Seoul, 21 Juni 2018
Kuhela napas dalam. Oppa Jin Hyuk, sahabat karib eonnie segera memperhatikan sambil terus menyantap makan siang buatanku dalam kotak bento yang dipesan khusus dari Kyoto, Jepang.
“Ada apa, Hyeon?” tanyanya dengan suara berat yang merupakan ciri khasnya.
Aku hanya meletakkan kepala ke atas meja dengan wajah cemberut. Tidak terlalu menjawab pertanyaan. Tanganku mempermainkan ujung kain berwarna merah muda yang membungkus kotak bento yang kubawa khusus untuknya.
“Oppa, apakah aku wanita yang begitu menyedihkan hingga tidak bisa melakukan segalanya dengan baik?” rutukku sekaligus bertanya.
Sambil mengangkat kepala dan memandang lurus ke dalam matanya. Oppa Jin berhenti sebentar membalas pandanganku, lalu makan lagi. Kimchi beserta bulgogi ditelan dengan satu suapan besar. Tampaknya ia benar-benar kelaparan.
“Mengapa kau bertanya seperti itu? Apakah kau dan Tae bertengkar lagi?” ia balik bertanya. Ada khawatir di dalam nada suaranya.
Aku mendengus mendengar nama laki-laki yang menjadi kekasih itu disebut. Memang dunia hanya berkisar tentang dia? Ketampanan yang dibarengi dengan sikap posesif yang berlebihan membuatku begitu suntuk bila mengingatnya.
Jika Tae seperti air terjun yang bisa menghancurkan apa saja yang dilewatinya, maka Oppa Jin bagaikan sungai besar yang mengalir tenang hingga bisa menenggelamkanku ke dalam kedamaian.
Entahlah. Semakin lama keberadaan Tae menjadi tawar. Dari awal aku memang tidak begitu menginginkannya. Lelaki itu yang terlebih dahulu mendekati dan memerangkapku dalam kisah cinta yang tak bertepi ini. Melelahkan.
“Tidak,” jawabku pendek.
Oppa Jin terus makan dengan lahap sambil mengawasiku dengan mata biru dalam kontak lensa yang dipakainya. Cowok itu tampak keren sekali walau hanya memakai t-shirt oblong berwarna putih. Kekurangan wajahnya ditutupi oleh gesture tubuh yang jangkung dan tegap.
Bila Tae memiliki ketampanan dan keimutan yang luar biasa, maka Oppa Jin tampak tampan secara keseluruhan. Manly. Ia seakan menungguku meneruskan kalimat. Dengan mengerucutkan bibir kutumpahkan segalanya.
“Dibandingkan dengan kakak perempuan dan saudara laki-lakiku, hanya aku yang tidak memiliki karier yang cemerlang. Eonnie punya posisi hebat di perusahaannya. Dia juga punya kepribadian yang kuat dan berani. Sedangkan namdongsaeng punya posisi penting di pemerintahan. Bagaimana mungkin aku bisa disandingkan dengan mereka?”
Wajahku pasti telah berubah jelek, kurasa, karena Oppa Jin memandangku dalam dan menghentikan makan siangnya. Tangannya menggantung dengan sendok digenggaman.
“Aku merasa buruk,” timpalku sambil membaringkan kepala di atas meja lagi.
Ia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dengan satu tegukan besar ia menelan sisa kunyahannya.
“Ya, Hyeon!’ serunya, “satu hal yang harus kau lakukan adalah mensyukuri dirimu sendiri.”
Lalu Oppa Jin mulai mengacak-acak rambutku. Kuangkat kepala dan membiarkan rambut tergerai kusut jatuh di wajahku bersama tangannya yang hangat.
Satu hal yang sangat kusukai bila bertemu dengannya. Hanya dia yang boleh melakukan itu. Rasanya seperti memiliki kakak laki-laki kandung yang sesungguhnya. Wajahku mencebik mendung, mencoba bergelung manja dalam limpahan perhatiannya.
Oppa Jin tersenyum dan berkata dengan lembut, “Kau adalah dirimu, Hyeon. Engkau diberkati dengan banyak kelebihan. Hanya saja, belum menyadari berkahmu. Kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka.”
“Seperti apa, Oppa?” tanyaku tak yakin. “Tae selalu mengatakan hal-hal seperti itu. Tapi, berkah apakah tepatnya yang kau sebutkan tadi? Mengapa hingga kini aku tidak menyadarinya?” sambungku jengkel.
Oppa Jin memandang lekat diriku. Lama ia terdiam. Jari-jemarinya mempermainkan kain pembungkus bento dengan pelan. Manik matanya seolah sedang berpikir, menelaah diriku dalam diam. Lalu ia berdehem sebelum berkata :
“Kau tahu, Hyeon? Sebelum mencapai fase ini, aku telah melalui jalan yang sangat panjang untuk menemukan impianku. Itu bukanlah suatu proses yang indah. Bahkan aku tak tahu mengapa bertahan untuk itu. Bila mendengar semua komentar negatif yang mengatakan bahwa diriku benar-benar tak layak untuk menjadi bagian dari grup ini, hancurlah aku,” ucapnya sambil berendevous mengenang masa-masa tak menyenangkan dalam perjalanan kariernya, kurasa.
“Tapi, lihat. Di sinilah aku sekarang.” Ia tersenyum.
“Berdiri bagai batu karang. Membuktikan bahwa aku memiliki hal istimewa dalam diriku.”
Ia mengedipkan sebelah matanya, begitu keren, lalu berujar sambil lalu, “Sekarang, sekelompok orang bodoh itu tidak bisa merendahkanku lagi.”
Oppa Jin menarik nafas dalam dengan suaranya yang sangat lembut, ia meraih tanganku dan me-recharge energiku dengan kebahagiaannya.
“Maksudku, Hyeon, cintai dirimu. Penuhi dirimu dengan pikiran positif. Mind becomes words, words become actions, actions become behavior , behavior become character and character become path. Hanya engkaulah yang bisa menyelamatkan dirimu,” ucapnya tulus.
Aku terpesona. Dengan semua kata-kata bijaknya dan pipiku bersemu merah saat mendengar pujian kembali menyapa telingaku :
“Kau seorang wanita yang cantik, cerdas dan penyayang. Semua orang yang mengenalmu akan segera jatuh cinta pada detik pertama melihatmu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kau adalah dirimu, Hyeon.”
I’m speechless.
Oppa. Dia benar-benar dewasa. Memang benar, dalam menapaki karirnya ia telah melalui banyak hal yang tidak menyenangkan. Wajahnya biasa saja. Tidak begitu tampan, satu hal yang wajib dimiliki bila ingin menapaki dunia entertainment di sini. Dibandingkan dengan anggota grupnya yang lain, Oppa Jin memang yang terjelek. Haha.
Tapi, eonnie-ku tidak akan mau bersahabat dengan orang yang biasa-biasa saja. Wanita cerewet itu begitu pemilih dalam berteman. Hanya orang-orang pintar dan memiliki kelebihan saja yang bisa menjadi teman kakak perempuanku.
Eonnie seorang bintang seumur hidupnya. Dan hanya sesama bintanglah yang layak berjalan bersamanya. Apalagi hingga bertahun-tahun lamanya.
Oppa Jin sangat cerdas. Ia menguasai lima bahasa. Dia bahkan menduduki peringkat pertama di seluruh Seoul ketika ujian nasional mengalahkan kakakku. Hingga eonnie merasa oppa layak menjadi sahabatnya.
Pembawaannya yang tenang dan kalem cukup mengimbangi sifat eonnie yang cerewetnya minta ampun. Terkadang sebagai adik yang selalu hidup dalam bayang-bayangnya, hal ini terasa sangat berat. Seperti saat ini. Dan Oppa Jin bisa menangkap derita hati yang kumaksud.
Kata-kata semangatnya selalu menyejukkan hatiku. He is really my oppa.
“Oppa, makasih. Kuharap kita bisa seperti ini selamanya. Berbagi semua masalah yang menimpa. Kau seperti kakak laki-laki yang sangat kusayangi,” ucapku manja.
Mungkin sebagai anak yang biasa-biasa saja aku terlalu bergantung padanya. Yah, ketimbang pada kakak perempuan perfeksionis yang selalu mengatur-atur hidupku.
Oppa Jin tampak terkejut. Memandangku lama. Kemudian matanya berkedip beberapa kali, lalu terbatuk dan tersenyum. Canggung.
“Kau sudah tidak apa-apa kalau sudah bisa menggombal begitu,” ujarnya kalem dan mengakhiri makan siangnya dengan cepat.
Oppa Yoongi dan Seo memanggilnya dari ujung koridor. Mereka akan segera mulai syuting video klip lagunya. Aku memandang bento dan kemudian berseru,
“Tapi, Oppa, kau belum menghabiskan semuanya!” protesku. Ia mengacak rambutku beberapa kali, lalu berdiri dan tersenyum.
“I’m full when I see your smile,” ucapnya sambil berlalu.
“Makasih, Oppa. Aku akan datang lagi dan membawakanmu makanan yang enak,” teriakku bersemangat. Ia membalas dengan senyuman, melambaikan tangan sambil membalikkan tubuh jangkungnya. Berjalan menjauh.
Aku pulang dengan perasaan yang melambung bahagia.
***
April 2019,
“Kau yakin dengan keputusan yang kau ambil?” tanya eonnie tanpa mengalihkan matanya dari jalan. Jemarinya yang lentik memegang setir dengan kaku. Kulayangkan pandangan ke luar jendela tanpa menjawab pertanyaannya.
Appa dan eomma terbiasa menyerahkan tanggungjawab mereka membesarkan anak dan lebih memilih sibuk mengurusi perusahaan. Eonnie-lah selama ini yang mengurus adik-adik hingga terbawa sampai sekarang.
Namun aku sudah jenuh dengan kebiasaannya mengatur hidupku. Akhirnya, aku bisa mengambil keputusanku sendiri.
“Aku tak yakin, perasaanmu cukup untuk membawamu ke jenjang yang lebih jauh. Pernikahan bukanlah hal yang mudah dan sepele. Kau akan menyakiti banyak pihak bila salah mengambil keputusan,” kritiknya pedas.
Aku bergeming. Tak mengindahkan apapun dan tetap teguh pada pendirianku. Eonnie mengangkat bahu dan menyerah melihat sikap keras kepalaku.
Kami sampai di studio label rekaman major tempat perusahaan eonnie bernaung. Eonnie melangkah angkuh, dan aku mengekor di belakangnya, seperti biasa.
Keistimewaan sebagai adik wakil CEO membuatku bebas keluar masuk ke area mana saja di dalam gedung besar ini. Semua karyawan yang kami lewati berhenti dan menundukkan kepala sedikit memberikan hormat kepada kakak. Dan akulah yang sibuk membalas salam hormat mereka.
Kami berpisah di lantai dua. Karena aku ingin bertemu dengan oppa di studio. Eonnie melambai sebelum pintu lift menutup.
Sambil berjalan dengan perasaan senang membayangkan bertemu dengan Oppa Jin dan teman-temannya kembali, aku menggumamkan lagu yang dipopulerkan oleh mereka. Dengan bahagia aku membawa sekotak bento buatanku sendiri untuk kuhadiahkan kepada Oppa Jin.
Seorang kru menunjukkan keberadaannya di ruang studio. Lalu aku melangkah dengan bersemangat membayangkan senyum dan wajah ramahnya yang menenangkan. Setelah tiba di depan pintu studio, tanpa mengetuk aku meraih handle pintu dan membuka pintu dengan perlahan.
Tetapi langkahku terhenti seketika, ketika kudengar suara Oppa Yoongi meninggi dan menyebut namaku.
“Sampai kapan kau berjuang menyembunyikan perasaanmu, bodoh?! Bila memang kau tidak akan mengatakannya pada Hyeon, baiknya kau kubur dalam-dalam rasamu itu dan menjauhinya! Hyeon terlalu naif untuk memahami perasaanmu!”
Tanganku seketika membeku di udara.
Hening sejenak, lalu terdengar suara bariton yang sangat kukenal. Oppa.
“Hyung, dia adik Hyun Ye. Dan … kekasih Tae,“ ucapnya pelan.
Sesuatu yang dingin merambati tubuhku. Tiba-tiba saja keringat sebesar jagung membulir dari pelipis menetes hingga jatuh ke leher. Padahal cuaca biasa saja tetapi cukup membuat tubuhku perlahan gemetar seperti kedinginan dengan mata membelalak dan mulut terbuka mendengar berita yang kudengar barusan.
“Kalian dan cinta segitigamu yang menyedihkan!” umpat Oppa Yoongi sebelum mendorong daun pintu.
Tubuhku ikut terdorong dengan kuat dan hampir membentur dinding koridor, menyebabkan kotak bento yang kubawa terlepas dan isinya tumpah kemana-mana. Seketika lauk-pauk yang telah kususun dengan cantik di dalamnya terserak, seolah-olah ikut menggambarkan perasaan yang sedang kualami sekarang.
Oppa Yoongi tertegun mendapati diriku berdiri dengan wajah pucat di balik pintu. Ia hanya berdiri diam memandangku. Setelah berhasil menguasai diri, laki-laki itu berlalu dalam kemarahan dengan tersenyum sinis tanpa ada niat membantu membereskan bento-ku yang tumpah tadi.
Tak lama, sepeninggal Oppa Yoongi, pintu yang setengah membuka itu terkuak lebar dan sosok jangkung Oppa Jin keluar dengan tergesa. Bunyi kotak bento yang jatuh bergema tadi memancing keingintahuannya.
Tubuhnya seketika mematung melihat diriku berdiri dengan mata terbeliak terkejut. Wajahnya pastilah sama piasnya denganku. Seolah-olah darahnya tersirap meninggalkan rupa. Lama kami saling pandang menguarkan aroma canggung yang janggal.
‘Semua orang yang mengenalmu akan segera jatuh cinta pada detik pertama melihat dirimu.’
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga. Menyergap kesadaranku yang begitu buta selama ini. Betapa naifnya aku, mengartikan semua perilakunya sebagai sesuatu yang wajar. Kasih sayang seorang kakak yang melindungi adiknya.
Pasti begitu sakit menahan perasaan seperti itu selama ini.
Oppa Jin telah menguasai dirinya. Ia segera melangkah dan berjongkok di depanku memunguti makanan yang terserak dan memasukkannya kembali ke dalam kotak bento. Aku berusaha memasukkan udara ke dalam dadaku yang mendadak terasa sempit. Lalu ikut berjongkok di depannya.
“ … Oppa … aku … membawa bento untukmu ….” Ucapku terbata-bata.
Dengan canggung aku mulai memunguti makanan dan mengikuti langkahnya. Oppa Jin hanya diam. Terlihat fokus mengerjakannya. Wajahnya mengeras dan tak ada lengkung ramah yang biasa ia hadiahkan untukku. Mataku meredup diiringi senyum yang menghilang dari bibirku.
Kami diselimuti keheningan yang aneh. Terasa janggal dan menyesakkan.
Apakah hanya aku yang merasakan demikian?
Tiba-tiba tangan kami bersentuhan saat ingin meraup kimchi yang sama. Seketika wajahku terangkat dan mendapati binar coklat matanya telah lekat menatap diriku.
Sungguh aneh.
Mata yang sama dengan rasa yang berbeda. Telah ribuan kali kupandangi mata itu dalam tahun-tahun kedekatan kami. Tetapi hari ini, aku bisa melihat hal yang sangat berbeda di dalamnya.
Ternyata aku salah. Bukan hanya aku yang merasa buruk. Dibalik wajahnya yang tenang dan datar sekarang, ada degup jantung berirama cepat yang bisa kudengar saat jarak kami begitu dekat.
Ia meraih tanganku, menggenggamnya.
Aku jadi lupa caranya bernafas.
Tangan Oppa Jin serupa dinginnya es.
Menunduk lalu manik mata itu meredup. Dengan perlahan ia melepas genggaman dan mengangkat wajahnya. Semua kutangkap dengan netraku seperti gerakkan lambat dalam setiap film romantic menyedihkan yang sering kutonton.
Lamat-lamat bisa kuingat kembali, sajak puisi yang pernah kubaca dari seorang pujangga pada sebuah buku usang yang kutemukan di dalam tasnya tanpa sengaja :
[Bisa kulihat rinai hujan dalam kegelapan matamu.
Nestapa lama yang tak kunjung usai
Menusuk sangkala dalam pendulum semu
Terserak di dalam gelungan masai
Laju sesal bergema,
Mengapa baru terungkap gundah jiwa?]
Bulir kesedihan menggenangi kedua mataku, mengalir membentuk alur di kedua pipi. Sesak di dada ini menginginkan pelepasan hingga aku terisak pelan lalu melisankan dirinya.
“Oppa …,” panggilku lirih.
Matanya menyimpan nestapa saat melihat cincin pertunangan pemberian Tae melingkar angkuh di jari manisku.
Seketika aku menyesali semua keputusanku.
TAMAT
LLG, 25 April 2019
Note :
Oppa : panggilan untuk kakak laki-laki, biasanya ditujukan dari perempuan yang umurnya lebih muda kepada laki-laki yang usianya lebih tua darinya.
Eonnie : pangggilan untuk kakak perempuan, biasanya ditujukan dari perempuan yang umurnya lebih muda kepada perempuan yang usianya lebih tua darinya.
Appa : ayah
Eomma : Ibu
Namdongsaeng : adik laki-laki
Hyung : panggilan untuk kakak laki-laki, biasanya ditujukan dari laki-laki yang umurnya lebih muda kepada laki-laki yang usianya lebih tua darinya.
Bento : bekal makan siang yang biasanya diatur sedemikian rupa di dalam wadah makan yang terbuat dari kayu atau plastik. Bermula dari kebiasaan warga Negara Jepang.
Biodata penulis :
Neesha Maretta seorang ibu yang ingin memberikan karya terbaik untuk anak-anaknya sebagai warisannya kelak.
Foto Source : Pinterest
Design with : Sampul Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.