Senin, 29 April 2019

Ending Harus Berkesan - Sastra Indonesia Org




Halo teman-teman. Masih membahas seputar ending, nih. Kali ini mari kita belajar tentang ending tidak berkesan. Menurut kalian ending yang tidak berkesan itu seperti apa, sih? Jawab dalam hati masing-masing saja ya! Sebelum membahasnya lebih lanjut, silakan berdoa terlebih dahulu menurut keyakinan masing-masing! J

Apa kalian pernah membaca cerpen, novel, atau karya fiksi dan non fiksi lainnya dengan ending tidak berkesan? Lalu, apa yang kalian rasakan? Jika kalian tidak merasakan salah satu dari di antara: marah, benci, semangat, sedih, suram, bahagia, atau tercerahkan, itu berarti kemungkinan besar tulisannya telah gagal.

Kebanyakan penulis pemula cenderung berpikir bagaimana membuat cerita dari awal sampai ending tanpa memikirkan apakah ending-nya berkesan atau tidak.

Baca juga: Jangan Mematikan Tokoh Tanpa Alasan atau Tanpa Alasan yang Jelas - Sastra Indonesia Org



Sebaliknya, kalau penulis senior atau profesional justru berpikir untuk membuat tulisan yang bisa meninggalkan jejak atau membekas di hati para pembacanya. Mereka akan mencari cara supaya tulisan yang mereka buat mampu membekas dalam hati atau pikiran pembaca.



Banyak orang yang membaca novel Hijrah itu Cinta karya Kang Abay mengaku kalau mereka lebih mantap berhijrah setelah membaca buku itu. Ada lagi, seorang remaja SMA yang dulunya nakal terus kemudian berubah menjadi pribadi yang lebih baik setelah ditantang temannya membaca novel Hijrah itu Cinta sampai habis. Itu artinya, novel tersebut mampu menggerakkan hati pembacanya.
Perlu kalian ketahui, buku fiksi ataupun non fiksi yang bagus itu mampu memberikan kesan mendalam yang terpatri dalam hati dan pikiran para pembacanya lebih lama.

Bagaimana teman-teman? Sudah paham kan? Jika ada yang mau menyanggah atau sekadar bertanya, monggo saya persilakan! J

All picture by: Google

Jangan Mematikan Tokoh Tanpa Alasan atau Tanpa Alasan yang Jelas - Sastra Indonesia Org




Nah, setelah membahas tentang memaksa-maksakan twist ending dan happy ending. Kali ini mari kita bahas mengenai mematikan tokoh tanpa alasan ataupun tanpa alasan yang jelas. Sebelum memulai pelajaran hari ini, silakan berdoa menurut keyakinan masing-masing terlebih dahulu! Nah, sekarang langsung saja simak materi berikut ini ya.

Baca juga: Jangan Membuat Ending Ketebak - Sastra Indonesia Org

Coba baca contoh kisah seorang gadis SMA yang begitu tergila-gila dengan guru muda di sekolahnya. Sang guru memang keren, tapi juga terkenal cuek. Namun, entah kenapa hari itu sang guru begitu ramah dari biasanya. Karena tumben sekali guru itu mengajak si gadis makan malam di restoran dan mereka pun jadian alias resmi pacaran. Lalu, ternyata si guru selama ini juga menyimpan perasaan yang sama hanya saja tidak pernah bilang. Tentu malam itu sangat membahagiakan buat si gadis. Eh, tiba-tiba esok harinya sang gadis mendapat kabar kalau pacarnya meninggal akibat kecelakaan. Menurut kalian maksa enggak, sih?

Baca juga: Memaksakan Twist Ending itu Dosa Guys




Masih banyak lagi kisah yang tokohnya dimatikan tanpa alasan jelas. Biasanya tiba-tiba tertabrak mobil atau motor, atau  juga terkena penyakit yang mematikan dalam hitungan hari atau bulan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak penulis pemula berpikir bahwa mematikan tokoh adalah cara membuat kisah memilukan, sehingga dengan mudah mereka mematikan tokoh. Padahal penulis senior ataupun profesional  bisa membuat pembaca atau penonton berlinang air mata sekalipun tidak ada satu pun tokohnya yang mati.

Baca juga: Happy Ending yang Dipaksakan Akan Membuat Cerita Menjadi Buruk - Sastra Indonesia Org

Perlu teman-teman catat! Jangan pernah mematikan tokoh tanpa alasan ataupun tanpa alasan yang jelas kecuali benar-benar dibutuhkan oleh cerita.

All picture by: Google

Minggu, 28 April 2019

#Sabtu_Tema - Berlibur Sambil Belajar Sejarah - Yesi Aqilah - Sastra Indonesia Org





“Kita mau ke mana, Yah?” tanya Aqilah—anak nomor duaku yang usianya baru menginjak empat setengah tahun.
Gadis kecilku ini sangat bawel, rasa ingin tahunya sangat tinggi. Terkadang saking bawelnya Aqilah bertanya, aku dan suami sampai kewalahan untuk menjawab. Seperti saat kami membawa kedua buah hati untuk menghabiskan masa libur panjang di akhir tahun 2018 yang lalu. Kala itu kami membawa mereka ke destinasi wisata yang ada di Kabupaten Siak—sekaligus berkunjung ke rumah nenek mereka.
“Kita mau jalan-jalan ke Istana Siak,” jawab suamiku.
“Hore ...!” teriaknya kegirangan.
“Tapi, di sana nanti adek nggak boleh lasak, ya! Juga nggak boleh minta yang macam-macam!” Aku menimpali percakapan mereka. Biasalah emak-emak, antisipasinya cukup tinggi.
“Oke!”
“Libur telah tiba. Libur telah tiba. Hore! Hatiku gembira.” Aqilah bernyanyi.
Sepanjang perjalanan putri kecilku tak berhenti bernyanyi, juga membaca hafalan surah pendek. Itu karena agar ia tidak merasa mengantuk. Sesekali Aqilah memperbaiki posisi jilbabnya yang miring, sebab terkena embusan angin.
Kurang lebih satu jam perjalanan dari rumah mertuaku—yang berada di Kecamatan Dayun, akhirnya tiba di kota Kabupaten Siak. Kami langsung menuju ke lokasi Istana. Setelah memarkirkan motor di lapangan seberang jalan tepat di depan istana. Kami berjalan kaki menuju tempat penjualan tiket masuk ke Istana Siak Sri Indrapura.
Harga tiket masuk relatif sangat murah, membuat Istana Siak tak pernah sepi dari pengunjung. Hampir setiap hari ada saja masyarakat yang datang. Apalagi saat hari-hari libur seperti ini, bahkan saat libur lebaran, Istana Siak menjadi tujuan utama masyarakat mengisi liburan. Harga tiket masuk berkisar lima ribu rupiah per-orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak digratiskan.
Ini bukan pertama kalinya kami berkunjung ke sini. Hanya saja, kali ini yang membuatnya berbeda--itu karena Gadis kecilku sangat tertarik untuk banyak tahu tentang isi maupun sejarah bangunan ini. Sedangkan Gilang—anak pertamaku dia nyaman ketika diajak ke sini, karena halaman istana yang sangat luas, sehingga membuatnya bebas berlarian ke sana—ke mari.
Istana Siak Sri Indrapura, atau Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Matahari Timur merupakan kediaman resmi sultan Siak yang mulai dibangun pada tahun 1889, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim. Istana ini merupakan peninggalan kesultanan Siak Sri Indrapura pada tahun 1893. Kini istana ini masuk wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Siak, kompleks istana ini memiliki luas sekitar 32.000 meter persegi, yang terdiri dari empat istana yaitu Istana Siak, Istana Lima, Istana Panjang, dan Istana Baroe. Istana Siak sendiri memiliki luas 1.000 meter persegi. (Sumber Google.)
Saat hendak masuk ke dalam istana, semua pengunjung diharuskan melepas alas kaki, di depan pintu masuk istana sudah tersedia tempat penitipannya. Sebelum masuk, pengunjung juga disarankan untuk mengisi buku tamu. Para pemandu wisata yang menggunakan seragam baju kurung, tak lupa dengan kain songketnya, (baju melayu khas Provinsi Riau.) Akan menemani para pengunjung berkeliling istana.
Bangunan yang terdiri dari dua lantai itu memiliki banyak ruangan. Ruangan utama diisi oleh sekelompok patung replika sultan Siak beserta para menteri dan hulu balang. Sang sultan sendiri memakai pakaian yang terbuat dari tenun songket Siak, berwarna hitam, dengan motif yang terbuat dari benang emas, serta tanjak yang ada di kepalanya. Sementara para menteri dan hulu balang hanya menggunakan baju melayu dengan kain songket biasa, beserta tanjak. Maklum, pada zaman dahulu, kain tenun hanya boleh digunakan oleh para sultan dan keturunannya. Berbeda dengan zaman sekarang, masyarakat bebas memakai songket dengan bermacam motif.
Di ruangan khusus rapat diisi oleh beberapa kursi peninggalan istana yang tersusun rapi mengelilingi meja persegi panjang. Begitu pun dengan ruangan makan. Selain ruangan-ruangan tersebut masih banyak lagi terdapat beberapa kamar tidur, kamar mandi, dan juga tempat penyimpanan barang bersejarah lainnya. Semua benda yang ada di sana tidak boleh disentuh, hanya boleh dilihat dan diabadikan saja lewat kamera.
Beberapa foto lukisan wajah para sultan dipajang di beberapa dinding istana. Serta hampir disetiap ruangan terdapat etalase dengan berbagai bentuk dan ukuran, di sana terdapat berbagai peninggalan istana, seperti piring, gelas, sendok, baju permaisuri yang terbuat dari kain tenun songket Siak, rompi sultan saat masih bayi, sepatu permaisuri, bahkan ada beberapa benda pusaka kerajaan seperti keris, tombak dan lain sebagainya. Ada juga cermin awet muda sang Ratu yang terbuat dari kristal. Biasanya cermin raksasa ini jadi tempat favorit pengunjung untuk berswafoto.
“Ibu, ini apa?” tanya Aqilah menunjuk ke arah etalase.
“Oh ... ini, Dek?” Aku mendekat ke arah etalase yang ditunjuk Aqilah.
“Iya,” balasnya.
“Ini namanya kapal lancang Kuning.”
“Kok kecil sih, Bu?”
“Iya, emang kecil, ini tu namanya replika.”
“Oh, kapal mainan,” balasnya sambil mengangguk seolah sudah mengerti. Padahal, entah.
Kami berkeliling ke seluruh penjuru istana. Mulai dari berswafoto foto dengan replika para Sultan dan di tempat-tempat yang menurut kami bagus untuk diabadikan, serta melihat berbagai benda-benda peninggalan para sultan yang memiliki nilai sejarah tinggi.
“Ibu, itu foto siapa?” Lagi Gadis kecilku bertanya, dia memang sedang bijak-bijaknya, ingin mengetahui semua hal, meskipun nantinya setelah diberitahu ia juga tak paham maksudnya. Biarkan saja, aku dan suami akan menjawab semua pertanyaannya sesuai kemampuan kami.
“Oh ... itu foto Sultan Syarif Kasim II.”
“Siapa dia?”
“Dia itu seorang raja, pemilik istana ini.”
“Oh ... raja. Terus kok nggak ada putrinya, Bu?” Dia bertanya lagi, matanya menatap ke seluruh foto-foto yang ada di dinding istana.
“Iya, nggak ada foto putrinya, tapi itu ada permaisurinya,” Aku menunjuk ke arah foto sultan yang sedang berdiri, beserta seorang wanita muda nan cantik jelita. Ia menggunakan pakaian yang terbuat dari kain tenun berwarna kuning. Menurut pengetahuanku zaman dahulu, warna kuning adalah warna khusus keluarga kerajaan. Rakyat biasa tidak diperbolehkan memakai warna tersebut.
“Mana ada! Ibu bohong!” bentaknya, seolah tak terima dengan jawabanku.
“Lah itu loh, Dek!”
“Bu ... kalau putri atau permaisuri yang adek lihat tu, dia pakai baju cantik, gaunnya kembang, kayak baju ulang tahun adek yang warna putih itu.” Dia menerangkan pendapatnya. Duh ... si Aqilah memang begitu anaknya, dia tak akan percaya begitu saja, kalau apa yang dijelaskan tak sama dengan yang ada difikirannya.
“Oalah, Dek. Kalau putri atau Permaisuri yang kayak adek maksud, itu putri yang ada di luar negeri sana. Kayak Princess yang ada di film itu, kan?”
“Iya,” jawabnya polos.
“Kalau tuan putri di Istana Siak ini berbeda, Nak. Mereka memakai pakaian adat daerah sini. Namanya baju kurung teluk belanga, atau baju kebaya laboh, yang terbuat dari kain tenun songket Riau.” Aku menerangkan pada Aqilah. Di balas anggukan olehnya, entah karena sudah mengerti atau sudah malas bertanya saja. Setelah itu kami pun melanjutkan menyusuri ruangan lain dalam istana.
“Ibu, kenapa kursi itu di taruh di dalam lemari?” tanyanya lagi.
“Oh, itu kursi singgasananya raja, Nak. Tempat duduknya raja kalau sedang bertemu dengan rakyat.”
“Kayak di film kartun itu ya, Bu.”
“Iya,” balasku. Setelah itu kami pergi lantai dua istana.
Di sana juga terdapat berbagai macam peninggalan sejarah Istana Siak, yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Ada beberapa guci keramik, Periuk untuk memasak air, beberapa buah dulang atau talam. Jika Anda penasaran, silakan langsung berkunjung ke sini. Dijamin Anda akan merasa takjub dan bangga, yang membuat kita semakin mencintai budaya dan sejarah Indonesia.
“Ini apa, Bu?” Aqilah menunjuk ke arah benda panjang berukuran besar.
“Ini namanya meriam,” jawabku.
“Untuk apa?” Dia bertanya lagi. “Untuk menembak musuh yang akan menyerang kerajaan,” jawabku asal, karena sudah kehabisan kata untuk menjawab semua pertanyaan gadis kecilku.
“Pistol!”
“Bukan.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung bagaimana menjelaskannya pada Aqilah, sampai pada akhirnya dia mengerti sendiri.
“Oh, ini bom, Bu!” serunya sambil menganggukkan kepala. Sontak beberapa pengunjung tersenyum mendengar pernyataannya.
“Pintar sekali adek ini,” ucap salah satu pengunjung. Kami tertawa serentak.
Kebetulan saat ke lantai atas ini, hanya aku berdua saja sama Aqilah. Sedangkan ayah dan abangnya duluan ke luar istana, sebab Gilang anak pertamaku tidak betah berlama-lama di dalam ruangan, Gilang anaknya hiperaktif dan juga belum bisa bicara, sehingga kami ke sini hanya fokus untuk mengenalkan Aqilah saja. Sementara Gilang, lebih memilih berlarian di halaman istana. Halaman istana yang luas ditanami berbagai macam bunga, sehingga bagus juga untuk dijadikan tempat berswafoto.
Aku dan Aqilah menatap keluar ruangan. Terlihat dari lantai dua istana, beberapa tempat wisata lainnya yang ada di kawasan kompleks istana. Seperti Taman Singapura, kelenteng, dan beberapa tempat nongkrong di sepanjang pinggiran sungai Siak. Ya, Istana Siak ini letaknya sangat strategis, berhadapan langsung dengan sungai Siak, dan tepat di tengah-tengah kota Kabupaten. Lokasinya yang gampang sekali di temukan, membuat tempat ini menjadi alternatif destinasi wisata favorit masyarakat khususnya Provinsi Riau.
Dari tahun ke tahun, Istana Siak banyak mengalami perubahan. Pemerintah sangat memperhatikan bangunan bersejarah ini, sangat disayangkan ketika beberapa bulan yang lalu, istana ini sempat mengalami kebakaran, meski pun kecil, tapi sangat merugikan. Ada beberapa patung replika hulu balang yang sengaja dibakar oleh orang yang tak bertanggungjawab. Satu lagi, kekurangannya, ialah tak ada baju adat khas putri dan pangeran yang bisa disewa untuk mengabadikan momen saat berkunjung ke sini. Seperti di berbagai daerah. Jika ada, pasti saat berkunjung ke sini sangatlah menyenangkan, selain itu juga sekaligus mengenalkan pakaian adat daerah Provinsi Riau.
Setelah puas berkeliling kompleks istana, kami memutuskan untuk beristirahat dan mengisi perut. Tujuan kami adalah duduk di pinggir bantaran sungai. Selain tempatnya yang teduh, sebab terdapat banyak pohon rindang, juga bisa melihat pemandangan sungai, sambil mendengarkan suara kapal yang lewat silih berganti.
Oh ... ya, jika kalian hendak berkunjung ke sini, agar menghemat biaya, sebaiknya membawa bekal dari rumah. Ini hanya sekedar saran dari aku. Sebab di sini, kulinernya selain kurang beragam, juga karena harganya cukup mahal. Jangan coba-coba jika berkunjung seharian ke sini tidak membawa bekal dari rumah, bisa mengakibatkan dompet emak kempes. Bayangkan saja, nasi bungkus dengan lauk ikan tongkol dan kuah saja, bisa dihargai 25.000 ribu rupiah, apalagi kuliner yang lainnya.
Setelah puas berkeliling dan belajar tentang sejarah Istana Siak, kami kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dari kota Siak ke Kecamatan Dayun, terdapat juga tempat wisata lainnya, yang baru saja dibangun. Tak begitu jauh dari jembatan Sultanah Latifah—yang merupakan salah satu jembatan terpanjang di Indonesia. Taman Rumah Pohon, juga ramai dikunjungi masyarakat untuk menghabiskan hari libur, serta tempat favorit untuk berswafoto. Sebab di taman ini sengaja disediakan spot foto yang Instagramable kekinian.
Jadi, bagi kalian yang berada di dalam atau di luar Provinsi Riau, yuk berkunjung ke sini. Selain membawa keluarga berlibur, juga mengajarkan anak-anak untuk mengenal sejarah dan budaya sedari dini, sehingga dengan pengetahuan yang didapat, anak-anak kita semakin mencintai sejarah dan budaya Indonesia.
=Selesai=
Pekanbaru, 13 Maret 2019
Lokasi Cagar Budaya dan Musium: Istana Siak Sri Indrapura, Siak, Riau, Indonesia.


Biodata penulis : 

Yesi Aqilah lahir di Bengkulu, 5 Juni 1987. Seorang ibu dengan dua orang anak. Salah satunya anak ABK. Hobi membaca dan menulis sejak kecil. Karyanya yang sudah terbit, tiga buah buku antologi.
Birai kehidupan ( saat aksara menceritakan kisahnya)
Moral Code KPFI
Hadia. Antologi ibu dan anak (Mom Squad)
Penulis bisa ditemui di IG dan FB atas nama Yesi Aqilah.

Sabtu, 27 April 2019

#Jumat_Cerbung - Ludruk Tobong - Tias Yuliana - Sastra Indonesia Org



1. GESTAPU (Bagian 1)
November 1965
Udara dingin menyelusup di antara celah-celah anyaman bambu sebagai satu-satunya dinding di rumah itu. Kain jarit tak mampu menghangatkan tubuh kurusnya. Sesekali ia merubah posisi tidur, bergulung agar mendapat sedikit kehangatan. Hujan masih mengguyur. Tak terputus sejak sore menjelang. Bulirannya gemeretak menembus retakan genteng tua. Rembas mengular berjatuhan. Dum. Dum. Terdengar begitu pilu, kala dia berakhir dalam drum plastik penampung air. Matanya masih juga terjaga. Semua usaha sia-sia. Suara katak sahut-menyahut. Kepak sayap serangga malam melayang menggoda sang pujaan. Semua gaung itu sangat mengganggu. Menyamarkan suara gending-gending, datang dan hilang sayup-sayup dari kejauhan.
Ah. Meski hujan tak mampir malam itu, ia tetap harus mendekap kesal seorang diri di dalam biliknya. Janda tua yang disebutnya budhe itu, sudah bertitah tidak akan ada lagi kesenangan di luar sana, seperti dulu-dulu kala ia masih kanak-kanak. Tak kurang tujuh hari tujuh malam. Pada saat musim giling tiba, lapangan pabrik gula akan dipenuhi wajah-wajah sumringah. Semua tumpah ruah, mandor, buruh pabrik, para petani yang tampak gilang-gemilang menggamit tangan anak-anak mereka, para penjaja dari berbagai penjuru daerah, bersatu dalam kemeriahan yang sama. Hiburan tayub dan pasar malam.
Kegelisahan semakin menudungi benaknya. Pikirannya berkecamuk antara sesal dan kecewa. Sudah lama ia memendam amarah. Meski hanya berani berunjuk dalam dada tanpa pernah benar-benar terlaksana. Satu demi satu tilasan kejadian berkelebat dalam kepala. Mereka berkata menaruh harapan masa tua di tangannya. Satu-satunya generasi penerus keluarga. Bapaknya anak kedua dari sembilan bersaudara. Semua mati dengan berbagai sebab. Hanya tersisa dua orang perempuan yang berulang kali menjanda. Tanpa seorang anakpun pernah dilahirkannya. Ia memanggilnya Budhe Misni dan Bibi Supiani. Dua sosok perempuan pengganti ibu yang bergantian mengasuh Roekiah dari masih berwujud bayi merah hingga kini menjadi bunga merekah.
Misni dengan segala kekerasan wataknya, tiada pernah berhenti mendikte segala apa yang harus diperbuat atau apa yang harus dihindarkan oleh Roekiah. Semua ada dalam kendalinya. Setiap tarikan napas dan setiap tetes darahnya, terkuasa dalam titahnya. Rasa cinta yang mendalam, takut akan kehilangan, menciptakan kepemilikan yang berlebihan atas keberadaan Roekiah dalam kehidupan kedua janda itu. Berbalik dengan Supiani. Penampakan wajah bulat sedikit tembam, memberikan kesan hangat dan penyayang. Namun malang tak dapat disayang, ia selalu dikalahkan oleh keadaan. Terlalu lemah untuk membuat keputusan. Tak pernah berdaya menunjukkan ketegasan. Meski Supiani senantiasa menopang Roekiah dari belakang, namun tak mampu menjadi panutan untuk menjadi sosok yang tegar.
Tinggal di kawasan pabrik gula memberi Roekiah sedikit keberuntungan. Ia berkesempatan memperoleh pengajaran dari sekolah umum yang dibangun oleh pabrik. Setamat dari sana, Misni tak sedia jika Roekiah melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sia-sia katanya untuk seorang anak perempuan.
Seluruh waktunya ia gunakan untuk membantu Misni dan Supiani. Pergi ke sawah, menjual kerupuk petis keliling desa, apapun ia kerjakan tanpa mengeluh. Kini bertambah satu pekerjaannya. Tanpa sepengetahuan Misni, ia membantu Bu Lurah menjahit baju, seperti memasang kancing atau membuat keliman. Dengan upah tak seberapa, namun ia suka melakukannya. Banyak ilmu dan hal baru yang bisa ia dapatkan. Jika sedang tak ada pesanan baju, ia tetap datang ke rumah Bu Lurah untuk sekedar meminta surat kabar lama. Membaca menjadi kesukaannya. Kala gelap turun ke bumi, siaran ludruk dari radio transistor Tjawang menjadi teman dalam sunyi.
Sejak tampuk kepemimpinan berpindah tangan, ludruk tidak lagi disiarkan di radio. Orang bilang ludruk harus dihindarkan jika tak ingin berakhir dalam pengasingan tanpa peradilan. Tersebab pada masa penjajahan hingga revolusi kemerdekaan, segala bentuk kesenian rakyat terutama ludruk, bisa menjadi alat yang efektif dalam membangkitkan jiwa heroik rakyat negeri ini. Demi menghapus pengaruh Ideologi Komunis, segala bentuk kesenian menjadi sasaran pengawasan oleh pemerintah, terutama yang berafiliasi dengan Lekra.
Pun demikian malam ini. Secara sporadis kesenian itu dicabut begitu saja dari satu-satunya penghiburannya. Hanya karena Misni kesal. Kekesalan yang ditimpakan secara tidak adil pada diri Roekiah. “Usiamu sudah enam belas! Tak patut lagi kau pergi ke pasar malam seperti yang sudah-sudah. Kau bukan kanak-kanak lagi! Lihat teman-teman sebayamu, semua sudah beranak dua dan tiga!”
“Aku hanya ingin melihat ludruk, Budhe. Pun aku pergi ke sana tak seorang diri. Bibi akan menemaniku.”
“Jangan terus membantah! Pergilah kau nonton ludruk sesuka hatimu kelak kalau sudah menikah! Sudah habis mukaku jadi gunjingan orang! Kau tahu apa yang mereka katakan? Aku membiarkan keponakanku satu-satunya menjadi perawan tua! Dikatanya patut aku berulang menjanda, karena suka pilih-pilih laki. Tak suami, tak menantu, semua aku pilih-pilih!” Jeda sejenak dengan napas terengah, “simbokne dobol! Jika bukan karena wasiat nyeleneh bapakmu! Sudah lama kau kunikahkan!”
Roekiah hampir percaya bahwa orang-orang seperti dirinya memang tak layak memiliki impian, bahkan berharap pun terasa saru. Sesuai wasiat dari bapaknya tanpa ia tahu pasti kebenarannya, bahwa ia putri semata wayang bapaknya, tidak boleh dinikahkan sebelum genap berusia enam belas. Bibinya bercerita, bapaknya ingin agar Roekiah bisa lebih lama menjalani masa mudanya. Menjadi perempuan yang berwawasan dan bebas menentukan jalan hidup, sebelum benar-benar harus mengabdi pada suami yang menjadi pilihannya. Tapi semua harapan itu ikut terkubur bersama dengan jasad bapaknya yang meninggal saat Roekiah berusia dua tahun.
Karena keberanian dan harapan yang pernah disampaikan bapaknya itulah yang membuat Roekiah berani bermimpi, berani berharap, bahkan berani memiliki keinginan untuk mewujudkannya meski hanya dalam asa. Hampir setiap ada kesempatan, Supiani akan mengajak Roekiah untuk menyaksikan pertunjukan ludruk dan tooneel. Untuk yang terakhir itu, sudah tidak dapat ditemui. Diam-diam Roekiah mengagumi setiap lakon-lakon perlawanan rakyat terhadap penjajahan dalam pementasan ludruk. Seolah lakon-lakon itu mampu mengejawantahkan perasaan dan kesulitan hidup yang ia alami selama ini. Ia ingin menjelma menjadi para lakon itu dalam kehidupan nyata dan melawan tiran atas perlakuan orang-orang dewasa di sekitarnya yang dianggap sebagai penjajah kehidupannya.
Pada masa-masa yang lalu ketika kesedihan dan rasa tak berdaya menghampirinya, ia akan mewujudkan lakon-lakon seperti Sarip Tambak Oso, Sogol Pendekar Sumur Gemuling, atau Pak Sakerah dengan celuritnya dalam angannya untuk melawan amukan Misni yang sering terjadi secara sporadis atas sesuatu yang ia tak pahami alasannya. Kini, pupus sudah impian ingin bermain sandiwara. Ludruk yang menjadi mimpinya, hambar seketika. Pertunjukan yang telah lama ia nantikan, harus rela ia lewatkan karena sebuah keegoisan.
Bagaimana bisa aku menonton ludruk setelah besuami? Pergi ke jamban saja mungkin aku akan diawasi. Siapapun dia, dapat kupastikan tak akan ada harapan sudi mengizinkan aku bermain sandiwara. Membayangkan saja mungkin diharamkannya.
Memikirkan tentang perjodohan itu hanya membuatnya semakin risau. Sesekali sang bayu menelisik. Meremangkan sekujur badan. Tubuhnya semakin menggigil. Seakan sunyi mampu membunuhnya malam itu juga. Dari kejauhan terdengar suara kentongan bambu pethung dipukul bersahutan. Timbul tenggelam. Ia mendengar Supiani terbangun. Geragapan memeriksa seluruh daun pintu dan jendela. Dimasukinya kamar Roekiah tanpa permisi. Tampak raut yang gelisah. Belum sempat Roekiah membuka suara, dengan segera tangan Supiani membungkam mulutnya. “Jangan berkata. Diam. Kita tunggu dan dengarkan.”
Kentongan masih dipukul. Berdentum-dentum seiring dengan degup jantung Roekiah. “Aku mendengar hembusan angin. Aku mendengar ketakutanku sendiri.”
Kian lama kian gaduh. Jauh dan dekat. Bahkan kini Roekiah mampu mendengar ketakutan bibinya. Seolah merambat dan merisak ke dalam liang telinganya. Entah dari mana datangnya perasaan itu. Ketakutan bisa membuat orang berbuat apa saja. Kadangkala memunculkan pemikiran paling sinting. Supiani mulai melantunkan kidung kawedar seolah ia tengah merapal mantra. Bukan ketenangan yang didapat, malah menambah muram suasana.
“Ana kidung rumeksa ing wengi. Teguh ayu luputa ing lara. Luputa bilahi kabeh. Jin setan datan purun. Paneluhan tan ana wani. Miwah penggawe ala. Guna ning wong luput. Geni temahan tirta. Maling adoh tan wani ngarah ing mami. Tuju duduk pan sirna.”
Roekiah memikirkan kembali kejadian siang ini. Lepas zuhur ia bergegas menuju rumah Bu Lurah. Sudah lebih dua minggu ia tak bersua dengan nyonya rumah. Di kala orang lain berkongsi tanpa mufakat menjauhi rumah itu, sebaliknya ia seolah ditarik oleh sesuatu yang membuatnya nagih untuk selalu pergi ke sana. Tak usah bayangkan betapa Misni sangat membenci nyonya rumah itu. “Dia akan memberimu pengaruh buruk! Lihat saja tingkahnya, memang pantas dia dengan sebutan Nyai!”
Pernah suatu kali Misni mencak-mencak mendapati Roekiah tak sependiam biasanya. Ia lebih senang bergelut dengan surat kabar pemberian Bu Lurah dari pada bergulat dengan urusan rumah yang tak ada habisnya. “Buat apa kau terus membaca semua itu? Nanti saat sudah berumah tangga yang kau perlukan kecakapan memasak dan mengurus rumah! Jangan kau jadi seperti Nyai Serimpit. Jika bukan karena suaminya, sudah lama orang tak hormat padanya!”
Puncaknya, semua buku dan surat kabar pemberian Bu Lurah dibuang oleh Misni ke dalam sumur. Habis semua basah. Tak bersisa. Sekali lagi Roekiah hanya mampu memendam amarah di dada. Terisak tanpa mampu berbuat banyak.
Rumah Bu Lurah terletak di selatan jalan yang biasa di lalui lori pengangkut tebu. Ia harus melewati tiga rumah tetangga sebelum tiba di sana. Halamannya luas dengan bangunan utama khas kolonial. Di sebelah barat terdapat pendopo tempat untuk menerima tamu. Luasnya bahkan mengalahkan gubuk gedek tempat tinggal Roekiah. Ia selalu mengagumi arsitektur rumah itu. Pintu dan jendela berventilasi yang menjulang tinggi, dinding kokoh terbuat dari batu bata merah di bagian atas dan setengah ke bawahnya bersusun batu kali hitam, dan segala perabot berukuran besar yang terbuat dari kayu jati dan ulin pilihan. Baginya yang biasa tinggal di rumah gedek, bangunan itu tampak seperti istana dalam cerita raja-raja.
Pada bulan-bulan basah seperti ini halaman rumah itu menjadi penuh warna. Tunas-tunas bunga Desember mulai memunculkan kuncupnya. Mereka akan mekar beberapa minggu lagi. Buah jambu darsono pun mulai menghitam di dahannya, siap untuk dipetik. Sawo kecik dan kenintu banyak berjatuhan ke tanah.
Tak seperti hari biasanya. Siang ini terasa sunyi. Tak ia dapati seorangpun. Anak-anak kampung itu sedang berlarian mengejar lori yang berjalan terseok penuh beban. Mereka akan berebutan menarik batang-batang tebu dari punggung lori tua peninggalan Kompeni itu. Tanpa alas kaki. Tubuh-tubuh kurus dan dekil. Bekas borok dan koreng terhampar hampir di setiap jengkal yang tak tertutup baju. Tawa riang mereka begitu tulus. Begitu bahagia dan ringan penuh warna. Tak risau meski perut tak pernah kenyang. Hidup mereka begitu sederhana. Memikirkan ia dahulu pernah merasakan hal yang sama. Pernah merasa sebahagia mereka.
Sadar dari lamun, kakinya tersandung akar pohon gayam. Ditatapnya puncak pohon itu. Begitu besar, tua, kokoh, dan tinggi menjulang. Banyak orangtua yang menakut-nakuti anaknya agar tidak bermain di halaman Bu Lurah, tak terkecuali Misni. Dia sering berkata, "gayam itu rumah genderuwo dan wewe! Banyak anak-anak hilang di sana!" Anehnya, selama ini tak pernah ada seorang anakpun yang hilang di bawah pohon gayam itu. Mereka malah selalu berebut buah gayam yang jatuh ke tanah untuk dibawa pulang. Entah direbus atau dibuat keripik oleh emaknya.
Segera ia berdiri dan menuju teras rumah. Ia ketuk pintu berjendela kaca rumah itu berulang kali. Senyap, tak ada jawaban. Ia masih menunggu. Melalui pintu kaca itu ia bisa melihat bagian dalam ruang tamu. Jam dinding besar seukuran lemari dengan pendulumnya yang tiada lelah bergoyang, sejumlah potret keluarga hitam putih yang berjajar rapi dalam bingkai kayu, kursi-kursi rotan tua yang kecokelatan, dan tatapnya terhenti pada tepak sirih dari kuningan yang terletak rapi di atas meja lengkap dengan isinya. Ia bayangkan mulutnya penuh, kewalahan mengunyah daun sirih sampai ludah memerah. “Tidak! Aku benci bau sirih! Aku tak akan pernah mengunyahnya!”
Pintu terbuka, membuatnya terperenyak. Bu Lurah berdiri di ambang pintu dan membukanya selebar mungkin. Ia mengenakan kain jarit berwarna kuning gading serta kebaya brokat bermotif bunga-bunga. Wajahnya muram, tak seperti biasanya. “Aku agak khawatir menerima tamu akhir-akhir ini. Kemarin aku sudah menolak dua anggota Gerwani.”
Mereka duduk-duduk di beranda rumah dan membiarkan angin memainkan anak-anak rambut Roekiah yang tak tergelung. Tatapnya mengejar seekor tupai yang tengah sibuk memilah buah kopi anjing.
“Apa itu artinya kita juga akan mengalaminya, Nyai?”
“Aku tidak paham.”
“Maksud saya, apa pasukan Gestapu itu juga akan mengobrak abrik desa kita?”
Bersambung ....
Catatan : Gambar oleh Basuki Abdullah
Sidoarjo, 05 April 2019


Biodata penulis :

TelagaKautsar adalah nama pena dari Tias Yuliana. Ibu dari seorang putra yang mencoba kembali bergelut dalam dunia sastra. Meski memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang lingkungan dan pertanian, namun membaca buku dan menulis fiksi adalah kecintaannya sejak masih belia.

Jumat, 26 April 2019

Happy Ending yang Dipaksakan Akan Membuat Cerita Menjadi Buruk - Sastra Indonesia Org




Nah, kalau kemarin kita membahas tentang twist ending yang dipaksakan. Sekarang kita akan membahas mengenai happy ending yang dipaksakan. Seperti biasa, sebelum memulai belajar hari ini silakan berdoa menurut keyakinan masing-masing terlebih dahulu ya! J

Kalian pernah membaca atau menonton film yang tokohnya mati lalu tiba-tiba hidup lagi karena banyak pembaca atau penonton yang kecewa idola mereka dimatikan enggak? Nah, itu adalah salah satu happy ending yang dipaksakan.

Memang happy ending itu bisa membuat pembaca atau penonton bahagia, tapi jika memaksakan akhir yang bahagia juga bukan solusi yang benar atau tepat.

Tidak sedikit penulis pemula mengira sebuah cerita akan sukses kalau berakhir happy ending, padahal sebenarnya tidak selalu demikian.
Sebuah cerita bisa berakhir bahagia ataupun sebaliknya. Kalau ditanya mana yang lebih bagus maka jawabannya adalah pilihan penulis. Mau pilih yang mana itu terserah keinginan penulis.

Memang kalau happy ending itu bisa membuat pembaca atau penonton puas dan bahagia. Misal, tokoh jahat kalah dan sedangkan yang baik menang. Tidak heran jika banyak pembaca atau penonton senang kalau tokoh sentral yang mereka dukung mencapai apa yang diharapkan. Jadi, mereka terhibur setelah membaca atau menonton sebuah kisah happy ending.

Tapi, apakah dengan begitu happy ending selalu lebih bagus daripada sad ending? Oh, tidak juga.
Contoh saja pada kisah Romeo dan Juliet, kalau ceritanya happy ending apakah akan melegenda sampai saat ini?

Satu-satunya sebab kisah Romeo dan Juliet legenda sampai saat ini karena mereka rela mati bunuh diri demi cinta, mati bersama. Nah, justru karena sad ending-lah yang menjadikan kisah itu abadi atau melegenda sampai sekarang.





Kalau sad ending mungkin lebih berpeluang untuk meninggalkan kesan atau bekas dan lebih abadi. Karena kisah tragis lebih meninggalkan kesan mendalam dalam hati.

Selain itu, sad ending juga lebih realistis. Karena tidak selamanya kebaikan menang dan kejahatan kalah kan? Bahkan di dunia nyata pun, orang jahat kebanyakan lebih panjang umur daripada orang baik. Di dunia nyata, kebanyakan orang berhati jahat malah lebih langgeng kekuasaannya dibanding orang baik. Realitasnya, kebaikan bisa menang dan kejahatan pun bisa menang. Lalu, ending mana yang lebih bagus?
Baik sad ending ataupun happy ending keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Mungkin sad ending lebih membekas atau berkesan dan abadi, tetapi apakah ia disukai oleh pasar?

Bagi marketing sendiri mungkin happy ending lebih menarik. Orang akan bercerita dari mulut ke mulut atau berbagi kisah bahagia yang telah ia baca atau tonton.

Orang yang berbagi kisah happy ending selain secara langsung biasanya juga melalui update status di media sosialnya dan secara tidak langsung dia telah membantu mempromosikan dan menarik orang lain.

Akan tetapi sebaliknya, ketika kecewa atau sedih karena bacaan atau film. Karena, ketika menceritakan atau membuatnya menjadi status di media sosial, mereka cenderung membocorkan ending dan menjadi bumerang yang mencitrakan publikasi tidak menguntungkan.
Untuk optimisme happy ending juga menarik kok J. Coba bayangkan jika buku atau kisah Disney berakhir sad ending, pasti tidak akan ada orangtua yang mau mendongengkan ke anak-anak mereka atau mengajak ke bioskop untuk hiburan keluarga.

Jadi, kalian mau pilih yang mana? Terserah kalian mau pilih yang mana. Kisah berakhir sad ending atau sebaliknya. Namun, yang penting penulis harus tahu keduanya memeliki kelebihan dan kekurangan.

Pokoknya yang lebih penting jangan memaksakan tulisan harus sad ending atau sebaliknya. Jika hal itu dilakukan, maka bisa membuat tulisan terlihat tidak natural. So, jangan pernah memaksakan ending ya kawan-kawan! Buatlah ending senatural atau sealamiah mungkin! J

Bagaimana? Sudah tahu kan sekarang? Kalau ada yang menyanggah, monggo saya persilakan! J

All picture by: Google

#Kamis_Cerpen - Target 1 - Tias Yuliana - Sastra Indonesia Org




Ia tampak gelisah. Sesekali melirik papan penunjuk nomor antrian. Suasana riuh di ruangan itu semakin membuatnya tertekan. Berkali-kali ia memastikan bahwa, ia berada pada jarak yang aman dari seseorang di ujung sana.
“Masih sepuluh nomor lagi.” Diremasnya kertas nomor antrian.
“Tenanglah! Jangan tunjukkan wajah ketakutanmu itu! Oh, ya ampun!” Sebuah suara berujar kesal.
Ia merasa lega dengan kehadiran suara itu, sekaligus putus asa dengan kondisi yang tengah dihadapinya. “Aku butuh seseorang untuk diajak bicara. Tidak. Maksudku untuk menyelesaikan kasus ini.”
“Aku tak pernah jauh darimu.”
Suasana di ruang tunggu semakin penuh. Udara dari pendingin ruangan tak lagi menyejukkan. Aroma ketiak basah dan parfum murahan bercampur memualkan. Ditudungkannya hoodie lebih dalam. Ia sapukan pandang ke seluruh penjuru. Dua kursi tersisa di deretan belakang, sebelah kanan dari pintu masuk. Diangkatnya tas perjalanan hitam besar dan berat. Terlihat timpang dalam dekapan tubuh kecilnya. Kembali ia melirik papan antrian sekilas sebelum memastikan seseorang masih pada tempatnya di ujung sana. Lalu berjalan tergesa ke deretan belakang.
“Jangan duduk di situ bodoh! Orang itu akan dengan mudah menghampirimu!”
Terkejut. Ia lanjut berjalan dan melewati dua kursi kosong yang dengan segera digunakan orang lain. Tanpa pikir panjang segera ia pindah ke deretan kursi tengah yang lebih ramai. “Thanks, sudah mengingatkan kebodohanku.”
Dihempaskannya tas hitam itu tepat di bawah kakinya. Kini ia merasa sedikit lega. Duduk di sebelah seorang gadis muda yang tengah sibuk dengan gawainya.
“Pssstt...!!”
“Apa sih?”
“Lihat di depanmu! Mau coba menebak?”
Tepat dihadapannya seorang perempuan berkerudung merah duduk membelakanginya. Perempuan itu terlibat percakapan serius dengan seorang pria muda di sebelahnya. Si pria mengenakan setelan kerja warna gelap lengkap dengan tas kulit coklat imitasi yang sedikit tua karena terlalu sering dibawa.
“Apa target kita beralih padanya?” Ditariknya tudung hoodie hingga menutupi bagian atas wajahnya. Sesekali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan waspada.
“Tidak. Jangan terlalu serius. Kita tetap pada target utama.”
“Lalu?”
“Jangan pura-pura tak tahu. Kau lihat tatapan birahi itu?”
“Menjijikkan. Apa kita akan menghabiskan waktu seharian hanya untuk ini? Bisa saja mereka pasangan suami istri. Apa masalahnya?”
“Masalahnya ada pada ke-tidak-peduli-an-mu.”
“Aku tidak butuh penekanan pada kata terakhir! Baik. Memang mereka tidak tampak seperti pasangan menikah. Kau paham maksudku. Eh, seseorang yang sudah menikah tidak akan menampakkan “kemesraan” di depan umum. Karena romantisme itu hanya untuk mereka pribadi, terlalu mahal untuk dibagi.”
“Jadi, menurutmu siapa mereka? Mau coba menebak?”
“Ya kau benar! Aku terganggu dengan cara pria itu menatap si perempuan. Tidak beradab! Jika dilihat dari pakaian yang digunakan dan cara tubuhnya berbicara, aku pikir pria ini adalah pegawai bank yang berurusan dengan perkreditan. Tampaknya mereka saling mengenal dengan baik di luar urusan bisnis. Tapi dapat kupastikan mereka bukan pasutri karena tidak ada kontak fisik sama sekali. Berjarak tapi juga terlalu dekat.”
“Yah Si Pria tampak bersemangat sekali berbicara dengan lawannya. Lihatlah gairah di sorot mata pria itu.”
“Kenapa kau sibuk sekali dengan tatapan ‘mesum’ itu? Aku pikir itu hanya ketertarikan alami seorang pria saat berhadapan dengan lawan jenis yang memang menarik secara fisik. Atau bisa saja sikap akrab Si Pria memang sengaja ditampilkan sebagai bagian dari pekerjaannya.”
“Menggaet klien dengan tatapan mesum?”
“Cukup. Aku lelah. Apa sih tujuan tebakan ini?” Kembali ia mencuri pandang ke ujung ruangan.
“Tidak ada. Hanya berusaha menghiburmu agar tidak terlalu fokus pada sesuatu di ujung sana.”
“Aku akan meralat kesimpulanku untuk tebakan kali ini. Meskipun hubungan mereka murni urusan pekerjaan, seorang pria tidak akan sanggup menyembunyikan ketertarikannya pada seorang wanita yang berparas rupawan. Juga sebaliknya, dia tidak akan sanggup berpura-pura antusias pada lawan bicara yang secara fisik sama sekali tidak menarik!” Ia menjawab dengan ketus.
Tak berapa lama kemudian, si pria beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan si perempuan seolah dengan terpaksa. Saat hendak pergi, si pria masih berusaha mengajak si perempuan untuk berbicara dan membisikkan beberapa kata dengan jarak terlampau dekat ke pada si perempuan.
“Hampir saja bibir mereka bertamu.”
“Astaga! Cukup! Aku muak dengan segala omong kosong ini!”
“Nomor antrian 317 harap menuju counter dua.” Suara nyonya mesin otomatis terdengar nyaring di pengeras suara.
Ia tergeragap. Panggilan nomor antrian itu untuk seseorang di ujung sana.
“Target bergerak!”
“Aku tahu!”
“Tetap waspada. Jika kau tak sanggup melakukannya, biarlah aku yang akan bertindak!”
“Tidak. Kita akan melakukannya BERSAMA. Kau dan aku.”
Seorang pria berusia sekitar akhir dua puluhan berjalan dari ujung ruangan ke meja teller. Tubuh jangkungnya tampak mencolok. Berjalan lambat dengan langkah yang lebar.
“Siapa yang akan menduga. Dengan kulit secerah itu dan paras yang cukup tampan. Yah, minus untuk rambut ikalnya sih. Manalagi dipotong cepak. Bukan seleraku.”
“Apa kita akan mulai membahas tipikal pria kesukaanmu? Fokus! Dia target kita! Aku muak selama hampir sebulan ini menghadapi orang yang sama.”
“Aih. Dia masih di meja teller. Tenang saja.”
“Deskripsi pakaian?”
“Hum, masih sama seperti seminggu, dua, tiga, dan sebulan yang lalu. Kemaja kotak-kotak lengan pendek, celana panjang katun hitam, dan.... Ada sedikit perbedaan. Aku hampir terkejut dibuatnya.”
“Apa itu? Laporkan sekecil apapun itu. Mungkin saja dapat membatalkan status dia sebagai target.”
“Sandal jepitnya. Jika kemarin-kemarin sandal karet lusuh warna hijau, sekarang warnanya sudah tidak sama lagi antara kanan dan kiri. Tapi kakinya masih sama. Berlumpur!”
“Astaga!”
“Apa itu artinya baik?”
“Tentu saja tidak! Kita semakin menjauh dari tebakan yang tepat. Mendekatipun tidak.”
Ia merasa sangat terganggu dengan keberadaan pria yang disebutnya sebagai target. Awal pertemuannya sekitar satu bulan yang lalu. Target selalu datang di hari dan jam yang sama setiap minggunya. Pada kantong kemejanya ia menyimpan dua buah buku tabungan, dua buah ponsel monokrom, uang dalam jumlah besar, dan selalu mengenakan pakaian yang sama. Hal terakhir yang membuatnya sangat muak akan keberadaan target.
“Siapa sih sebenarnya target kita ini? Kenapa kau sangat terganggu?”
“Ini bukan lagi tebakan. Aku tidak peduli dia kuli angkut di pasar, tukang bangunan, atau pedagang. Kaki berlumpurnya bisa saja diantara ketiga itu atau bahkan bukan sama sekali.”
“Jadi, apa kemungkinan yang paling mendekati?”
“Bisa kau periksa lebih teliti pakainnya?”
“Yah, sudah kusebutkan tadi. Masih dengan pakaian yang sama. Oh astaga!”
“Kau terpekik. Menemukan sesuatu?”
“Bangsat sialan ini! Membuatku muak!”
“Ah, sudah kau dapati rupanya. Jadi pantas kita jadikan dia target?”
“Yah. Dia sudah selesai. Mulai berjalan menuju pintu keluar.”
Ia mengambil tas hitam besar di kakinya. Dengan segera berdiri dan berjalan mengikuti target di belakang. Ia memperlambat langkah untuk mengurangi kecurigaan target. Dikenakannya masker pada wajah dan menarik tudung hoodie lebih dalam. Setelah lima ratus meter dari halaman bank, target berbelok menuju jalan setapak yang sepi.
“Sekarang waktunya!”
Ia menghentikan langkah dan merogoh sesuatu dari dalam tas hitamnya. Ia genggam erat tanpa mengeluarkannya dari tas. Ragu sejenak. Namun ia teringat akan sesuatu yang akan terus mengganggunya jika ia tak melakukannya saat itu juga. Dengan keberanian yang tak terduga, ia berlari menuju target dan menghadangnya seketika.
“Berhenti!” Dengan napas terengah.
Target terkejut, menghentikan langkah, dan berbalik.
Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas hitamnya yang berat. “Ambil ini! Dan buang celana robekmu itu! Tak ada gunanya menimbun kekayaan segunung, jika dirimu sendiri tak kau hargai. Kau tahu? Pakaianmu itu membuatku muak!”
Ia segera beranjak setelah target menerima bungkusan hitam itu.
“Kau, sungguh berani!”
“Aku tidak suka melihat sesuatu yang tidak seharunya diperlihatkan.”
“Jadi, tebakanmu, siapa dia?”
“Pengemis! Kerjannya hanya duduk berjam-jam sambil menjulurkan tangan. Tidak aneh jika ia datang di waktu yang sama setiap minggunya. Dan uang yang disetor tidak sedikit. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Yah, celana robeknya. Kau tahu? Ini membuatku muak. Aku terlanjur melihat pantatnya, sialan!”
“Bodoh, alihkan pandanganmu!”
“Tapi kau memintaku untuk melihat dengan seksama pakaiannya!”
“Dia hanya butuh celana, itu saja!”
Ia berjalan dengan ringan. Suara-suara yang berisik di telinganya ia tepis menjauh. Tidak perlu lagi ada celana robek. Tidak perlu lagi ada suara robek.
End
Gambar oleh : Joanna Karpowicz


Biodata penulis :

TelagaKautsar adalah nama pena dari Tias Yuliana. Ibu dari seorang putra yang mencoba kembali bergelut dalam dunia sastra. Meski memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang lingkungan dan pertanian, namun membaca buku dan menulis fiksi adalah kecintaannya sejak masih belia.