Jumat, 26 April 2019

#Kamis_Cerpen - Target 1 - Tias Yuliana - Sastra Indonesia Org




Ia tampak gelisah. Sesekali melirik papan penunjuk nomor antrian. Suasana riuh di ruangan itu semakin membuatnya tertekan. Berkali-kali ia memastikan bahwa, ia berada pada jarak yang aman dari seseorang di ujung sana.
“Masih sepuluh nomor lagi.” Diremasnya kertas nomor antrian.
“Tenanglah! Jangan tunjukkan wajah ketakutanmu itu! Oh, ya ampun!” Sebuah suara berujar kesal.
Ia merasa lega dengan kehadiran suara itu, sekaligus putus asa dengan kondisi yang tengah dihadapinya. “Aku butuh seseorang untuk diajak bicara. Tidak. Maksudku untuk menyelesaikan kasus ini.”
“Aku tak pernah jauh darimu.”
Suasana di ruang tunggu semakin penuh. Udara dari pendingin ruangan tak lagi menyejukkan. Aroma ketiak basah dan parfum murahan bercampur memualkan. Ditudungkannya hoodie lebih dalam. Ia sapukan pandang ke seluruh penjuru. Dua kursi tersisa di deretan belakang, sebelah kanan dari pintu masuk. Diangkatnya tas perjalanan hitam besar dan berat. Terlihat timpang dalam dekapan tubuh kecilnya. Kembali ia melirik papan antrian sekilas sebelum memastikan seseorang masih pada tempatnya di ujung sana. Lalu berjalan tergesa ke deretan belakang.
“Jangan duduk di situ bodoh! Orang itu akan dengan mudah menghampirimu!”
Terkejut. Ia lanjut berjalan dan melewati dua kursi kosong yang dengan segera digunakan orang lain. Tanpa pikir panjang segera ia pindah ke deretan kursi tengah yang lebih ramai. “Thanks, sudah mengingatkan kebodohanku.”
Dihempaskannya tas hitam itu tepat di bawah kakinya. Kini ia merasa sedikit lega. Duduk di sebelah seorang gadis muda yang tengah sibuk dengan gawainya.
“Pssstt...!!”
“Apa sih?”
“Lihat di depanmu! Mau coba menebak?”
Tepat dihadapannya seorang perempuan berkerudung merah duduk membelakanginya. Perempuan itu terlibat percakapan serius dengan seorang pria muda di sebelahnya. Si pria mengenakan setelan kerja warna gelap lengkap dengan tas kulit coklat imitasi yang sedikit tua karena terlalu sering dibawa.
“Apa target kita beralih padanya?” Ditariknya tudung hoodie hingga menutupi bagian atas wajahnya. Sesekali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan waspada.
“Tidak. Jangan terlalu serius. Kita tetap pada target utama.”
“Lalu?”
“Jangan pura-pura tak tahu. Kau lihat tatapan birahi itu?”
“Menjijikkan. Apa kita akan menghabiskan waktu seharian hanya untuk ini? Bisa saja mereka pasangan suami istri. Apa masalahnya?”
“Masalahnya ada pada ke-tidak-peduli-an-mu.”
“Aku tidak butuh penekanan pada kata terakhir! Baik. Memang mereka tidak tampak seperti pasangan menikah. Kau paham maksudku. Eh, seseorang yang sudah menikah tidak akan menampakkan “kemesraan” di depan umum. Karena romantisme itu hanya untuk mereka pribadi, terlalu mahal untuk dibagi.”
“Jadi, menurutmu siapa mereka? Mau coba menebak?”
“Ya kau benar! Aku terganggu dengan cara pria itu menatap si perempuan. Tidak beradab! Jika dilihat dari pakaian yang digunakan dan cara tubuhnya berbicara, aku pikir pria ini adalah pegawai bank yang berurusan dengan perkreditan. Tampaknya mereka saling mengenal dengan baik di luar urusan bisnis. Tapi dapat kupastikan mereka bukan pasutri karena tidak ada kontak fisik sama sekali. Berjarak tapi juga terlalu dekat.”
“Yah Si Pria tampak bersemangat sekali berbicara dengan lawannya. Lihatlah gairah di sorot mata pria itu.”
“Kenapa kau sibuk sekali dengan tatapan ‘mesum’ itu? Aku pikir itu hanya ketertarikan alami seorang pria saat berhadapan dengan lawan jenis yang memang menarik secara fisik. Atau bisa saja sikap akrab Si Pria memang sengaja ditampilkan sebagai bagian dari pekerjaannya.”
“Menggaet klien dengan tatapan mesum?”
“Cukup. Aku lelah. Apa sih tujuan tebakan ini?” Kembali ia mencuri pandang ke ujung ruangan.
“Tidak ada. Hanya berusaha menghiburmu agar tidak terlalu fokus pada sesuatu di ujung sana.”
“Aku akan meralat kesimpulanku untuk tebakan kali ini. Meskipun hubungan mereka murni urusan pekerjaan, seorang pria tidak akan sanggup menyembunyikan ketertarikannya pada seorang wanita yang berparas rupawan. Juga sebaliknya, dia tidak akan sanggup berpura-pura antusias pada lawan bicara yang secara fisik sama sekali tidak menarik!” Ia menjawab dengan ketus.
Tak berapa lama kemudian, si pria beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan si perempuan seolah dengan terpaksa. Saat hendak pergi, si pria masih berusaha mengajak si perempuan untuk berbicara dan membisikkan beberapa kata dengan jarak terlampau dekat ke pada si perempuan.
“Hampir saja bibir mereka bertamu.”
“Astaga! Cukup! Aku muak dengan segala omong kosong ini!”
“Nomor antrian 317 harap menuju counter dua.” Suara nyonya mesin otomatis terdengar nyaring di pengeras suara.
Ia tergeragap. Panggilan nomor antrian itu untuk seseorang di ujung sana.
“Target bergerak!”
“Aku tahu!”
“Tetap waspada. Jika kau tak sanggup melakukannya, biarlah aku yang akan bertindak!”
“Tidak. Kita akan melakukannya BERSAMA. Kau dan aku.”
Seorang pria berusia sekitar akhir dua puluhan berjalan dari ujung ruangan ke meja teller. Tubuh jangkungnya tampak mencolok. Berjalan lambat dengan langkah yang lebar.
“Siapa yang akan menduga. Dengan kulit secerah itu dan paras yang cukup tampan. Yah, minus untuk rambut ikalnya sih. Manalagi dipotong cepak. Bukan seleraku.”
“Apa kita akan mulai membahas tipikal pria kesukaanmu? Fokus! Dia target kita! Aku muak selama hampir sebulan ini menghadapi orang yang sama.”
“Aih. Dia masih di meja teller. Tenang saja.”
“Deskripsi pakaian?”
“Hum, masih sama seperti seminggu, dua, tiga, dan sebulan yang lalu. Kemaja kotak-kotak lengan pendek, celana panjang katun hitam, dan.... Ada sedikit perbedaan. Aku hampir terkejut dibuatnya.”
“Apa itu? Laporkan sekecil apapun itu. Mungkin saja dapat membatalkan status dia sebagai target.”
“Sandal jepitnya. Jika kemarin-kemarin sandal karet lusuh warna hijau, sekarang warnanya sudah tidak sama lagi antara kanan dan kiri. Tapi kakinya masih sama. Berlumpur!”
“Astaga!”
“Apa itu artinya baik?”
“Tentu saja tidak! Kita semakin menjauh dari tebakan yang tepat. Mendekatipun tidak.”
Ia merasa sangat terganggu dengan keberadaan pria yang disebutnya sebagai target. Awal pertemuannya sekitar satu bulan yang lalu. Target selalu datang di hari dan jam yang sama setiap minggunya. Pada kantong kemejanya ia menyimpan dua buah buku tabungan, dua buah ponsel monokrom, uang dalam jumlah besar, dan selalu mengenakan pakaian yang sama. Hal terakhir yang membuatnya sangat muak akan keberadaan target.
“Siapa sih sebenarnya target kita ini? Kenapa kau sangat terganggu?”
“Ini bukan lagi tebakan. Aku tidak peduli dia kuli angkut di pasar, tukang bangunan, atau pedagang. Kaki berlumpurnya bisa saja diantara ketiga itu atau bahkan bukan sama sekali.”
“Jadi, apa kemungkinan yang paling mendekati?”
“Bisa kau periksa lebih teliti pakainnya?”
“Yah, sudah kusebutkan tadi. Masih dengan pakaian yang sama. Oh astaga!”
“Kau terpekik. Menemukan sesuatu?”
“Bangsat sialan ini! Membuatku muak!”
“Ah, sudah kau dapati rupanya. Jadi pantas kita jadikan dia target?”
“Yah. Dia sudah selesai. Mulai berjalan menuju pintu keluar.”
Ia mengambil tas hitam besar di kakinya. Dengan segera berdiri dan berjalan mengikuti target di belakang. Ia memperlambat langkah untuk mengurangi kecurigaan target. Dikenakannya masker pada wajah dan menarik tudung hoodie lebih dalam. Setelah lima ratus meter dari halaman bank, target berbelok menuju jalan setapak yang sepi.
“Sekarang waktunya!”
Ia menghentikan langkah dan merogoh sesuatu dari dalam tas hitamnya. Ia genggam erat tanpa mengeluarkannya dari tas. Ragu sejenak. Namun ia teringat akan sesuatu yang akan terus mengganggunya jika ia tak melakukannya saat itu juga. Dengan keberanian yang tak terduga, ia berlari menuju target dan menghadangnya seketika.
“Berhenti!” Dengan napas terengah.
Target terkejut, menghentikan langkah, dan berbalik.
Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas hitamnya yang berat. “Ambil ini! Dan buang celana robekmu itu! Tak ada gunanya menimbun kekayaan segunung, jika dirimu sendiri tak kau hargai. Kau tahu? Pakaianmu itu membuatku muak!”
Ia segera beranjak setelah target menerima bungkusan hitam itu.
“Kau, sungguh berani!”
“Aku tidak suka melihat sesuatu yang tidak seharunya diperlihatkan.”
“Jadi, tebakanmu, siapa dia?”
“Pengemis! Kerjannya hanya duduk berjam-jam sambil menjulurkan tangan. Tidak aneh jika ia datang di waktu yang sama setiap minggunya. Dan uang yang disetor tidak sedikit. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Yah, celana robeknya. Kau tahu? Ini membuatku muak. Aku terlanjur melihat pantatnya, sialan!”
“Bodoh, alihkan pandanganmu!”
“Tapi kau memintaku untuk melihat dengan seksama pakaiannya!”
“Dia hanya butuh celana, itu saja!”
Ia berjalan dengan ringan. Suara-suara yang berisik di telinganya ia tepis menjauh. Tidak perlu lagi ada celana robek. Tidak perlu lagi ada suara robek.
End
Gambar oleh : Joanna Karpowicz


Biodata penulis :

TelagaKautsar adalah nama pena dari Tias Yuliana. Ibu dari seorang putra yang mencoba kembali bergelut dalam dunia sastra. Meski memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang lingkungan dan pertanian, namun membaca buku dan menulis fiksi adalah kecintaannya sejak masih belia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.