik balasan. Tak sampai lima belas detik, Attaya sudah
bisa membaca pesan Azrael.
“Belum pernah aku seyakin ini.
Kamu yang tentukan tempatnya. Oke?”
Attaya menggigit bibir bawah.
Berharap dapat meredam gugup dan degupan jantungnya yang tak berirama.
“Sabtu besok tepat jam lima sore,
di alun-alun Malang. The Chamber jadi clue kita. Gimana?”
Bukan jawaban yang diterima
Attaya, melainkan stiker kucing dengan tangan membentuk simbol oke. Sudut bibir
wanita itu tertarik ke atas, membentuk senyum dengan pipi berbalur rona merah
muda. Entah kenapa, ia begitu bahagia.
***
Mata cokelat Attaya mengedar ke
penjuru alun-alun. Ia mencari sosok yang berjanji akan datang menemuinya.
Wanita itu menggelengkan kepala. Cukup konyol harus memercayai seseorang dari
dunia maya. Terlebih wajah asli pun tak pernah diketahuinya.
Setelah mengitari alun-alun,
Attaya yang kelelahan memilih duduk di bangku. Ia mengeluarkan novel The
Chamber, buku yang menjadi bahasan pertamanya dengan Azrael. Kembali ia
tersenyum mengingat awal kedekatan dengan si Lelaki Misterius.
"Attaya!"
Senyum Attaya pudar. Tubuhnya
mendadak tegang mendengar suara bass dari arah samping kanan. Perlahan, ia
menoleh dan mendapati sosok bertubuh tegap berdiri hanya tiga langkah dari
tempatnya. Ia memakai kaus dan celana jeans hitam. Ransel bertengger di
punggung dengan satu tangan memegang jaket.
Hal mengejutkan juga dirasakan
Azrael. Tak menyangka wanita yang setiap saat berkomunikasi dengannya begitu
menawan. Namun, secepat ia jatuh hati, secepat itu juga harus menelan kecewa.
Meski ada sesuatu yang mencubit kesadaran, ia tetap mengulas senyum.
Didekatinya wanita berjilbab merah muda.
"Hai, aku Azrael," ucap
Azrael sembari mengulurkan tangan kanan.
Mata Attaya mengerjap sesaat,
lalu membalas jabat tangan Azrael. Sekuat tenaga, ia menahan gemuruh dadanya
agar tak terdengar oleh lelaki berhidung mancung itu. Kepalanya menunduk tak
berani menatap mata tajam berwarna cokelat pekat. Kini, ia dapat melihat jelas
tato bermotif tribal dengan huruf hiragana memenuhi tangan sebelah kanan.
"Maaf, membuatmu menunggu.
Tadi busnya kena macet di pinggiran kota." Azrael melepas tangannya lalu
mengambil duduk di samping kanan Attaya.
Kepala Attaya menggeleng samar. "Tidak apa-apa, aku
juga baru sampai."
Untuk beberapa saat keduanya
hanya diam. Keakraban yang terjadi selama ini, tertimbun rasa kaget dan canggung.
Fakta yang baru diketahui seakan memukul mundur keberanian untuk bersama.
Bagaimanapun ada sekat pembeda yang nyata di antara mereka.
"Ayo, kita makan!" seru
Azrael memecah keheningan.
Attaya mengangkat wajah lalu
menoleh ke samping. Beberapa detik kemudian, ia mengangguk setuju. Keduanya
bangkit dari bangku dan berlalu menuju sebuah restoran cepat saji di seberang
jalan.
Setelah membayar bill, Azrael mengajak Attaya duduk di
meja dekat jendela. Dengan begitu, mereka bisa melihat pemandangan kota pada
waktu senja. Perlahan tapi pasti, keduanya mulai berinteraksi. Obrolan seru
mulai mengalir, hingga rasa canggung pun hilang.
"Terima kasih sudah mau
bertemu denganku." Azrael bersuara saat keduanya duduk di bangku tunggu Terminal
Arjosari. Tiga jam sudah, ia dan Attaya bersama untuk mengobati rasa penasaran.
Jadi, sudah waktunya ia kembali ke Surabaya.
"Sama-sama, tapi maaf jika
aku tak sesuai ekspektasimu," sahut Attaya sembari menoleh ke arah Azrael.
Bibir merah pucat Azrael
tersenyum. Ia lalu berujar, "pasti kamu kaget saat melihatku."
Attaya mengangguk membenarkan. Penampilan Azrael memang
sudah mengagetkannya. Wajah rupawan, tato memenuhi tangan, dan kalung
berliontin ... salib.
"Aku harap perbedaan ini,
tidak menjadi alasanmu untuk menjauh." Mata beriris cokelat pekat milik
Azrael menatap tajam wanita berjilbab itu.
"Tentu tidak, El! Kamu tetap
teman baikku," jawab Attaya sembari tersenyum.
Tatapan mereka terkunci. Saling
menyelisik mimik muka masing-masing. Tak sulit bagi Azrael membaca percikan
asmara di wajah Attaya. Kenyataannya, ia juga sudah jatuh cinta pada wanita
berkulit putih itu.
"Kopi dan gula memiliki rasa
berbeda, tapi bisa jadi candu saat berpadu," ucap Azrael lirih. Namun,
masih bisa didengar Attaya.
Azrael mengamati paras cantik di
depannya. Ingin rasanya, ia membawa pergi jauh Attaya tanpa mengingat pembeda
di antara mereka. "Meski terkesan mustahil, tapi aku ingin bersamamu,
Ta."
Mata Attaya membulat sempurna.
Tak percaya jika lelaki tampan di dekatnya mengutarakan perasaan. Sebagian
hatinya melayang bahagia, tapi sisi lain menjerit untuk mengabaikan permintaan
Azrael. Attaya memalingkan wajah. Ia mulai dilanda bimbang sekarang.
Suasana berubah hening. Keduanya
hanya diam dengan pikiran berkelana. Tak lama kemudian, sebuah bus patas
berhenti. Azrael memakai jaket hoodie
dan ranselnya, lalu bangkit dari bangku tunggu.
"Soal yang tadi tidak perlu
dipikirkan. Aku tahu itu sangat mustahil bagimu. Terima kasih untuk hari ini.
Semoga kita bisa bertemu lagi. Selamat tinggal, Ta." Azrael menatap Attaya
untuk terakhir kali. Kemudian memutar badan bersiap untuk pergi, tapi ....
"Biarkan rasa yang menuntun
kita," sergah Attaya cepat.
Azrael langsung membalikkan
badan, hingga dapat melihat Attaya yang tersenyum manis. Perlahan bibirnya pun
menyunggingkan senyum. Tangan kanannya terulur lalu mengusap puncak kepala sang
wanita. "Minggu depan, aku akan datang lagi."
Kepala Attaya mengangguk lalu
mengucapkan salam perpisahan. Tatapannya terus mengikuti Azrael sampai lelaki
itu hendak masuk ke bus. Ia sadar ini sebuah dosa. Namun, rasa itu sudah
telanjur tertancap di dalam hati. Ia hanya berusaha jujur dengan perasaannya.
***
Jalinan kasih mereka bertahan
hampir satu tahun. Setiap Minggu, Azrael akan datang menemui Attaya. Kemudian
keduanya akan berlanjut dengan berbincang atau menjelajah kota Malang. Banyak
hal menyenangkan yang dilakukan bersama, hingga benih cinta semakin tumbuh
subur di hati mereka. Ada kalanya mereka saling berdiskusi tentang topik yang
sedang hangat, tak terkecuali soal keyakinan. Namun, sepandai-pandainya mereka
menyembunyikan fakta, tetap saja hubungan beda keyakinan terendus juga. Kedua
keluarga murka saat tahu jalinan asmara mereka.
***
"Jadi, kita hanya berakhir
seperti ini." Suara bass dari lelaki bersurai cokelat terdengar kecewa.
Tak percaya bahwa wanita yang meratu di hatinya, meminta mundur dari tahta.
Sang lawan bicara memalingkan
wajah ke arah jendela. Melempar pandangan jauh ke arah barat. Tempat matahari
biasa berpulang. "Memang berat, tapi ini yang terbaik." Attaya
bersuara lirih nyaris tak terdengar. Namun, suasana senyap sore di kedai kopi
berlogo putri duyung hijau, mampu menggaungkan ucapannya.
"Aku lelah berjuang, El.
Restu itu tak kunjung datang." Air mata mulai menumpuk di mata Attaya.
"Baiklah, aku mengerti.
Namun, aku belum berhenti berharap. Jika kita terlahir untuk saling melengkapi,
maka Tuhan pasti akan memberi jalan," ucap Azrael menutup perbincangan.
Keduanya beradu tatap, menyelami
perasaan gundah dalam dada. Pembahasan ini memang telah lama bergulir. Namun,
belum juga menemukan titik akhir. Azrael yang percaya tentang institusi tujuh
sakramen. Sementara Attaya mempercayai enam rukun iman. Dua jalan yang tak
searah, meski punya satu tujuan menyembah Tuhan. Mereka saling mencintai, tapi
tak akan pernah menggadaikan keyakinan yang menjadi harga mati. Rumit dan
sensitif.
***
Tiga purnama berlalu sejak
perpisahan terjadi. Azrael belum juga mampu melupakan si pencuri Hati. Semakin
rindu saat setiap malam, ia bermimpi aneh dengan menjadi imam salat, sedangkan
Attaya sebagai makmum. Mimpi itu terus berulang hampir setiap malam. Ia akan
terbangun bersamaan dengan suara azan Subuh dari masjid tak jauh dari rumah.
Suatu hari, Azrael duduk
sendirian di kursi food court. Ia
menunggu teman kerjanya yang sedang melakukan salat Jumat. Lantunan ayat suci
dari pengeras suara masjid dekat area kantor, mampu menenggelamkannya dalam
lamunan. Ada kedamaian dan rasa hangat yang menyelusup ke hatinya. Apalagi saat
terdengar khotbah. Ia mendengarkan isi dengan saksama. Air matanya menetes saat
membayangkan gambaran tentang hari kiamat. Tiba-tiba bayangan mimpinya bersama
Attaya kembali berkelebat di kepala.
Usai makan siang, Azrael langsung
membuka laptop. Ia hendak mencari jawaban dari setiap pertanyaan tentang Islam
yang mengganggu pikiran. Sejak kenal Attaya, ia melepas kalung sebagai atribut
keyakinannya. Bukan karena bentuk pembangkangan, melainkan sebagai wujud
toleransi. Ia juga sering berdiskusi soal agama sebagai bahan pengetahuan.
Namun sekarang, ia ingin tahu lebih. Khotbah yang didengarnya tadi, begitu
menancap kuat di simpul otak. Ia diserang dahaga untuk memahami agama secara
benar sesuai hati nurani. Tanpa paksaan dan tanpa tendensi pada doktrin yang
mengalir sebelum ia lahir.
Ketertarikannya pada Islam mampu
menarik simpati dari Emir. Melalui sang sahabat, ia dapat memahami lebih banyak
tentang akidah dan keimanan. Ia juga sering diajak menghadiri pengajian
terbuka, berdiskusi dengan ustaz, dan belajar sembahyang. Bahkan ia telah
menghapus tato dengan cairan khusus. Tentu saja semua dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi dari keluarga.
Dua bulan sudah Azrael mendalami
agama. Ia pun mengutarakan maksudnya menjadi mualaf pada keluarga. Namun,
amukan dan cacian didapatkannya. Ia tak patah arang karena memang sulit
menyelaraskan isi kepala, terutama hal sensitif menyangkut keyakinan. Lelaki
berkulit putih itu dipaksa bersabar, hingga keluarga besar mampu menerima
dengan lapang. Pada bulan berikutnya, usaha dan kesabarannya berbuah manis.
Perlahan keluarga mulai menerima keputusannya. Mereka salut akan kegigihannya
mempertahankan keinginan berpindah keyakinan.
Ramadan pertama yang bertepatan
dengan hari Jumat, menjadi waktu paling bersejarah dalam kehidupan Azrael. Ia
telah resmi melepas nama baptis Ignatius, setelah mengucap dua kalimat
syahadat. Mohammad Azrael Soebono adalah nama barunya saat ini. Proses itu
mampu menarik air mata haru, baik bagi Emir maupun orang tuanya. Perasaan
damai, lega, dan bahagia seketika menyelimuti hatinya.
***
Attaya tengah membereskan meja
kerja saat terdengar bunyi notifikasi dari ponsel. Ia sengaja mengabaikan dan
lebih melanjutkan pekerjaan. Terlebih sebentar lagi sudah waktunya pulang.
Ketika hendak meraih tas, ponselnya kembali berbunyi. Penasaran, ia pun meraih
benda pipih dan membuka layar.
“Selamat sore, Attaya. Apa
pekerjaanmu telah selesai?”
“Jika kamu ada waktu, aku ingin
bicara sesuatu. Aku sudah ada di depan kantormu.”
Jantung Attaya berdetak cepat
kala membaca dua chat dari Azrael. Ia
tak menyangka jika sang mantan menghubunginya lagi. Tanpa sadar bibirnya
tersenyum lega karena dapat berkomunikasi kembali dengan Azrael. Setelah enam
purnama terpisah jarak hingga membuat hati bergejolak. Kini, ia dapat meluapkan
rindu tertahannya. Bergegas ia menyambar tas, lalu setengah berlari ke luar
kantor.
Dada Attaya berdebar tak keruan
ketika melihat punggung tegap Azrael dari kejauhan. Tanpa membuang waktu, ia
menghampiri sang mantan yang berdiri membelakangi. Tubuhnya terlonjak saat
tiba-tiba Azrael membalikkan badan.
"Assalaamu'alaikum, Attaya," sapa Azrael dengan tersenyum
manis.
Mata indah Attaya terbelalak. Ia
kaget mendapat salam dari lelaki di depannya. Ia mengamati penampilan Azrael.
Mulai dari baju koko hitam lengan pendek yang melekat sempurna, hingga tangan
tanpa tato.
"Wa’alaikumsallam," jawab Attaya dengan bibir bergetar.
"Se---sejak kapan?" Matanya mulai memanas melihat perubahan lelaki
istimewanya.
"Dua minggu yang lalu,"
sahut Azrael.
"Masya Allah!" Hanya
ucapan itu yang keluar dari bibir Attaya. Setelahnya, ia tenggelam dalam tangis
haru.
Azrael melangkah untuk memangkas
jarak dengan Attaya. Tangan kanannya terulur lalu mengusap puncak kepala
berbalut pashmina ungu muda. "Terima kasih sudah datang di kehidupanku.
Terima kasih sudah membuatku mengenal dan mencintai Islam."
Attaya tak menjawab. Justru
tangisnya semakin menjadi. "Bukan karena aku, El. Semua terjadi karena
kehendak Allah," ujarnya di sela isakan.
Kepala Azrael mengangguk.
"Ya, semua karena Allah dan hidayah itu datang melalui kamu."
Kepala Attaya mendongak. Azrael
mengulas senyum lebar. "Untuk itu, meski sadar ilmuku masih seujung kuku,
tapi aku ingin menyempurnakan ibadah denganmu, Ta. Aku akan menemui Abah untuk
melamarmu."
Attaya bergeming dengan mimik
kaku. Ia hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala. Ucapan Azrael membuatnya
kehilangan kata-kata. Ia terlampau bahagia dengan niatan sang mantan. Lamaran
yang selama ini hanya menjadi angan belaka. Sebentar lagi akan menjadi
kenyataan.
Rasa syukur tak terbendung di
hati Azrael. Bertemu Attaya merupakan rencana Allah paling indah. Baginya,
Attaya serupa kilau yang menerangi kehampaan hatinya dalam mencari kebenaran.
Kini, ia tak hanya mendapatkan cinta, melainkan juga keislaman yang menjadi
pedoman hidupnya.
Tamat
Pati, 16 Mei
2019
Biodata Penulis
Penulis mulai belajar literasi
Agustus tahun lalu. Dulu, menganggap menulis sebagai terapi emosi. Namun
sekarang, perlahan mulai mendalami literasi, hingga telah memiliki dua buku
antologi bersama beberapa penulis lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.