Senin, 25 Maret 2019

#Sabtu_Tema - Bidadari Kedua - Adinda Mahesa - Sastra Indonesia Org




Matanya bulat bak purnama, memancar sinar pucat yang indah. Beberapa detik mata itu menatap tak percaya orang di hadapan, disertai mulut yang membentuk bulatan. Sampai akhirnya, binar pucat itu berubah cerah dan indah. Senyum serupa sabit pun melengkung dari sudut bibirnya.

Gadis itu berkata, "Indah mau, Bu! Indah mau nikah muda! Apalagi sama duda kaya raya, ulala!"
Ibunya tersenyum, lega. Tak menyangka anaknya akan menerima lamaran keluarga sahabat lamanya dengan lapang dada, tanpa pemerontakan sama sekali. Padahal, ia sempat ragu membahas hal ini, mengingat usia anaknya baru menginjak sembilan belas tahun. Masa SMA-nya baru selesai beberapa bulan lalu, kuliah juga baru semester satu. Namun, sepertinya anak gadisnya tak keberatan menyandang status istri muda seorang duda yang ditinggal mati istri tercinta. Gadis itu bahkan berkata akan dengan suka rela belajar memasak untuk suaminya kelak.
"Kamu yakin, Nak?" tanya ibunya pelan. Gadis bernama Indah itu pun mengangguk mantap sambil tersenyum manis.
"Memangnya ... kamu nggak punya pacar?" Sekali lagi ibunya ingin memastikan perjodohan ini akan berjalan tanpa hambatan.
Indah mengangguk. "Ada, kok. Pacar Indah banyak malah, ada tiga. Tapi biarin aja. Mereka juga belum ada yang beneran mau nikahin Indah." Enteng sekali gadis itu berkata, sampai membuat sang ibu hanya bisa menggeleng.
Singkat cerita, Indah berhasil meyakinkan ibunda untuk menerima pinangan keluarga sahabatnya itu. Meskipun belum tahu seperti apa rupa orang yang akan menemani seumur hidupnya, Indah tetap saja menyungging senyum bahagia. Merasa jatuh cinta, tanpa perlu bertatap muka. Entahlah ... yang dia rasa hanya, Tuhan sedang mendekatkan hal baik padanya.
Angin berdesir lembut, menerbangkan helaian rambut panjangnya saat ia memutuskan duduk di halaman rumah malam harinya. Tabur gemintang di atas cakrawala ditatap dengan penuh bahagia. Sesekali matanya memejam, membayangkan kehidupan indah yang akan ia jalani setelah hari ini. Menikah, menjadi istri dan ibu kelak. Namun, saat bayang kelam muncul dalam ingatan, gadis itu menghela napas panjang.
"Nggak semua orang seperti Ayah, 'kan?" bisiknya, meyakinkan diri lagi. Ingatan tentang perceraian orang tua saat ia berusia tujuh tahun terus saja menghantui meski sudah ia coba enyahkan.
Lagi, semilir angin menerbangkan ingatan masa kecil yang penuh akan cacian dan hinaan. Karena hamil di luar nikah, ibunya tak pernah dihargai oleh keluarga ayahnya, begitu pun Indah. Akibatnya, mereka harus bekerja mati-matian banting tulang untuk kehidupan setelah ditinggal sang ayah. Namun, dengan kesabaran yang ditularkan ibu padanya, Indah yakin, ia akan meraih bahagia suatu hari.
"Di mana pun Ayah sekarang, Indah harap Ayah bahagia. Sama kayak Indah dan Ibu. Kami bahagia meski tanpa Ayah," lirihnya pada langit kelam.
Malam itu dihabiskannya dengan banyak doa dan harapan, pada hari esok yang akan menentukan jalan panjang.
***
Polesan bedak tipis menyempurnakan wajah tanpa noda milik Indah. Gadis itu tersenyum menatap bayang di cermin, merapikan sekali lagi rambut hitam yang dicepol tinggi berhias bunga mawar merah segar tanaman ibunya. Sederhana, tetapi berkelas. Itulah yang ia pikirkan ketika menangkap bayangnya di cermin. Tak lupa ia berdoa semoga dapat memenangkan hati calon suami di pertemuan pertama ini sebelum bangkit memenuhi panggilan ibunya.
Ditemani jantung yang berdegup kencang, gadis itu berjalan agak cepat, merasa tak sabar. Hari ini dia menggunakan gaun hitam selutut, tanpa tambahan aksesoris apa pun. Ketika tiba di ruang tamu yang tak jauh dari kamarnya, gadis itu tertegun. Menatap lamat-lamat sosok pria berkemeja putih yang sedang duduk di sofa tunggal dengan pandangan tertunduk. Diperhatikan garis-garis wajah itu, mencoba menyatukan kepingan memori yang pecah menyebar di dalam kepala.
"Sini, Nak." Panggilan ibunya membuyarkan sesaat lamunan Indah. Ia mengangguk, duduk di sebelah ibunya, tepat di seberang laki-laki yang belum juga mengalihkan tatap padanya. Obrolan ringan berlangsung, orang tua lelaki itu banyak sekali mengajukan pertanyaan dan dijawab ramah oleh Indah meski pikirannya masih saja melayang entah ke mana. Dia yakin, pernah bertemu pria itu, entah pada bagian kehidupannya yang mana. Pasti ada satu kenangan tentang pria itu, hanya saja, ia tak mampu mengingatnya.
"Yusuf, kamu nggak mau tanya sesuatu sama Indah?" Ibu dari lelaki itu bertanya, anaknya menggeleng. Tentu saja itu membuat Indah kecewa, tetapi hanya sesaat karena setelahnya gadis itu kembali tersenyum ceria.
"Kalau Indah yang tanya, boleh?" Dia menatap pria yang masih bergeming itu, menanti jawaban. Sampai akhirnya sosok itu mengangguk, menambah lebar senyum di wajah Indah.
"Abang ... kenapa nggak mau lihat Indah?"
Dengkusan cukup keras terdengar, disertai gelengan.
"Nggak mau nambah dosa," ucap pria itu lugas.
Indah melongo, tak mengerti maksudnya. Belum sempat otak mencerna ucapan lelaki itu, dia malah bangkit berdiri dan mengatakan sesuatu yang lebih membingungkan Indah.
"Maaf, Bu." Laki-laki itu menatap sekilas ibu Indah. "Saya hanya akan ke sini lagi, kalau Indah sudah berhijab. Saya permisi." Lalu, salam merdu menggema di telinga Indah, diiringi langkah ketiga tamu mereka. Ruangan senyap, tersekap pikiran yang tergagap. Dengan napas yang masih setengah tertahan, Indah akhirnya menoleh pada ibunya setelah beberapa saat terdiam.
"Bu ... Indah mau ke ATM, jebolin tabungan buat beli gamis sama jilbab. Kalau sekali lagi masih nggak mau juga, Indah seret dia ke KUA."
"Hus," bisik ibunya. "Kalau nanti sudah berhijab, mulutnya itu juga harus dijaga. Jangan sembarangan kalau ngomong, Nak. Kamu itu perempuan." Ibunya memberi ceramah singkat, Indah nyengir kuda.
Ditemani ibunya, Indah membeli beberapa pakaian longgar dan selendang. Saat anaknya berjalan di depannya, wanita berusia belum genap empat puluh tahun itu tersenyum miris, menyeka air mata. Berkata dalam hati bahwa ia rela meninggalkan anak tunggalnya jika Yusuf yang menjadi penjaganya.
Maaf, Nak, tapi ibu sudah lelah, lirihnya dalam hati sambil memegang bagian perut bawah yang kembali nyeri. Rasa yang belakangan selalu menemani hari, membuatnya tak sanggup bertahan lebih lama. Penyakit yang sudah ia tanggung lebih dari 3 tahun itu terus saja menggerogoti daya hidupnya. Sampai saat ia hampir menyerah, tetapi tertahan oleh anaknya. Apa yang akan terjadi bila ia meninggalkan Indah seorang diri? Tak ada seorang pun yang sudi melihat, apalagi mengurusnya. Beruntung, Allah mengirimkan orang tua Yusuf yang merupakan sahabat lamanya tanpa pernah ia duga. Mereka menanyakan Indah yang terakhir ditemui saat ia berusia sepuluh tahun. Lalu, berniat meminang untuk menyembuhkan patah hati sang putra.
"Bu," bisik Indah di tengah pasar. "Mimpi apa Indah bisa punya suami ganteng, kaya, dan saleh kayak Bang Yusuf itu? Ah, Ibu memang terbaik, deh! Nggak salah pilihin Indah calon suami." Gadis itu menggantungkan sebelah tangan di lengan ibunya manja. Wanita itu balas tersenyum dalam sakitnya.
"Bukan ibu yang memilihkan kamu calon suami, tapi Allah. Coba lihat, belum apa-apa, Allah sudah membisikkan di telinga Yusuf untuk mendekatkanmu pada-Nya." Wanita bernama Ratih itu tersenyum lembut. "Pesan ibu satu, Nak. Apa pun yang terjadi kelak, jaga kehormatanmu. Jangan sampai kamu seperti ibu. Ibu nggak mau kamu dimaki orang, seperti mereka memaki ibu. Jadilah bidadari surga untuk Yusuf kelak, berusahalah untuk selalu istikamah di jalan Allah, agar kelak kalian bisa bersatu di janah-Nya."
Itulah pesan terakhir sang ibu sebelum meregang nyawa sesaat setelah ijab kabul diucapkan Yusuf. Akhirnya, hari itu menjelma menjadi hari paling bahagia sekaligus duka bagi Indah. Ia kehilangan permata jiwanya, sesaat setelah menemukan penjaga. Seperti ia tak boleh memiliki keduanya dalam waktu bersamaan.
***
Indah menggigit bibir, lagi-lagi telur yang ia masak gosong. Gadis itu mengembus napas kesal, memandang telur tiga warna di depannya dengan penuh rasa bersalah. Haruskah ia membuangnya lagi? Padahal, ia sudah belajar seumur hidup dari ibu untuk tidak membuang makanan.
"Gosong lagi?" Suara berat itu terdengar dari arah pintu dapur, mengiringi kedatangan pria berkemeja hijau muda. Indah mengangguk, wajahnya memanas. Sudah satu minggu mereka menikah dan ia belum juga bisa menggoreng telur. Padahal, tak ada pembantu di rumah mereka yang bisa membantunya memasak. Jadi, Yusuflah yang mengambil peran itu. Menggoreng dua buah telur untuk mereka.
"Bang ... maaf," lirih Indah di sela makan mereka. Lagi-lagi Yusuf hanya mengangguk. Sudah seminggu mereka menikah, tetapi suaminya masih saja dingin tak tersentuh. Membuat Indah kadang merasa sakit di ulu hatinya, entah karena apa.
"Bang ... Indah boleh ikut kursus masak, nggak?" tanyanya, melihat penuh harap pada Yusuf yang sudah menghabiskan makanannya.
Setelah minum, Yusuf menggeleng. "Kamu masih harus kuliah, beresin rumah juga. Kalau mau kursus masak, nanti kelelahan. Lagipula kamu dipinang oleh orang tua saya untuk menjadi istri, bukan pembantu saya."
Indah tersenyum miris. Menjadi istri pun tak sempurna, pikirnya. Seminggu menikah, Yusuf bahkan tak pernah menciumnya. Entah apa yang harus dilakukan agar pria itu benar-benar menoleh padanya.
"Indah mau berhenti kuliah aja kalau gitu, Bang. Abang nggak malu, 'kan, punya istri tamatan SMA?"
Yusuf menghela napas panjang sebelum bangkit berdiri. "Terserah kamu kalau mau berhenti kuliah. Tapi kalau nggak sanggup belajar masak, pakai pembantu aja."
Lelaki itu hampir melangkah meninggalkannya saat Indah memberanikan diri menggapai tangan dan menyalaminya. Senyum tipis tersungging di wajah teduh Yusuf, sebelum salamnya terdengar. Indah tersenyum menatap punggung tegap suaminya, menggumam doa semoga ia selalu berada dalam lindungan Allah. Indah tahu, jalannya memenangkan hati Yusuf tak akan mudah. Namun, ia yakin, Allah pasti membantunya.
***
Saat baru menikah, ada satu larangan yang dibuat Yusuf untuknya. Indah tidak boleh masuk ke sebuah ruangan di rumah itu, entah karena apa. Pintu yang selalu terkunci rapat jelas saja menarik rasa penasaran gadis itu, tetapi dia berusaha menekannya dan menuruti perintah Yusuf. Karena menurut ceramah yang didengar, seorang istri harus selalu patuh pada kebaikan yang diajarkan suami padanya. Jadi, Indah berusaha menjadi setaat para wanita penghuni surga sebelum dirinya.
Namun, siang itu Yusuf melihatnya berdiri di balik pintu. Indah tergagap, takut merayap hingga ke tulang-belulangnya.
"Indah ... Indah nggak masuk, kok. Cuma berdiri di sini aja."
Yusuf mengangguk, merogoh kunci di saku celana hitamnya, laku membuka ruangan itu. Sebuah kamar dengan perabot tertutup kain putih terlihat, Indah melangkah antusias mengikuti suaminya.
"Ini dulu kamar kami," lirih Yusuf, menyingkap tabir putih sebuah pigura yang menampilkan foto pernikahan dengan istri pertamanya. Indah mendekat, tertegun seketika. Wajah Yusuf di foto itu sangat berbeda dengan yang ia lihat saat ini. Di sana, wajah pria itu begitu ceria.
"Kamu tahu? Rasanya aneh ketika melihat kamu yang tidur di samping saya, bukan Fatimah." Ucapan Yusuf begitu menohok Indah, tetapi ia masih berusaha maklum.
Satu lagi foto tersingkap, mata Indah semakin membulat.
"Ini ...." Rupanya, itulah kepingan memori yang terus mencoba masuk, tentang siapa Yusuf di masa lalunya.
"Ini anak Abang?"
"Iya," jawab Yusuf, terlihat sedih. "Itu anak kami, Adam namanya. Dia meninggal bersama ibunya saat kecelakaan itu. Hanya saya yang selamat. Padahal, hanya tinggal beberapa hari sebelum dia masuk TK, tapi Allah memanggilnya. Memanggil kedua poros kehidupan saya."
Air mata luruh di wajah Indah, membelah wajah cerahnya menjadi duka. Hatinya tercabik, lebih parah dari saat Yusuf mengabaikannya.
"Indah, saya takut kamu akan seperti saya." Yusuf berkata, melihat ke dalam matanya. "Saya takut kamu akan bergantung kepada saya, padahal usia tak pernah bisa kita duga."
Hanya beberapa baris kata, lalu hening kembali meraja. Namun, saat Yusuf menutup kembali pigura yang tadi ia buka dan berniat pergi, Indah melingkarkan tangan di perutnya. Memeluknya dari belakang.
"Indah janji, Indah akan belajar agama lebih baik lagi. Maaf, Indah sudah ingkar. Padahal dulu, Abang sudah nyuruh Indah pakai jilbab waktu nolongin Indah dari preman itu."
Yusuf tersenyum, balas menggenggam tangan istrinya tanpa menoleh. "Kamu ingat kejadian itu? Padahal sudah 5 tahun lebih, 'kan?"
Indah mengangguk. "Indah ingat, Bang. Indah ingat muka Adam. Indah ingat waktu itu dia bilang, supaya Indah jadi teman Abang."
Tawa miris lolos dari mulut Yusuf, air tak terasa menggenang di matanya. Ia tak menyangka, bahwa apa yang dikatakan anaknya serupa firasat yang kelak akan menjadi kenyataan. Indah menjadi temannya sekarang, teman hidupnya.
"Abang ... Indah tahu, Indah nggak bisa menggantikan almarhumah istri Abang. Indah tahu, Indah nggak sebaik beliau. Tapi, Indah mohon, berikan Indah tempat di hati Abang. Barang secuil saja, Bang."
Tanpa meminta, sebenarnya gadis itu sudah menempati sisi terindah di hati Yusuf saat ini. Namun, seperti yang dikatakannya tadi, ia takut bila Indah akan berakhir seperti dirinya. Dia takut jika Indah harus hancur bila takdir tak sesuai kehendaknya.
"Bang ... izinkan Indah jadi istri Abang seutuhnya. Izinkan Indah menjadi bidadari kedua Abang di surga kelak. Izinkan Indah menjadi teman untuk Adam nanti, Bang."
Hanya kata-kata itu, dan Yusuf pun luluh. Ia berubah menjadi sosok hangat dan pelindung sempurna bagi Indah. Menjadi imam yang meluruskan salahnya. Dan pelipur bagi semua laranya.
***
Indah tersenyum, menatap kedua bocah gempal yang sedang tertawa di tengah taman bermain. Namun, sesaat kemudian anak perempuannya menangis, membuat kakak kembarnya naik darah dan memukul anak yang membuat adik kesayangannya menangis.
Indah berlari melerai, menggendong anak perempuannya, serta menarik lembut tangan anak laki-lakinya. Membawa mereka ke pinggir taman.
"Kenapa nangis, Sayang?" tanyanya lembut, mengusap wajah anaknya.
"Mereka bilang, kami nggak punya ayah." Aak perempuannya mengadu, tersedu.
"Bunda, kan, sudah sering bilang. Ali dan Alia punya ayah, namanya Yusuf Abdurrahman. Hanya, Ayah sudah di surga sekarang."
"Main sama Abang Adam?" Ali bertanya, Indah mengangguk.
"Tapi ... kami nggak ditemani main." Alia tergugu, melihat iri teman sebayanya yang ditemani oleh kedua orang tua. Sementara dirinya hanya bersama ibu, kadang nenek dan kakeknya.
"Karena ... Ali, kan, sama Alia berdua, kalau Bang Adam sendirian. Nanti, kita juga akan ke sana, kok. Asal Ali dan Alia jadi anak baik, Ayah pasti nunggu kita di sana."
Tak sadar, seorang wanita tua mengangis di belakang mereka. Sesaat setelahnya Ali dan Alia kembali ceria, berlari meninggalkan ibunya. Ibu Yusuf mendekat, mengusap bahu tegar Indah.
"Kamu masih muda, Nak," bisiknya. "Apa salahnya kalau menikah lagi? Mama dan Papa pasti mengizinkan."
"Tapi ... Indah sudah janji sama Bang Yusuf, Ma. Indah akan jadi bidadari keduanya di surga."
"Tapi, kamu sendiri tahu, usaha Yusuf bangkrut sebelum dia meninggal. Begitu juga dengan usaha Papa. Hidupmu akan berat, Nak. Kamu butuh biaya untuk membesarkan kedua anakmu." Wanita itu berkata lagi, seolah tak lelah berusaha menggoyahkan hati Indah. Namun, seperti biasa, hanya senyum yang membalasnya.
Indah tahu, apa yang dikatakan mertuanya benar. Hidup sebagai janda muda sangatlah tidak mudah. Tak jarang tetangga perempuannya datang menggedor rumah, mengatainya menggoda suami mereka untuk bertahan hidup. Padahal, Indah lebih rela berpuasa sepanjang pekan untuk berhemat daripada menghalalkan yang haram untuk anak-anaknya. Seperti janji pada mendiang ibunya, ia akan menjaga kehormatan. Dan seperti apa yang telah ia katakan pada suaminya, ia akan selalu menjaga jalannya agar selalu menuju ketaatan. Karena surga adalah apa yang ia rindu saat ini. Tempat yang akan menyatukan kembali dengan sang suami yang telah dipanggil Ilahi, 6 bulan setelah kelahiran anak kembar mereka. Kematian tiba-tiba Yusuf sangat memukulnya, tetapi Indah tetap berprasangka baik kepada takdir Allah. Indah yakin, inilah yang terbaik bagi mereka.
"Bang ... Abang bahagia, 'kan, di sana?" bisik Indah sebelum memejamkan mata malam harinya. Kedua anaknya tidur di samping kiri dan kanannya, mengapit dengan aroma surga yang selalu dirindunya.
"Bang ... tunggu Indah di sana, Bang. Tunggu sampai Indah bisa mengatakan langsung pada Abang, betapa rindunya Indah. Tunggu sampai Indah memeluk Abang seperti dulu."
Lalu ia terpejam, terlempar kepada mimpi yang menampilkan senyum teduh Yusuf. Mimpi yang menemaninya melewati setiap malam sepi. Mimpi yang dititipkan Ilahi untuk tetap pada ketaatan untuk menjaga diri.
*****
Palembang, 23 Maret 2019


Biodata penulis :

Adinda Mahesa, nama pena seorang gadis berusia dua puluh tujuh tahun. Mulai menyukai puisi sejak kelas dua SMP, dan akhirnya benar-benar jatuh cinta pada dunia literasi sepuluh tahun kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.