Nyonya Jhonson menahan nafas. Serta merta keringat dingin mengalir dari dahi, membasahi tubuh. Dengan gemetar ia membaca kertas yang berada di tangan lalu seketika pucat pasi menyadari isi dari surat yang ditemukannya pagi ini. Di dalam buku harian si sulung.
Bibirnya bergetar. Perlahan Nyonya Jhonson mendekap mulutnya dengan sebelah tangan dan jatuh terduduk. Dengan nafas memburu seperti merasakan sakit yang memukul dadanya, bulir airmata menetes tanpa bisa dibendung. Tubuhnya seperti dihimpit oleh sesuatu yang tak kasat mata dengan lubang menganga di dalam hatinya.
Pedih bagaikan diiris sembilu.
Ia membaca sekali lagi surat itu dan akhirnya menjerit pilu.
“Breee!!! Brianaaa!!!” Panggilnya. Lalu ia roboh di atas lantai.
Sabrina, anak gadis yang mendengar teriakannya, datang dari arah dapur dengan tergopoh-gopoh dan menjerit mendapati ibunya terkapar pingsan di lantai kamar kakaknya. Dengan panik ia merabai dan memangku tubuh yang telah lunglai itu.
“Mom? Mom? Bangun, Mom!” jeritnya panik.
Dengan tergesa ia memungut Blackberry miliknya yang sempat terjatuh di samping ibunya tadi. Lalu berusaha menghubungi Matthew, sepupunya yang tinggal tak jauh dari rumah mereka. Beberapa menit kemudian, pemuda itu datang dan membopong Nyonya Jhonson ke atas tempat tidur.
Dahinya berkerut heran mendapati bibi pingsan di kamar Briana, kakak perempuan Sabrina. Tetapi, dalam kematangan pribadinya, dengan tenang, ia menyuruh Sabrina membuatkan teh hangat untuk Ibunya.
Setelah beberapa saat, Nyonya Jhonson sadar dari pingsannya. Tak berapa lama kemudian, ia kembali menangis meraung-raung mengingat isi surat tadi. Kertas berwarna keperakan itu melayang ke bawah tempat tidur milik Briana.
“No … no … Briana! Briana!” Panggilnya berulang-ulang.
Sabrina dan Matthew hanya saling pandang. Bingung dengan apa yang terjadi. Di tengah kekalutan yang luar biasa, tiba-tiba pintu depan membuka dengan keras, dan berdebam menutup. Lalu suara langkah menaiki tangga dengan terburu-buru. Tak lama kemudian, muncul Nyonya Sommerson, adik perempuan ibunya, datang dengan wajah pucat pasi.
Dengan gemetar, ia menghampiri Nyonya Jhonson dan mulai menangis.
“Bree … Bree … Millie, Bree ….” ucapnya tak jelas.
Nyonya Jhonson memandangnya linglung, lalu pingsan lagi.
Sabrina menjerit panik dan segera memeluk wanita malang itu dan mulai menangis. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres di sini.
Matthew menggamit tangan Nyonya Sommerson dan menariknya menjauh.
“Apa yang terjadi, Mom? Kenapa kalian berdua menangis? Kenapa Auntie Millie pingsan?” tanyanya bertubi-tubi dengan ekspresi luar biasa bingung.
Nyonya Sommerson memeluk Matthew erat, sambil berbisik lirih disela-sela tangisnya.
“Bree meninggal, Matt,” jawabnya sambil menyusut air mata, lalu meneruskan, “mayatnya baru ditemukan tadi. Ibu melihat beritanya pagi ini,” isaknya lagi.
Matthew membeku, begitu juga dengan Sabrina. Keduanya memandang seolah-olah Nyonya Sommerson bercanda.
“Ini sungguh tidak lucu, Auntie,” bisik Sabrina dengan mata berair. Ia mengingat bahwa bibinya suka sekali bercanda.
Nyonya Sommerson memandang gadis itu dengan sedih. Ia tampak sepuluh tahun lebih tua saat bibirnya bergetar mengucapkan kalimat,
“Penyidik bilang, kemungkinan bunuh diri,”
Tubuh gempalnya memeluk Sabrina dengan haru. Gadis itu bergeming, suara mereka berdua terdengar jauh, seolah berasal dari negeri antah berantah. Matanya yang basah terus berganti-ganti menatap ibu, Matthew dan Auntie Millie.
Sabrina bercucuran air mata. Ia merasa tulang-belulangnya seperti lepas satu per satu. Keringat dingin mengucur deras mengaliri pelipis, punggung dan tangan.
Kakinya seolah tak lagi menapak di bumi hingga ia bisa melihat Auntie Millie memeluk tubuhnya. Berbisik lirih sambil melepaskan dan beralih mendekati ibunya yang terbaring dengan lemah.
Matthew memeluk pundaknya, berusaha untuk saling menguatkan. Tetapi tetap saja menyisakan segudang tanya di benak mereka.
Ini adalah berita paling tak masuk akal!
Bunuh diri? Bagaimana bisa?
Briana adalah gadis paling bahagia di muka bumi ini!
***
Biodata penulis :
Seorang Ibu yang ingin memberikan karya terbaik sebagai warisan untuk anak-anaknya kelak.
Berdomisili di Kota Lubuklinggau, sebuah kota kecil nan cantik ke arah Selatan Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.
Bagi yang ingin berbagi pengalaman literasi, sila menghubungi di akun Facebooknya : Neesha Maretta
Mari menyebar manfaat kebaikan melalui literasi Indonesia. Salam kenal.
0 Response to "#Jumat_Cerbung - Love U 'Till The End - Neesha Maretta - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.