Jumat, 29 Maret 2019

Resensi Novel Wonderwall oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org





Belajar Memaknai Perbedaan Cara Mencintai

Judul                           :  Wonderwall: Selamanya. Kamu.
Penulis                         :  Ida Ernawati
Penerbit                       :  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan                       :  Pertama, 2018
Tebal                           :  280 halaman
ISBN                           :  9786020382920   
Peresensi                     :  Lenni Ika Wahyudiasti

Seberapa kuat kita mampu memendam perasaan pada seseorang yang tidak selayaknya dicintai? Seberapa jauh kita bisa lari dari kenyataan? Pun seberapa lama kita bisa hidup dalam penyangkalan?

Aneka pertanyaan inilah yang membelenggu kehidupan Emma, sang tokoh utama dalam novel terbaru berlabel ‘amore’ karya sahabat saya, Ida Ernawati yang multi talenta ini. Berkisah tentang kehidupan cinta Emmaneira Parameswari, seorang dokter hewan sekaligus executive product manager di sebuah perusahaan farmasi, novel apik ini menyodorkan sebuah ironi  ketika Emma yang memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni di kantornya, justru gagal membangun komunikasi yang manis dengan ibu kandungnya sendiri di rumah.   

Diawali adegan lamaran Farrel yang membuat rasa galau Emma meraja, kisah dalam novel ini pun bergulir menjadi konflik unik di antara para tokohnya. Emma merasa tak siap menerima lamaran sang kekasih, lantaran ada rahasia masa lalu menghantui dan membuat risih. Masih ada segenggam rahasia masa silam selama ini ia pendam. Ada kisah cintanya dengan Baruna yang menggantung dan hambar, cinta dalam hatinya pada Arya---kakak Baruna---yang tak sempat mekar, pun retaknya hubungan Emma dengan Kinanthi, ibu kandungnya sendiri, yang tak kunjung kelar. Dari sekian rahasia hidupnya, hubungan tak sehat Emma dan ibunyalah membuat gadis itu ragu untuk memperkenalkan Farrel pada sang mama.

Di tengah rasa gamang, secara tak terduga Emma kembali bertemu dengan Arya yang mau tak mau melemparnya kembali pada kenangan masa silam ketika ia diam-diam jatuh hati pada lelaki ini sehingga ‘terpaksa’ menghindar dari lamaran Baruna dan kabur ke Budapest. Tanpa Emma sadari, keputusannya lari dari kenyataan itu ternyata berujung pada kecelakaan tragis yang menewaskan Baruna dan kematian mendadak ibunda kakak-beradik—Arya dan Baruna---tersebut tak berselang lama kemudian. Tak pelak, Arya pun menuding Emma sebagai penyebab utama ia kehilangan orang-orang terkasihnya dan membenci gadis itu setengah mati.

Persoalan makin rumit ketika mama Emma, ternyata ‘bersahabat’ dengan Arya yang dikenal perempuan paruh baya ini lewat aktivitasnya dalam sebuah komunitas pecinta seni mewarnai. Lewat ‘persahabatan’ tersebut, Arya seolah menemukan pengganti sosok ibunya yang telah tiada, sementara mama Emma begitu berharap Arya menjadi menantunya. Hubungan Emma dan sang mama pun kian menegang karena Emma tak ingin mengkhianati Farrel dengan memenuhi harapan ibunya untuk ‘dekat’ dengan Arya, yang kini amat membencinya.  

Kegalauan Emma kian memuncak ketika gadis 29 tahun ini mendapati ibunya jatuh pingsan dan diagnosa dokter mengarah pada penyakit serius yang bisa membahayakan jiwa. Saat itulah Emma sadar bahwa ia tak ingin kehilangan ibunya dan berniat memenuhi apapun permintaannya. Lalu, ke manakah kegalauan Emma ini bermuara?  Tetap bersama Farrel, lelaki yang begitu mencintai dan dicintainya, ataukah pilihannya berlabuh pada Arya, cinta masa lalu dalam diamnya, yang begitu dipuja ibunya?

“Mama tahu, Mama tidak boleh mencampuri urusanmu. Tetapi, Mama tidak berbohong bahwa Mama selalu berdoa, jika Arya jodohmu maka semoga Allah memudahkan jalannya.” Siapa pun yang menerima tatapan Mama ketika menyampaikan kalimat panjangnya tadi, pasti menyimpulkan bahwa itulah tatapan penuh pengharapan. Pengharapan yang menusuk-nusuk ulu hati ..., (hal.228-229).



Konflik antara Emma dan sang mama ini amat menarik. Boleh jadi lebih menarik daripada menebak siapa yang akhirnya dipilih Emma untuk menjadi pendamping hidupnya.  Dalam bentangan konflik yang tercipta, ada pelajaran berharga  dari friksi ibu dan anak yang sebenarnya saling mendamba. Hikmah penting yang saya catat adalah bahwa sekeruh apapun hubungan ibu dan anak, sejatinya keduanya memiliki ikatan cinta yang tak mudah terkikis, meski ia sempat retak dan terkoyak. Bila kemudian konflik dan friksi di antara mereka mengemuka, bisa jadi itu semata karena masing-masing pihak memiliki cara mencintai yang berbeda.

Dalam hati Emma merintih, ... Mama, ayo bangun! Apa pun yang Mama minta, akan kulakukan. Asal Mama bangun, Mama harus bangun. Kita akan perbaiki semuanya. Kita akan berbicara layaknya anak perempuan dan mamanya. ... Asal Mama bangun! Jangan tinggalkan aku dalam keadaan masih durhaka!” (hal. 145)

“Mama tidak akan menghapus menu kue lumpur itu sampai kapan pun, Emma. Kue itu resep jajanan yang pertama kali nenekmu ajarkan pada Mama. Dan karena Mama tahu kue itu kesukaanmu.”
Rasa haru menyelimuti Emma. Ke mana saja dirinya selama ini? Lihatlah! Mama bukanlah macan yang siap menerkam. Mungkin mamanya bukan orang berjiwa lembut seperti ibu lain. Dia punya cara tersendiri untuk mencintai anaknya, (hal. 161).

Meski masih saya temui saltik di beberapa halaman, termasuk di sampul belakang buku, seperti kata “menyajikan” yang tertulis “menyajian” dan frasa “ia akan tidak akan pernah sampai tujuan, selamanya …” yang agak membingungkan,   secara keseluruhan novel apik karya penulis lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga---yang juga aktif memberi pelatihan Public Speaking---ini tak pantas dilewatkan. Tak hanya bertutur tentang kisah romansa sang tokoh utama dan pasangannya yang mewarnai ikhtiar Emma dan sang mama membangun kembali cinta yang sempat memudar di antara mereka, di novel ini terselip pula kisah perjuangan Vanda, sahabat Emma yang single parent saat mengoptimalkan tumbuh-kembang anak kandungnya yang terlahir ‘berbeda’.

Senantiasa ada yang unik dan khas dalam karya-karya Ida. Salah satunya adalah keberadaan sejumlah istilah biologi dalam untaian kalimat yang ditulisnya. Narasi “Secara fisiologis tubuhnya bekerja dalam ritme jatuh cinta. Kadar dopamin dalam otaknya sedang tinggi, sementara kadar seretonin meluncur rendah (hal. 7)” dan kalimat ”Kata-kata Vanda bagai anak panah yang melesat tajam, membangunkan neuron di kepala Emma, (hal. 9)” seolah mewakili dunia medis yang menjadi profesi sang tokoh yang kebetulan sama dengan latar belakang pendidikan Ida.

Over all, ada banyak hikmah dan kalimat sarat makna yang saya dapatkan di Wonderwall.  Selain pelajaran bahwa kita harus berdamai dengan masa lalu bila tak mau kehilangan masa depan, lewat novel ini, Ida sepertinya ingin pula berpesan bahwa kendati adakalanya kita dan orang tua kita berbeda pandangan, kita tetap  wajib berbuat ihsan----terlebih pada ibu---dan pantang merenggangkan hubungan.

Mengapa demikian?

Ida menegaskan alasannya dalam kalimat yang dituturkan Arya,  ”Percayalah, cinta Ibu tidak akan sesempit itu. Cinta Ibu mampu mengikis habis rasa egonya. Ibu bisa saja menolak keinginan kita karena kekhawatirannya. Itu pun tanda cintanya pada anaknya. Tetapi saat anaknya memilih jalan yang tidak sesuai dengan harapan ibu maka ibu memiliki doa sebagai senjatanya,” (hal. 263).

---oo000oo---

Biodata Peresensi


Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Kendati  sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014 plus sebuah buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, twitter: @lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.