Jumat, 10 Mei 2019

#Kamis_Cerpen - Kata Pujangga - Telaga Kautsar (Tias Y.) - Sastra Indonesia Org




Sudah beberapa hari ini tungku tak menyala. Senyap. Tak ada asap yang membubung hingga ke atap rumbia. Emak dirundung gelisah. Mondar-mandir di dapur dari Subuh hingga fajar merekah. Ia harus membagi beras yang tersisa. Tak enak hati dan merasa bersalah. Seminggu sudah ia tak mengisi beras pada kaleng jimpitan. Sekadar untuk dimakan pun masih kurang. Sawah sepetak satu-satunya milik mereka diserang hama. Gagal panen dua musim berturut-turut.
Salim tak ingin menambah beban pikiran emaknya yang sudah carut-marut. Namun, ia harus menyampaikan keinginannya. Agar kelak tak timbul syak wasangka. Telah lama ia merencanakan datangnya hari itu. Segala persiapan telah ia mantapkan. Tas ransel hitam yang sudah memudar terisi dengan kemeja ganti dan parfum wangi. Ia beranikan diri meminta restu dari emak.
“Bukannya emak tak suka, hanya saja aku khawatir akan nasibmu, Le.”
“Karena aku tak berpendidikan? Apa karena aku melarat? Apakah aku terlalu nista, hingga tak pantas meski sekadar mencoba dan berusaha?”
Segera emak menyusut linangan bening di sudut netra dengan ujung selendang yang membebat rambut peraknya.
“Jika saja emak mampu membiayai sekolahmu ....”
“--bisa merasakan sekolah SMEA saja aku sudah bersyukur, Mak. Meski hanya sampai kelas dua.” Salim tersenyum meyakinkan emaknya. “Restui keberangkatanku untuk melamar!”
Emak semakin sesenggukan. Bahunya naik turun menahan isak. Segala keterbatasan itu tak memundurkan langkah Salim barang sehasta. Ia yakin lamarannya akan diterima. Betapa percaya ia pada kata sang pujangga. Setiap usaha yang teriring doa akan senantiasa diijabah.
Ia melirik sekilas di balik tudung saji. Beberapa butir ubi rebus masih mengepul di atas piring seng yang mulai berkarat. Disanding dengan secangkir kopi pahit seduhan emak. Cukup sebagai pemompa tenaga untuk mengayuh sepeda. Tak kurang lima kilometer jalan berlumpur yang harus ia tempuh.
Selepas mencium punggung tangan keriput emaknya, ia segera memacu sepeda. Menembus embun yang masih menggantung. Menantang kabut yang masih bergelayut. Kaki jenjangnya berpacu dengan waktu, terus mengayuh pedal pit kebo tua peninggalan bapak. Rahangnya mengatup kuat menahan hujaman bayu. Dingin merengkuh tubuhnya yang berbalut urat hasil memeras peluh.
Setiap meter kayuhan pedal sepedanya, menelisikkan ragu dalam kalbu. “Akan diterimakah lamaranku?” Keyakinan yang ia pamerkan di hadapan emak, seakan runtuh satu per satu dan berhamburan di sepanjang jalan. Serasa meraih ancala di batas cakrawala. Semakin dikejar, semakin jauh jarak terpisah. Anehnya, ia tak pernah berhenti mengayuh. Kelindan paras ayu merajuk di pelupuk mata. Rasa rindu semakin mendera. Membulatkan kembali tekadnya yang terserak. Sejauh apapun, tetap akan ia kejar hingga dapat meraihnya.
Lima tahun lalu kala rinai turun melela. Terdengar suara bocah-bocah berselawat di masjid, tanda Magrib akan segera tiba. Salim bersama seorang temannya, Bagus, mengendarai motor butut dari dam di perbatasan desa. Hasil tangkapan ikan hari itu cukup banyak untuk makan malam berdua.
“Lim, di depan ada gadis cantik. Tampaknya ia dalam masalah.”
Mereka menepi. Namun, Salim tetap bergeming di atas motor. “Kau saja lah, Gus yang tanya. Aku malu!”
Bagus mendelik tak percaya. “Cobalah sesekali bicara dengan perempuan. Tak berbahaya mereka itu. Ah! Mau jadi bujang lapuk kau? Setiap ada gadis selalu membuang muka.”
Gadis berkerudung hitam itu tampak kebasahan. Roda motornya penuh dengan lumpur bercampur kapur. Wajahnya pucat kelelahan. Bagus berusaha mendekat dengan hati-hati.
“Apa Anda memerlukan bantuan?”
“Ah, ya. Saya mencari rumah Pak Lurah.” Sesekali gadis itu mencuri pandang ke arah Salim.
“Mari kami antarkan. Tidak terlalu jauh dari sini.”
Mereka berkendara beriringan sampai tiba di rumah Pak Lurah dalam keadaan basah sepenuhnya. Diketahui gadis itu bernama Ratna. Baru datang dari kota untuk melakukan pengabdian di desa mereka. Sebagai tenaga pengajar sukarela di satu-satunya sekolah dasar yang ada di sana.
Bagus tak habis pikir, selama dalam perjalanan dia terus bermonolog berusaha mencuri perhatian gadis itu. Namun, yang diharapkan selalu melirik ke arah Salim. Sedang Salim kehilangan suara. Terlalu gugup membuatnya membisu. Semua rasa malu akut itu tak sebanding dengan parasnya yang rupawan. Kenyataan itu membuat Bagus dan teman-teman yang lain iri bukan kepalang.
Ia kembali mengayuh pit kebo tuanya melintas jalanan yang sama. Senyum semakin merekah. Bibir tipisnya mulai mendendangkan irama cinta. “Jikalau cintanya diterima ....”
Setengah perjalanan telah ditempuh untuk menuju sekolah di mana Ratna mengabdi. Tak ia rasakan penat yang mendera. Sesekali ia bunyikan bel pada setang, bertukar sapa dengan kawan lama yang dijumpa. Sepanjang jalan terhampar tanah sawah. Angin berpuput membawa aroma kotoran ayam dari peternakan di tengah ladang. Nyiur melambai saling berbisik membagi cerita tentang pemuda yang jatuh cinta.
Hari-hari melaju dengan cepat. Di antara para pemuda di desanya, hanya ia seorang yang belum juga membuka suara di hadapan Ratna. Suatu kali, Salim mendapat pekerjaan merenovasi bangunan sekolah bersama beberapa tukang batu dari desanya. Pada konstelasi rasi bintang di hari itu, takdir membawanya bertatap muka berdua dengan Ratna.
Entah bagaimana keberanian itu muncul menggantikan canggung. Mereka berbincang seperti teman lama yang kembali dipertemukan oleh masa. Pernah Salim bertanya, “kenapa kamu datang ke desa kami hanya untuk mengajar anak-anak udik ini? Bahkan mereka tak menganggap penting sekolah itu sendiri.”
Gadis itu hanya tersenyum. Sudah banyak bibir yang memuji kelembutannya. Pandai menjaga diri. Kini, Salim membuktikan dengan matanya. Kerudung itu mampu menjaga kemuliaan gadis ini dari jamahan mulut dan tangan usil.


“Jika kau tahu, aku sama sekali bukan gadis berhati malaikat. Tujuanku tidak mulia. Aku tak seperti yang orang sangka. Hanya satu bulan aku bisa bertahan pada awal mengabdi di sini. Sempat putus asa dan ingin kembali ke kota. Namun, ada seseorang yang membuatku bertahan. Jadi, semua ini semata hanya karena cinta pada seorang anak manusia.” Ratna kembali mengumbar senyum.
“Namun, kini aku tersadar. Inilah jalan yang dipilihkan untukku. Anak-anak ini membutuhkan uluran tangan. Sejak saat itu, aku kembali meluruskan niat dan berusaha bertahan. Soal cinta, ah biarlah Tuhan yang menentukan.”
Deg! Ada guris dalam hati Salim. Gadis di hadapannya tak lagi kosong. Hatinya sudah ada yang memenuhi. Kenapa ia merasa sedih?
Ratna kembali membuka suara, “kau tau? Sejak pertama kita bertemu di hujan itu, aku selalu ingin menyapamu. Kau selalu diam. Aku jadi takut.” Ratna menatap Salim lekat. “Kini aku senang. Kau selalu seperti yang aku bayangkan.”
[Dia membayangkanku? Selalu membayangkanku?]
Salim masih membisu. Malu akut kembali menjalari. Pipinya bersemu merah entah karena apa. Sejak hari merenovasi sekolah, mereka semakin akrab. Selama bulan Ramadhan, Salim akan menunggu Ratna di pelataran masjid dengan suluh di tangan. Ia akan memastikan Ratna sampai di rumah dengan selamat. Mereka berjalan kaki melintasi pematang sawah. Ratna selalu berjalan satu langkah di belakang. Ah, betapa kebat-kebit hati dibuatnya. Tanpa kata mereka bersepakat dalam diam.
Kayuhan sepeda Salim sedikit melambat. Ia tiba pada bagian jalan yang sepenuhnya tak bisa dilewati tanpa berjalan kaki. Ia turun untuk menggulung pipa celana, melepas sepatu satu-satunya yang ia miliki, dan menuntun sepeda melintasi kubangan. Air hujan semalam membuat genangan lumpur yang cukup besar dan dalam. Lumpur itu berwarna hitam pucat karena bercampur dengan kapur yang digunakan untuk memadatkan jalan.
Ia berdoa dalam hati agar lamarannya diterima, agar mereka bisa semakin dekat dan senantiasa berjumpa dalam asa. Ia tahu telah lama memendam cinta, begitu pula Ratna. Namun, tak pernah benar-benar ada kata sepakat untuk menjalin asmara. Salim terlalu takut akan melukai hati mereka. Biarlah cinta itu tumbuh merekah, takdir yang akan menuntun pada ikatan pernikahan.
Tinggal beberapa meter lagi. Salim memilih singgah di masjid untuk shalat Zuhur dan membersihkan diri. setelah berganti pakaian bersih dan membubuhkan sedikit minyak wangi, ia kembali memacu pit kebo menuju gerbang sekolah.
Semua siswa telah pulang. Tersisa beberapa guru dan staf TU. Sempat ragu untuk melangkah, ia bertanya pada salah seorang teman yang kini mengajar agama di sana. Desa ini tak terlalu besar, tapi mereka saling mengenal dengan baik antar setiap warga.
“Ratna masih di sekolah?"
“Ya, Tampaknya dia masih di kelas.”
Seorang perempuan keluar dari kantor kepala sekolah. “Salim, Anda sudah ditunggu bapak kepala!”
Ia menunda niat hendak bertemu Ratna. Beberapa guru yang lain menepuk bahu Salim dan berusaha memberi semangat.
Oh, sempit sekali dunia ini. Begitu cepat kabar tersebar.
Salim menghabiskan waktu sepuluh menit yang menyiksa di dalam kantor kepala sekolah. Saat hendak keluar, ekor matanya menangkap ujung hijab Ratna yang beriak tersapu angin semilir. Gadis itu berjalan menuju gerbang.
Ia mengambil sepeda lalu mengejar Ratna sampai di luar gerbang sekolah. Langkahnya terhenti melihat gadis itu mengulurkan surat undangan pada salah seorang rekan kerjanya. “Selamat ya, Bu Ratna, akhirnya menikah juga. Semoga menjadi keluarga yang berbahagia.”
Salim tersentak dari lamun. Ia sadar telah ditinggalkan. Terlambat melangkah dan benar-benar jauh ditinggalkan oleh Ratna.
“Salim!” Gadis itu tersenyum kaku. Ada canggung di sana. “Aku dengar kamu akan bekerja menjadi penjaga sekolah. Bagaimana hasil wawancara dengan kepala sekolah?”
Suara Salim serak. “Lamaranku diterima. Aku akan bekerja mulai besok. Di sini bersamamu.”
Senyum Ratna ambyar seketika. Ia sadar ada yang salah. Tangannya terulur dengan selembar undangan pernikahan di sana. “Aku akan menikah.”
“Selamat.”
Ratna tidak puas. “Kau tidak bertanya?”
“Apalagi yang perlu aku pertanyakan? Aku telah tertinggal ribuan langkah. Aku salah telah percaya pada kata pujangga. Mereka mengatakan, cinta itu berharga dari emas dan permata. Lalu, kubawa cinta itu di persada jiwa. Tapi kenyataannya, cinta mengguris derita. Tiada harta yang akan bersanding dengan cinta. Aku miskin. Aku tak punya pekerjaan tetap. Aku layak mendapatkan semua ini. Selamat Ratna. Aku akan mencoba bahagia untukmu.”
Tangan Ratna masih terulur dengan selembar undangan yang tak berbalas. Dia terisak melihat punggung Salim yang pergi menjauh. Dia selalu menatap punggung itu, berharap suatu saat akan bersandar di sana. Tapi dia tak bisa terus menunggu. Punggung itu pergi menjauh. Semakin menjauh.

-End-


Biodata

Telaga Kautsar merupakan nama pena dari Tias Yuliana. Lahir dan besar di kota Sidoarjo yang kini terkenal dengan lumpur panasnya. Membaca buku, mendengarkan kisah, dan menonton film merupakan kesukaannya yang tak bisa tergantikan hingga saat ini. Menulis baginya bukan sekadar mencari tenar atau mengukuhkan eksistensi diri melalui sebuah karya. Lebih dari pada itu, menulis merupakan salah satu upaya “penyembuhan” dari beberapa trauma masa lalu yang belum tuntas hingga detik ini. Penulis dapat dihubungi melalui akun media sosialnya di FB Telaga Kautsar atau melalui E-mail di tiasln3@gmail.com. Beberapa karya yang lain juga bisa diakses melalui Wattpad di @TelagaKautsar9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.