Jumat, 19 April 2019

#Kamis_Cerpen - Dilema Seorang Ibu - Yesi Aqilah - Sastra Indonesia Org





Namanya Suminah, biasa disapa Mak Minah. Wanita paruh baya, memiliki dua orang anak lelaki dan perempuan. Sementara suaminya sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu. Wahyuni, anak pertama berusia tiga puluh lima tahun, sedangkan Surya anak kedua berusia tiga puluh tahun. Wahyuni memiliki satu anak perempuan yang berusia tujuh tahun, sedangkan Surya memiliki dua orang anak, masing-masing lima dan tiga tahun.
Setahun terakhir, Mak Minah tinggal di rumah anak pertamanya, sejak suaminya meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan sepeda motor. Wahyuni harus bekerja mencari nafkah sepeninggal suaminya, untuk mencukupi kebutuhan ia dan anaknya. Sedangkan Mak Minah menemani Sherly cucunya, saat Wahyuni bekerja. Semua pekerjaan rumah sudah ia bereskan sebelum berangkat, jadi, Mak Minah hanya menemani Sherly di rumah setelah pulang dari sekolah. Namun, sejak Mak Minah diminta tolong Surya untuk menjaga anak-anaknya, kini Si emak pun berpindah rumah.
Mobil yang dikendarai Surya berhenti halaman depan rumah Wahyuni. Lelaki bertubuh tegap, rambut hitam lebat, berkumis tipis itu segera turun dan mengetuk pintu rumah mbaknya. Tiga kali ketukan diiringi ucapan salam, pintu rumah terbuka, keluarlah sosok wanita bersuara lembut, dengan senyum yang mengembang. Surya langsung mencium punggung tangan Mak Minah, lalu masuk dan mengempaskan pantat di sofa.
“Mbak Yuni, kerja, Mak?” tanya Surya sambil melihat-lihat sekeliling isi rumah.
“Nggak, Sur, tadi mbakmu ke pasar, palingan sebentar lagi pulang. Kamu mau minum apa?” balas Mak Minah pada anak lelakinya.
“Apa aja, Mak,” jawab Surya. Dia membaringkan punggung ke bagian belakang sofa berwarna cokelat tua. Surya merasa lelah mengendarai mobil kurang lebih tiga jam perjalanan untuk sampai ke rumah kakaknya.
“Ini, Sur, minum dulu. Nah itu mbakmu sama Sherly sudah pulang,” ucap Mak Minah sambil menunjuk ke arah Yuni dan Sherly yang baru saja hendak masuk ke dalam rumah.
Setelah ngobrol panjang lebar, akhirnya Mak Minah dan Surya berangkat menuju rumah Surya. Setelah berpamitan mereka segera meninggalkan rumah Wahyuni anak pertamanya. Mak Minah tak bisa menolak, kasihan juga dengan cucu-cucunya tak ada yang menjaga. Sedangkan Sherly sudah cukup besar, bisa dititipkan sama tetangga sampai Wahyuni pulang dari bekerja.
Jam tujuh malam mobil yang dikendarai Surya berhenti di sebuah rumah cukup mewah bercat putih bagian dinding, serta hitam di bagian kusen dan pintu. Rumah milik anak lelakinya. Bangunan dua lantai serta halaman cukup luas. Sampai di dalam Mak Minah dan Surya disambut hangat oleh Annita istri Surya. Sementara kedua cucunya segera menghampiri sang nenek. Mereka langsung menghambur ke pelukan Mak Minah. Diciuminya kedua cucunya, melepas rasa rindu.
“Ayo, Mak, Nita bantu ke kamar. Mak pasti lelah lama di perjalanan.” Annita mengajak dan menemani ibu mertuanya menuju kamar yang sudah ia sediakan.
“Iya, Ta, ayo.” Mak Minah melepas pelukan kedua cucunya, berdiri sembari menenteng tas berisi pakaiannya.
“Mak, Nita minta tolong untuk sebulan ini jaga-in Reva dan Nanda, selama Bik Mira pulang kampung, nggak apa-apa, kan, Mak?” ucap Annita dengan nada lembut.
“Iya, Ta, nggak apa-apa, kok. Mak mau jagain cucu-cucu emak,” ucap Mak Minah pada menantunya.
Annita wanita berparas ayu dengan bentuk tubuh ideal, rambut hitam lebat sebahu, membuat dia terlihat sempurna. Terlebih, ia anak dari keluarga berada, memiliki pendidikan tinggi serta pekerjaan bagus. Namun, kesempurnaannya yang ia miliki tidak diimbangi dengan perilaku baik.
.
Pagi ini ....
Surya dan Annita sudah bersiap pergi ke kantor. Anak pertama mereka pun akan pergi ke sekolah. Sementara Bik Mira, hari ini akan berangkat pulang ke kampung halamannya, karena urusan keluarga. Setelah selesai sarapan, mereka semua pergi. Tinggallah Mak Minah dan anak kedua Surya.
Selain menjaga cucu, Ternyata di rumah ini Mak Minah juga membereskan rumah, memasak, mencuci dan lain sebagainya, ia kerjakan semua. Sebelum berangkat bekerja, Annita sudah memberitahukan semua apa yang harus mertuanya kerjakan. Mak Minah menuruti semua perintah menantunya itu dengan penuh keikhlasan.
Hari pertama, dilalui Mak Minah biasa saja, tidak begitu merasakan lelah. Meskipun dia harus menjaga kedua cucunya dan juga disibukkan oleh pekerjaan rumah. Sampailah waktunya Mak Minah jatuh sakit, kurang lebih seminggu Mak Minah di rumah Surya. Mungkin ia terlalu kecapaian sebab dari pagi hingga hampir tengah malam baru bisa beristirahat. Mak Minah diperlakukan tak ubahnya seperti pembantu rumah tangga di rumah anaknya sendiri.
.
Jam sebelas malam lebih tiga puluh menit, Mak Minah baru saja hendak berbaring di ranjang kamarnya—yang kebetulan bekas kamar pembantu sebelumnya. Ruangan berukuran 3×3 persegi yang tak jauh dari dapur rumah mewah anaknya. Tak banyak perabot yang ada, hanya tempat tidur dan sebuah lemari pakaian. Badan Mak Minah terasa panas, serta keringat dingin dilapnya dengan punggung tangan. Terdengar teriakkan dari arah luar kamar.
“Mak, Mak! Bangun dong, buatkan susu untuk Reva dan Nanda!” teriak Annita dari luar kamar disertai ketukan pintu berulang-ulang.
“Iya, Ta, sebentar, Nak,” ucap Mak Minah tergopoh.
“Cepatan, Mak! Anak-anak sudah nggak sabaran,” ucapnya dengan nada perintah.
“Iya, iya, Ta, sabar. Ini juga sebentar lagi jadi,” ucap Mak Minah sambil mengaduk dua gelas susu, lalu menyerahkan pada menantunya yang terpelajar itu.
“Ya, udah. Makasih, Mak.” Annita membawa dua gelas susu berlalu meninggalkan Mak Minah menuju kamar. Sementara Mak Minah yang sudah sangat mengantuk serta badannya mulai mengigil. Ia masuk ke kamar dan beristirahat. Sebab esok harus kembali bangun pagi, menyiapkan sarapan dan keperluan anak serta cucunya.
.
Jam lima lewat tiga puluh menit, Annita keluar kamar, dilihatnya mertuanya belum ada di dapur. “Udah jam segini belum juga bangun!” gerutu Annita.
Annita mengetuk pintu kamar mertuanya berulang-ulang. “Mak! Mak! Bangun!” Suara teriakan Annita membangunkan Mak Minah yang tengah tertidur pulas, setelah melaksanakan sholat fardu subuh, ia kembali berbaring dan tertidur. Karena badannya Yang semakin panas dan mengigil.
“Iya, Ta,” sahut Mak Minah dari dalam kamar dengan suara sangat pelan, hampir tak terdengar oleh Annita. Segera dibukanya pintu kamar, saat melihat mertuanya masih saja berbaring, matanya seketika membelalak.
“Ya ampun, Mak! Udah jam segini masih saja tidur! Annita sama Mas Surya mau berangkat ke kantor, Reva juga mau ke sekolah, mana sarapan belum ada lagi!” teriak Annita sembari menarik tangan mertuanya. Surya yang mendengar suara ribut-ribut segera datang ke sumber suara.
“Ada apa, Ma, pagi-pagi udah teriak?” tanya Surya pada istrinya.
“Ini loh, Mas, emak, udah jam segini belum juga bangun! Mana sarapan belum ada lagi.” Annita mengadu pada suaminya.
“Mak, lagi nggak enak badan, Sur,” ucap Mak Minah pelan. Badannya bergetar.
“Emak sakit, apa?” tanya Surya pada ibunya.
“Hala ... itu alasan Mak, aja, Mas. Dasar pemalas!”
“ Benaran, Ta,” balas Mak Minah, memandang ke arah Surya, dengan wajah penuh iba.
Surya meletakkan telapak tangannya ke kening ibunya, dan ia merasakan panas tinggi pada badan ibunya. Segera digendongnya tubuh Mak Minah menuju mobil, tanpa menghiraukan Annita yang setengah keheranan. “Sial! Dasar manja!” teriak Annita kesal.
.
Sesampai di rumah sakit, Mak Minah segera diperiksa oleh dokter. Setelah mendapatkan perawatan dan diberi obat, Mak Minah dipindahkan ke ruang rawat inap. Surya menghubungi istri dan juga Mbak Yuni. Kemudian segera mendatangi dokter untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Mendengar jawaban dokter, hatinya sedikit lega. Setelah dokter memberi tahu jika ibunya tidak kenapa-kenapa. Hanya demam biasa karena terlalu kecapaian, serta sering terlambat makan. Namun, disisi lain dia merasa sangat bersalah. Surya bingung harus berbuat apa. Kalau tak ia turuti kemauan Annita, istrinya akan marah dan mengadu pada orang tuanya.
Surya menghampiri ibunya, digenggamnya tangan kasar sang ibu, sembari meminta maaf. Karena ia tak becus menjadi suami, terlalu lemah di hadapan istri. Kalau saja ia bisa tegas pada Annita, mungkin ibunya tak akan seperti ini.
“Maafkan, Surya ya, Mak," bisik Surya pada ibunya.
“Nggak apa-apa, Sur.” Mak Minah mengelus pucuk rambut anak lelakinya.
Surya berderai air mata,” semua gara-gara Surya, Mak, yang tak bisa mendidik istri,” ucapnya pelan sembari mengelap air matanya. Ia sangat menyesal.
.
Mak Minah malam ini masih mendapatkan perawatan. Sesampai Mbak Yuni dan Annita di rumah sakit. Mak Minah ingin bicara pada kedua anak dan menantunya. Ia memilih pulang ke kampung saja, setelah dinyatakan sehat oleh dokter.
“Kenapa emak sampai sakit begini? Kalian apakan?” tanya Mbak Yuni menatap tajam ke arah Annita.
“Emang menurut Mbak kami apakan, ha!” Annita balas melotot ke arah Mbak Yuni.
“Hala! Bukan aku nggak tau, Ta, emak begini pastilah kelelahan, karena mengurus banyak pekerjaan.”
“Ooh ... maksud Mbak Yuni, aku tindas emak, gitu?” balas Annita tak kalah sengit.
“Iya, sudah pasti itu! Nyatanya emak selama di rumahku nggak pernah tu sakit sampai kayak begini!” balas Mbak Yuni, lagi.
Surya dan Mak Minah yang melihat pertengkaran antara menantu dan anak perempuannya seketika angkat bicara.
“Annita! Mbak Yuni! Sudah! Kasihan emak, dia lagi sakit. Kalian malah bertengkar!” bentak Surya.
Mak Minah menahan tangisnya, melihat tingkah anak-anaknya. “Sudah, untuk apa kalian bertengkar. Toh, emak juga udah sakit, kan?” Mak Minah menarik napas berat sembari mengelap air mata dengan ujung selimut.
Lagi, Mak Minah menengahi mereka, “kalau besok emak sudah sembuh, Mak akan kembali saja ke kampung,” ucapnya pelan. Mendengar kata-kata itu Surya, Annita dan Yuni sontak terkejut.
“Kenapa harus pulang ke kampung, Mak?” tanya Yuni, menghampiri dan duduk di sisi kiri ranjang ibunya, diikuti oleh Annita dan Surya.
“Biar saja, emak pulang, Mak mau mengurus rumah peninggalan bapak kalian. Menghabiskan sisa umur dan menikmati hari tua.”
“Lalu, di sana emak akan tinggal sama siapa, Mak?” Lagi, Yuni bertanya, dia tidak setuju dengan keinginan ibunya.
“Emak bisa jaga diri sendiri, kalau emak rindu pada cucu-cucu, emak akan mengunjungi kalian, sebaliknya jika kalian yang rindu, pulanglah temui emak,” ucap Mak Minah, lagi.
Surya dan Annita hanya diam mendengar ucapan ibunya. Dalam hati Surya, ia berfikir sepertinya memang lebih baik begini, kalau emak kembali ke rumah Mbak Yuni, nanti Annita pasti sewaktu-waktu kembali meminta untuk emak menjaga anak mereka lagi.
“Hala ... Mak, belum juga dua minggu tinggal sama kami, udah mintak pulang aja, giliran di rumah Mbak Yuni aja, bertahun-tahun betah. Dasar pilih kasih!” umpat Annita berlalu meninggalkan kamar rawat inap mertuanya.
“Annita! Nggak sopan kamu, main pergi aja!” teriak Surya, sembari hendak mengejarnya. Namun, dihentikan oleh Mak Minah.
“Sur, biarkan saja Annita keluar, mungkin dia merasa kecewa dengan pilihan emak. Suatu hari nanti dia pasti ngerti, tugas kamu buat dia menjadi tau, didik istri kamu, agar menjadi istri yang shalihah. Emak ini, ibumu, Sur, bukan penjaga anak-anakmu apalagi pembantu rumah tangga kalian,” ucap Mak Minah penuh haru.
“Dengar itu, Sur! Didik istrimu, biar nggak semena-mena sama mertua.” Mbak Yuni merasa geram melihat perbuatan Annita pada Mak Minah.
“Insya Allah, Mak. Maafkan Surya sekali lagi,” ucap Surya sembari mencium kening ibunya.
“Surya, Wahyuni, maafkan emak juga, nggak bisa bantu kalian. Emak akan biarkan kalian mengurus rumah tangga masing-masing. Sesampai di sana nanti mungkin emak akan buka usaha kecil-kecilan buat penghasilan, jadi kalian tak usah risau.”
“Iya, Mak, nggak apa-apa, kami setuju dengan pilihan emak,” ucap Yuni diiringi anggukan oleh Surya.
“Emak tak ada maksud lain, Nak, hanya ingin kalian belajar mandiri dan terhindar dari kezaliman,” ucap Mak Minah berurai air mata.
Berat sebenarnya saat ia harus membuat keputusan, tetap berada dekat dengan anak-cucu atau tinggal sendirian. Demi kebaikan bersama ia harus yakin dengan pilihannya.
Selesai.
Pekanbaru, 16 Februari 2019


Biodata penulis : 

Yesi Aqilah, lahir di Bengkulu, 5Juni 1987. Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak, salah satunya anak berkebutuhan khusus. Penulis bisa di hubungi ke FB Yesi Aqilah dan IG @Yesi Aqilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.