Kisah sebelumnya
Sarah baru selesai interview. Dia tercekat, melihat kursi yang diduduki Icha kosong. Namun tasnya masih tergeletak di sana. Kemana perginya anak itu? Pandangan Sarah menyebar ke seluruh ruko.
Dia bergegas mendatangi satpam, “Pak, lihat anak perempuan kecil pake baju pink?” “Wah, saya nggak merhatiin, Bu.”
Sarah menghela napas. Ah, ada-ada saja anak ini. Sudah diwanti jangan kemana-mana, masih saja keluyuran!
Sarah menajamkan mata hingga ke seberang jalan. Tiap beberapa ratus meter, pedagang kaki lima tampak berjejer dengan gerobak makanan. Sarah buru-buru menghampiri mereka.
Langkahnya sedikit tertatih, lantaran sepatu murah itu mencengkeram jari-jarinya. Tumitnya juga mulai lecet. Sialnya lagi, begitu menginjak trotoar, hak sepatunya tiba-tiba copot. Terpaksa Sarah mematahkan yang sebelah lagi.
Semua penjual makanan, satpam bahkan tukang parkir, tak satu pun mengaku melihat Icha. Sarah cemas, tetapi sekaligus juga kesal. Betisnya mulai terasa keram. Namun dia masih terus mencari. Setelah hampir dua jam, barulah akhirnya dia menyerah.
Di sebuah warung rokok, Sarah melemaskan otot-otot kakinya. Ah, kenapa juga dia lupa membawa sendal telpleknya. Dengan uang yang tinggal lima ribu di dompet, dia membeli minuman dingin. Setengah dari isinya, dia tuangkan ke jari-jari kakinya. Sensasi sejuk seketika menjalar sampai ke kepala.
Sarah menghela napas dalam. Udara campur debu itu merasuki paru-parunya yang tak lagi memiliki ruang. Sesak oleh berbagai rasa; kesal, lelah, sedih ... tiba-tiba cellphone dalam tasnya berbunyi.
Dyono yang bermaksud meminta maaf, kaget mendengar kabar Icha hilang. Dia berjanji, usai menghadiri rapat akan membantu Sarah mencari. Apa boleh buat, terpaksa Sarah memberi tahu juga alamat kontrakannya.
Setelah merasa agak lega, Sarah memasukan jari-jarinya lagi dengan hati-hati ke dalam sepatu yang menyiksa itu. Langkahnya sedikit terseok, tatkala menaiki bus.
“Mama!!” Icha yang berada di seberang jalan, berteriak. Anak itu mengira, ibunya sengaja meninggalkannya karena marah.
Urat-urat leher Icha bersemburat, dan wajahnya memerah. Dia menjerit-jerit sekuat tenaga, “Mamaaa!! Mama jangan pergi!! Mamaa!!” Icha berlari menyebrang.
Terlambat, mobil besar itu telah bergerak jauh. Icha semakin panik. Begitu melihat bus lain lewat, dia langsung menaikinya. Bocah itu tidak tahu, bahwa dirinya menuju arah yang berbeda. Di dalam bus, Icha memanggil-manggil Sarah. Para penumpang menoleh karena merasa terganggu, tetapi anak itu tidak peduli.
“Hush! Ayo, turun! Turun!” usir kenek.
Begitu turun, Icha menunggu bus lain yang akan ditumpanginya.
Seorang laki-laki yang sejak tadi mengikutinya, menegur, “Cari mama, ya?”
Icha mengamati gambar tatoo di lengannya yang kekar.
”Yuk, kita cari mama, yuk?”
Icha menatap wajah laki-laki itu. Kumisnya tebal dan rambutnya klimis. Kaosnya yang ketat makin menonjolkan dadanya yang bidang. Lelaki itu tersenyum lebar dan meraih tangan Icha.
Tanpa pemberontakan sedikit pun, Icha menurut.
----
Sarah meringis kesakitan. Kakinya membengkak. Dyono yang baru tiba di kontrakan, segera mengambil air hangat dan mencampurnya dengan garam. Sambil mencelupkan setengah betisnya ke dalam ember kecil, Sarah meminta maaf atas tindakan kasarnya kemarin.
Dyono menghela napas,”Wis to, aku yo minta maaf, bikin kamu tersinggung.” Dyono berjanji, usai seminar besok akan melaporkan kehilangan Icha ke polisi.
“Makasih, Yon.” Sarah mengeluarkan kakinya dari ember.
Dyono mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
“Opo iki?” Sarah menolak uang yang kemarin dia kembalikan.
“Buat beli sepatu baru.” jawab Dyono datar. Dia meletakan uang itu di telapak tangan Sarah, “Jangan beli yang murah. Nanti kakimu bengkak lagi.” ujarnya, “tuku sing merek e Meri Kler itu, lho. Kepengenanmu dulu.”
Sarah terkejut.
Dyono masih ingat merek sepatu yang diinginkannya dulu ....
----
Cahaya matahari menembus jendela kamar. Menerpa pipi Icha hingga wajahnya mengkerut. Entah sudah berapa hari dia terkurung di sana. Di ruangan yang hanya berisi dipan, meja kayu, dan sebuah kamar mandi gelap tanpa pintu. Di dalamnya terdapat sebuah ember, gayung dan sepotong sabun yang telah dimakan tikus. Kain kumal yang teronggok di lantai sebagai keset, tak kalah kumuh dengan tirai yang menutupi jendela.
Dari kaca yang tak bisa dibuka itulah, Icha dapat melihat ke bawah. Dua buah got besar, menganga penuh sampah. Sebagian sengaja ditutup kayu dan dijadikan tempat nongkrong. Beberapa perempuan yang tak lagi muda, tampak duduk merokok sambil main kartu. Wajah mereka cemong oleh make-up yang belum terhapus. Tak hanya mereka, anak–anak seusia Icha juga banyak. Mereka terlihat lincah berlarian. Selincah motor-motor yang nyaris bersenggolan.
“Beres Bos. Udah siap anaknya.“
Suara laki-laki yang membawanya ke tempat ini, terdengar sedang bicara di telpon. Beberapa detik kemudian, gagang pintu bergerak dan terbuka. Seorang laki-laki yang biasa memberinya makan, datang membawa sarapan. Icha langsung duduk di sisi ranjang. Pandangannya berputar-putar mengelilingi ruangan.
“Heh! Ini makan!“ Dia menyentuh lengan Icha dengan piring.
“Udah Rud, biarin aja kalo die nggak mau!” ujar lelaki yang baru selesai menelpon, “mending kita cabut sekarang, Boss udah nungguin.” Tanpa menunggu Rudi, lelaki itu berlalu. Pijakan kakinya terdengar berderik-derik saat menuruni tangga kayu.
Rudi buru-buru menarik lengan Icha. Sentakannya membuat Icha kaget dan menjerit keras.
Lelaki yang sudah menunggu di mobil, berteriak,“Ada apaan, Rud?“
Rudi berusaha membuka jendela yang engselnya sudah karatan. Dia bermaksud menjawab temannya yang menunggu dibawah. Namun besi itu tak bergeser sedikit pun. Ketika Rudi sedang berusaha, Icha menancapkan garpu ke punggung tangannya.
“Bangsat!”
Cengkraman tangan Rudi terlepas. Icha langsung lari menerobos. Dua ekor tikus dari saluran air di kamar mandi, berkeliaran di kaki Rudi. Lelaki itu terperanjat dan berusaha menepis. Namun, tikus-tikus itu malah naik ke atas celana jeansnya.
Temannya yang menunggu di mobil, mendengar Rudi berteriak-teriak panik. Ketika masuk ke dalam rumah, dia tak menyadari Icha sedang bersembunyi di balik pintu. Begitu lelaki itu menaiki tangga, Icha kabur.
Anak itu berlari melewati gang yang berliku-liku, hingga tembus jalan raya. Suara klakson bersahutan tatkala Icha berlari melawan arus. Melihat kepanikan pengendara, seorang pengemudi refleks membelokan stir. Menyenggol sebuah sepeda motor hingga terjungkal. Keduanya pun turun dan bertengkar. Seketika lalu lintas menjadi kacau dan macet.
Icha tak menyadari keonaran yang terjadi. Begitu melihat bus, kaki kecil itu langsung menaikinya. Dia berjalan mondar-mandir, sambil terus meneriaki ibunya. Seperti yang sudah-sudah, kenek itu pun langsung menyuruhnya turun.
Berkali-kali bocah itu keluar-masuk bus, hingga akhirnya diturunkan di sebuah taman kota. Jalanannya lebar, tetapi tak ada mobil lalu lalang. Icha menatap hamparan hijau dihadapannya. Di tengah-tengah taman, yang dipenuhi bunga itu, orang-orang tampak sibuk menyiapkan bazaar.
Icha menghampiri tenda warna-warni yang berisi banyak makanan. Tangannya leluasa mengambil segala panganan, karena tak ada yang memerhatikan. Sambil melahap hasil curiannya, Icha menghampiri tenda lain. Ternyata di tempat itu, dia juga menemukan ... lukisan!
Perhatiannya langsung tertuju pada sketsa hitam putih, yang menggambarkan wajah perempuan. Ketika hendak meraihnya, satpam menegur. “Eeh, jangan ya, Dik. Itu buat pameran.”
Icha mendekap lukisan itu,”Mama! Mama!”
Satpam berusaha merebutnya setengah paksa. Icha menahannya sekuat tenaga, hingga lukisan itu terlepas. Tubuh kecil itu terhempas, menabrak tiang yang baru dipasang.
Orang-orang kaget dan berusaha menahan tenda agar tak menimpa makanan. Melihat kerusuhan kecil itu, satpam langsung memberi bantuan. Menyadari lelaki berseragam itu tak lagi memedulikan, Icha mengambil kembali lukisan yang sempat terinjak. Dia berlari kencang, memasuki kawasan rumah mewah yang tak jauh dari sana.
Para penghuninya terlihat berjalan kaki sambil membawa anjing. Sebagian juga ada yang berlari kecil sendirian. Wajah mereka tampak segar, sesegar daun–daun bonsai yang baru disiram di balik pagar.
Sambil menyeruput coffee cream-nya yang hangat, Mieke menatap tanaman-tanaman hijau itu. Aroma petrichor menyeruak dari tanah yang berlapis rumput gajah. Dengan berbalut kimono, wanita setengah indo itu mengamati lukisannya yang sedikit lagi selesai.
Volatile oil yang menstimulus otaknya, terembus dari pintu Spa yang terbuka. Orang-orang Yunani, dan para tabib Imhotep di Mesir menggunakan minyak esensial atsiri ini, sejak ribuan tahun lalu. Mereka memakainya untuk mandi, pijat, termasuk pembalseman mayat.
Mieke menghirup napas dalam-dalam. Dia memang menyukai bau rempah-rempah dan aromaterapi. Dahulu, suku Aborigin di Australia menggunakannya untuk menghindari gigitan nyamuk. Namun aroma ranting ekaliptus yang dibakar itu juga sangat baik bagi hormon. Ketika orang belum menemukan antiseptik, Hippocrates yang dikenal sebagai bapak kedokteran dunia, pun menggunakan aromatic fumigations untuk menyingkirkan wabah penyakit di Athena.
Hhh ... Mieke merasakan dadanya lapang dan segar. Rumah sekaligus galeri miliknya ini, memang bukan hanya menjual lukisan dan perawatan kecantikan, tetapi juga barang antik, batik tulis, pastry, dan florist.
Sejak butik yang dijaga Sarah tutup, Mieke menjual ruko itu dan hanya mengurusi galerinya ini. Sesekali saja dia menengok pabrik furnitur yang ada di Jepara, sebab Sulis_ asistennya_ sudah sangat piawai, dan bisa dipercaya untuk meng-export produk-produk itu ke manca negara.
Di usianya yang lebih dari 60 tahun, Mieke tidak pernah kehilangan passion terhadap seni. Mungkin inilah yang membuat hidupnya tetap bergairah, walau fisiknya lemah. Seni juga yang membuatnya tak pernah kesepian, meski berpuluh tahun hidup sendirian.
“Weleh, weleh, pagi–pagi kok udah ngelukis.“ Harjo muncul sambil menggelengkan kepala.
Mieke tertawa kecil. Duda tua yang menjadi kerabat dekatnya selama beberapa tahun terakhir itu, pasti mau meracuninya agar ikut jogging. Dia tampak sudah siap dengan jogger dan handuk kecil yang melingkar di leher. Rambutnya yang sudah setengah putih, tampak sedikit basah. Harum parfumnya tak kalah segar dengan aroma rempah–rempah. Di usianya yang tak jauh beda dengan Mieke, pengusaha paruh baya itu masih terlihat tegap dan atletis. Kerutan di ujung matanya bahkan tak mengurangi daya tariknya, saat tersenyum.
“Ya, kan, buat pameran siang nanti.“ jawab Mieke sambil menggigit potongan smoke-beef.
Harjo terkekeh, “Bener juga temenku bilang, seniman itu orang-orang yang bercinta di setiap sudut dunia.”
“Maksudnya?”
“Segala hal yang dianggap orang lain sepele, bagi mereka bisa bermakna. Bahkan punya kenikmatan tersendiri. Semua itu mereka anggap modal untuk berkarya.”
“Hahhaha, temenmu siapa?”
“Rina Setianingrum. Penulis novel Comfort in Silence. Nanti tak pinjemin bukunya.”
“Boleh juga.” Mieke menawarkan smoke beef yang tersaji di piring kecil.
Harjo menolak dengan isyarat tangan, “Kalo nggak keburu, ya nggak usah dipaksa. Kan, masih banyak lukisanmu yang lain. Nanti jantungmu malah kumat. “
Suara seruput kopi Mike membuat Harjo menggelengkan kepalanya lagi, “Walah, malah ngopi.“
Mieke tertawa, “Sarapan?“
Harjo memang biasa sarapan di tempat Mieke. Mereka juga sering berbelanja, makan di luar, atau menghabiskan waktu mengobrol sampai larut malam. Sekalipun sama–sama lajang, tetapi tidak ada hubungan spesial antara mereka.
Sekali dua kali memang pernah Harjo menyatakan keinginannya untuk bersatu. Namun, trauma dengan mantan suami yang menyebabkan anaknya meninggal, membuat Mieke lebih memilih hidup sendiri.
“Gak, ah, wong aku meh jogging, kok.“ Harjo menolak Mieke yang menawarinya sarapan karena mau lari pagi.
Mieke menggumam sambil mengedikan bahu.
“Lha kok, malah mmm, tok? Ayo!”
“Kemana?“
“Olah raga to yo, ben sehat! Orang–orang umuran kita ini musti jaga kesehatan. Ojo digeber terus!“
“Males.“ Mieke tak memedulikan himbauan Harjo.
“Halah” Harjo geleng kepala lagi, “yo wis lah, aku meh jogging sik. Tak tinggal yo!“ sebelum berlalu, Harjo mengacungkan telunjuknya, “Engko nek sakit, ojo telpon–telpon aku!“
“Hahahaa.“ Mieke tertawa keras mendengar ancaman Harjo.
Dia jadi teringat saat pertama kali mengenal lelaki itu. Mieke mengatakan, andai Richard Gere orang Jawa, dia pasti mirip Harjo.
Harjo langsung membalas, andai Christine Hakim orang Belanda, dia pasti mirip Mieke.
Kedua pipi Mieke bersemu, “Kok, Belanda? Bapakku Jerman, lho. Makanya aku datang ke acara ini.” ujar Mieke.
Mereka memang bertemu saat sedang menonton pameran budaya Jerman di Aryaduta. Hotel yang sering menjadi tempat berkumpulnya para komunitas Jerman itu, tak hanya mengadakan pameran tetapi juga perayaan festival layaknya di negera mereka, seperti Karnaval Cologne ini.
Kota kelahiran Wolfgang Elsig_ayah Mieke_adalah tempat asal mulanya parfum 4711. Mereka memercayai bahwa angka 11 adalah angka keberuntungan. Lantaran pada tanggal tersebut musim karnaval di mulai. Orang-orang Jerman yang tinggal di Koeln, berpesta di jalanan dan saling memberi ciuman pipi.
Bersama komunitas ini, Mieke sering berkumpul dan mengadakan acara sosial. Selain untuk menjaring teman bisnis, dia juga masih memiliki keterikatan batin yang kuat dengan budayanya. Baru setelah menikah, dia pindah ke Indonesia.
Harjo terkejut mengetahui Mieke memiliki darah dari negeri Hitler, “Oh, wirklich?
Mieke balik terkejut dan menanyakan apakah Harjo juga berbahasa Jerman, “Spricht du Deutsche?”
Harjo menggeleng, dia tidak bisa berbahasa Jerman tetapi dulu dia pernah berharap bisa sekolah di Jerman, “Ich hoffe das kann ich nach Deutschland zu studieren.”
“Ach, so!” Tawa Mieke berderai. Dia mulai terkesan dengan pria ini. Terlebih ketika pemain musik menyanyikan lagu Viva Colonia. Mieke tertawa melihat Harjo hafal liriknya. Mereka menyanyikan refrain-nya bersama.
Da simmer dabei ! Dat is prima! VIVA COLONIA!
Wir lieben das Leben, die Liebe und die Lust
Wir glauben an den lieben Gott und hab'n noch immer Durst.
Da simmer dabei ! Dat is prima! VIVA COLONIA!
Wir lieben das Leben, die Liebe und die Lust
Wir glauben an den lieben Gott und hab'n noch immer Durst
Harjo juga menyukai makanan khas Jerman, sosis dan schnitzel. Sosis Jerman yang memang terkenal di dunia itu, biasa disajikan dengan roti Bratkartoffel, dan irisan kentang rebus yang telah diberi bumbu air kaldu. Namun malam itu, panitia khusus menghadirkan Bavaria Buffet dengan berbagai menu tradisional khas Jerman; Goulash Soup, Pork Knuckle, Weisswurst, Bretzn, dan Bavarian Sweets.
Pulangnya, Harjo menawarkan trempen, hitchhiking, alias tebengan. Kebiasaan itu memang lumrah di Jerman. Bahkan ada tempat bertanda khusus, dimana orang bisa menumpang gratis. Mereka menyebutnya Parken und Mitfahren.
Mieke tertawa mendengar tawaran itu. Namun tentu saja dia menolak karena supirnya sudah menunggu. Yah, sejak itulah perkenalan mereka berlanjut.
Mieke senyum-senyum sendiri mengenang saat itu. Namun tiba-tiba ... senyumnya terhenti. Wajahnya memucat dan kuas di tangannya terlepas. Sebilah belati serasa menikam dadanya. Tubuhnya membungkuk menahan sakit. Tarikan napasnya berat. Jantungnya nyaris berhenti berdenyut.
Sebelum sempat memanggil satpam, pandangannya tiba-tiba gelap. Tubuh Mieke melemas dan jatuh tersungkur ke lantai.
----BERSAMBUNG---
Biodata penulis :
Rina Setianingrum
Seorang mantan karyawati swasta yang pernah lari dari impian menjadi penulis.
Namun akhirnya menyerah.
0 Response to "#Jumat_Cerbung - 07. Comfort In Silence - Rina Setianingrum - Sastra Indonesi Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.