“Kita mau ke mana, Yah?” tanya Aqilah—anak nomor duaku yang usianya baru menginjak empat setengah tahun.
Gadis kecilku ini sangat bawel, rasa ingin tahunya sangat tinggi. Terkadang saking bawelnya Aqilah bertanya, aku dan suami sampai kewalahan untuk menjawab. Seperti saat kami membawa kedua buah hati untuk menghabiskan masa libur panjang di akhir tahun 2018 yang lalu. Kala itu kami membawa mereka ke destinasi wisata yang ada di Kabupaten Siak—sekaligus berkunjung ke rumah nenek mereka.
“Kita mau jalan-jalan ke Istana Siak,” jawab suamiku.
“Hore ...!” teriaknya kegirangan.
“Tapi, di sana nanti adek nggak boleh lasak, ya! Juga nggak boleh minta yang macam-macam!” Aku menimpali percakapan mereka. Biasalah emak-emak, antisipasinya cukup tinggi.
“Oke!”
“Libur telah tiba. Libur telah tiba. Hore! Hatiku gembira.” Aqilah bernyanyi.
Sepanjang perjalanan putri kecilku tak berhenti bernyanyi, juga membaca hafalan surah pendek. Itu karena agar ia tidak merasa mengantuk. Sesekali Aqilah memperbaiki posisi jilbabnya yang miring, sebab terkena embusan angin.
Kurang lebih satu jam perjalanan dari rumah mertuaku—yang berada di Kecamatan Dayun, akhirnya tiba di kota Kabupaten Siak. Kami langsung menuju ke lokasi Istana. Setelah memarkirkan motor di lapangan seberang jalan tepat di depan istana. Kami berjalan kaki menuju tempat penjualan tiket masuk ke Istana Siak Sri Indrapura.
Harga tiket masuk relatif sangat murah, membuat Istana Siak tak pernah sepi dari pengunjung. Hampir setiap hari ada saja masyarakat yang datang. Apalagi saat hari-hari libur seperti ini, bahkan saat libur lebaran, Istana Siak menjadi tujuan utama masyarakat mengisi liburan. Harga tiket masuk berkisar lima ribu rupiah per-orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak digratiskan.
Ini bukan pertama kalinya kami berkunjung ke sini. Hanya saja, kali ini yang membuatnya berbeda--itu karena Gadis kecilku sangat tertarik untuk banyak tahu tentang isi maupun sejarah bangunan ini. Sedangkan Gilang—anak pertamaku dia nyaman ketika diajak ke sini, karena halaman istana yang sangat luas, sehingga membuatnya bebas berlarian ke sana—ke mari.
Istana Siak Sri Indrapura, atau Istana Asserayah Hasyimiah atau Istana Matahari Timur merupakan kediaman resmi sultan Siak yang mulai dibangun pada tahun 1889, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim. Istana ini merupakan peninggalan kesultanan Siak Sri Indrapura pada tahun 1893. Kini istana ini masuk wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Siak, kompleks istana ini memiliki luas sekitar 32.000 meter persegi, yang terdiri dari empat istana yaitu Istana Siak, Istana Lima, Istana Panjang, dan Istana Baroe. Istana Siak sendiri memiliki luas 1.000 meter persegi. (Sumber Google.)
Saat hendak masuk ke dalam istana, semua pengunjung diharuskan melepas alas kaki, di depan pintu masuk istana sudah tersedia tempat penitipannya. Sebelum masuk, pengunjung juga disarankan untuk mengisi buku tamu. Para pemandu wisata yang menggunakan seragam baju kurung, tak lupa dengan kain songketnya, (baju melayu khas Provinsi Riau.) Akan menemani para pengunjung berkeliling istana.
Bangunan yang terdiri dari dua lantai itu memiliki banyak ruangan. Ruangan utama diisi oleh sekelompok patung replika sultan Siak beserta para menteri dan hulu balang. Sang sultan sendiri memakai pakaian yang terbuat dari tenun songket Siak, berwarna hitam, dengan motif yang terbuat dari benang emas, serta tanjak yang ada di kepalanya. Sementara para menteri dan hulu balang hanya menggunakan baju melayu dengan kain songket biasa, beserta tanjak. Maklum, pada zaman dahulu, kain tenun hanya boleh digunakan oleh para sultan dan keturunannya. Berbeda dengan zaman sekarang, masyarakat bebas memakai songket dengan bermacam motif.
Di ruangan khusus rapat diisi oleh beberapa kursi peninggalan istana yang tersusun rapi mengelilingi meja persegi panjang. Begitu pun dengan ruangan makan. Selain ruangan-ruangan tersebut masih banyak lagi terdapat beberapa kamar tidur, kamar mandi, dan juga tempat penyimpanan barang bersejarah lainnya. Semua benda yang ada di sana tidak boleh disentuh, hanya boleh dilihat dan diabadikan saja lewat kamera.
Beberapa foto lukisan wajah para sultan dipajang di beberapa dinding istana. Serta hampir disetiap ruangan terdapat etalase dengan berbagai bentuk dan ukuran, di sana terdapat berbagai peninggalan istana, seperti piring, gelas, sendok, baju permaisuri yang terbuat dari kain tenun songket Siak, rompi sultan saat masih bayi, sepatu permaisuri, bahkan ada beberapa benda pusaka kerajaan seperti keris, tombak dan lain sebagainya. Ada juga cermin awet muda sang Ratu yang terbuat dari kristal. Biasanya cermin raksasa ini jadi tempat favorit pengunjung untuk berswafoto.
“Ibu, ini apa?” tanya Aqilah menunjuk ke arah etalase.
“Oh ... ini, Dek?” Aku mendekat ke arah etalase yang ditunjuk Aqilah.
“Iya,” balasnya.
“Ini namanya kapal lancang Kuning.”
“Kok kecil sih, Bu?”
“Iya, emang kecil, ini tu namanya replika.”
“Oh, kapal mainan,” balasnya sambil mengangguk seolah sudah mengerti. Padahal, entah.
Kami berkeliling ke seluruh penjuru istana. Mulai dari berswafoto foto dengan replika para Sultan dan di tempat-tempat yang menurut kami bagus untuk diabadikan, serta melihat berbagai benda-benda peninggalan para sultan yang memiliki nilai sejarah tinggi.
“Ibu, itu foto siapa?” Lagi Gadis kecilku bertanya, dia memang sedang bijak-bijaknya, ingin mengetahui semua hal, meskipun nantinya setelah diberitahu ia juga tak paham maksudnya. Biarkan saja, aku dan suami akan menjawab semua pertanyaannya sesuai kemampuan kami.
“Oh ... itu foto Sultan Syarif Kasim II.”
“Siapa dia?”
“Dia itu seorang raja, pemilik istana ini.”
“Oh ... raja. Terus kok nggak ada putrinya, Bu?” Dia bertanya lagi, matanya menatap ke seluruh foto-foto yang ada di dinding istana.
“Iya, nggak ada foto putrinya, tapi itu ada permaisurinya,” Aku menunjuk ke arah foto sultan yang sedang berdiri, beserta seorang wanita muda nan cantik jelita. Ia menggunakan pakaian yang terbuat dari kain tenun berwarna kuning. Menurut pengetahuanku zaman dahulu, warna kuning adalah warna khusus keluarga kerajaan. Rakyat biasa tidak diperbolehkan memakai warna tersebut.
“Mana ada! Ibu bohong!” bentaknya, seolah tak terima dengan jawabanku.
“Lah itu loh, Dek!”
“Bu ... kalau putri atau permaisuri yang adek lihat tu, dia pakai baju cantik, gaunnya kembang, kayak baju ulang tahun adek yang warna putih itu.” Dia menerangkan pendapatnya. Duh ... si Aqilah memang begitu anaknya, dia tak akan percaya begitu saja, kalau apa yang dijelaskan tak sama dengan yang ada difikirannya.
“Oalah, Dek. Kalau putri atau Permaisuri yang kayak adek maksud, itu putri yang ada di luar negeri sana. Kayak Princess yang ada di film itu, kan?”
“Iya,” jawabnya polos.
“Kalau tuan putri di Istana Siak ini berbeda, Nak. Mereka memakai pakaian adat daerah sini. Namanya baju kurung teluk belanga, atau baju kebaya laboh, yang terbuat dari kain tenun songket Riau.” Aku menerangkan pada Aqilah. Di balas anggukan olehnya, entah karena sudah mengerti atau sudah malas bertanya saja. Setelah itu kami pun melanjutkan menyusuri ruangan lain dalam istana.
“Ibu, kenapa kursi itu di taruh di dalam lemari?” tanyanya lagi.
“Oh, itu kursi singgasananya raja, Nak. Tempat duduknya raja kalau sedang bertemu dengan rakyat.”
“Kayak di film kartun itu ya, Bu.”
“Iya,” balasku. Setelah itu kami pergi lantai dua istana.
Di sana juga terdapat berbagai macam peninggalan sejarah Istana Siak, yang tak bisa kusebutkan satu per satu. Ada beberapa guci keramik, Periuk untuk memasak air, beberapa buah dulang atau talam. Jika Anda penasaran, silakan langsung berkunjung ke sini. Dijamin Anda akan merasa takjub dan bangga, yang membuat kita semakin mencintai budaya dan sejarah Indonesia.
“Ini apa, Bu?” Aqilah menunjuk ke arah benda panjang berukuran besar.
“Ini namanya meriam,” jawabku.
“Untuk apa?” Dia bertanya lagi. “Untuk menembak musuh yang akan menyerang kerajaan,” jawabku asal, karena sudah kehabisan kata untuk menjawab semua pertanyaan gadis kecilku.
“Pistol!”
“Bukan.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, bingung bagaimana menjelaskannya pada Aqilah, sampai pada akhirnya dia mengerti sendiri.
“Oh, ini bom, Bu!” serunya sambil menganggukkan kepala. Sontak beberapa pengunjung tersenyum mendengar pernyataannya.
“Pintar sekali adek ini,” ucap salah satu pengunjung. Kami tertawa serentak.
Kebetulan saat ke lantai atas ini, hanya aku berdua saja sama Aqilah. Sedangkan ayah dan abangnya duluan ke luar istana, sebab Gilang anak pertamaku tidak betah berlama-lama di dalam ruangan, Gilang anaknya hiperaktif dan juga belum bisa bicara, sehingga kami ke sini hanya fokus untuk mengenalkan Aqilah saja. Sementara Gilang, lebih memilih berlarian di halaman istana. Halaman istana yang luas ditanami berbagai macam bunga, sehingga bagus juga untuk dijadikan tempat berswafoto.
Aku dan Aqilah menatap keluar ruangan. Terlihat dari lantai dua istana, beberapa tempat wisata lainnya yang ada di kawasan kompleks istana. Seperti Taman Singapura, kelenteng, dan beberapa tempat nongkrong di sepanjang pinggiran sungai Siak. Ya, Istana Siak ini letaknya sangat strategis, berhadapan langsung dengan sungai Siak, dan tepat di tengah-tengah kota Kabupaten. Lokasinya yang gampang sekali di temukan, membuat tempat ini menjadi alternatif destinasi wisata favorit masyarakat khususnya Provinsi Riau.
Dari tahun ke tahun, Istana Siak banyak mengalami perubahan. Pemerintah sangat memperhatikan bangunan bersejarah ini, sangat disayangkan ketika beberapa bulan yang lalu, istana ini sempat mengalami kebakaran, meski pun kecil, tapi sangat merugikan. Ada beberapa patung replika hulu balang yang sengaja dibakar oleh orang yang tak bertanggungjawab. Satu lagi, kekurangannya, ialah tak ada baju adat khas putri dan pangeran yang bisa disewa untuk mengabadikan momen saat berkunjung ke sini. Seperti di berbagai daerah. Jika ada, pasti saat berkunjung ke sini sangatlah menyenangkan, selain itu juga sekaligus mengenalkan pakaian adat daerah Provinsi Riau.
Setelah puas berkeliling kompleks istana, kami memutuskan untuk beristirahat dan mengisi perut. Tujuan kami adalah duduk di pinggir bantaran sungai. Selain tempatnya yang teduh, sebab terdapat banyak pohon rindang, juga bisa melihat pemandangan sungai, sambil mendengarkan suara kapal yang lewat silih berganti.
Oh ... ya, jika kalian hendak berkunjung ke sini, agar menghemat biaya, sebaiknya membawa bekal dari rumah. Ini hanya sekedar saran dari aku. Sebab di sini, kulinernya selain kurang beragam, juga karena harganya cukup mahal. Jangan coba-coba jika berkunjung seharian ke sini tidak membawa bekal dari rumah, bisa mengakibatkan dompet emak kempes. Bayangkan saja, nasi bungkus dengan lauk ikan tongkol dan kuah saja, bisa dihargai 25.000 ribu rupiah, apalagi kuliner yang lainnya.
Setelah puas berkeliling dan belajar tentang sejarah Istana Siak, kami kembali pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dari kota Siak ke Kecamatan Dayun, terdapat juga tempat wisata lainnya, yang baru saja dibangun. Tak begitu jauh dari jembatan Sultanah Latifah—yang merupakan salah satu jembatan terpanjang di Indonesia. Taman Rumah Pohon, juga ramai dikunjungi masyarakat untuk menghabiskan hari libur, serta tempat favorit untuk berswafoto. Sebab di taman ini sengaja disediakan spot foto yang Instagramable kekinian.
Jadi, bagi kalian yang berada di dalam atau di luar Provinsi Riau, yuk berkunjung ke sini. Selain membawa keluarga berlibur, juga mengajarkan anak-anak untuk mengenal sejarah dan budaya sedari dini, sehingga dengan pengetahuan yang didapat, anak-anak kita semakin mencintai sejarah dan budaya Indonesia.
=Selesai=
Pekanbaru, 13 Maret 2019
Lokasi Cagar Budaya dan Musium: Istana Siak Sri Indrapura, Siak, Riau, Indonesia.
Biodata penulis :
Yesi Aqilah lahir di Bengkulu, 5 Juni 1987. Seorang ibu dengan dua orang anak. Salah satunya anak ABK. Hobi membaca dan menulis sejak kecil. Karyanya yang sudah terbit, tiga buah buku antologi.
Birai kehidupan ( saat aksara menceritakan kisahnya)
Moral Code KPFI
Hadia. Antologi ibu dan anak (Mom Squad)
Penulis bisa ditemui di IG dan FB atas nama Yesi Aqilah.