Senin, 20 Mei 2019

#Jumat_Cerbung - Bab 2 - The Marionette - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org





Di daratan bumi lainnya, jauh dari rumah tahanan Jakarta Timur, Linka duduk di kursi bersayap, menarik lutut ke dada. Sambil menatap jalanan, dia bersandar. Bukan untuk tidur, hanya istirahat saja.
Di luar, tampak seorang wanita berjalan cepat. Rambut hitam bergelombang berayun seiring gerak tubuhnya. Minidress putih yang dikenakan, mengingatkan dia akan seseorang. Serupa tapi tak sama. Pemilik mata seindah samudra itu pernah berkomentar tentang potongan V-Neck pada dress pemberian ibunya, tak cocok katanya.
Linka menarik napas panjang. Setelah menjauhi jendela, ia mengitari ranjang berukuran king dengan seprai merah yang masih menyisakan kenangan mengerikan semalam. Lalu, dia melihat cincin permata hijau di jari manis. Dia menyukai perhiasan, kecuali benda itu. Bukan karena modelnya atau berlian yang tak sesuai harapan, tapi lebih pada akibat yang ditimbulkan setelah pemasangan cincin itu.
Bagi sebagian wanita, menikahi anak seorang konglomerat adalah sebuah anugerah, tapi bagi Linka, itu awal malapetaka. Sayangnya, dia tak bisa berbuat apa pun. Acap kali dia mencari kelalaian agar memiliki peluang untuk kabur, tapi selalu berujung pada kegagalan. Penjagaan di rumah itu bagai istana negara.
Ketika sang ayah mengatakan akan menjodohkan dirinya dengan Gavin, dia melantangkan kalimat penolakan. Akan tetapi, saat mendengar alasan pria berkumis itu, Linka seperti terjerumus ke lubang dilema yang teramat dalam, hingga tak didapat cahaya untuk menentukan pilihan.
Kemudian dia berjalan menuju kamar mandi, menginjak lantai marmer basah dan masih tercium aroma sabun. Terdapat dua handuk yang menggantung, juga peralatan mandi. Cermin di atas wastafel kembar memantulkan bayang wajahnya yang tak bersemangat menatap masa depan. Terlihat ada memar di beberapa bagian. Juga bekas cengkeraman di leher dan lengan. Semua luka itu terasa perih kala air hangat menyapa tubuhnya.
Memori indah yang tersimpan dalam ruang kepala, hanya itu yang bisa dijadikan pengalihan dan menciptakan kenyamanan tersendiri di hati.
Dia masih ingat betul setiap langkah dan hitungan geraknya. Irama lagu klasik menggaung dalam tempurung kepala. Di bawah guyuran hujan buatan, ada bayang pangeran tampan yang menari bersamanya, tersenyum dan meliukkan tubuhnya perlahan.
Dia pernah menikmati itu, jauh sebelum pertunangan diputuskan. Adalah Ordion, lelaki yang pernah berdansa dengannya di bawah rintik hujan, di teras manshion Miss Megan seorang pengajar lepas. Untuk pertama kalinya, Linka menyukai tambahan les private yang diberikan sang bunda kala itu.
Satu yang membuatnya tertarik, pendar sepasang lensa biru. Kesan pertama itu membekas terlalu dalam sehingga kehangatannya sulit terlupakan. Dari cara memandang, dia tahu Ordion menginginkannya lebih dari semua waktu yang dipunya. Setiap sentuhannya pun terasa lembut dan nyaman. Ingatan itu membuat bulu halus Linka meremang. Jelas jauh berbeda dengan Gavin, brutal.
Sayangnya, hubungan yang terjalin dalam diam itu diketahui Gavin. Entah apa yang dia katakan pada Ordion di acara lelang. Ketika kembali dari toilet, meja bundar itu telah berantakan. Linka masih mengingat betul kemarahan yang terlihat di mata birunya. Jelas ada sesuatu yang membuat Ordion murka.
Informasi terakhir yang dia dengar dari Gavin, kekasihnya telah masuk penjara. Bahkan bajingan itu sempat mengancam, jika dia tidak menurut, maka ayah atau dirinya akan berakhir di tempat yang sama. Penuturan itu membuat Linka tak bisa memahami apa maksud Gavin menerima perjodohan mereka.
Hah, yang pasti pangerannya tak akan datang dengan kuda pelana dan membawanya lari dari tempat terkutuk itu. Dia akan tetap terkurung dalam istana yang tak ubahnya neraka.
Linka keluar dari kamar mandi dengan handuk yang menutup sebagian tubuh. Saat lemari terbuka, terlihat barisan dress dengan potongan menantang. Tak ada satu pun yang berlengan. Belahan di dada dan punggung terbuka, hampir semuanya seperti itu. Sedang yang pundak tertutup, panjang bawah hanya menutupi seperempat paha. Berbanding terbalik dengan selera Linka yang lebih menyukai pakaian tertutup. Setidaknya, dia tidak menemukan cambuk atau rantai di sana. Cukuplah cengkeraman tangan dan tamparan.
Setelah mengenakan dress berwarna merah tua, dia kembali duduk menghadap jendela lebar, mengamati apa pun yang tak penting di luar sana. Iri terasa begitu kuat pada mereka yang berkeliaran bebas. Dulu, dia seperti itu, hang out bersama beberapa teman, pergi menonton, nongkrong di Mall, walau hanya sebatas cuci mata. Semua terjadi sebelum orang tuanya merencanakan perjodohan sialan itu. Apa gunanya dia mempelajari tata cara bangsawan jika pada akhirnya hanya berdiam diri di bilik terkunci.
Aroma daging panggang tercium dekat, menggoda perutnya yang kelaparan. Seorang wanita tua yang selalu membawakan makanan, terlihat sekilas sebelum pintu kembali tertutup. Gavin benar-benar tak mengizinkan siapa pun berkomunikasi dengannya, selain dia dan itu memuakkan.
“Ah, seperti inikah rasanya menjadi tahanan? Ini pastilah jauh lebih baik dari apa yang dia terima,” gumam Linka.
Dipikirkan pun percuma. Dia butuh kalori untuk bertahan. Wanita itu mendekati meja setinggi lutut. Ada beefsteak, orange juice, segelas susu, dan potato fried. Tata krama di meja makan, yang sering diajarkan sang Bunda, terlupakan. Wanita itu melahapnya seperti manusia yang tak makan sebulan.



***

“Selamat datang di rumah baru,” monolog seorang gadis, Vanessa, dengan keceriaan luar biasa.
Akhirnya, yang dinanti telah tiba. Tanpa perlu mengemis, Vanessa mendapat pekerjaan yang diinginkan dan di tempat yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Yah, walau sebenarnya tak banyak yang menginginkan. Bekerja menjadi seorang psikiater, dikelilingi para manusia sakit mental, cukup riskan apalagi untuk seorang wanita. Peminatnya pun hanya segelintir orang. Kebanyakan, setelah lulus S1 kedokteran mereka akan melanjutkan ke spesialis anak, penyakit dalam, bedah, atau yang lainnya. Namun, Vanessa malah mengambil psikiater yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan keinginan orang tua.
Vanessa tetaplah Vanessa, apa pun penuturan mereka, akan menjadi angin lalu yang melintas sesaat lalu dilupakan.
Impian untuk menjadi seorang psikiater terbit ketika Vanessa muda melihat mereka, orang yang sakit mental, ditelantarkan, dan diperlakukan tidak manusiawi, semisal: dipasung, dirantai, dan yang terparah ... dibuang oleh keluarga. Tak jarang mereka jadi bahan olok-olokan, juga momok bagi anak kecil. Pun seperti apa yang pernah dilakukan oleh Ibunya. Supaya mau makan, tidur maupun mandi, ia selalu menakut-nakuti Vanessa dengan keberadaan orang gila di halaman. Padahal mereka juga manusia yang punya hak untuk dihargai.
Setelah memarkir Mobilio putih, wanita berambut panjang bergegas memasuki pintu ganda bening. Seorang petugas menyapanya ramah di balik meja resepsionis. Bibir bergincu merah muda, yang sedikit pudar, menanyakan maksud kedatangannya.
Vanessa menyodorkan surat panggilan yang diterimanya kemarin. Kemudian, wanita berkemeja batik beranjak dari seliri untuk mengantar tamunya ke ruang direktur utama rumah sakit. Tak sia-sia dia bersusah payah belajar demi meraih nilai terbaik. Dengan bekerja di tempat itu, rencana untuk membuka praktik sendiri akan segera terwujud dan sebentar lagi, dia akan membuktikan kepada orang tuanya, bahwa seorang psikiater juga berguna bagi orang banyak dan bisa kaya.
“Lho, Vanessa, 'kan?”
Bukan tanya, bukan pula sapa. Lelaki berkacamata bulat itu hanya ingin memastikan dugaannya. Dia masih mengingat betul wajah oval yang berisi mata bulat, hidung nanggung, dan bibir sensual itu. Tiga tahun yang lalu, wajah itu menjeratnya dalam kubang asa hingga cinta berkembang biak layaknya amoeba.
Lain halnya dengan Vanessa. Dia hanya mendengung sembari menelusuri paras pria itu di lorong ingatannya. “Siapa, ya?”
Well, setelah lulus S1 kedokteran, mereka pernah menjalin hubungan—sebatas rekan—saat praktik di salah satu rumah sakit swasta. Berbeda kampus, tapi Gio merasa beruntung bisa bersua dengan wanita cantik dan pintar seperti Vanessa. Lebih-lebih saat melihat bagaimana wanita itu bekerja, keseriusan air mukanya, membuat hati lelaki bertubuh kurus itu berteriak, dia yang aku cari!
“Kamu lupa? Aku Gio ... Giovani. Dulu kita pernah bekerja sama di International Hospital, Surabaya.”
Wanita itu memutar bola mata sebentar lalu kembali melangkah setelah resepsionis memanggil dan berjanji akan melanjutkan obrolannya nanti. Itu pun jika ingat. Dia tidak menderita amnesia atau sejenisnya, hanya malas menyimpan sesuatu yang tak penting dalam memori.
Setelah menyuguhkan senyum teramah, dia mengambil tempat di hadapan pria berambut belah tengah. Kursi hitam itu tak senyaman sofa di huniannya, tapi cukup membuat dia rileks. Tak ada banyak barang di atas meja; Papan nama, kalender, pigura, dan beberapa map di samping peralatan tulis. Terbilang rapi di jam kerja. Map-map itu pun seperti perawan, belum tersentuh apalagi ternoda, tapi dia menikmati kehadirannya.
“Selamat bergabung di rumah sakit kami, Dokter Vanessa. Senang sekali ada lulusan terbaik di tempat ini.”
“Iya, Pak. Saya juga senang bisa bergabung dengan Anda.”
“Semua peraturan, tata tertib, visi misi, termasuk perhitungan gaji ada di sini.” Marco meletakkan map merah di depan Vanessa, “silakan dibaca, dipelajari, lalu kita akan berlanjut ke penandatanganan kontrak.”
Diterima di sebuah rumah sakit besar tak lantas membuat Vanessa mengiyakan tanpa memahami isi kontrak. Itu sama seperti memasuki bangunan mewah, tapi gelap gulita. Lalu berjalan sesuka hati dan tak menyadari ada lubang menganga yang siap menenggelamkannya. Fatal.


To be continue

Surabaya, 17 Mei 2019

Biodata Penulis:

Indah Kusuma, penulis kelas teri yang kembali menorehkan tinta. Karya penggemar film action ini selalu menghadirkan cinta yang tak biasa. Bukan sekadar romansa, tapi juga pengorbanan tokoh utama dalam mendapatkan cintanya. Karya yang telah terbit di antaranya: Novel 'Almost Kiss' dan antologi 'Bidadari Pilihan Ibu'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.