Kisah sebelumnya
https://www.facebook.com/groups/2573562719536804/permalink/2597375567155519/?notif_id=1552616279086709¬if_t=group_post_approved
Tiga bulan sudah Roy meninggalkan rumah. Sementara Sarah masih belum mendapat pekerjaan tetap. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia terpaksa jual minuman asongan yang diambil dari agen. Hasilnya pas-pasan buat makan. Jangankan untuk menyekolahkan Icha di sekolah baru, untuk membayar kontrakan pun tidak cukup. Bulan ini juga dia belum bayar. Untung orang tua Irfan_pemiliknya_tidak menagih. Mungkin karena anaknya teman dekat Icha. Sarah beruntung mereka sangat baik dan perhatian.
Terpikir dalam benak Sarah untuk menghubungi Bu Mieke lagi. Wanita itu punya banyak bisnis. Mungkin saja ada lowongan di tempat usahanya yang lain. Namun, ada sedikit keengganan di hati Sarah. Dia tidak mungkin meninggalkan Icha di rumah, juga tidak bisa membawanya menemui Bu Mieke. Selama ini Sarah mengaku belum berkeluarga.
Dari keterangan karyawan lain, Sarah mendengar bahwa Bu Mieke juga tidak memiliki anak dan suami. Namun, bagi perempuan sekaya itu, pastilah bukan masalah. Dia tidak membutuhkan siapa-siapa untuk menghidupi dirinya. Tidak seperti dirinya yang selalu membutuhkan pertolongan.
Sempat tebersit di hati Sarah untuk menghubungi Bu Liliek. Rasa kangen itu tiba-tiba menyusup. Ingin kembali merasakan kehangatan di tengah-tengah panti. Namun niat itu juga ditepisnya. Dia tidak mungkin menemui wanita itu dengan keadaan seperti ini. Bukan karena malu, tetapi ... Bu Liliek paling tidak bisa melihat dirinya kecewa.
Pernah suatu kali Sarah pulang dari sekolah. Bu Liliek cemas melihat matanya sembab. Dia kira ada murid yang menyakitinya. Bu Liliek sudah siap-siap mendatangi guru. Akhirnya Sarah terus terang. Dia kesal, karena melihat teman-temannya punya orang tua dan merencanakan liburan bersama keluarga.
Seketika itu juga Bu Liliek merasa bersalah karena tidak pernah mengajak Sarah bepergian. Dia langsung menjual kambing dan membawa Sarah jalan-jalan ke Jogja. Mereka menginap di rumah salah seorang kenalan Bu Liliek. Bukan main girangnya Sarah saat itu. Mereka foto-foto di candi, di pantai, makan di restoran bagus, belanja. Namun tiba-tiba ashma Bu Liliek kambuh. Mereka pun terpaksa pulang.
Mendadak, Sarah seperti baru tersadar. Dia merasa bersalah telah mengabaikan cinta dan pengorbanan Bu Liliek. Padahal selama ini orang tua itu sudah memperlakukannya seperti anak sendiri. Namun dia masih mengharapkan orang tua lain. Seakan semua yang Bu Liliek berikan tak ada artinya. Hanya karena dia cemburu melihat keberuntungan orang lain.
Kali lain, pulang dari acara ulang tahun, Sarah ngambek. Sepatunya diledek, lantaran yang lain datang ke pesta dengan memakai sepatu formal. Sementara dia hanya punya sepatu kets yang agak butut. Esoknya Sarah tidak mau sekolah. Saat itu Bu Liliek tidak punya uang membelikan yang bagus. Dyono yang sudah mengajar di sebuah madrasah, langsung mengajak Sarah belanja.
Sayangnya, uang Dyono juga tidak cukup membeli merek Meri Kler seperti yang Sarah mau. Akhirnya Sarah memilih sepatu lain yang modelnya mirip. Bu Liliek senang melihat senyum Sarah kembali merekah. Ya, mereka memang sebenar-benarnya keluarga yang menyayanginya.
Namun, lambat laun perasaan itu pudar. Tertutup oleh sakit hati yang kian menggunung. Terutama ketika dirinya ditinggalkan teman-teman karena tidak bisa mengikuti gaya hidup mereka. Itulah sebabnya dia ingin keluar dari panti.
Andai dirinya memutuskan kembali, Bu Liliek pasti sangat bahagia menerima. Tidak ada dendam di hati perempuan itu, kecuali kasih. Namun Sarah tidak sanggup melakukannya. Dia sudah memilih jalan ini. Apapun yang terjadi, dia harus bangkit. Dia harus meraih cita-citanya semula. Sukses dan bahagia!.
----
Matahari terik memanggang. Menembus kulit Sarah yang tengah berdiri di depan sebuah kios. Jalanan pasar yang sempit, becek oleh genangan air got akibat endapan sampah . Cipratan motor yang melewatinya tak membuat Sarah hirau. Dia sibuk menghitung uang, hasil menjual cincin kawin. Mengira-ngira apa saja yang harus dibayar; uang kontrakan, makanan, ongkos untuk melamar kerja, dan ... matanya tertumbuk pada jejeran sepatu yang dipajang di emperan. Ya, dia harus membelinya juga untuk interview.
Sarah meraih salah satunya yang bertumit sedang. Ada perasaan mengganjal ketika dia mencoba sepatu murah itu. Lekukannya, tidak menempel di telapak kaki. Bahannya pun terlalu kaku hingga membuat jarinya rasa tercengkeram. Lem yang digunakan untuk menempel aksesoris pun tampak berlebih dan menggumpal. Membuat seluruh tampilannya semakin tak berkelas. Tanpa berniat mencoba lebih lama, Sarah langsung membayar dan memasukannya ke dalam tas.
Tiba-tiba, seseorang menyentuh pundaknya, “Sarah?!”
“Yon?!” Sarah terperanjat.
Dyono sendiri tak kalah tercengang. Tatapannya menyapu Sarah dari ujung kaki hingga kepala. Bagaimana mungkin ... keadaan Sarah seperti ini?. Padahal semua orang di panti mengira cita-citanya sudah berhasil. Sudah sukses dan bahagia bersama Mr. Lim yang baik hati.
Sarah tak tahu harus menyembunyikan dirinya kemana. Dyono berdiri di hadapannya Seperti arwah yang tiba-tiba muncul. Andai bisa pura-pura hilang ingatan, dia pasti akan melakukannya. Mengapa dia harus bertemu di tempat ini?.
“Tolong, Yon. Jangan bilang Bu Liliek soal keadaanku. Jangan bilang kamu ketemu aku.” Di warung bakso tempat Dyono mengajaknya makan, Sarah memohon.
Dyono menghela napas. Dia tidak menyangka, kedatangannya ke Jakarta untuk menghadiri rapat guru, malah membawanya bertemu Sarah. Lelaki yang baru diangkat menjadi kepala sekolah itu, miris mendengar penuturan perempuan yang pernah dicintainya, atau masih?.
“Kamu tahu, Bu Liliek terus-terusan mikirin kamu. Saiki malah sakit-sakitan. Tiap ada orang yang mau berangkat Singapur, Bu Liliek selalu pesen. Minta dikabari nek ketemu kamu.”
Air mata Sarah menetes ke dalam mangkuk. Dyono langsung mengambilkan kotak tissue.
“Ojo bilang Bu Liliek, Yon.” Sarah menggeleng keras,”aku wis salah tenan.” Dia mengelap air mata dan membuang ingus dengan keras.
Sarah menolak ketika Dyono hendak mengantarnya pulang. Dia tidak ingin Dyono melihat Icha dan semakin mengasihani dirinya.
“Ojo membenci keadaanmu Sarah. Allah bilang, bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Bisa jadi engkau mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu.”
Mulanya Sarah juga tidak mau menerima uang pemberian Dyono. Namun Dyono mendesak. Dia juga membujuk Sarah agar kembali ke panti.
Sarah menggeleng, ”Aku ‘ra mungkin kembali ning panti, Yon.”
”Nopo to Sarah? Kamu sama Icha butuh tempat tinggal sing layak. Opo sing di arep ning Jakarta?.” Dyono benar-benar tidak mengerti, mengapa Sarah keras kepala mempertahankan keadaan ini. Padahal di panti hidupnya bakal lebih terjamin. “Saiki aku wis dadi kepala sekolah. Aku iso bantu kamu, nek kamu butuh opo-opo.”
Sarah tersinggung. Dyono terdengar seperti sedang memamerkan kesuksesannya, “Baru dadi kepala sekolah wis sombong. Kuwi mikir aku ra iso ngidupi diriku sendiri? Ra iso sukses?” Sarah mengembalikan uang pemberian Dyono,”Aku ‘ra butuh bantuanmu!”
Dyono kaget. Dia sama sekali tidak bermaksud menghina Sarah. Niatnya benar-benar ingin menolong. Dia yakin, di panti akan ada banyak orang yang bisa mengurus Icha kalau Sarah ingin bekerja. Sebegitu sempitkah Solo bagi Sarah, hingga merasa tempat itu tidak bisa membuatnya berkembang? Mengapa dia lebih memilih mempertaruhkan hidupnya di kota ini?.
Pertemuan dengan Dyono makin memicu Sarah untuk segera mendapat pekerjaan. Dia harus tunjukan pada semua orang yang melecehkannya, kalau dia bisa! Dia bisa sukses dan bahagia!
Keesokan paginya, Sarah bersiap-siap interview di sebuah salon besar.
“Tunggu di sini, ya! Jangan kemana-mana!” Sarah berkata sambil mengacungkan telunjuknya pada Icha.
Sebelum memasuki salon mewah itu, dia mengganti sendal teplek dengan sepatu yang dibelinya di pasar. Digosoknya dengan tissue basah agar kelihatan mengkilap. Sambil menambahkan lipstick, Sarah mengecek penampilannya di salah satu kaca mobil yang diparkir. Persis di depan Icha duduk. Ijazah kecantikan dan surat lamaran pun sudah dia siapkan. Semoga wawancara kali ini lolos dan diterima, Sarah berdoa dalam hati.
“Ingat, ya. Jangan kemana-mana! Awas kalau nakal, nanti mama pergi!”
Setengah takut, Icha mengangguk cepat. Dia mengawasi Sarah yang memasuki pintu kaca. Setelah melihat ibunya menghilang dari pandangan, Icha memundurkan punggungnya ke sandaran. Kedua kakinya yang menggantung bergoyang-goyang. Semakin cepat hingga mengganggu ibu yang duduk di sebelahnya. Dia menghardik Icha keras. Icha langsung terdiam.
Dia mulai jenuh. Bocah itu mengeluarkan buku gambar dan mulai membuat coretan-coretan dengan pensilnya. Namun, selang beberapa menit, konsentrasinya terganggu. Bau gorengan menggelitik hidungnya. Perutnya mendadak lapar.
Kedua kaki yang menggantung di kursi itu turun dan mencari arah datangnya aroma. Air liurnya nyaris menetes melihat gorengan yang terdapat dalam gerobak pikul. Tanpa menyadari kalau makanan itu masih panas, kedua tangan kecil itu langsung meraupnya. Begitu merasakan minyak itu menggigit kulitnya, dia spontan melemparkan pisang-pisang itu hingga berhamburan.
“Heh! Kecil-kecil maling!” Penjual gorengan yang baru kembali, berteriak kaget.
Icha kaget dan marah. Dia mengambil gorengan yang jatuh dan melemparnya ke penjual. Tukang gorengan membentak Icha lebih keras. Icha ketakutan. Penjual pura-pura mengejarnya. Icha berlari menjauh.
Ketika hendak kembali ke kursi, dia melihat perempuan yang menghardiknya masih ada di sana. Dia spontan menghindar dan menyeberang. Menerabas kendaraan yang lalu lalang tanpa menoleh kiri kanan. Kakinya yang jinjit, berlari melewati beberapa ruko besar. Sampai di tengah perempatan jalan yang lebar,
Icha kebingungan. Klakson mobil dan derum motor semakin bising dan ramai. Jalanan macet dan orang-orang berteriak menyuruhnya minggir.
Anak itu tak tahu harus kemana. Tantrumnya kumat. Dia terus berputar-putar di tengah perempatan jalan.
“Hey, minggir!” bentak seorang pengemudi yang turun dari mobil.
Icha menjerit kuat-kuat sambil menutup telinganya,”Mamaaa!”
----BERSAMBUNG---
Biodata penulis :
Rina Setianingrum. Seorang mantan karyawati swasta yang pernah lari dari impian menjadi penulis.
Namun akhirnya menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.