Sabtu, 27 April 2019

#Jumat_Cerbung - Ludruk Tobong - Tias Yuliana - Sastra Indonesia Org



1. GESTAPU (Bagian 1)
November 1965
Udara dingin menyelusup di antara celah-celah anyaman bambu sebagai satu-satunya dinding di rumah itu. Kain jarit tak mampu menghangatkan tubuh kurusnya. Sesekali ia merubah posisi tidur, bergulung agar mendapat sedikit kehangatan. Hujan masih mengguyur. Tak terputus sejak sore menjelang. Bulirannya gemeretak menembus retakan genteng tua. Rembas mengular berjatuhan. Dum. Dum. Terdengar begitu pilu, kala dia berakhir dalam drum plastik penampung air. Matanya masih juga terjaga. Semua usaha sia-sia. Suara katak sahut-menyahut. Kepak sayap serangga malam melayang menggoda sang pujaan. Semua gaung itu sangat mengganggu. Menyamarkan suara gending-gending, datang dan hilang sayup-sayup dari kejauhan.
Ah. Meski hujan tak mampir malam itu, ia tetap harus mendekap kesal seorang diri di dalam biliknya. Janda tua yang disebutnya budhe itu, sudah bertitah tidak akan ada lagi kesenangan di luar sana, seperti dulu-dulu kala ia masih kanak-kanak. Tak kurang tujuh hari tujuh malam. Pada saat musim giling tiba, lapangan pabrik gula akan dipenuhi wajah-wajah sumringah. Semua tumpah ruah, mandor, buruh pabrik, para petani yang tampak gilang-gemilang menggamit tangan anak-anak mereka, para penjaja dari berbagai penjuru daerah, bersatu dalam kemeriahan yang sama. Hiburan tayub dan pasar malam.
Kegelisahan semakin menudungi benaknya. Pikirannya berkecamuk antara sesal dan kecewa. Sudah lama ia memendam amarah. Meski hanya berani berunjuk dalam dada tanpa pernah benar-benar terlaksana. Satu demi satu tilasan kejadian berkelebat dalam kepala. Mereka berkata menaruh harapan masa tua di tangannya. Satu-satunya generasi penerus keluarga. Bapaknya anak kedua dari sembilan bersaudara. Semua mati dengan berbagai sebab. Hanya tersisa dua orang perempuan yang berulang kali menjanda. Tanpa seorang anakpun pernah dilahirkannya. Ia memanggilnya Budhe Misni dan Bibi Supiani. Dua sosok perempuan pengganti ibu yang bergantian mengasuh Roekiah dari masih berwujud bayi merah hingga kini menjadi bunga merekah.
Misni dengan segala kekerasan wataknya, tiada pernah berhenti mendikte segala apa yang harus diperbuat atau apa yang harus dihindarkan oleh Roekiah. Semua ada dalam kendalinya. Setiap tarikan napas dan setiap tetes darahnya, terkuasa dalam titahnya. Rasa cinta yang mendalam, takut akan kehilangan, menciptakan kepemilikan yang berlebihan atas keberadaan Roekiah dalam kehidupan kedua janda itu. Berbalik dengan Supiani. Penampakan wajah bulat sedikit tembam, memberikan kesan hangat dan penyayang. Namun malang tak dapat disayang, ia selalu dikalahkan oleh keadaan. Terlalu lemah untuk membuat keputusan. Tak pernah berdaya menunjukkan ketegasan. Meski Supiani senantiasa menopang Roekiah dari belakang, namun tak mampu menjadi panutan untuk menjadi sosok yang tegar.
Tinggal di kawasan pabrik gula memberi Roekiah sedikit keberuntungan. Ia berkesempatan memperoleh pengajaran dari sekolah umum yang dibangun oleh pabrik. Setamat dari sana, Misni tak sedia jika Roekiah melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sia-sia katanya untuk seorang anak perempuan.
Seluruh waktunya ia gunakan untuk membantu Misni dan Supiani. Pergi ke sawah, menjual kerupuk petis keliling desa, apapun ia kerjakan tanpa mengeluh. Kini bertambah satu pekerjaannya. Tanpa sepengetahuan Misni, ia membantu Bu Lurah menjahit baju, seperti memasang kancing atau membuat keliman. Dengan upah tak seberapa, namun ia suka melakukannya. Banyak ilmu dan hal baru yang bisa ia dapatkan. Jika sedang tak ada pesanan baju, ia tetap datang ke rumah Bu Lurah untuk sekedar meminta surat kabar lama. Membaca menjadi kesukaannya. Kala gelap turun ke bumi, siaran ludruk dari radio transistor Tjawang menjadi teman dalam sunyi.
Sejak tampuk kepemimpinan berpindah tangan, ludruk tidak lagi disiarkan di radio. Orang bilang ludruk harus dihindarkan jika tak ingin berakhir dalam pengasingan tanpa peradilan. Tersebab pada masa penjajahan hingga revolusi kemerdekaan, segala bentuk kesenian rakyat terutama ludruk, bisa menjadi alat yang efektif dalam membangkitkan jiwa heroik rakyat negeri ini. Demi menghapus pengaruh Ideologi Komunis, segala bentuk kesenian menjadi sasaran pengawasan oleh pemerintah, terutama yang berafiliasi dengan Lekra.
Pun demikian malam ini. Secara sporadis kesenian itu dicabut begitu saja dari satu-satunya penghiburannya. Hanya karena Misni kesal. Kekesalan yang ditimpakan secara tidak adil pada diri Roekiah. “Usiamu sudah enam belas! Tak patut lagi kau pergi ke pasar malam seperti yang sudah-sudah. Kau bukan kanak-kanak lagi! Lihat teman-teman sebayamu, semua sudah beranak dua dan tiga!”
“Aku hanya ingin melihat ludruk, Budhe. Pun aku pergi ke sana tak seorang diri. Bibi akan menemaniku.”
“Jangan terus membantah! Pergilah kau nonton ludruk sesuka hatimu kelak kalau sudah menikah! Sudah habis mukaku jadi gunjingan orang! Kau tahu apa yang mereka katakan? Aku membiarkan keponakanku satu-satunya menjadi perawan tua! Dikatanya patut aku berulang menjanda, karena suka pilih-pilih laki. Tak suami, tak menantu, semua aku pilih-pilih!” Jeda sejenak dengan napas terengah, “simbokne dobol! Jika bukan karena wasiat nyeleneh bapakmu! Sudah lama kau kunikahkan!”
Roekiah hampir percaya bahwa orang-orang seperti dirinya memang tak layak memiliki impian, bahkan berharap pun terasa saru. Sesuai wasiat dari bapaknya tanpa ia tahu pasti kebenarannya, bahwa ia putri semata wayang bapaknya, tidak boleh dinikahkan sebelum genap berusia enam belas. Bibinya bercerita, bapaknya ingin agar Roekiah bisa lebih lama menjalani masa mudanya. Menjadi perempuan yang berwawasan dan bebas menentukan jalan hidup, sebelum benar-benar harus mengabdi pada suami yang menjadi pilihannya. Tapi semua harapan itu ikut terkubur bersama dengan jasad bapaknya yang meninggal saat Roekiah berusia dua tahun.
Karena keberanian dan harapan yang pernah disampaikan bapaknya itulah yang membuat Roekiah berani bermimpi, berani berharap, bahkan berani memiliki keinginan untuk mewujudkannya meski hanya dalam asa. Hampir setiap ada kesempatan, Supiani akan mengajak Roekiah untuk menyaksikan pertunjukan ludruk dan tooneel. Untuk yang terakhir itu, sudah tidak dapat ditemui. Diam-diam Roekiah mengagumi setiap lakon-lakon perlawanan rakyat terhadap penjajahan dalam pementasan ludruk. Seolah lakon-lakon itu mampu mengejawantahkan perasaan dan kesulitan hidup yang ia alami selama ini. Ia ingin menjelma menjadi para lakon itu dalam kehidupan nyata dan melawan tiran atas perlakuan orang-orang dewasa di sekitarnya yang dianggap sebagai penjajah kehidupannya.
Pada masa-masa yang lalu ketika kesedihan dan rasa tak berdaya menghampirinya, ia akan mewujudkan lakon-lakon seperti Sarip Tambak Oso, Sogol Pendekar Sumur Gemuling, atau Pak Sakerah dengan celuritnya dalam angannya untuk melawan amukan Misni yang sering terjadi secara sporadis atas sesuatu yang ia tak pahami alasannya. Kini, pupus sudah impian ingin bermain sandiwara. Ludruk yang menjadi mimpinya, hambar seketika. Pertunjukan yang telah lama ia nantikan, harus rela ia lewatkan karena sebuah keegoisan.
Bagaimana bisa aku menonton ludruk setelah besuami? Pergi ke jamban saja mungkin aku akan diawasi. Siapapun dia, dapat kupastikan tak akan ada harapan sudi mengizinkan aku bermain sandiwara. Membayangkan saja mungkin diharamkannya.
Memikirkan tentang perjodohan itu hanya membuatnya semakin risau. Sesekali sang bayu menelisik. Meremangkan sekujur badan. Tubuhnya semakin menggigil. Seakan sunyi mampu membunuhnya malam itu juga. Dari kejauhan terdengar suara kentongan bambu pethung dipukul bersahutan. Timbul tenggelam. Ia mendengar Supiani terbangun. Geragapan memeriksa seluruh daun pintu dan jendela. Dimasukinya kamar Roekiah tanpa permisi. Tampak raut yang gelisah. Belum sempat Roekiah membuka suara, dengan segera tangan Supiani membungkam mulutnya. “Jangan berkata. Diam. Kita tunggu dan dengarkan.”
Kentongan masih dipukul. Berdentum-dentum seiring dengan degup jantung Roekiah. “Aku mendengar hembusan angin. Aku mendengar ketakutanku sendiri.”
Kian lama kian gaduh. Jauh dan dekat. Bahkan kini Roekiah mampu mendengar ketakutan bibinya. Seolah merambat dan merisak ke dalam liang telinganya. Entah dari mana datangnya perasaan itu. Ketakutan bisa membuat orang berbuat apa saja. Kadangkala memunculkan pemikiran paling sinting. Supiani mulai melantunkan kidung kawedar seolah ia tengah merapal mantra. Bukan ketenangan yang didapat, malah menambah muram suasana.
“Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh ayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jin setan datan purun. Paneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Guna ning wong luput. Geni temahan tirta. Maling adoh tan wani ngarah ing mami. Tuju duduk pan sirna.”
Roekiah memikirkan kembali kejadian siang ini. Lepas zuhur ia bergegas menuju rumah Bu Lurah. Sudah lebih dua minggu ia tak bersua dengan nyonya rumah. Di kala orang lain berkongsi tanpa mufakat menjauhi rumah itu, sebaliknya ia seolah ditarik oleh sesuatu yang membuatnya nagih untuk selalu pergi ke sana. Tak usah bayangkan betapa Misni sangat membenci nyonya rumah itu. “Dia akan memberimu pengaruh buruk! Lihat saja tingkahnya, memang pantas dia dengan sebutan Nyai!”
Pernah suatu kali Misni mencak-mencak mendapati Roekiah tak sependiam biasanya. Ia lebih senang bergelut dengan surat kabar pemberian Bu Lurah dari pada bergulat dengan urusan rumah yang tak ada habisnya. “Buat apa kau terus membaca semua itu? Nanti saat sudah berumah tangga yang kau perlukan kecakapan memasak dan mengurus rumah! Jangan kau jadi seperti Nyai Serimpit. Jika bukan karena suaminya, sudah lama orang tak hormat padanya!”
Puncaknya, semua buku dan surat kabar pemberian Bu Lurah dibuang oleh Misni ke dalam sumur. Habis semua basah. Tak bersisa. Sekali lagi Roekiah hanya mampu memendam amarah di dada. Terisak tanpa mampu berbuat banyak.
Rumah Bu Lurah terletak di selatan jalan yang biasa di lalui lori pengangkut tebu. Ia harus melewati tiga rumah tetangga sebelum tiba di sana. Halamannya luas dengan bangunan utama khas kolonial. Di sebelah barat terdapat pendopo tempat untuk menerima tamu. Luasnya bahkan mengalahkan gubuk gedek tempat tinggal Roekiah. Ia selalu mengagumi arsitektur rumah itu. Pintu dan jendela berventilasi yang menjulang tinggi, dinding kokoh terbuat dari batu bata merah di bagian atas dan setengah ke bawahnya bersusun batu kali hitam, dan segala perabot berukuran besar yang terbuat dari kayu jati dan ulin pilihan. Baginya yang biasa tinggal di rumah gedek, bangunan itu tampak seperti istana dalam cerita raja-raja.
Pada bulan-bulan basah seperti ini halaman rumah itu menjadi penuh warna. Tunas-tunas bunga Desember mulai memunculkan kuncupnya. Mereka akan mekar beberapa minggu lagi. Buah jambu darsono pun mulai menghitam di dahannya, siap untuk dipetik. Sawo kecik dan kenintu banyak berjatuhan ke tanah.
Tak seperti hari biasanya. Siang ini terasa sunyi. Tak ia dapati seorangpun. Anak-anak kampung itu sedang berlarian mengejar lori yang berjalan terseok penuh beban. Mereka akan berebutan menarik batang-batang tebu dari punggung lori tua peninggalan Kompeni itu. Tanpa alas kaki. Tubuh-tubuh kurus dan dekil. Bekas borok dan koreng terhampar hampir di setiap jengkal yang tak tertutup baju. Tawa riang mereka begitu tulus. Begitu bahagia dan ringan penuh warna. Tak risau meski perut tak pernah kenyang. Hidup mereka begitu sederhana. Memikirkan ia dahulu pernah merasakan hal yang sama. Pernah merasa sebahagia mereka.
Sadar dari lamun, kakinya tersandung akar pohon gayam. Ditatapnya puncak pohon itu. Begitu besar, tua, kokoh, dan tinggi menjulang. Banyak orangtua yang menakut-nakuti anaknya agar tidak bermain di halaman Bu Lurah, tak terkecuali Misni. Dia sering berkata, "gayam itu rumah genderuwo dan wewe! Banyak anak-anak hilang di sana!" Anehnya, selama ini tak pernah ada seorang anakpun yang hilang di bawah pohon gayam itu. Mereka malah selalu berebut buah gayam yang jatuh ke tanah untuk dibawa pulang. Entah direbus atau dibuat keripik oleh emaknya.
Segera ia berdiri dan menuju teras rumah. Ia ketuk pintu berjendela kaca rumah itu berulang kali. Senyap, tak ada jawaban. Ia masih menunggu. Melalui pintu kaca itu ia bisa melihat bagian dalam ruang tamu. Jam dinding besar seukuran lemari dengan pendulumnya yang tiada lelah bergoyang, sejumlah potret keluarga hitam putih yang berjajar rapi dalam bingkai kayu, kursi-kursi rotan tua yang kecokelatan, dan tatapnya terhenti pada tepak sirih dari kuningan yang terletak rapi di atas meja lengkap dengan isinya. Ia bayangkan mulutnya penuh, kewalahan mengunyah daun sirih sampai ludah memerah. “Tidak! Aku benci bau sirih! Aku tak akan pernah mengunyahnya!”
Pintu terbuka, membuatnya terperenyak. Bu Lurah berdiri di ambang pintu dan membukanya selebar mungkin. Ia mengenakan kain jarit berwarna kuning gading serta kebaya brokat bermotif bunga-bunga. Wajahnya muram, tak seperti biasanya. “Aku agak khawatir menerima tamu akhir-akhir ini. Kemarin aku sudah menolak dua anggota Gerwani.”
Mereka duduk-duduk di beranda rumah dan membiarkan angin memainkan anak-anak rambut Roekiah yang tak tergelung. Tatapnya mengejar seekor tupai yang tengah sibuk memilah buah kopi anjing.
“Apa itu artinya kita juga akan mengalaminya, Nyai?”
“Aku tidak paham.”
“Maksud saya, apa pasukan Gestapu itu juga akan mengobrak abrik desa kita?”
Bersambung ....
Catatan : Gambar oleh Basuki Abdullah
Sidoarjo, 05 April 2019


Biodata penulis :

TelagaKautsar adalah nama pena dari Tias Yuliana. Ibu dari seorang putra yang mencoba kembali bergelut dalam dunia sastra. Meski memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang lingkungan dan pertanian, namun membaca buku dan menulis fiksi adalah kecintaannya sejak masih belia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.