Jumat, 08 Maret 2019

#Kamis_Cerpen - Pak Cik Ahmad - El Fritzi - Sastra Indonesia Org


Kata ayahku, pohon jambu kristal itu telah berusia puluhan tahun. Terlihat dari dahan-dahannya yang digerogoti benalu sana-sini. Namun, tetap kokoh menjulang dengan batang yang besar, serta ranting yang ditumbuhi dedaunan rimbun. Sekilas memang nampak seperti tanaman biasa. Yang membedakan adalah pohon tersebut selalu berbuah di segala musim. Dan yang paling utama adalah itu berada di pekarangan tetanggaku, Pak Cik Ahmad.

Pak Cik Ahmad, laki-laki tua yang hidup di rumah kecil beratap rumbia. Dia tinggal sendirian. Anak dan istrinya telah lebih dulu menghadap Tuhan saat penjajahan. Meski usianya sudah senja, Pak Cik Ahmad tetap menggarap sawah dan merawat kebun. Orang-orang bilang, Pak Cik Ahmad dianugerahi tangan yang sejuk. Karena apapun yang ditanamnya selalu tumbuh subur, seolah tumbuhan bahagia hidup di sana.
Orang di kampungku (terutama anak-anak) menyukai Pak Cik Ahmad sebab dia sosok yang baik dan senang berbagi meski mulutnya sedikit tajam. Setiap usai bermain di kebun, sembari mengalungkan ketapel aku dan teman-teman selalu mampir ke rumahnya. Di samping pohon jambu yang memayungi sebagian pekarangan, Pak Cik duduk di kursi rotan. 
****
“Pak Cik. Minta jambu!!!” ucap kami serentak.

Pak Cik hanya mengangguk. Mata tuanya memperhatikan kami yang berebut mengambil buah jambu.
“Awas, nanti jatuh,” katanya sesekali memperingatkan. Setelah itu, dia akan berbagi kisah pada kami. Kadang-kadang tentang pengalaman hidupnya, petuah-petuah dan tidak jarang pula perihal sejarah terdahulu. Nah, kalau bagian yang itu aku suka. Sebab aku bisa mendapat ilmu pengetahuan baru yang tidak guru ajarkan di sekolah.

Pak Cik tidak pernah memperjualbelikan hasil tanamannya. Dia memberikannya secara cuma-cuma pada siapapun. Gratis! Bisa kau bayangkan betapa lelaki tua kurus itu terlampau baik? Dan biasanya, orang yang baik akan selalu dimanfaatkan oleh mereka yang niatnya tidak baik. Hanya karena diberi izin oleh si pemilik, beberapa orang malah mengambil semaunya. Namun, pak Cik tampak biasa saja. Tidak marah apalagi dendam.
Pernah suatu sore, aku yang dirundung penasaran dan kesal bertanya pada Pak Cik perihal sikapnya.

“Aku ini sudah tua, malaikat maut pun bisa datang kapan saja untuk mencabut nyawaku. Jadi, sebelum itu terjadi, aku ingin memberi kebaikan sebanyak mungkin.” jawabnya mengulum senyum.
“T-tapi, Pak Cik ..., “ kataku tidak terima.
Pak Cik hanya terkekeh, “Berbuat kebaikan tidak akan membuat kita rugi. Itu juga yang harus kamu ingat.”
Hari demi hari pun berlalu, aku menyadari sesuatu. Semakin banyak jambunya diambil, makin rajin pula pohonnya menghasilkan buah.
*****
Sepulang salat ashar, dari kejauhan aku melihat Pak Cik duduk di kursi rotannya. 
Aku mendekat lantas mengguncang bahunya, “Pak Cik, minta jambu, ya,” kataku. Mata Pak Cik terpejam, sepertinya dia tidur pulas. Berkali-kali kuguncang bahu dan memanggil namanya. Tetap tak ada respon.
“Pak Cik,” ujarku menyentuh lengannya. Dingin. 
******
Hari itu langit berduka, dari subuh gerimis membasahi bumi. Bunyi air hujan menyentak genteng seolah menggambarkan perasaan orang-orang di kampung. Semuanya bermuram durja. Aku mengucek mata yang panas, “Jangan nangis, Dinda!” bentakku pada diri sendiri. Ingat! Umurmu 9 tahun. Sudah besar! Tapi, kenapa air mata ini tidak mau berhenti mengalir?

Setelahnya, segala hal berubah kelabu. Waktu seperti berjalan dengan sangat lambat, matahari merangkak dengan malas dan rembulan pun tidak seindah dulu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah ketimbang bermain, karena jika aku pergi keluar, maka aku akan ingat kenangan itu lagi.
“Dinda rindu Pak Cik, Yah.” Aku menghambur memeluk ayah.
Ayah mengangguk, “Takdir tetaplah takdir, Din,” timpalnya. “Makanya, kita harus membuat bahagia Pak Cik di sana.”
“Bagaimana caranya?” tanyaku menghapus jejak air mata.
******
Hingga kini, pohon jambu itu masih berdiri tegap, meski satu-dua rantingnya ada yang patah dimakan usia, tetapi tidak menjadi halangan untuk terus melindungi bibit-bibit baru di sekelilingnya. Bibit yang kami tanam agar nanti bisa dinikmati generasi berikutnya. Sebagaimana wasiat Pak Cik dulu. 
*TAMAT*
06/03/2019
.

Biodata : Hanya seorang gadis yang dikenal irit bicara, tapi dalam diam terus berjuang untuk berkarya.
.
Sumber gambar : Google Image.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.