Sabtu, 16 Maret 2019

#Jumat_Cerbung - Ayah, bagian 3 - Rahmi Novaliza - Sastra Indonesia Org



Aku menatap ibu tajam, kulihat dengan ekor mata Mak Esa masuk kamar dengan pintu dibanting. Wajah ibu gelisah berusaha menghindari tatapanku.
"Ibu, aku sangat kecewa dengan kenyataan ini. Kalau dia bukan Ayahku, jangan paksa dia. Ibu, apakah sama sekali tidak tahu hukum dalam agama kita? Pernikahan seorang anak perempuan akan sah apabila Ayahnya atau saudara laki-laki ayah itu yang menikahkan. Kalau ibu memaksa Pak Burhan menikahkanku, sedangkan dia bukan Ayahku, apa itu? Aku akan masuk ke lubang dosa selamanya." Kuusap wajah kasar. Sungguh, aku tak suka bicara dengan keras pada ibu.
"Hana maafkan, Ibu." Mata itu basah, menatap memohon. Aku luluh kemudian memeluk tubuh kurus itu.
"Ibu siapakah, dia? Aku akan menerima meskipun dia gila, katakan saja, aku tidak tenang berdebat terus dengan Ibu." Aku terisak di bahunya. Hening. Tak ada jawabannya aku mendengar dia juga menangis.
Kulepaskan pelukan yang kini terasa canggung, pertikaian sejak seminggu lalu membuat kehangatan itu menguap. Aku merasa kehilangan ibu, dia tidak dipihakku, aku merasa sendirian, diasingkan.
"Mau kemana?" Suara ibu menghentikan langkahku yang hampir sampai di depan pintu kamar Mak Esa.
"Mau bicara dengan, Mak Esa." Aku hendak meraih gagang pintu tanpa kuduga ibu meraih tanganku menjauh.
"Tidak, Hana. Jangan coba-coba." desis ibu ketakutan. Mataku yang sembab menyipit melihat kilatan kecemasan di mata ibu.
"Kenapa, Ibu?" bisikku penasaran. Ibu menarik tanganku masuk kamarnya yang terletak di ujung dapur, bersebelahan dengan kamarku. Mendudukkanku di kasur dan menatap memohon.
"Dengar, sayang. Jangan pernah masuk ke sana, Ibu tidak ingin dia menyakitimu ... dengar, selama ini ibu sudah berhasil melindungimu, jangan sampai didetik -detik terakhir ini aku kehilanganmu. Mak Esa, dia tempramental, jangan sampai dia menyakitimu." Ucapan ibu terdengar tersendat, sepertinya kata-kata itu keluar dipenuhi rasa takut. Aku pening, berbagai pemahaman berkelebat. Melindungiku? Tentu saja ibu selalu melindungiku tapi kata-kata itu seperti sebuah penekanan akan sesuatu. Ibu melindungiku dari Mak Esa? Mataku terbelalak, menatap ibu yang mulai menangis.
"Katakan, Ibu. Ada apa sebenarnya?" Ada sensasi lain ketika mengucapkan pertanyaan ini. Sebuah firasat memberontak memberi tahu, ini tidak baik. Sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Ibu janji, kau akan tahu secepatnya. Tapi tidak sekarang. Percayalah sama Ibu, Nak." Tangan ibu menggenggam tanganku kuat, lagi-lagi ketakutan aneh kulihat di mata Ibu. "Kalau pernikahan ini gagal, dan kalau sesuatu terjadi pada Ibu, pergilah dari kampung ini. Pergilah yang jauh, jangan pernah kembali." Tangisan ibu pecah, aku merasa tubuhku diseret paksa di kerekel tajam. Apa sebenarnya yang akan terjadi?
Malam beranjak aku terbangun, menyadari ibu tak lagi di sampingku, aku menolak ketika ibu memintaku pindah kamar. Aku ingin tidur bersamanya malam ini. Pembicaraan yang menguras emosi senja tadi. Aku begitu linglung dengan penjelasan ibu, yang meminta aku berhati-hati dengan Mak Esa.
Terdengar gemuruh dari luar, aku tersentak. Lentera kecil yang tergantung di dinding kamar bergoyang, aku berdo a jangan sampai pula dia mati. Aku meringis merindukan listrik yang belum juga masuk ke satu-satunya rumahku di desa ini.
Menunggu. Ibu belum juga muncul, jam dinding tua menunjukkan pukul dua dini hari. Badai mulai mengamuk lagi di luar, perlahan aku bangum dari tempat tidur, berniat mencari ibu.
Pintu berderit terbuka, gelap. Kusapu pandangan, netraku tertumbuk pada pintu kamar Mak Esa yang tidak tertutup rapat, sedikit tetang dari dalam yang menarik perhatian. Penasaran aku mendekat. Kemudian menyadari seharusnya aku tak pernah berdiri di sini.
"Aku mohon, jangan coba-coba menyakitinya. Sudah kuserahkan seluruh hidupku padamu, agar anakku baik-baik saja!" Teriakan ibu membahana.
"Sudah kukatakan dari awal, bunuh anak itu. Kau malah membiarkannya besar, sekarang dia sangat menyusahkan!" Geraman kemarahan dari mulut Mak Esa yang belum pernah kudengar selama ini.
"Dia anakmu juga! Dia ada gara -gara kau!" Kali ini teriakan ibu bagai petir yang menyambar. Aku tersentak. Terbentuklah sebuah pemahaman yang harusnya datang dari awal, wajahku, caraku berjalan, mataku, hidung, dan bibirku persis Mak Esa.
"Dengar! Akan kubungkam dia juga, seperti aku membutmu diam seumur hidup!" 
Brak! Pintu kamar itu terbuka keras, aku terperanjat, mata ibu membelalak takut, mata Mak Esa menatapku liar dan mengerikan.

"Hana!" teriakan ibu membelah malam ketakutan lain yang merayap.
"Bagus! Kau sudah mendengar, akan kujadikan kau juga milikku, dengan begitu kalian akan diam selamanya!" Mak Esa menyeringai, melangkah mendekatiku, insting aneh menyuruh lari, kakiku melangkah mundur mengikuti insting itu.
"Jangan! Jangan! Aku mohon!" Ibu meraung, ibu memegang tangan Mak Esa, Mak Esa menepiskannya dengan mudah. Ibu tersungkur di kaki Mak Esa, sambil meratap ibu memegang kaki itu kuat.
Aku shock!
Air mata merebak, pemandangan yang mengerikan.
"Lari, Hana!" Aku terpaku mendengar teriakan ibu. "Hana, lari!"
Mak Esa semakin dekat, menyeret ibu yang terus mencoba menahan kakinya.
"Hana, larilah ... Ibu mohon, jangan sampai kau mengalami hal yang sama dengan Ibu!" Teriakan ibu membuatku ingin meraung, meski air mata sudah menyamai badai di luar, aku tak bisa mengeluarkan suara.
"Hana! Lari!" Lagi teriakan ibu terasa membuahkan kesadaran baru. Ketika tangan Mak Esa hampir menyentuhku aku segera berlari kepintu, kunci pintu hanya sepotong kayu yang disilangkan aku membukanya dengan mudah. Menoleh pada ibu yang mati- matian menahan kaki Mak Esa.
"Maafkan, Ibu. Ibu menyayangimu lebih dari apa-pun." Sebuah tendangan telak mengenai wajah ibu. Mak Esa melangkah cepat ke arahku. Aku melompati jenjang kayu, menangis menembus malam pekat, menyerukan nama ibu.
"Hana! Ke mana kau akan lari!" Aku lebih takut pada suara itu, dibanding bertemu hantu malam ini.
"Pergilah, Hana. Larilah, jangan berhenti." Suara ibu, air mataku semakin deras. Aku berlari sesekali jatuh, berdiri dan terus berlari lagi.
Hujan badai, peluk saja aku. Tubuhku menggigil, tapi terus berlari. Jangkrik berbunyi seperti irama kesedihan mengiringi takdirku malam ini. Udara membekukan, seperti hatiku.
Dia kakak kandung ibuku, dia ayaku, dia inging menjadikan aku miliknya juga. Tuhan, apakah ini? Kutukan apa ini? Ibu ... Kenapa dia diam saja? Apakah laki-laki itu gila?
Aku berdiri kaku, pintu rumah itu terbuka. Mata Bi Marni terbelalak ngeri menatap, mungkin aku begitu menyedihkan. Aku menatapnya putus asa.
"Selamatkan, Ibuku. Aku mohon Bibi ...."
Tubuhku melayang, semuanya gelap.
Next...

Biodata penulis :

Rahmi Novaliza, lahir di Alahan Panjang SUMBAR. Ibu satu putri yang hobi membaca dan ingin jadi penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.