“Belum tidur, Bu?”
Kusapa Ibu yang masih bersandar di kursi goyangnya. Matanya setengah terpejam, “Ibu Menunggu kamu, Nak,”
Aku menyalaminya. “Tidurlah, aku sudah datang. Ohya, tadi ada orang datang ke sini ya?”
Ibu seperti tersentak, lalu bangkit dari duduknya, “Ada seorang wanita. Masih muda. Dia titip ini untuk kamu,”
Ibu berjalan ke meja tengah dan mengambil sebuah kotak berwarna cokelat lalu menyodorkannya padaku. Tak ada tulisan apapun. “Dari siapa?”
“Muridmu, mungkin. Ibu tak sempat bertanya, dia seperti terburu-buru,”
Aku mengangguk. Mungkin ada keterangan di dalamnya. “Ya sudah. Aku ke kamar dulu ya. Ibu sudah bisa tidur sekarang,”
Tapi ibu mencekal tanganku, “Ayahmu juga datang …,”
Aku tertegun.
“… bersama istri barunya,”
Dalam sekejap kurasakan aliran darah yang deras dan berkumpul di kepalan tanganku.
“Dia bilang minggu depan mau syukuran anaknya. Ayahmu minta kita untuk datang …,”
Aku menoleh pada Ibu, ada genangan air di matanya, “Minggu depan kita ke rumah Naila. Ada pesta pertunangan. Mau ya?”
Ibu seperti gamang, ia menunduk dalam diam dan kulihat air itu mengalir di pipinya.
“Sudahlah, Bu. Kita tak ada urusan apapun dengan dia …,”
“Dia itu Ayahmu,”
Aku menggeleng, “Aku sudah lama tak punya Ayah. Sekarang Ibu tidur ya,”
Aku berusaha membujuknya. Bagaimanapun, sulit untuk beliau menenangkan diri setelah semua yang terjadi. Dan lelaki tua itu, masih berani datang ke sini. Kutahan emosiku sembari menemani Ibu ke kamarnya.
Setelah kurebahkan dan menyelimutinya, aku beranjak ke kamar. Menyimpan kotak di atas meja lalu ke kamar mandi. Sudah menjadi kebiasaan, mandi sebelum tidur.
Handphone berdering persis ketika aku keluar dari kamar mandi. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Kuacuhkan hingga deringnya berhenti, lalu setelah menyampirkan handuk, handphone itu berbunyi lagi. Dari nomor yang sama. Sepertinya penting, maka kuangkat saja.
“Halo,”
“Pakai baju dulu. Tak enak kalau dilihat telanjang, kan?”
Aku tersentak.
Dari mana orang ini tahu aku sedang telanjang? Maka aku segera menyambar handuk dan melilitkannya di pinggang. “Siapa ini?” tanyaku sambil melongok keluar kamar.
Terdengar tawa nyaring di sana. Tawa seorang perempuan.
“Siapa ini?!” kutekankan suaraku. Lalu tak kudengar suara lagi. Kutunggu hingga satu menit berikutnya, tapi tak ada suara apapun yang kudengar dari seberang sana.
Baru ketika akan kupencet tombol merah dia berkata lagi, “Tolong saya …,”
Aku mengernyit, “Tolong apa?”
“Hari ini tepat setahun aku mati … bisakah kau pindahkan jasadku?”
Crap!
Sontak aku melempar handphone ke lantai hingga layarnya pecah, lalu meredup. Panggilan berakhir. Masih kuperhatikan handphone itu hingga panggilan baru muncul membuat getaran tanpa dering. Tentu Tak langsung kuambil. Hingga cukup lama aku hanya melihatnya tanpa berani mendekat. Tak berapa lama getarannya berhenti. Lalu bergetar lagi.
Sial.
Ketakutan membuat syaraf di otakku seketika meregang, maka kupilih untuk menendang barang sialan itu hingga terlempar ke bawah tempat tidurku. Sekarang kurasa makin rumit, aku tak siap seandainya akan kuambil lalu tiba-tiba sebuah tangan menarikku. Aku sudah merinding hanya dengan membayangkannya saja. Maka aku segera menyambar celana pendek dan belum selesai memakainya ketika dering telepon di kamar menyalak dengan keras. Kenapa semua senang membuatku terkejut?!
Seperti tadi, aku hanya berani memandang horn telepon di dekat meja tanpa mendekat. Tubuhku yang semula kering kini basah kembali oleh keringat yang mendadak banyak. Aku benar-benar ketakutan. Setelah celana benar-benar terapasang, aku memutuskan untuk keluar kamar tanpa memakai baju. Begitu pintu terbuka …
Deg!
Aku dikejutkan oleh sosok perempuan yang sudah berdiri persis di depan kamar, “IBU!” aku memekik cukup keras.
Antara kesal dan bahagia karena akhirnya aku bertemu dengan manusia, aku memerhatikan Ibu yang memandangku dengan tatapan dingin, lalu kudengar lirih suaranya, “Ibu tak bisa tidur. Ingat Ayahmu …”
Dari rentetan hal yang membuatku gemetaran, kalimatnya meluruhkanku ke alam sadar kembali. Segala ketakutanku rontok seketika, berganti haru yang luar biasa.
Kupeluk Ibu, mencoba menenangkannya atau menenangkan diriku sendiri.
***
Pagi ini aku bangun kesiangan. Sudah mendekati jam 8 ketika kulihat Ibu tak ada di tempat tidur. Semalam aku memilih untuk tidur di sini, lebih aman, kurasa. Setelah menggeliat, kuperhatikan kamarnya yang selalu begitu tertata. Meski secara emosional Ibu terganggu, ia tak pernah lupa membersihkan rumah.
Pintu kamar terbuka, Ibu muncul dengan senyum yang mengembang, “Akhirnya anak Ibu sudah bangun,”
Melihatnya aku juga merasa lega, aku di rumah. Bukan di alam baka. Tapi mengingat itu, membuatku terbayang kejadian semalam. Penelepon itu … aku bergidik lagi.
“Tadi Ibu sudah telepon sekolahmu. Ibu bilang kamu sakit jadi tak bisa masuk kerja,”
Aku bernapas lega lagi, Ibu selalu banyak membantu.
“Oh iya, ada surat buat kamu … Ibu simpan di meja makan ya. Sebaiknya kamu mandi sebelum turun,”
Ibu kembali keluar kamarnya, sementara aku memilih merapatkan kembali punggung dengan kasur.
***
“Surat dari siapa, Bu?”
Tanyaku sambil duduk di kursi ruang makan. Sudah ada beberapa masakan enak di atas meja. Ibu adalah koki terbaik di dunia meski masakannya tak pernah dijual.
“Kamu belum mandi?”
Aku nyengir dan berkilah, “nanti saja, sudah lapar,”
“Setidaknya pakai baju dulu. Tak enak kalau dilihat telanjang, kan?”
Deg.
Tiba-tiba aku merasa diingatkan sesuatu mendengar kalimat Ibu. Tapi sebaiknya kulupakan.
“Makan dulu,” sergah Ibu ketika hendak kuambil surat yang tergeletak.
Baiklah.
“Zaman sekarang masih ada ya yang suka kirim surat,” ujar Ibu disela makannya.
“Entahlah, Bu. Aku juga heran,”
“Jadi ingat waktu Ibu masih muda,” lalu kudengar tawanya yang renyah.
“Siapa yang antar?”
“Tukang pos,”
“Tukang pos ke sini?”
“Oh, bukan. Kalau suratmu ini Ibu temukan di bawah pintu,”
Sambil menikmati sarapan pagi, pikiranku kembali melayang pada dua surat terakhir yang kubaca. Apa kali ini isinya serupa?
Aku memilih untuk membukanya di depan rumah. Beranda yang cukup luas dengan kolam kecil berisi ikan mas di tengahnya. Cuaca pagi masih begitu hangat dan menyehatkan dan secangkir lime ini sangat menyegarkan.
Kusobek ujung surat lalu kukeluarkan isinya. Seperti biasa, tak ada keterangan pengirim dan tulisannya pun merupakan hasil printer.
Dugaanku benar tentang isinya.
📃Semoga Anda tak terlambat, sebab kalau iya sesuatu di kamar Anda bisa meledak jam 10 ini,📃
Sesuatu? Sesuatu? Apa itu? Sesuatu apa?!
Deg.
Bingkisan itu?!
Dalam sepersekian detik aku memasuki rumah dan melihat jam dinding.
9.55!
Deg! Deg! Deg!
Aku tersentak hebat. Irama jantungku berdentuman begitu keras disertai napas yang menjadi sangat cepat.
5 menit lagi … dan rumah ini akan hancur?!
Bersambung …
0 Response to "#Jumat_Cerbung - Surat Kaleng Part 3 - Ruhyat Hardadinata - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.