Jumat, 22 Maret 2019

#Kamis_Cerpen - Bunga yang Berbunga - Ruhyat Hardadinata - Sastra Indonesia Org





17 November

Hari ini aku dapat salam darinya, Saputra. Rio bilang Saputra titip salam padaku. Salam kenal yang berujung salam sayang.
I wish ... 😍
Terjawab sudah siapa pengirim bunga mawar yang kutemukan di meja kelas 2 hari lalu.

23 November

Saputra tersenyum padaku. Apa Rio menyampaikan salam balikku? Karena waktu itu kujawab dengan sok kesal. Padahal dalam hati kegirangan.
Kikuk. Kubalas dengan senyum tipis. Lalu memalingkan wajah dan berjalan menjauh. Aku malu. Saputra bersama teman-teman cowoknya.
Ketika aku masuk kelas. Sudah heboh peristiwa bunga mawar yang terulang lagi.
Aku jadi bahan olok-olok mereka. Ya, 2019 siapa sih yang masih suka ngirim bunga? Ah, pasti senyuman Saputra itu kode belaka yang mengatakan bahwa 'hey, bunga di meja itu untukmu ya'.

28 November

Ada bunga lagi di mejaku. Kali ini bunga seroja. Horor. Ada yang mengira aku keturunan kuntilanak.

29 November

Kali ini bunga melati. Kzl kzl kzl.

30 November

Tak ada bunga juga membuat kesal. Ditemani Rio aku menemui Saputra. Harus berani.
Kami bertemu di ruang kelasnya, berdua. Sementara Rio menunggu di luar. Jantungku berdegup kencang sebenarnya. Namun, kutahan demi sebuah pencitraan yang nyaris luntur atau sudah.

"Aku ... terima kasih atas salamnya ...."
Saputra tersenyum manis.
" ... dan bunganya."
Senyumnya mendadak luntur, "Bunga apa?"
"Bunga yang kau simpan di mejaku. Nyaris setiap hari," sebenarnya tak perlu kubuat penjelasan ini. Dia hanya pura-pura tak tahu.
Kan, dia manggut-manggut.
"Jadi aku ke sini hanya ingin kejelasan. Aku tahu sangat tidak sopan wanita untuk memulai. Tapi semua yang kamu lakukan selama ini membuat pikiranku goyang. Aku ingin melepas masa lajang ini,"
Ya ampun. Bahasa macam apa yang kukatakan? Tiba-tiba ingin membuat lubang dan mengubur diri. Semua gara-gara bunga seroja. Atau melati. Hih.
"Maksud kamu?"
Iya, kan. Saputra ini tipikal orang yang paham tapi pura-pura gagal paham.
"Aku ingin ... kita ... jadian,"
Oh, Kartini ... maafkan kemunduran IQ-ku yang tiba-tiba ini.
Dan Saputra malah tertawa. Setelah ini aku benar-benar harus mengubur diri lalu memintanya untuk menaburkan bunga melati di atasnya.
"Kenapa tertawa?!" tanyaku ketus.
"Aku ... aku ...," bukan karena ragu, suaranya tersendat karena dia masih harus tertawa, menertawaiku, menertawai pengakuan dan ajakanku yang berada di bawah rata-rata. "Ya, ayo jadian."
Oh, setelah tawanya yang keras dan hanya itu balasannya? Ya, ayo jadian. Romantisme yang hilang.
Tapi aku bergandengan tangan setelahnya. Kulihat Rio berjalan terlebih dahulu karena kami harus berjalan selambat mungkin agar benar-benar merasakan esensi percintaan yang maha dahsyat.
Ya. Aku jadian.

31 November

Setelah bel pulang sekolah dan aku menghampiri Saputra di kelasnya yang harus kembali lagi ke kelasku karena satu bukuku tertinggal di sana, aku dikejutkan dengan apa yang ada di atas meja.
Sebuket mawar yang kering.
Kami berpandangan.
"Bukan kamu, kan?" Aku memastikan.
Dan Saputra menggeleng, "Bahkan aku tak pernah sekalipun menyimpan bunga di mejamu."
Aku mengernyit. Apa aku salah orang?
"Lalu siapa?"
Saputra mengedikkan bahu. "Mungkin ...," Ada jeda yang cukup lebar sampai dia menyebutkan sebuah nama, "Rio?"
Cukup terkejut aku mendengarnya. Masa iya?
Kami berpandangan lagi. Kali ini aku menolak ketika tangannya ingin meraih tanganku.
Tanganku sepertinya sedang ikut berpikir. Siapa? Siapa? Siapa?

Jakarta, Maret 2019


Biodata penulis :

Uyatsky - Lelaki berkacamata yang minus sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.