Danang melangkah lesu, bocah remaja itu kelihatan kusam, wajahnya yang masih imut penuh debu jalanan. Sesekali menoleh ke belakang, belum lama memutuskan pergi dia sudah rindu rumah.
Enam belas tahun, bukan lagi anak kecil. Danang sudah yakin bisa menghidupi dirinya sendiri, berhenti sekolah dan melakukan banyak kenakalan yang baginya itu bentuk dari pemberontakan dari aturan kakaknya yang terlalu mengekang.
Tubuh jangkung itu terus bergerak menjauh dari terminal bus tempat pemberhentian terakhirnya. Petang merangkak, tatapannya menyapu pergerakan kota yang tak pernah lelah.
Angkot yang lalu lalang, motor yang berkeliaran. Orang-orang yang sudah begitu merindukan rumahnya. Tak ada yang menyapa Danang, paling banter menoleh sekilas kemudian berlalu.
Duduk di tepi sebuah jembatan yang di bawahnya sungai mengalit deras. Jembatan ini sepertinya salah satu tempat wisata. Sebab, kanan kiri dihiasi lampu kerlap kerlip, indah. Banyak pasangan muda-mudi yang sepertinya baru akan memulai hari.
Bau harum jagung bakar memancing air liur, matanya nanar menatap kearah pedagang itu. Kedua tangannya menekan nekan perut, mencoba menenangkan cacing yang bergerak-gerak kelaparan.
Tidak tahan tangannya merogoh kantong celana, dua lembar uang sepuluh ribuan tampak pasrah di genggamannya. Sejenak tertegun, tapi uang itu kembali masuk kantong.
Danang bertekat menahan lapar malam ini, dia tak akan apa-apa. Dia sudah biasa saat kakaknya menghukum tidak diberi makan akibat kenakalannya, kadang dua hari tak makan. Akibat terlalu gengsi untuk minta maaf. Uangnya untuk besok saja, pikirnya.
"Sedang apa kau, Nak?" Seorang bapak tua tiba-tiba datang dan duduk di sebelahnya. Di pelukannya ada bakul berisi berbagai makanan ringan dan juga beberapa botol minuman, ada rokok juga, barang yang selalu membuat kakaknya kesal.
"Tidak ada, Pak," balasnya pelan, matanya menatap jauh seakan berusaha menemukan sesuatu yang hilang di hatinya.
"Hmm kamu kabur dari rumah, ya?" Bapak itu menatap ransel di punggung Danang. Bocah itu terdiam. "Apa pun alasan yang membuat kamu mengambil keputusan itu tidaklah benar. Rumah adalah tempat paling nyaman. Lari dari kenyamanan adalah kebodohan, Nak," ujar bapak itu lembut, membuat Danang menatapnya sekilas.
"Aku tidak punya Ibu dan Ayah menikah lagi. Aku tinggal dengan kakak perempuan , yang setiap hari marah-marah terus." Kesal. Danang bahkan tak mampu menyembunyikan kekesalannya.
"Ceritakan saja apa yang membuatnya memarahimu, apa kamu nakal? Apa kamu bersikap baik dan dia marah?" Bapak itu menyipitkan matanya, tampaknya dia sudah sering menemukan anak remaja yang kehilangan kendali.
"Segila apa pun kakakmu, kalau kau bersikap baik dia tidak akan marah," tambah bapak itu lagi.
Danang diam.
"Banyak anak remaja sepertimu yang kabur dan berakhir di jalanan. Berhenti sekolah lari dari sanak saudara dengan alasan kebebasan. Pilihan, tentu saja. Kalian memiliki banyak pilihan, tapi pastikan pilihan itu baik untuk masa depan. Mereka yang kabur dan bertemu denganku di sini berakhir menyedihkan, ada yang masuk penjara, di bunuh atau sebaliknya. Kalau ini pilihanmu pikirkanlah lagi, hanya dalam cerita ketika kabur dalam kebodohan akan pulang dengan membawa keberhasilan." Nasehat panjang yang tak juga ditanggapi Danang.
"Lebih mengerikan kalau kau terjebak dalam lingkaran narkoba. Kau tersesat dan disuruh menyesatkan. Di sini banyak mereka berkeliaran, mereka akan memanfaatkan remaja bingung sepertimu." tanpa sengaja Danang mengikuti arah pandangan bapak itu, tampak di ujung jembatan sana, seorang laki-laki berbadan besar menatap tepat ke arahnya. "Dia mengincarmu, menunggu kau sendirian." Bapak itu melanjutkan gumamannya.
"Apa pilihanku?" Danang menjadi gamang. Impiannya adalah membuat semua orang bangga, bukan dengan berakhir sebagai penjual barang haram perusak generasi bangsa.
"Pulang atau tetap di sini. Kalau kau pulang kau tahu apa yang harus kau lakukan untuk memperbaiki keadaan. Percayalah, kemarahan saudara adalah sebagai pembentukan jiwamu agar lebih baik. Dan kalau kau tetap di sini, kau akan jadi perusak atau merusak diri sendiri."
Setelah berpikir cukup lama Danang membuat pilihan. Pilihan yang akan membuatnya bersyukur telah dipertemukan dengan bapak ini.
"Aku ingin pulang."
***
"Kemana anak itu, lihatlah semua dibuat berantakan!" jerit Nia terdengar dari kamar tengah. Seperti biasa, setiap hari.
Danang adik satu-satunya itu begitu keterlaluan. Seakan kenakalannya melebihi remaja lainnya. Merokok, buang sampah sembarangan, malas mandi, malas nyuci baju sendiri, bahkan makan pun harus diawasi atau nasi satu magicom atau sambal sepanci akan dihabiskannya dalam sekejap.
Belum lagi kenakalannya di sekolah, sudah tiga kali Nia menghadiri panggilan dari sekolah. Danang berkelahi, menjahili perempuan. Nia ingin menyerah, tapi bagaimana lagi. Danang itu adik satu-satunya.
Puncaknya siang kemarin, Danang nekat masuk kamarnya dan membuat isi lemari berhamburan. Tentu saja Nia dan suaminya sangat marah. Danang malah melawan tidak mengakui kesalahan.
"Pergi saja kau dari sini! Lelah aku dengan kelakuanmu yang semakin lama semakin kurang ajar!" teriak Nia.
Danang malah menantang dengan menatap tajam dan mengepalkan tinju.
"Terserah kau mau jadi apa!" teriakan Nia diiringi tangis putus asa.
Nia menghela napas mengingat kejadian itu, sebesar apa pun amarahnya Danang tidak pernah mau berubah.
Ketika dengan tergesa dirapikan kamar Danang dia menemukan selembar surat. Beberapa kalimat dengan tulisan besar-besar menyiratkan kemarahan.
"AKU PERGI."
Nia membeku, kecemasan langsung menyergap. Sudah sore Danang belum pulang. Kemana dia akan pergi? Kalau pun dia mencuri uang itu takkan mampu membuatnya bertahan lama.
Setitik jatuh kemudian menganak sungai, dia terduduk dengan isakan. Menyesali perkatannya kemarin. Bagaimanapun marahnya dia tak mungkin membenci Danang.
***
Danang mengembuskan napas lega, dia kembali berada di depan rumahnya. Rasanya sudah sangat lama dia tidak pulang, benarlah yang orang katakan kalau rumah adalah tempat terbaik dari kehidupan.
Nampak di pintu kakaknya menangis, yang kemudian berlari memeluknya. Danang pun menangis. Dalam hati dia berjanji akan menjadi lebih baik. Bertanggung jawab akan pilihannya.
Selesai.
Biodata penulis :
Rahmi Novaliza, lahir di Alahan Panjang SUMBAR. Ibu satu putri yang hobi membaca dan ingin jadi penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.