Belajar Memaknai Perbedaan Cara
Mencintai
Judul : Wonderwall: Selamanya. Kamu.
Penulis : Ida Ernawati
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2018
Tebal : 280 halaman
ISBN : 9786020382920
Peresensi : Lenni Ika Wahyudiasti
Seberapa kuat kita mampu memendam perasaan pada
seseorang yang tidak selayaknya dicintai? Seberapa jauh kita bisa lari dari
kenyataan? Pun seberapa lama kita bisa hidup dalam penyangkalan?
Aneka pertanyaan inilah yang membelenggu
kehidupan Emma, sang tokoh utama dalam novel terbaru berlabel ‘amore’ karya
sahabat saya, Ida Ernawati
yang multi talenta ini. Berkisah tentang kehidupan cinta Emmaneira Parameswari, seorang dokter hewan sekaligus executive product manager di
sebuah perusahaan farmasi, novel apik ini menyodorkan sebuah ironi ketika Emma yang memiliki kemampuan komunikasi
yang mumpuni di kantornya, justru gagal membangun komunikasi yang manis dengan ibu kandungnya sendiri di rumah.
Diawali adegan lamaran Farrel yang membuat rasa
galau Emma meraja, kisah dalam novel ini pun bergulir menjadi
konflik unik di antara para tokohnya. Emma merasa tak siap menerima lamaran sang kekasih, lantaran ada rahasia masa lalu menghantui
dan membuat risih. Masih ada segenggam rahasia masa
silam selama ini ia pendam. Ada kisah cintanya dengan
Baruna yang menggantung dan hambar, cinta dalam hatinya pada Arya---kakak
Baruna---yang tak sempat mekar, pun retaknya hubungan Emma dengan Kinanthi, ibu
kandungnya sendiri, yang tak kunjung kelar. Dari sekian rahasia hidupnya, hubungan tak sehat Emma dan ibunyalah membuat gadis itu ragu untuk memperkenalkan Farrel pada sang mama.
Di tengah rasa gamang, secara tak terduga
Emma kembali bertemu dengan Arya yang mau tak mau melemparnya kembali pada
kenangan masa silam ketika ia diam-diam jatuh hati pada lelaki ini sehingga ‘terpaksa’
menghindar dari lamaran Baruna dan
kabur ke Budapest. Tanpa Emma
sadari, keputusannya lari dari kenyataan itu ternyata berujung pada kecelakaan
tragis yang menewaskan Baruna dan kematian mendadak ibunda kakak-beradik—Arya
dan Baruna---tersebut tak berselang lama kemudian. Tak pelak, Arya pun menuding
Emma sebagai penyebab utama ia kehilangan orang-orang terkasihnya dan membenci
gadis itu setengah mati.
Persoalan makin rumit ketika
mama Emma, ternyata ‘bersahabat’ dengan Arya yang dikenal perempuan paruh baya
ini lewat aktivitasnya dalam sebuah komunitas pecinta seni mewarnai. Lewat
‘persahabatan’ tersebut, Arya seolah menemukan pengganti sosok ibunya yang
telah tiada, sementara mama Emma begitu berharap Arya menjadi menantunya. Hubungan
Emma dan sang mama pun kian menegang
karena Emma tak ingin
mengkhianati Farrel dengan memenuhi harapan ibunya untuk ‘dekat’ dengan Arya,
yang kini amat membencinya.
Kegalauan Emma kian memuncak ketika gadis
29 tahun ini mendapati ibunya jatuh pingsan dan diagnosa dokter mengarah pada
penyakit serius yang bisa membahayakan jiwa. Saat itulah Emma sadar bahwa ia
tak ingin kehilangan ibunya dan berniat memenuhi apapun permintaannya. Lalu, ke
manakah kegalauan Emma ini bermuara?
Tetap bersama Farrel, lelaki yang begitu mencintai dan dicintainya,
ataukah pilihannya berlabuh pada Arya, cinta masa lalu dalam diamnya, yang
begitu dipuja ibunya?
“Mama
tahu, Mama tidak boleh mencampuri urusanmu. Tetapi, Mama tidak berbohong bahwa
Mama selalu berdoa, jika Arya jodohmu maka semoga Allah memudahkan jalannya.”
Siapa pun yang menerima tatapan Mama ketika menyampaikan kalimat panjangnya
tadi, pasti menyimpulkan bahwa itulah tatapan penuh pengharapan. Pengharapan
yang menusuk-nusuk ulu hati ..., (hal.228-229).
Konflik antara Emma dan sang mama ini amat
menarik. Boleh jadi lebih menarik daripada menebak siapa
yang akhirnya dipilih Emma untuk menjadi pendamping hidupnya. Dalam bentangan konflik yang tercipta, ada pelajaran berharga dari friksi ibu dan anak yang sebenarnya saling mendamba. Hikmah penting yang saya catat adalah bahwa sekeruh apapun hubungan ibu dan anak,
sejatinya keduanya memiliki ikatan cinta yang tak mudah terkikis, meski ia sempat
retak dan terkoyak. Bila kemudian konflik dan friksi di antara mereka
mengemuka, bisa jadi itu semata karena masing-masing pihak memiliki cara
mencintai yang berbeda.
Dalam
hati Emma merintih, ... Mama, ayo bangun! Apa pun yang Mama
minta, akan kulakukan. Asal Mama bangun, Mama
harus bangun. Kita akan perbaiki semuanya. Kita akan berbicara layaknya anak
perempuan dan mamanya. ... Asal Mama bangun! Jangan tinggalkan aku dalam
keadaan masih durhaka!” (hal. 145)
“Mama
tidak akan menghapus menu kue lumpur itu sampai kapan pun, Emma. Kue itu resep
jajanan yang pertama kali nenekmu ajarkan pada Mama. Dan karena Mama tahu kue
itu kesukaanmu.”
Rasa
haru menyelimuti Emma. Ke mana saja dirinya selama ini? Lihatlah! Mama bukanlah
macan yang siap menerkam. Mungkin mamanya bukan orang berjiwa lembut seperti
ibu lain. Dia punya cara tersendiri untuk mencintai anaknya, (hal. 161).
Meski masih saya temui saltik di beberapa
halaman, termasuk di sampul belakang buku, seperti kata “menyajikan” yang
tertulis “menyajian” dan frasa “ia akan
tidak akan pernah sampai tujuan, selamanya …” yang agak membingungkan, secara keseluruhan novel apik
karya penulis lulusan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga---yang juga aktif memberi
pelatihan Public Speaking---ini tak pantas dilewatkan. Tak hanya bertutur
tentang kisah romansa sang tokoh utama dan pasangannya yang mewarnai ikhtiar
Emma dan sang mama membangun kembali cinta yang sempat memudar di
antara mereka, di novel ini terselip pula kisah perjuangan Vanda, sahabat Emma yang single
parent saat mengoptimalkan tumbuh-kembang anak kandungnya yang terlahir ‘berbeda’.
Senantiasa ada yang unik dan khas dalam karya-karya Ida. Salah satunya adalah keberadaan
sejumlah istilah biologi dalam untaian kalimat yang ditulisnya. Narasi “Secara fisiologis
tubuhnya bekerja dalam ritme jatuh cinta. Kadar dopamin dalam otaknya sedang tinggi, sementara kadar seretonin meluncur rendah (hal. 7)”
dan kalimat ”Kata-kata Vanda bagai anak
panah yang melesat tajam, membangunkan neuron
di kepala Emma, (hal. 9)” seolah mewakili dunia medis yang menjadi profesi
sang tokoh yang kebetulan sama dengan latar belakang pendidikan Ida.
Over
all, ada banyak hikmah
dan kalimat sarat makna yang saya dapatkan di Wonderwall. Selain pelajaran
bahwa kita harus berdamai dengan masa lalu bila tak mau kehilangan masa depan, lewat novel ini, Ida sepertinya ingin pula
berpesan bahwa kendati adakalanya kita dan orang tua kita berbeda pandangan, kita
tetap wajib berbuat ihsan----terlebih pada ibu---dan pantang merenggangkan hubungan.
Mengapa demikian?
Ida menegaskan alasannya dalam kalimat
yang dituturkan Arya, ”Percayalah, cinta Ibu tidak akan sesempit
itu. Cinta Ibu mampu mengikis habis rasa egonya. Ibu bisa saja menolak
keinginan kita karena kekhawatirannya. Itu pun tanda cintanya pada anaknya.
Tetapi saat anaknya memilih jalan yang tidak sesuai dengan harapan ibu maka ibu
memiliki doa sebagai senjatanya,” (hal. 263).
---oo000oo---
Biodata Peresensi
Lenni Ika Wahyudiasti, seorang
ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Kendati sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus
dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi
yang diikutinya sejak Februari 2014 plus sebuah buku
solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan
(Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa
‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi
untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram:
lenni.ika, twitter:
@lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.
0 Response to "Resensi Novel Wonderwall oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.