Aku tak pernah mengharapkan ini terjadi. Bahkan hanya sekadar membayangkan, sungguh! Hidupku terlalu nyaman setelah tak bersamanya.
Namun, saat ini ... kurasakan raga yang membeku. Tak dapat bergerak, kaku. Beberapa peluh dingin meluncur di pelipisku. Kedua telapak tangan kini kurasa basah.
"Sudah lama, ya?" Suaranya memecah kesunyian. Entah telah berapa lama kami saling berhadapan tanpa sepatah kata pun terlontar. Bahkan, saling pandang pun tak terjadi. Hanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Iya," balasku tanpa menatapnya. Menyorotkan pandangan pada jendela di sampingku. Meski kutahu, kedua netranya memandang wajahku.
"Kau semakin cantik," tambah lelaki itu dengan sedikit melembut. Kulirik ia dengan penuh ragu. Rekahan senyum terpampang jelas dari wajahnya. Membuatku ikut mengembangkan sedikit sabit pemaksaan di bibir.
"Terima kasih," balasku sambil kembali melempar pandang ke pemandangan yang terhalang oleh jendela.
Ini menyebalkan!
Mengapa harus kembali bertemu dengannya? Setelah kurang lebih tiga belas tahun kami berpisah. Selama itu pula tak ada kabar darinya. Ucapan terakhir yang kudengar adalah ia akan pergi ke luar kota bersama kekasih barunya.
Aku tak peduli. Sudah kunikmati hidup tanpanya, tanpa kabar darinya. Bahkan, ingatanku hampir memudarkan bayangnya, jika dia tak mampir ke tempat kerjaku saat ini.
Untuk apa dia kemari?
"Aku minta maaf, aku salah," ungkapnya sembari memasang wajah bersalah. Kemudian menunduk dan mengepal kedua tangannya.
Itu yang kulihat.
"Sudah berlalu. Untuk apa kau kemari?" balasku dingin. Ah, aku muak. Percuma dia mengucap kata 'maaf' beribu kali, hatiku telah hancur dibuatnya.
"Maafkan aku! Aku tahu aku salah. Ternyata, wanita itu hanya memanfaatkan hartaku. Dan sekarang, aku bangkrut." Ia tetap menunduk. Entah benar merasa bersalah, atau hanya kedok belaka.
Geram, ingin rasanya kutumpahkan air mineral di gelasku pada wajahnya. Seperti di film-film. Namun, ah ... sudahlah.
Meski telah lama tak berjumpa, aku masih mengingatnya. Lekuk di setiap senti wajahnya, tinggi badan dan suaranya. Ternyata aku masih hafal. Terbukti saat pagi tadi ia memanggilku yang tengah sibuk membereskan beberapa piring kotor di meja.
"Key, bagaimana kabar Ibumu?" Ia mendongkak, memasang wajah khawatir yang semakin membuatku kesal.
"Untuk apa bertanya tentang ibu? Dia bukan urusanmu lagi!" Kugebrak meja pelan. Sungguh, ingin menampar wajahnya saat itu juga. Tak ada secuil pun rasa sayang atau rindu. Aku membencinya. Terlebih, kematian Ibu itu disebabkan olehnya.
"Aku ingin meminta maaf padanya, juga padamu. Kumohon, maafkan aku!" Tiba-tiba ia beranjak dari bangku dan bersimpuh di samping kakiku.
Apa-apan lelaki ini?
"Percuma! Mau kau meminta maaf seribu kali atau selama napasmu berembus, kau tak akan kumaafkan!" Perih, hatiku kembali terkoyak karenanya. Terlebih, mengingat kejadian tiga belas tahun lalu, saat kepergiannya. Saat paling hancur bagi diriku ....
"Kau tahu? Setelah kau pergi bersama wanita j*lang itu, ibuku sakit parah! Sampai ...." Tak mampu kulanjutkan ucapan. Bulir hangat terjun deras secara tetiba.
"Ibu meninggal!" ucapku dengan nada bentak. Membuat beberapa pengunjung menoleh ke arahku. Tak peduli, rasanya hati ini terlalu perih jika harus kutahan segala gejolaknya.
Ia berdiri, menatapku dengan wajah kacau. Ternyata benar, ia menangis.
"Maafkan ayah, Nak. Maafkan ayah ...!"
Ayah? Aku bahkan sudah lupa untuk memanggilnya dengan sebutan itu.
"Ayah macam apa kamu? Meninggalkan anak dan istri selama ini tanpa kabar apapun! Kau tak tahu betapa hancur hidup kami selama ini. Seminggu kepergianmu, Ibu meninggal! Aku hidup di jalanan!" Kudorong badan tegapnya, membuat ia terhuyung ke belakang. Ia menutup wajahnya, sembari menjatuhkan kedua lutut pada lantai.
"Sepatutnya seorang Ayah, menjaga anak dan istrinya. Tapi, kamu pergi meninggalkan kami! Membiarkan kami tertekan atas perlakuanmu!" Kutumpahkan segala rasa yang selama ini mengganjal di hati. Tak peduli beberapa kamera mengambil gambar kami, mungkin setelah ini, aku dicap sebagai anak durhaka. Biarlah ... saat ini, aku hanya ingin menumpahkan segala kekesalan padanya.
Tangisnya terdengar, dengan pundak yang gemetar.
"Maaf--"
"Maaf lagi? Sudah kubilang, aku tak akan memaafkanmu! Kau bukan ayahku! Ayahku telah lama mati."
Sesak, tak bisa kukontrol emosi. Aku tak percaya lelaki ini masih hidup, setelah selama ini do'a kematiannya yang kulantunkan.
Kejam? Jahat?
Ya, aku menerima penilaian itu. Namun, jika dibandingkan dengan dia yang meninggalkan keluarganya dengan keadaan ibu yang sakit, dan anak yang berumur tujuh tahun demi wanita lain, siapa yang lebih jahat?
Terlebih, setelah itu ... ibu meninggal, membuatku hidup di jalanan. Tidur di emperan, dan berteduh di kolong jembatan. Aku tak punya tempat mengadu. Karena, saudara dari dia dan Ibu berada di luar kota yang tak kuketahui alamatnya. Siapa yang lebih kejam?
Kini, setelah aku dewasa. Membenah hidup sedikit demi sedikit untuk menjadi lebih baik, ia datang meminta maaf. Selama ini, dia kemana saja? Tersesat di gundukan longsor kah? Tak ada rasa ingin bertanya sedikit pun.
Kulihat lelaki dengan rambut yang sedikit memutih itu bersandar pada dinding, dengan tanpa melepas kedua tangannya di wajah.
"Pergilah ... sebelum aku membunuhmu," ucapku sembari menyusut ujung pelupuk yang basah.
Tenanglah, aku tak bersungguh mengucapkannya.
Ia beranjak. Mungkin ia menyerah dengan permohonan maafnya yang tak kuterima satupun.
Ia mencoba meraih pergelangan tanganku yang segera kutepis keras. Membuang wajah ketika ia memandangku.
"Aku tahu, kau membenciku."
Syukurlah jika ia sadar.
"Tapi, aku sedang sekarat. Mungkin, tak lama lagi aku menyusul ibumu," ucapnya dengan seutas senyum. Namun, tak mampu menghadirkan rasa iba di hatiku yang perih.
"Selama ini, aku sudah menganggap diriku sebagai yatim piatu. Tidak usah repot-repot memberitahuku." Kubalas tatapnya dengan wajah songong. Aku benar membencinya.
Terdengar embusan napasnya. Entah lelah atau lega karena telah membuatku meledak hari ini.
Perlahan, ia membalikkan badannya.
"Maafkan aku," ucapnya sembari melangkah yang masih bisa kudengar.
"Semoga lekas sembuh," balasku membuat langkahnya terhenti dan menoleh ke arah suara. Ia tersenyum. Kulihat senyumnya berbeda, senyum bahagia.
Setelah itu, masih kulihat punggungnya yang menjauh dariku. Membuka pintu kedai hingga menghilang dari pandangan.
"Aku merindukanmu, Ayah."
Sebuah rasa yang juga mendekam di hatiku. Tak bisa kulontarkan, tak bisa kuucapkan. Mungkin, karena rasa kecewa yang terlalu besar. Membuatku tak bisa mengucapkan kalimat 'rindu' padanya.
Karena sejujurnya, ada rasa bahagia ketika ia mencariku. Ia masih mengingatku, meski sangat terlambat.
Ada rasa sedih pula ketika ia berkata sedang sekarat. Namun, aku hanya bisa membalasnya dengan kalimat pedas.
"Maafkan aku, Ayah."
End.
____
Repost dari wall-ku.
Seorang gadis yang terlahir 19 tahun yang lalu. Di sebuah kota dengan julukan "Lumbung Padi". Tengah mengenyam pendidikan agama di salah satu pesantren. Berangan mampu membuat orang lain terinspirasi dari karya tulis yang dibuat.
0 Response to "#Sabtu_Tema - Rindu di Balik Luka - Hilma Siti Halimatusyadiah - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.