Bagian 3 (Fatir Haris)
“Asalamualaikum,” tegur Umi ketika Alya masuk ke rumah tanpa salam.
Sontak saja membuat langkah gadis itu terhenti. Dia segera mundur lagi keluar dari rumah, melepaskan sepatu, dan mengucap salam. Umi Athiya tersenyum simpul, lalu kembali membaca sebuah buku di kursi ruang tamu.
“Tumben, Umi ada di rumah? Biasanya sibuk ngajar di pesantren,” tanya Alya dengan nada suara yang datar sambil menaruh sepatu di rak.
“Hari ini Abang Fatir pulang, jadi umi izin dulu dari kegiatan pesantren. Kamu langsung ganti baju dan makan siang, ya.”
Alya tidak menjawab, dia langsung melenggang pergi masuk ke kamar dan tidak keluar lagi. Lebih memilih mengurung diri sambil mendengar lagu-lagu rock di DVD dengan suara nyaring. Beberapa menit kemudian terdengar suara pintu digedor, Alya mengecilkan volume dan membuka pintu dengan kesal.
“Kenapa?” tanyanya ketika mendapati Umi berdiri di depan pintu.
“Alya masih simpan musik aneh itu?” tanya Umi sambil
mengernyitkan dahi.
“Musik aneh? Namanya musik rock, Umi. Umi nggak gaul banget, sih,” protes Alya cepat.
“Terserah apa namanya, tapi Abah sudah jelas-jelas melarang memutar musik-musik seperti itu. Kalau Abah tahu hal ini, dia bisa marah besar.”
“Apa sih, serba enggak boleh.” Alya dongkol.
Umi segera masuk ke kamar dan mengambil semua kaset musik rock yang berserakan di dekat DVD. Dia melirik sekitar dan menatap Alya yang masih berdiri di dekat pintu dengan tatapan tanda tanya.
“Mana kaset yang diberikan Abah minggu lalu? Kenapa cuma ada ini?” tanya Umi, tegas.
“Nggak ada.”
“Tidak ada itu maksudnya bagaimana?”
“Alya simpan di gudang.”
“Apa? Abah berikan itu untuk didengar, Alya. Bukan untuk disimpan di gudang.”
“Iya, Alya tahu. Umi, Alya mau istirahat. Tolong biarkan Alya sendiri.”
“Alya, maksud Umi begini--”
Kata-kata Umi terhenti ketika mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah, dia menatap Alya sebentar lalu keluar dari kamar. Alya masih bersikap tak acuh ketika Umi kembali memberi peringatan kepadanya.
“Umi tidak akan lapor ke Abah soal ini, tapi Alya harus menurut. Ambil lagi kaset yang diberikan Abah dan dengarkan itu saja. Jangan dengar musik-musik seperti ini lagi. Alya paham, ‘kan?”
Alya hanya memberikan anggukan kecil dan Umi pun pergi ke ruang depan untuk melihat seseorang yang datang. Sebelum itu dia menaruh kaset musik rock milik putrinya di kantong plastik dan membuangnya ke kotak sampah.
Alya mendengus kesal, lalu kembali mengurung diri di kamar. Minggu lalu, dia sudah mendapat ceramah panjang lebar dari Abah soal musik rock. Pria yang diseganinya itu melarang sang putri terbiasa dengan hal-hal tidak bermanfaat seperti mendengarkan musik. Dia menyuruh anak bontotnya untuk mengisi waktu luang dengan sesuatu yang lebih baik, seperti belajar, mengaji, dan membantu apa saja. Abah membelikan Alya DVD untuk memutar rekaman ayat-ayat suci Alquran dari kaset yang disediakannya.
Alya mengempaskan diri di kasur sambil menghela napas berat.
“Harusnya minggu ini ada jadwal balapan. Apa bisa ikut, ya? Gimana caranya untuk mengelabuhi Abah?” desis Alya.
Alya mendengar suara berisik di luar, itu pasti Abang Fatir yang sudah pulang. Dalam benaknya dia bertanya-tanya, tumben sekali orang itu pulang. Biasanya dia selalu beralasan sibuk hingga tidak bisa pulang, tapi Alya tidak peduli. Dia memilih tidur karena suasana sepi membuatnya merasa bosan.
==============
“Kalau bukan karena menghargai hari itu. Fatir tidak akan pulang, Umi,” tukas Fatir setibanya di rumah dan disambut kedatangannya oleh Umi.
Sehabis menyerahkan beberapa lembar uang kertas ke sopir taksi, Fatir dan Umi segera masuk rumah.
“Jangan begitu, jangan terlalu beku. Kamu sudah dewasa, ‘kan? Sudah sebesar ini, tapi hati kamu tidak kunjung cair juga. Umi meminta pulang supaya dapat mencairkan celah hatimu yang tertutup ego itu.” Umi memberi nasihat.
“Dia ada?”
“Ada. Mau ketemu?"
Fatir melengos. "Fatir mau istirahat, Umi."
Fatir melenggang pergi menuju kamar sambil menyeret tas dan kopor. Sesekali dia mengedarkan pandangan ke sekitar, suasana rumah masih tetap sama. Memang besar, tapi sederhana. Tidak ada pajangan atau pernak-pernik menghias rumah, yang ada hanya barang-barang berguna saja. Fatir pun masuk ke dalam kamar, sedangkan Umi memandang putranya dengan senyum getir, memperhatikan pria bertubuh jangkung itu dengan saksama sampai menghilang dari pandangan.
Fatir Haris, anak pertama dari Abah Alwi Haris. Berusia dua puluh satu tahun dan baru beberapa bulan lalu lulus kuliah strata 1. Dia memutuskan menempuh pendidikan di luar kota karena suatu alasan, meski Abah sedikit melarang. Namun, dia tetap kekeh untuk hidup berjauhan dengan keluarga. Fatir juga sudah bekerja di Jogjakarta dan memutuskan tinggal di sana. Selama menetap di kota gudeg itu, dia jarang pulang. Selalu saja ada alasan setiap kali diminta mudik. Kali ini dia memutuskan pulang sebentar, demi mematuhi permintaan Umi.
Fatir dan Alya juga tidak pernah dekat, dia seperti selalu menghindar dari sang adik. Tidak pernah ada belaian kasih sayang dari seorang kakak kepada adiknya. Justru dia selalu merasa risi setiap kali berdekatan dan Alya juga tidak peduli dengan sikap abangnya yang begitu, dia tidak terlalu suka dengan sosok yang mirip Abah itu.
“Fatir, kamu harus bisa mematikan api di hatimu itu. Bagaimanapun, apa yang kamu pendam dalam hati itu tidaklah baik, Nak,” ucap Umi pelan.
===============
Fatir sedang berdiri mematung di dekat ruang ibadah, memperhatikan lemari berisi beberapa piala dan piagam yang terisi di sana. Alya terkejut melihatnya, dia baru saja hendak ke dapur untuk makan malam. Sejenak langkahnya terhenti, mendapati sosok pria jangkung berhidung mancung itu. Sekian lama tidak bertemu, akhirnya Alya melihat wajah itu lagi di rumah. Masih sama, selalu menjaga jarak.
Setelah Alya meneguhkan hati, dia lanjut melangkah melewati Fatir yang masih berdiri di tempat.
“Kenapa Abah masih menyimpan barang lama ini?"
Kata-kata Fatir membuat telinga Alya menjadi panas. Barang lama yang dimaksud Fatir adalah hasil kejuaraannya di bidang karate. Namun, dia berusaha untuk tidak peduli. Gadis berambut panjang itu mempercepat jalannya.
Sebenarnya nafsu makan Alya menjadi hilang sejak melihat keberadaan Fatir, apalagi mendengar ucapannya barusan. Namun, dia tetap memaksakan diri, meskipun hanya sedikit. Bukan karena dia ingin, tapi Abah sudah menunggu di meja. Mau tidak mau dia harus menyantap makanannya. Itu perintah.
Tidak lama Fatir menyusul dan duduk di sebelah Umi, sedangkan Alya duduk tepat di sebelah Abah.
Alya jadi berpikir bahwa benar kata Nayla, dia ibarat harimau yang tidak bisa berkutik kalau sedang berhadapan dengan pawangnya, Abah. Dia benci untuk mengakui fakta itu.
Suasana makan malam hari ini hening seperti biasa, tapi terasa risi bagi Alya, melihat dua manusia yang benar-benar membuatnya sakit kepala. Selesai makan, Umi membereskan meja dan meminta kedua anaknya untuk tetap duduk.
“Oh, iya, Mi. Mang Kasep dan yang lain sudah makan?” tanya Abah ke Umi.
“Iya, sudah. Sebentar lagi Umi mau mengecek ke pesantren juga, mau lihat persediaan makan anak-anak.”
“Baguslah.”
“Alya, besok sepulang sekolah jangan alasan mau ke mana-mana, langsung pulang. Kita mau pergi ke suatu tempat dan kamu harus ikut, Fatir juga.”
“Iya, Umi,” jawab Alya, pendek.
“Besok, ada yang ingin abah bicarakan," sahut Abah, menuju pada Alya.
Alya hanya mengangguk kecil.
“Ya, sudah. Kamu sekarang tidur, biar besok tidak kesiangan."
Alya beranjak pergi, meninggalkan ruang makan, dan masuk ke kamar. Sedangkan Fatir masih di tempat duduk, merasa aneh dengan tatapan Abah.
“Mau pulang juga ternyata. Abah kira kamu sudah lupa bahwa punya keluarga di sini,” sindir Abah.
“Abah.” Umi mengelus tangan Abah, berharap lelaki itu dapat mengontrol emosi.
“Fatir tidak pernah lupa, hanya--”
“Melarikan diri,” potong Abah, membuat Fatir menunduk.
“Kamu pikir dengan bersikap seperti ini dapat mengubah keadaan, hah? Tidak, ‘kan? Malah merusak segalanya. Kamu pikir kenapa abah begitu memperhatikan adikmu? Karena dia juga darah daging abah yang berharga, begitu juga kamu. Darah kalian itu satu, dan itu adalah fakta yang tidak bisa diganggu gugat. Jadi, kamu salah besar kalau menyalahkan takdir ke Alya. Bukan dia yang menggariskan hidup menjadi seperti ini, tapi Allah. Kamu harus ingat, dia adalah adik kandungmu, jaga dan sayangi dia. Sebelum terlambat,” cerca Abah, masih tetap menahan emosi.
Meskipun merasa kesal sekali dengan anak sulungnya, tapi Abah tetap menjaga kalimatnya. Karena dia paham betul bahwa mengucap suatu pernyataan di saat hati sedang panas itu akan berakhir buruk, bisa saja secara tidak sadar mengatakan sesuatu berakibat fatal.
“Kamu pulang untuk apa? Hanya untuk besok?” tanya Abah lagi.
“Iya, Bah.”
“Bagus, abah pikir kamu pulang untuk membersihkan hati yang sudah berkarat. Abah bahkan berharap banyak atas kepulanganmu ini. Ternyata abah salah.” Abah beranjak dari duduk, Umi terlihat cemas.
“Besok, abah ada urusan. Jadi, tidak bisa ikut pergi. Umi saja yang mengurus semuanya,” titah Abah, lalu segera pergi. Meninggalkan rumah, menuju pesantren yang terletak tepat di samping kediamannya.
“Abah juga terluka, Nak. Umi tahu setiap kali luka itu merembes di hatinya. Umi sering lihat dia masih terjaga dan terisak di hamparan sajadah tengah malam. Namun, dia tetap berusaha menerima kenyataan hidup meski pahit. Karena apa? Karena itulah yang harus dilakukan. Abah punya banyak tanggung jawab. Yang paling besar adalah kalian berdua. Titipan dari Allah yang harus benar-benar dijaga. Abah tidak mau jadi orang tua yang gagal, maka dia bersikap keras. Semua itu demi siapa kalau bukan demi anak-anaknya,” ucap Umi, berusaha menyentuh hati Fatir.
Lalu melanjutkan, “Kamu kesal karena Abah lebih perhatian ke Alya, begitu?”
Fatir diam.
“Bukankah dia juga memberikan segalanya ke kamu? Dia memberikan kasih sayang yang sama pada kalian berdua. Namun, Alya memang butuh perhatian lebih. Dia perempuan, dan Abah takut dia salah melangkah. Sedangkan kamu berbeda, lebih tahu mana yang baik dan tidak baik.”
“Maaf, Umi. Fatir ke kamar dulu.”
Fatir pergi meninggalkan Umi yang kini duduk sendiri di meja makan. Menatap kepergian lelaki itu dengan bola mata sayu, benar-benar sayu. Perlahan, air bening menetes dari kedua rongga matanya, terlihat letih.
================
Biodata Penulis :
Ana Anggraini. Setetes embun di pagi buta yang merindukan dekapan sang surya. Bernaung di Bumi Sriwijaya. Sejak? Rahasia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.