"Bertahanlah, Sayang," ucap seorang ibu kepada anak yang sedang digendongnya. Berkali-kali dia mencium wajah mungil, yang terlihat pias dengan nafas tersengal-sengal.
Bibirnya yang pucat, sesekali mengerang kesakitan di antara darah yang menetes tak berjeda. Serpihan Bom rezim diktator, mengenai dada yang masih rapuh hingga terluka parah. Tangan sang ibu terus menutup luka yang menganga dengan kain seadanya.
Perempuan muda berjilbab hitam lebar, sesekali mengusap wajah anaknya yang pucat seputih kapas, sambil salah satu tangan tetap menahan luka untuk menghentikan aliran darah. Hatinya tak henti merapal doa, berharap buah hati bisa diselamatkan. Apalagi dengan keterbatasan peralatan dan pengobatan yang tersedia, membuat para tenaga medis melakukan tindakan berdasarkan prioritas nyawa yang berpeluang diselamatkan.
Erangan lemah mulai terdengar kembali, membuat hatinya makin kalut. Sambil terus mendekap. "Sayang, apakah kau sangat kesakitan?" tanyanya lembut di telinga sang anak. Hatinya tercekat melihat tubuh kecil yang baru menginjakkan usia enam tahun, rebah tak berdaya bermandikan darah.
Sudah beberapa tahun ini rezim pemerintah melakukan penyerangan terhadap rakyatnya. Berbagai macam senjata dan bom dikerahkan untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang dituduh memberontak. Nyawa yang melayang pun telah mencapai puluhan ribu, akibat kebrutalan pemimpin mereka.
Denyut nadi mulai melemah seiring darah yang terus terkuras. "Dokter tolong anak saya," pintanya pada salah seorang dokter yang terlihat berlari mendekat.
"Segera letakkan di sana." Sambil menunjukkan sebuah ranjang yang kosong. Tanpa membuang waktu perempuan itu berlari dan meletakkan sang anak.
"Sayang, engkau pasti akan sembuh. Setelah ini kita akan bermain ayunan bersama," bisiknya lirih. Gerakan lemah jemari tangan mungilnya seakan membalas ucapan itu.
Dokter kemudian menyusul masuk ke kamar operasi darurat. Wajahnya terlihat lelah karena banyak pasien yang terluka. Namun, tak mematahkan semangat laki-laki muda yang berusia 27 tahun, untuk membantu korban yang terluka. Dengan cekatan dia mulai melakukan upaya penyelamatan.
Sang ibu terus menemani di ruangan operasi, sambil menggenggam tangannya. Sesekali terasa kedutan lemah membuat perempuan itu menoleh. Keringat dingin terus menetes di punggung, menahan rasa yang makin berkecamuk di hati.
Operasi berjalan agak lama. Ada pecahan kaca yang menancap di dalam paru-paru anak laki-laki itu, membuat dokter kewalahan menangani. Napasnya mulai terasa melemah. Sedangkan dokter masih belum berhasil mengambil serpihan yang bercokol di dalamnya.
Setelah hampir setengah jam berusaha. Dokter itu akhirnya menoleh. Tatapan seakan menyiratkan kepasrahan.
"Apakah bisa ditolong, Dokter?" tanya perempuan beriris abu-abu, penuh harap. Dokter itu menatapnya iba. Rasa bersalah dan sedih mendera hatinya karena tak sanggup mewujudkan harapan itu. Peralatan medis yang mereka miliki pun sangat terbatas.
Perlahan dia menggeleng lemah. "Bersabarlah, sesungguhnya semua yang ada adalah titipan Allah," ucapnya membesarkan hati ibu muda berwajah kuyu.
Sesaat dia tergugu menatap nanar sang dokter. Harapan sang anak akan sembuh seakan terhempas di batu cadas. Perlahan dia menoleh dengan mata yang sembab. Air mata pun telah mengering dari telaga bening miliknya. Dengan badan yang lemah dia menggendong sang anak kemudian memeluk. Tangan mengusap pelan wajah layu nan pasi, sambil mencium berulang kali.
"Apakah kau sudah tak sanggup bertahan, Sayang?" bisiknya lirih.
Mata yang terkatup, bergerak lemah seakan merespon apa yang diucapkan sang ibu. Sesekali dia menarik napas berusaha bertarung di antara ambang batas hidup dan mati.
"Sayang, bila kau ingin menemui ayah dan kakakmu, pergilah, ibu ikhlas." ucapnya tercekat, tangan mungil itu bergerak lemah, seakan ingin tetap bertahan. "Engkau akan selalu ada di hati ibu. Ayah dan kakakmu pasti sedang menunggu di sana. Ibu bisa merasakan kau sangat gembira bisa bertemu lagi dengan kakakmu." Bergetar suara itu menahan tangis, berusaha tegar dengan hati yang terkoyak.
Namun, gerakan lemah masih saja terasa membuat perempuan itu makin tidak tega. "Sayang, ibu akan segera menyusulmu, jangan bersedih, tunggulah dengan sabar," ucapnya serak. Perlahan gerakan itu makin melemah, hingga beberapa saat kemudian tangan mungil itu pun terkulai lemah.
Perempuan muda terlihat sangat sedih. Dia terdiam lama menatap wajah sang anak yang telah tertidur dalam damai. Kini untuk terakhir kali dia bisa melihat wajah sang suami yang tergambar pada raut wajah imut anak bungsunya,
dan untuk terakhir kali pula dia bisa mencium dan memeluk tubuh itu hingga dua orang tenaga medis, membawa anaknya untuk dikuburkan. Perang hanya menyisakan luka dan kesedihan yang mendalam, sepanjang hidup bagi para korbannya.
Biodata penulis :
Sri W. Lahir di Bima 3 Januari, anak ke-2 dari 5 bersaudara, ayah bernama Abdul Gani dan ibu bernama Maani Ahmad. Alamat Jember. Saya seorang Sarjana Pertanian yang memutuskan mengabdi pada keluarga sebagai ibu rumah tangga dan ibu dari dua orang anak yang berusaha memberikan manfaat bagi orang lain melalui tulisan, dan masih terus belajar untuk menjadi penulis yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.