Di daratan bumi
lainnya, jauh dari rumah tahanan Jakarta Timur, Linka duduk di kursi bersayap,
menarik lutut ke dada. Sambil menatap jalanan, dia bersandar. Bukan untuk
tidur, hanya istirahat saja.
Di luar, tampak
seorang wanita berjalan cepat. Rambut hitam bergelombang berayun seiring gerak
tubuhnya. Minidress putih yang
dikenakan, mengingatkan dia akan seseorang. Serupa tapi tak sama. Pemilik mata
seindah samudra itu pernah berkomentar tentang potongan V-Neck pada dress pemberian ibunya, tak cocok
katanya.
Linka menarik
napas panjang. Setelah menjauhi jendela, ia mengitari ranjang berukuran king dengan seprai merah yang masih
menyisakan kenangan mengerikan semalam. Lalu, dia melihat cincin permata hijau
di jari manis. Dia menyukai perhiasan, kecuali benda itu. Bukan karena modelnya
atau berlian yang tak sesuai harapan, tapi lebih pada akibat yang ditimbulkan
setelah pemasangan cincin itu.
Bagi sebagian
wanita, menikahi anak seorang konglomerat adalah sebuah anugerah, tapi bagi
Linka, itu awal malapetaka. Sayangnya, dia tak bisa berbuat apa pun. Acap kali
dia mencari kelalaian agar memiliki peluang untuk kabur, tapi selalu berujung
pada kegagalan. Penjagaan di rumah itu bagai istana negara.
Ketika sang ayah
mengatakan akan menjodohkan dirinya dengan Gavin, dia melantangkan kalimat
penolakan. Akan tetapi, saat mendengar alasan pria berkumis itu, Linka seperti
terjerumus ke lubang dilema yang teramat dalam, hingga tak didapat cahaya untuk
menentukan pilihan.
Kemudian dia
berjalan menuju kamar mandi, menginjak lantai marmer basah dan masih tercium
aroma sabun. Terdapat dua handuk yang menggantung, juga peralatan mandi. Cermin
di atas wastafel kembar memantulkan bayang wajahnya yang tak bersemangat
menatap masa depan. Terlihat ada memar di beberapa bagian. Juga bekas
cengkeraman di leher dan lengan. Semua luka itu terasa perih kala air hangat
menyapa tubuhnya.
Memori indah
yang tersimpan dalam ruang kepala, hanya itu yang bisa dijadikan pengalihan dan
menciptakan kenyamanan tersendiri di hati.
Dia masih ingat
betul setiap langkah dan hitungan geraknya. Irama lagu klasik menggaung dalam
tempurung kepala. Di bawah guyuran hujan buatan, ada bayang pangeran tampan
yang menari bersamanya, tersenyum dan meliukkan tubuhnya perlahan.
Dia pernah
menikmati itu, jauh sebelum pertunangan diputuskan. Adalah Ordion, lelaki yang
pernah berdansa dengannya di bawah rintik hujan, di teras manshion Miss Megan
seorang pengajar lepas. Untuk pertama kalinya, Linka menyukai tambahan les
private yang diberikan sang bunda kala itu.
Satu yang
membuatnya tertarik, pendar sepasang lensa biru. Kesan pertama itu membekas
terlalu dalam sehingga kehangatannya sulit terlupakan. Dari cara memandang, dia
tahu Ordion menginginkannya lebih dari semua waktu yang dipunya. Setiap
sentuhannya pun terasa lembut dan nyaman. Ingatan itu membuat bulu halus Linka
meremang. Jelas jauh berbeda dengan Gavin, brutal.
Sayangnya,
hubungan yang terjalin dalam diam itu diketahui Gavin. Entah apa yang dia
katakan pada Ordion di acara lelang. Ketika kembali dari toilet, meja bundar
itu telah berantakan. Linka masih mengingat betul kemarahan yang terlihat di
mata birunya. Jelas ada sesuatu yang membuat Ordion murka.
Informasi
terakhir yang dia dengar dari Gavin, kekasihnya telah masuk penjara. Bahkan
bajingan itu sempat mengancam, jika dia tidak menurut, maka ayah atau dirinya
akan berakhir di tempat yang sama. Penuturan itu membuat Linka tak bisa
memahami apa maksud Gavin menerima perjodohan mereka.
Hah, yang pasti
pangerannya tak akan datang dengan kuda pelana dan membawanya lari dari tempat
terkutuk itu. Dia akan tetap terkurung dalam istana yang tak ubahnya neraka.
Linka keluar
dari kamar mandi dengan handuk yang menutup sebagian tubuh. Saat lemari
terbuka, terlihat barisan dress
dengan potongan menantang. Tak ada satu pun yang berlengan. Belahan di dada dan
punggung terbuka, hampir semuanya seperti itu. Sedang yang pundak tertutup,
panjang bawah hanya menutupi seperempat paha. Berbanding terbalik dengan selera
Linka yang lebih menyukai pakaian tertutup. Setidaknya, dia tidak menemukan
cambuk atau rantai di sana. Cukuplah cengkeraman tangan dan tamparan.
Setelah
mengenakan dress berwarna merah tua,
dia kembali duduk menghadap jendela lebar, mengamati apa pun yang tak penting
di luar sana. Iri terasa begitu kuat pada mereka yang berkeliaran bebas. Dulu,
dia seperti itu, hang out bersama
beberapa teman, pergi menonton, nongkrong di Mall, walau hanya sebatas cuci
mata. Semua terjadi sebelum orang tuanya merencanakan perjodohan sialan itu.
Apa gunanya dia mempelajari tata cara bangsawan jika pada akhirnya hanya
berdiam diri di bilik terkunci.
Aroma daging
panggang tercium dekat, menggoda perutnya yang kelaparan. Seorang wanita tua yang
selalu membawakan makanan, terlihat sekilas sebelum pintu kembali tertutup.
Gavin benar-benar tak mengizinkan siapa pun berkomunikasi dengannya, selain dia
dan itu memuakkan.
“Ah, seperti
inikah rasanya menjadi tahanan? Ini pastilah jauh lebih baik dari apa yang dia
terima,” gumam Linka.
Dipikirkan pun percuma.
Dia butuh kalori untuk bertahan. Wanita itu mendekati meja setinggi lutut. Ada beefsteak, orange juice, segelas susu, dan potato
fried. Tata krama di meja makan, yang sering diajarkan sang Bunda,
terlupakan. Wanita itu melahapnya seperti manusia yang tak makan sebulan.
***
“Selamat datang
di rumah baru,” monolog seorang gadis, Vanessa, dengan keceriaan luar biasa.
Akhirnya, yang
dinanti telah tiba. Tanpa perlu mengemis, Vanessa mendapat pekerjaan yang
diinginkan dan di tempat yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Yah, walau
sebenarnya tak banyak yang menginginkan. Bekerja menjadi seorang psikiater,
dikelilingi para manusia sakit mental, cukup riskan apalagi untuk seorang
wanita. Peminatnya pun hanya segelintir orang. Kebanyakan, setelah lulus S1 kedokteran
mereka akan melanjutkan ke spesialis anak, penyakit dalam, bedah, atau yang
lainnya. Namun, Vanessa malah mengambil psikiater yang jelas-jelas sangat
bertentangan dengan keinginan orang tua.
Vanessa tetaplah
Vanessa, apa pun penuturan mereka, akan menjadi angin lalu yang melintas sesaat
lalu dilupakan.
Impian untuk menjadi seorang
psikiater terbit ketika Vanessa muda melihat mereka, orang yang sakit mental,
ditelantarkan, dan diperlakukan tidak manusiawi, semisal: dipasung, dirantai,
dan yang terparah ... dibuang oleh keluarga. Tak jarang mereka jadi bahan
olok-olokan, juga momok bagi anak kecil. Pun seperti apa yang pernah dilakukan
oleh Ibunya. Supaya mau makan, tidur maupun mandi, ia selalu menakut-nakuti
Vanessa dengan keberadaan orang gila di halaman. Padahal mereka juga manusia
yang punya hak untuk dihargai.
Setelah memarkir
Mobilio putih, wanita berambut panjang bergegas memasuki pintu ganda bening.
Seorang petugas menyapanya ramah di balik meja resepsionis. Bibir bergincu
merah muda, yang sedikit pudar, menanyakan maksud kedatangannya.
Vanessa
menyodorkan surat panggilan yang diterimanya kemarin. Kemudian, wanita
berkemeja batik beranjak dari seliri untuk mengantar tamunya ke ruang direktur
utama rumah sakit. Tak sia-sia dia bersusah payah belajar demi meraih nilai
terbaik. Dengan bekerja di tempat itu, rencana untuk membuka praktik sendiri
akan segera terwujud dan sebentar lagi, dia akan membuktikan kepada orang
tuanya, bahwa seorang psikiater juga berguna bagi orang banyak dan bisa kaya.
“Lho, Vanessa,
'kan?”
Bukan tanya, bukan pula sapa.
Lelaki berkacamata bulat itu hanya ingin memastikan dugaannya. Dia masih
mengingat betul wajah oval yang berisi mata bulat, hidung nanggung, dan bibir
sensual itu. Tiga tahun yang lalu, wajah itu menjeratnya dalam kubang asa
hingga cinta berkembang biak layaknya amoeba.
Lain halnya
dengan Vanessa. Dia hanya mendengung sembari menelusuri paras pria itu di
lorong ingatannya. “Siapa, ya?”
Well, setelah
lulus S1 kedokteran, mereka pernah menjalin hubungan—sebatas rekan—saat praktik
di salah satu rumah sakit swasta. Berbeda kampus, tapi Gio merasa beruntung
bisa bersua dengan wanita cantik dan pintar seperti Vanessa. Lebih-lebih saat
melihat bagaimana wanita itu bekerja, keseriusan air mukanya, membuat hati
lelaki bertubuh kurus itu berteriak, dia yang aku cari!
“Kamu lupa? Aku
Gio ... Giovani. Dulu kita pernah bekerja sama di International Hospital,
Surabaya.”
Wanita itu
memutar bola mata sebentar lalu kembali melangkah setelah resepsionis memanggil
dan berjanji akan melanjutkan obrolannya nanti. Itu pun jika ingat. Dia tidak
menderita amnesia atau sejenisnya, hanya malas menyimpan sesuatu yang tak
penting dalam memori.
Setelah
menyuguhkan senyum teramah, dia mengambil tempat di hadapan pria berambut belah
tengah. Kursi hitam itu tak senyaman sofa di huniannya, tapi cukup membuat dia
rileks. Tak ada banyak barang di atas meja; Papan nama, kalender, pigura, dan
beberapa map di samping peralatan tulis. Terbilang rapi di jam kerja. Map-map
itu pun seperti perawan, belum tersentuh apalagi ternoda, tapi dia menikmati
kehadirannya.
“Selamat
bergabung di rumah sakit kami, Dokter Vanessa. Senang sekali ada lulusan
terbaik di tempat ini.”
“Iya, Pak. Saya juga
senang bisa bergabung dengan Anda.”
“Semua
peraturan, tata tertib, visi misi, termasuk perhitungan gaji ada di sini.”
Marco meletakkan map merah di depan Vanessa, “silakan dibaca, dipelajari, lalu
kita akan berlanjut ke penandatanganan kontrak.”
Diterima di
sebuah rumah sakit besar tak lantas membuat Vanessa mengiyakan tanpa memahami
isi kontrak. Itu sama seperti memasuki bangunan mewah, tapi gelap gulita. Lalu
berjalan sesuka hati dan tak menyadari ada lubang menganga yang siap
menenggelamkannya. Fatal.
To be continue
Surabaya, 17 Mei 2019
Biodata Penulis:
Indah Kusuma,
penulis kelas teri yang kembali menorehkan tinta. Karya penggemar film action ini selalu menghadirkan cinta
yang tak biasa. Bukan sekadar romansa, tapi juga pengorbanan tokoh utama dalam
mendapatkan cintanya. Karya yang telah terbit di antaranya: Novel 'Almost Kiss'
dan antologi 'Bidadari Pilihan Ibu'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.