Jumat, 12 April 2019

#Kamis_Cerpen - Kartu Kehidupan - Neesha Maretta - Sastra Indonesia Org





Soleh meringis kesakitan. Sambil menahan perih yang timbul di sudut bibir, ia melangkah tertatih. Anak lelaki berusia enam tahun itu memegangi perut dan bibirnya sembari berjalan pulang.

Ia tiba di depan rumah yang hanya beratapkan rumbia dan berlantai tanah. Kendati begitu, rumah itu begitu bersih dan asri. Di kanan kiri halamannya yang kecil, berjajar pagar hidup daun kembang sepatu mengapit pintu pagar yang mengarah ke rumah. Soleh membuka pintu pagar bambu dan mulai menangis dengan masgyul.

“Soleh, kenapa kamu? Mana Si Mbok?” tanya kakak perempuannya, Santi, yang muncul dari dalam rumah. Terkejut. Ia memegangi Soleh dan membimbingnya duduk di bale-bale bambu teras.
Soleh menangis tersedu. Beberapa saat kemudian, di antara isak tangis, ia menceritakan peristiwa yang barusan menimpanya. Saat Soleh dan Si Mbok berangkat ke bank untuk membuat kartu kompensasi biar bisa belanja di warung.
***


Begitu tiba di bank, antrian sudah mengular, persis sama ketika mereka berobat memakai kartu miskin. Padahal mereka berangkatnya pagi sekali guna menghindari antrian. Awalnya antrian berjalan dengan tertib dan lancar. Warga yang dikategorikan miskin itu mengantri dengan patuh sembari memeluk erat persyaratan untuk membuka rekening.

Tetapi, menjelang siang hari, dikarenakan panas yang luar biasa menyengat ditambah membludaknya peserta antrian sekecamatan, membuat panitia kewalahan dan menyebabkan kericuhan pecah di sana.
Walaupun sudah disediakan tenda dan kursi, tetap saja tidak bisa mengakomodir warga miskin yang sudah kelaparan dan kepanasan sedari pagi. Emosi membuncah dikala perut sudah minta diisi. Ditambah dengan ingatan tentang anak dan istri yang sedang menunggu penuh harap di rumah.
Akhirnya mereka saling sikut, dorong-dorongan hingga ada beberapa peserta antrian terjatuh dan terinjak-injak. Termasuklah Soleh diantaranya. Mujur, Soleh cepat-cepat diselamatkan oleh petugas keamanan hingga tidak mengalami cedera berat.
Melihat Soleh terluka, Si Mbok tergugu dan menyuruhnya pulang. Hati wanita yang lembut ini terenyuh dan sedih melihat anak laki-lakinya ikut susah mengurusi kartu ‘kehidupan’ itu. Bibirnya yang pucat bergetar melihat anaknya menjauh pulang dengan bibir dan perut memar karena terinjak. Dengan pedih, ia memegangi dadanya, menahan segala rasa yang berkecamuk.
Si Mbok ingin pulang merawat Soleh. Tapi, pikirannya melayang ke kartu kehidupan yang akan sedikit menopang kebutuhan mereka beberapa bulan ke depan. Lumayanlah. Mereka bisa dapat beras beberapa kilo dan sekarpet telur dengan menukarkan kartu itu di warung yang sudah ditunjuk. Hal ini merupakan kemewahan bagi mereka yang sehari-hari belum tentu mencicipi nasi dan telur.
Air mata Si Mbok mengalir perlahan di pipinya yang keriput. Bola matanya yang mulai kabur berkabut memandangi bayangan Soleh yang menghilang di belokan jalan.
Jika ia ikut pulang, siapa yang akan mengurusi masalah administrasi ini?
***
“Duh, Gusti, mengapa kartu itu ndak ditukar saja dengan turunnya harga pangan dan kebutuhan pokok? Turunnya harga BBM, biar semuanya jadi murah. Jadi Si Mbok ndak perlu risau setiap hari, memutar akal biar kami bisa makan. Biar Si Mbok ndak perlu susah-susah antri buat bikin kartu macem-macem. Biar kita ndak melulu dikatai miskin,” keluh Santi sedih.
Air mata meleleh deras di pipinya yang cekung, kedua kakak beradik ini menangis berpelukan. Menangisi nasib mereka.
Santi yang berusia dua belas tahun dipaksa untuk dewasa oleh keadaan. Terbayang olehnya, bagaimana pusingnya Si Mbok memikirkan pendidikannya usai lulus SD nanti.
***


Si Mbok pulang menjelang sore. Tubuhnya yang kurus dan ringkih hampir ambruk ketika memasuki rumah. Untung saja Santi cepat memeganginya. Wajah Si Mbok pucat. Bibirnya memutih tanda ia benar-benar kelaparan dan kehausan.

Soleh duduk tepekur di sudut ruangan. Tangannya yang mungil memain-mainkan benang yang menonjol keluar dari robekan celananya. Dengan sigap, Santi mengambilkan minum untuk ibunya dan menyiapkan makan berupa nasi aking dan sayur kangkung tumis, yang diambil dari kebun belakang.
Si Mbok makan dengan perlahan dengan tangan gemetar. Setelah habis makanannya, Si Mbok baru terlihat tenang dan bercahaya. Ia mengelus puncak kepala Santi dan tersenyum.
“Alhamdulillah, Nak, semuanya sudah selesai. Insya Allah, kalau Gusti Allah mengijinkan, bulan depan kita bisa makan nasi baru dan telur,” ucap Si Mbok lemah.
Santi menangis diam. Tiba-tiba, Soleh menghambur dan memeluk ibunya. Dalam dekapan Si Mbok, ia berkata kuat-kuat,
“Mbok, maafkan Soleh, mbok. Soleh janji akan sekolah sebaik-baiknya. Soleh akan belajar dengan rajin. Biar bisa jadi orang besar. Biar nanti Si Mbok ndak perlu antri-antri lagi buat kartu kehidupan itu.” Soleh menengadah dan menatap Ibunya.
“Soleh ingin menjadi seperti sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab, jadi pemimpin yang akan memanggul berasnya sendiri, buat dibagikan kepada rakyatnya. Dari rumah ke rumah. Jadi, tidak perlu susah-susah ngantri dan gontok-gontokkan lagi,” jeritnya pilu.
Si Mbok hanya bisa terdiam. Menangis.
Menyaksikan, betapa kehidupan telah memaksa mereka untuk dewasa sebelum waktunya.
TAMAT
Lubuklinggau, 05 Desember 2018
(Rasulullah Salallahu alaihi wa salam)



Biodata penulis :


Seorang Ibu yang ingin memberikan karya terbaik sebagai warisan untuk anak-anaknya kelak. 
Berdomisili di Kota Lubuklinggau, sebuah kota kecil nan cantik ke arah Selatan Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.
Bagi yang ingin berbagi pengalaman literasi, sila menghubungi di akun Facebooknya : Neesha Maretta
Mari menyebar manfaat kebaikan melalui literasi Indonesia. Salam kenal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.