Jumat, 15 Maret 2019

#Kamis_Cerpen - Laut Kita - Rahmi Novaliza - Sastra Indonesia Org



"Ini laut kita, Nak. Kita harus menjaganya dengan baik." Ibu memunguti sampah yang berceceran di pinggir laut. Ibu selalu menyempatkan kegiatan ini, setelah pengunjung sepi, sesaat setelah sunset berlalu.
"Tapi bukan kita saja, Bu. Pedagang di sini." Ari mengekor ibu yang sibuk jongkok berdiri dan melangkah perlahan, memunguti sampah dan memasukkannya ke karung yang sudah disediakan.
"Ibu tahu, tapi kita mencari makan dengan berjualan di sini. Jadi anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada laut." Mata ibu menatap ke tengah, nampak gelombang menggulung naik.
"Lalu yang lain?"
"Ari, setiap manusia punya pilihan masing-masing. Memilih mencintai atau mengabaikannya saja." Ibu memang luar biasa. Bagi Ari, ibu mencintai apa saja.
Ari bocah sepuluh tahun, tinggal sekitar sepuluh meter dari bibir pantai. Di rumah kecil berdinding papan dan berlantai tanah. Dia bocah laki-laki yang pintar, penuh ingin tahu dan giat.
Setiap pulang sekolah dia membantu ibu berkeliling tepian pantai. Menjual apa saja yang sekiranya akan laris. Belakangan ibu lebih sering menjual gorengan kepiting dan udang, yang sedang banyak di sukai oleh para pengunjung.
Ayah seorang pelaut, pulang sekali sebulan. Penghasilannya tidak mencukupi, sebab itulah ibu ikut mencari uang demi menambah penghasilan.
"Ibu, kali ini Ayah pergi lebih lama, ya?" Tatapan Ari seakan ingin menembus kejauhan laut, nadanya sarat rindu.
"Iya, mungkin lusa akan Ayahmu akan kembali," desah ibu, ada nada khawatir yang tak mampu disembunyikan.
Kemudian wanita yang selalu menutupi rambutnya dengan kerudung itu berlalu, tangannya mengeratkan gendongan bakul yang sudah kosong, sedangkan tangan yang satu lagi menyeret karung yang berisi aneka sampah yang berserakan.
"Bu, apakah Ayah juga mencintai laut?" Ari menjejeri langkah sang ibu.
"Tentu saja, dia menyukai apa-pun tentang laut, dia bersahabat dengan gelombang. Karena itulah, dia tidak bisa meninggalkan laut begitu lama," ujar ibu, senyum memekar di bibirnya. Mungkin dia sedang membayangkan wajah gagah ayah, dengan ceria menceritakan hasil tangkapannya.
"Iya, aku tahu. Ayah tak pernah mau menunda keberangkatannya ke laut." Kini tatapan Ari menerawang jauh, mengingat ayah yang selalu memperkenalkannya berbagai nama ikan.
"Ayahmu dan laut sepaket." Ibu tersenyum lagi.
"Ibu, apakah laut juga mencintai Ayah? Apakah gelombang itu akan menjadi sahabat yang menjaga Ayah?" Sepi, sejenak ibu diam. Kini matanya mengawasi wajah sang putra yang mulai beranjak remaja.
"Mari kita berdoa saja."
***
Subuh berlalu, ibu sudah siap dengan bakul gorengannya. Ari baru saja selesai berpakaian sekolah. Lalu lalang kendaraan sudah berisik dari tadi, melewati jalan di depan rumah papan itu yang memang persis diperempatan gang lainnya.
Tiba-tiba saja ketukan tergesa pintu membuat kedua ibu dan anak itu terkejut. Bergegas Ari membuka pintu. Nampak Pak Ali, atasan ayah yang berwajah duka.
"Ada apa?" Suara ibu bergetar.
"Kapal yang membawa suamimu, tenggelam. Kami dapat kabar dari kapal lain tadi malam. Mereka melihat kejadian itu dari jauh. Ada kebocoran kapal, yang kemudian diterjang gelombang besar. Tidak satu pun dari mereka yang selamat."
Ari dan ibu membeku. Ari shock. Air mata ibu merebak. Namun dia nampak menahan sekuat tenaga.
"Bapak yakin tidak salah?" Air mata yang jatuh dihapusnya kasar, ibu begitu terpukul.
"Maafkan, aku. Tapi itu kebenarannya. Mayatnya berhasil ditemukan. Nanti siang akan sampai."
Ari merangkul bahu ibunya. Air matanya jatuh, laut membawa ayah bersamanya. Dua beranak itu tergugu di lantai dingin. Kejadian ini begitu tak terduga, meskipun memang kemungkinan ini selalu ada, tapi Ari yakin laut akan mencintai dan menjaga ayahnya.
Tiga hari berlalu sejak kematian ayah, Ari kembali menemukan ibu membuat gorengan pagi ini. Wajahnya masih diliputi duka, tapi pada Ari dia sudah tersenyum.
"Mau berjualan sama Ibu?" Ibu menatap Ari yang tertegun di pintu dapur menatapnya.
"Iya,"
Seharian berlalu cepat, dagangan mereka laku keras hari ini. Mungkin Tuhan hendak menghibur kepiluan hati ibu, karena sudah merenggut ayah dari sisinya.
Seperti biasa ketika sunset beranjak ibu kembali dengan rutunitasnya, memungut sampah yang berserakan. Setelah itu tatapannya kosong ke tengah laut, seakan menunggu sesuatu.
"Apakah, Ibu marah pada laut?" Ari mengamit lengan sang ibu, sama-sama menunggu.
"Tidak, mungkin kepergian Ayahmu adalah sebentuk marah laut. Sebentuk teguran yang dikirim melalui Ayahmu."
"Kenapa?"
"Setelah besar nanti kau akan tahu, kalau laut kita punya alasan kuat untuk marah." Ibu menatap wajah Ari yang penuh tanya. "Kau lihat itu?" Ibu menunjuk tenda-tenda ceper yang berdiri sepanjang pinggir pantai.
"Iya." Ari memang heran, tenda-tenda itu akan mengembang ketika malam tiba. Seringkali penjaga pantai mengeluhkan betapa banyak tisu-tisu berserakan saat pagi tiba.
"Seharusnya itu tidak ada. Namun karena kita orang kecil kita tak bisa berbuat apa-apa."
"Memangnya kenapa, Bu?"
"Nanti setelah besar kau akan tahu. Ibu sangat cemas, bagaimana kalau nanti laut benar-benar marah karena itu," desahnya lagi.
"Kalau sampai laut marah lagi, jangan sampai dia merenggut ibu juga."
"Ibu sangat berharap kalau kelak kau jadi orang besar, kau mencintai laut seperti yang ibu lakukan. Menjaganya lebih baik lebih dari yang ibu lakukan ... kalau seandainya ibu juga jadi korban kemarahan laut, biarkan saja. Jangan pernah membenci laut. Di sini kau dilahirkan dan kau dibesarkan dari hasil pesonanya."
Ari diam. Bocah jangkung ini berusaha mencerna penjelasan panjang lebar ibu. Sesaat sebelum melangkah tatapannya terarah ke tengah laut, kelihatan remang-remang, tapi tenang menyambut malam.
Tiada yang akan menyangka kalau di dasar sana di bawah laut. Terjadi pergeseran kecil, yang berakibat sangat fatal. Mengguncangkan laut, menaikkan gelombang setinggi enam meter, dengan ganas menyapu cepat seluruh bibir pantai dan komplek perumahan.
Senja kelabu, ketika pesona menjelma menjadi neraka. Teriak ketakutan dan kepanikan terdengar di mana-mana. Goncangan dahsyat meluluhlantakkan. Siapa sangka bencana datang diwaktu tak terduga, rumah-rumah di tepi pantai hancur bahkan ada yang tak ditemukan satu pun puingnya.
Juga rumah Ari. Bocah itu tersangkut di cabang pohon mangga yang entah kenapa masih bisa berdiri. Genggaman ibu terlepas, teriakan yang tak jelas menyerukan nama Ari.
Tidak lama bencana reda, tiada yang tersisa kecuali tangis dan kepiluan. Jerit kesakitan dan kehilangan. Di cabang pohon mangga tangan Ari bergerak, dia masih hidup
***
Dua puluh tahun berlalu. Seorang laki-laki gagah berdiri di tepi pantai. Pakaian yang dipakainya membuat semua orang menunduk hormat. Pandangannya menatap tengah laut, matanya mengembun.
"Ayah!" Sebuah seruan mengagetkannya, anak kecil berusia lima tahun berlari kecil mendekat. Dia berjongkok merentangkan tangan. Seorang wanita cantik mengikuti bocah itu dari belakang.
"Kenapa, Ayah di sini?"
Belum sempat laki-laki itu menjawab, tiga orang petugas datang menyodorkan sebuah catatan yang berisi data.
"Tertibkan payung ceper itu semua, besok saya akan memberikan mereka penjelasan." Tiga orang petugas itu mengangguk patuh. Pandangan laki-laki itu kembali kepada netra jernih yang menunggu jawabannya.
"Ayah ingin memperlihatkan padamu. Ini laut Ayah dan Nenek dulu. Sekarang akan menjadi lautmu, dan laut kita semua."
Sejak itu sesaat setelah sunset berlalu, keluarga kecil itu selalu datang memunguti sampah yang masih saja berceceran di pinggir pantai.
Selesai

Biodata penulis : 

Rahmi Novaliza, lahir di Alahan Panjang, SUMBAR. Ibu satu putri yang hobi membaca dan ingin jadi penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.