“Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena suatu hari nanti dia bisa menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah musuhmu sewajarnya, karena suatu hari nanti ia bisa menjadi sosok yang sangat kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi).
--------
“Nisa tidak ingin menikah dengannya, Kak.”
Akhirnya kalimat itu terucap juga setelah sebelumnya perang batin saat ingin mengutarakan pada sosok yang sedang duduk di sampingku. Kabar seorang pria datang untuk melamar membuatku dilanda dilema, antara menerima atau menolaknya. Namun, saat melihat binar di mata Ayah, hati ini tak kuasa jika harus mematahkan harapannya. Membuat malu keluarga dengan menolak pinangan dari pria yang menurut keluargaku baik dan tidak lain teman semasa SMA.
Sebagai perempuan, tentunya harus memilih yang terbaik untuk menjadi pasangan hidup. Bukan sekadar berwajah tampan ataupun memiliki pekerjaan mapan. Akan tetapi, yang sudah tahu kewajibannya sebagai seorang muslim, taat dalam beribadah.
Sebab, masih terngiang di telinga ceramah Ustazah Aisyah di majelis taklim minggu lalu, tentang memilih teman hidup. Ada empat pilihan. Harta, takhta, rupa, dan agama.
‘Harta bisa habis kapan saja saat Allah berkehendak, karena tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Sama halnya dengan takhta atau kedudukan, semua bisa berubah tanpa bisa dihindari karena hidup itu bagai roda yang berputar. Tak selamanya berada di titik teratas. Lalu rupa, kecantikkan dan ketampanan seseorang akan pudar seiring berjalannya masa.
Jadi, jika memilih di antara ketiga tersebut, sudah dipastikan akan mendapatkan kekecewaan di kemudian hari saat semua tak sesuai ekspektasi. Sebab, perubahan seperti itu sudah pasti akan terjadi.
Maka dari itu, pilihan terbaik adalah pada urutan terakhir, yaitu agama. Agar mampu membimbing menuju Jannah-Nya, bukan sekadar memberi kebahagiaan di dunia yang bersifat fana. Sebab, di sini hanya sebuah persinggahan sebelum kembali ke kehidupan kekal abadi, yaitu pangkuan Sang Ilahi Rabbi.’
“Apa yang membuatmu ingin menolak lamarannya?!”
Aku sedikit tersentak oleh suara bass Kak Hafiz. “Kakak kan tahu perangai Ditto seperti apa. Nisa kurang suka pria seperti itu,” jawabku pelan. Tak ayal, kepalaku semakin menunduk saat Kak Hafiz menatap lekat.
“Kapan terakhir bertemu?” Kembali Kak Hafiz mengajukan pertanyaan yang kurasa sangat tidak penting.
“Saat kelulusan. Lima tahun yang lalu.”
Ingatanku kembali pada sosok yang membuatku ilfeel setengah mati karena keusilannya. Pria bertubuh tinggi dengan kulit kuning langsat. Dia adalah Ditto, anak kelas IPS yang hobi sekali mengikutiku semenjak pertemuan pertama di lapangan sekolah.
Setiap hari, ia tak pernah bosan menunggu di depan gerbang, hingga saat istirahat maupun pulang sekolah untuk sekadar berkata ‘Aku suka kamu, Humairah. Tunggulah saat kelulusan nanti’. Tentunya sangat risi. Belum lagi menjadi langganan guru ‘BP’ karena sering bolos juga terlibat keributan. Tukang ‘onar', begitulah julukannya.
Rasanya masih tak percaya bahwa lelaki itulah yang berani berhadapan dengan Ayah, meminta izin agar menjadikanku pasangan hidupnya. Pria pecicilan yang kerap kali tebar pesona. Merasa dirinya paling tampan di antara yang lain. Meskipun kuakui itu benar adanya.
“Sejak kapan kamu menjadi gadis yang sombong?!”
Tersentak. Aku menoleh ke samping dengan mata terbelalak. Perlahan, bulir hangat tergenang di pelupuk mata bersama degub jantung yang hadir tiba-tiba.
“Maksudnya, Kak?” tanyaku pelan. Dahi mengerut karena tak paham dengan ucapan Kak Hafiz.
Kak Hafiz menatap lekat. Sorot matanya tidak bisa kutebak. “Kamu pandai sekali menilai seseorang. Apa bagus seorang gadis berbicara seperti itu?”
Oh ... Ya Allahu Rabbi. Pertanyaannya sungguh membuatku merasa tertampar. Bagaimana bisa menyimpulkan baik buruknya seseorang yang telah lama tak berjumpa. Perkataannya seketika menyadarkan kelalaianku.
Segera kembali menunduk agar Kak Hafiz tak melihat derai air mata yang telah membasahi pipi. Perasaan sesal kian menjalar di hati, karena telah berkata yang tak semestinya.
“Bukan seperti itu, Kak,” bantahku pelan.
Pada hakikatnya, sebagai manusia terkadang masih sering melakukan kesalahan. Seperti saat ini, mudah sekali mencari celah kekurangan orang lain daripada melihat kesalahan sendiri. Sungguh, tak ada maksud seperti itu. Namun, mulut ini masih saja tak bisa dikontrol ketika sedang berbicara.
“Lalu?” Tak ada nada tinggi. Namun, penuh dengan penekanan. Membuatku merasa semakin terintimidasi.
Kuusap pipi dengan sedikit kasar, kemudian mengalihkan pandangan. Menatap jalan yang dilalui kendaraan berlalu-lalang. Namun, netra ini justru terpaku pada satu titik, rumah gaya minimalis yang jaraknya hanya terhalang oleh beberapa bangunan.
Bangunan bercat hijau dengan halaman dipenuhi berbagai tanaman bunga. Di sebelah kiri terdapat pohon mangga yang sedang berbuah, dengan kolam ikan disudut halaman. Rimbun daunnya seakan memberi keteduhan, asri. Semua itu terlihat jelas dari rumahku yang berada di seberang jalan.
Kediaman keluarga Hasan, kakak kelasku.
“Nisa sedang menunggu seseorang,” ucapku perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dari rumah tersebut.
“Siapa?”
“Teman sekolah Nisa. Dia berjanji tahun ini akan datang ke rumah.”
Kupilin ujung hijab untuk menetralisir rasa yang entah disebut apa, saat membayangkan sosok kukagumi. Dia adalah pujaan para wanita. Pria bermanik mata cokelat dengan lesung pipit di sebelah kiri, menambah kesan manis saat tersenyum.
Namun, bukan ketampanan yang menjadi sorotan. Tetapi kepintaran juga kesalehannya. Dia adalah Kak Hasan, ketua osis yang memiliki suara merdu ketika sedang melantunkan ayat suci Al-Qur'an.
Aku adalah salah satu dari sekian banyak gadis yang mengidolakannya dan tentu paling beruntung. Sebab, saat memasuki semester akhir di kelas dua, Kak Hasan rutin mengirimkan beberapa surat. Mengatakan menaruh hati dan ingin menjalin hubungan yang serius setelah pendidikannya selesai. Itulah yang membuatku tetap bertahan hingga sekarang.
“Jadi, itu alasanmu ingin menolak pinangan Ditto?”
Aku mengangguk pelan. Sedikit tenang karena telah mengutarakan segala yang mengimpit di hati selama ini. Setidaknya, rasa yang membelenggu itu terlepas dari sarangnya. Lega. Tinggal menunggu hari bahagia itu tiba.
Kak Hafiz mengangguk paham. “Nanti kakak bicarakan dengan Ayah. Namun, Anisa pun harus ingat, tak baik berharap lebih pada sesama manusia karena bisa menimbulkan rasa kecewa. Sebab, sesuatu yang terlihat baik belum tentu menjadi yang terbaik untuk kita. Pun sebaliknya, Allah Maha Tahu segalanya. Sang Ilahi Rabbi hanya memberi apa yang hamba-Nya butuhkan, bukan yang diharapkan,” jelas Kak Hafiz. “Bisa saja yang terlihat buruk dalam pandanganmu justru menjadi yang terbaik untukmu.”
Setelah berkata demikian, Kak Hafiz meninggalkanku yang masih bergeming di halaman rumah. Mencerna setiap nasihat yang diucapkan barusan. Namun, aku merasa Kakak melarang untuk berharap lebih pada sosok Kak Hasan. Atau memang karena mereka terlalu menginginkan Ditto yang telah lebih dulu datang melamar.
***
Rumah bergaya klasik ini sudah ramai oleh orang yang berlalu-lalang. Sepanjang ruangan sudah dipehuni dengan dekorasi berbagai bunga juga hiasan. Di sebelah kiri terdapat deretan meja yang dipenuhi aneka ragam makanan menggugah selera. Juga kursi yang terbalut kain putih tertata rapi di sudut ruangan, untuk menyambut para tamu undangan.
Minggu keempat di bulan September menjadi saksi saat aku melepas masa lajang. Menapaki kehidupan baru, yaitu sebuah pernikahan.
Aku memaku di kursi pelaminan. Menatap binar bahagia terpancar jelas di wajah para tamu undangan. Terutama pria paruh baya yang mengenakan baju adat jawa. Pria tangguh yang bertahan dengan status ‘duda’ dan membesarkanku seorang diri setelah kepergian Bunda, saat berjuang melawan maut di hari persalinan.
Beliau menjadi sosok Ayah sekaligus Ibu. Dapat kulihat kelegaan di sorot mata tuanya, karena mulai detik ini tanggung jawab terhadapku telah berpindah pada sosok yang berjabat tangan saat ijab qabul pagi tadi. Pria yang sekarang mendapat gelar, suami.
Aku menatap sendu pada setiap orang yang bercengkerama. Tawa bahagia terdengar hingga gendang telinga. Namun, hati tak pernah bisa dibohongi, tak jua kurasakan buncahan itu. Sekeping hati hanya merasa sepi yang menyelimuti diri.
Harusnya ini menjadi momen yang paling berharga. Menjadi ratu sehari dan bersanding dengan sosok dikagumi. Namun, takdir tak mengijabah segala pinta. Pria kuharapkan itu tak kunjung datang, berganti dengan sosok yang sama sekali tidak ada dalam bayangan.
Sebaris senyum kusuguhkan demi menutupi luka yang kian terasa menganga. Kecewa? Mungkin. Toh hanya manusia biasa yang selalu berharap terwujud akan segala doa. Namun, aku pun sadar, tak semestinya menghakimi Tuhan karena tak mengabulkan segala permintaan. Mungkin ada hikmah di balik ini semua.
“Nisa kenapa? Kakak perhatikan sedari tadi diem terus. Apa Nisa lelah?”
Pria di sampingku memberondong pertanyaan. Raut wajahnya memunjukkan kekhawatiran.
“Enggak, kok,” balasku singkat.
Kembali memalingkan wajah karena tak ingin terlalu lama menatapnya. Meski tahu ini salah, tetapi semua itu butuh proses. Belajar membuka hati untuk Ditto dan melupakan sosok yang namanya telah terpatri dalam hati. Kak Hasan.
***
“Sayang ... bangun, yuk!”
Elusan lembut itu membangunkanku yang masih dibuai mimpi. Mengerjap perlahan guna memperjelas penglihatan yang semalaman tertutup rapat. Di sampingku, lelaki bertubuh tegap itu tengah menatap dengan sorot penuh cinta. Senyum manis tak pernah lepas dari bibirnya.
Dia seorang pemimpin keluarga yang sangat baik. Penyabar, penyayang, tentunya taat dalam beribadah. Di sepertiga malam, tak pernah lepas mengajakku untuk berserah diri kepada Sang Maha Pencipta.
Aku sungguh malu telah menilainya begitu buruk. Meragukan keimanan seseorang karena melihat perilaku di masa lampau, lupa kalau perubahan bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan sekarang, ketakwaannya jauh di atasku yang terkadang masih sangat labil.
‘Pantas saja Ayah menerimanya sebagai pendampingku. Dia memang lelaki yang tepat. Bisa mengayomiku yang terkadang masih kekanak-kanakkan.’ Hatiku berbisik lirih sembari menatap wajahnya.
“Hayo ... segera berwudu, Sayang!" perintahnya.
“Eh iya, Bi,” balasku singkat. Berjalan ke arah kamar mandi, kemudian menunaikan sholat Tahajud yang dilanjut mengaji bersama sembari menunggu waktu Subuh tiba.
Belasan purnama telah kami lewati dalam menjalani biduk rumah tangga. Namun, entah apa yang terjadi, rasa itu tak jua hadir dalam sanubari. Meski telah mencoba membuka hati hingga berserah diri pada Sang Ilahi, tetapi sampai sekarang rasa itu tak lebih dari sebuah hormat terhadap suami.
Jika menilik, dia memang lelaki yang sempurna karena sampai saat ini tak kutemukan celah kekurangannya. Pria mapan juga penuh perhatian, tentunya idaman kaum perempuan. Lebih dari itu, perselisihan memang kerap kali terjadi, tetapi kuanggap sebagai bumbu sebuah pernikahan. Agar menjadi pengingat untuk terus belajar memberi yang terbaik kepada pasangan.
“Abi ... Ummi rindu Ayah,” ucapku pelan.
Pagi tadi, selepas mengerjakan sholat Subuh, sekelebat wajah tua hadir di pelupuk mata karena hampir satu bulan belum berkunjung ke rumah Ayah. Seringnya bertukar kabar lewat telepon genggam. Namun, itu semua tak bisa mengobati rasa rindu yang kian membuncah di dalam dada.
Kesibukan Mas Ditto membuatku tak bisa bepergian. Dia memang mengizinkan, tetapi merasa kurang nyaman jika harus sendirian. Meski belum tumbuh subur rasa cinta, tetapi selalu berusaha taat dan berbakti kepadanya.
Pria yang mengenakan kemeja biru itu segera menoleh. “Nanti sepulang Abi dari kantor kita berangkat ke rumah Ayah, ya. Hari ini Ummi bisa siapkan baju untuk seminggu ke depan. Biar Abi bisa berangkat kerja dari sana,” balasnya. Jemarinya mengelus lembut kepala yang terbalut hijab. Selalu ada rasa damai saat Mas Ditto melakukan itu semua.
“Beneran kita akan menginap di sana selama seminggu, Bi?” tanyaku memastikan.
“Iya, Sayang,” jawabnya sembari tersenyum.
Selepas mencium tangan yang dibalas kecupan hangat di puncak kepala, priaku berangkat menjemput rezeki untuk menafkahi keluarga kecilnya. Di teras rumah, kutatap sendu kendaraan yang telah menghilang dari pandangan.
‘Ya Allah ... hadirkanlah rasa itu untuk dia yang menjadi kekasih halalku. Jangan biarkan hati ini terlalu lama terpuruk oleh masa lalu.’ Doaku dalam hati, karena tak ingin terus terjebak oleh rasa yang tak semestinya.
***
Bergetar tangan ini saat menggenggam kumpulan surat yang masih tersimpan rapi di kotak kecil. Sekelebat bayang ketika masa sekolah kembali hadir di pelupuk mata. Terutama sosok yang sempat kukagumi. Ada yang berdenyut perih di hati saat mengingat semuanya. Kecewa karena dia telah mengingkari janji.
“Sedang apa, Mi?”
Aku tersentak saat mendengar suara itu. Segera kukemasi dengan tangan gemetar, berharap Mas Ditto tak sempat melihat tumpukan kertas dalam genggaman jemari mungilku.
“Abi sudah pulang?” tanyaku pelan. Tak urung, jantung ini berdetak kian cepat dengan keringat dingin membasahi dahi. Berulang kali kutelan ludah agar menetralisir rasa gugup yang kian menjadi. Bagaikan seseorang sedang ketahuan mencuri.
“Iya, Mi. Hari ini Abi sengaja pulang cepat. Ingin berlama-lama dengan istri tercinta,” jawabnya. Perlahan menghampiriku yang masih terpaku di depan lemari.
“Se-sejak kapan?”
Dia menatapku intens. “Sejak istri Abi masih sibuk dengan kumpulan surat di tangannya. Sampai gak sadar cowok ganteng ini sudah ada di depan pintu sedari tadi,” ucapnya tanpa beban.
Aku terhenyak. “Maaf, Bi ....” Segera menunduk untuk menyembunyikan bulir hangat yang mulai membanjiri pipi. “Harusnya surat itu Ummi buang sedari dulu. Bukan terus menyimpannya,” ucapku di sela isak tangis.
Ia merengkuh tubuh ini. “Abi malah senang. Tandanya Ummi benar-benar nerima dan sayang sama Abi,” ucapnya. Satu kecupan mendarat di puncak kepala.
Segera kuurai pelukan. Menatap lekat manik mata hitam itu. “Maksudnya, Bi?” tanyaku bingung.
Dia tersenyum lembut. “Itu ‘kan surat dari Abi, Sayang. Pura-pura lupa.” Ia menggoda seraya menoel puncak hidung. Lalu, jemarinya sibuk menghapus jejak air mata yang membasahi pipi.
Aku semakin terkejut dengan pernyataannya. Betapa bodoh karena selama ini telah mengira surat itu dari sosok yang kukagumi, Kak Hasan. Berharap banyak pada pria yang bahkan tidak melirikku sama sekali. Kembali, kudekap erat tubuh tegapnya. Menangis sejadinya di dada bidang itu untuk melepaskan rasa sesak yang kian menyiksa.
“Maafkan, Ummi ....”
“Tidak perlu minta maaf, Humairah. Abi mencintaimu karena Allah. Dari dulu, sekarang, dan seterusnya.”
Meski terkejut, tetapi ada rasa lega yang menyusup di sanubari. Ternyata surat itu dari suamiku sendiri, Hariadi Praditto Wijaya. Lelaki yang menepati janji datang ke hadapan Ayah untuk melamar selepas pendidikannya selesai. Pantas saja semua suratnya berinisial huruf ‘H’ dan aku mengira itu dari si ketua osis, Muhammad Hasan Al-Ghifari.
Takdir memang tak pernah salah. Sekuat apa pun menolak, Tuhan punya seribu cara untuk menyatukan sepasang insan yang namanya telah tertulis di Lauhul Mahfuz.
Selesai
Tasikmalaya, 09 Mei 2019
Biodata
Yuli Mulyani, seorang introvert yang berdomisili di Kota Tasikmalaya. Sosok yang cukup pendiam di dunia nyata dan memiliki hobi membaca. Untuk saat ini, sedang belajar menekuni dunia kepenulisan.
0 Response to "#Kamis_Cerpen - Arti Sebuah Rasa - Yuli Mulyani - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.