Jumat, 29 Maret 2019

Resensi Novel Wonderwall oleh Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia Org





Belajar Memaknai Perbedaan Cara Mencintai

Judul                           :  Wonderwall: Selamanya. Kamu.
Penulis                         :  Ida Ernawati
Penerbit                       :  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan                       :  Pertama, 2018
Tebal                           :  280 halaman
ISBN                           :  9786020382920   
Peresensi                     :  Lenni Ika Wahyudiasti

Seberapa kuat kita mampu memendam perasaan pada seseorang yang tidak selayaknya dicintai? Seberapa jauh kita bisa lari dari kenyataan? Pun seberapa lama kita bisa hidup dalam penyangkalan?

Aneka pertanyaan inilah yang membelenggu kehidupan Emma, sang tokoh utama dalam novel terbaru berlabel ‘amore’ karya sahabat saya, Ida Ernawati yang multi talenta ini. Berkisah tentang kehidupan cinta Emmaneira Parameswari, seorang dokter hewan sekaligus executive product manager di sebuah perusahaan farmasi, novel apik ini menyodorkan sebuah ironi  ketika Emma yang memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni di kantornya, justru gagal membangun komunikasi yang manis dengan ibu kandungnya sendiri di rumah.   

Diawali adegan lamaran Farrel yang membuat rasa galau Emma meraja, kisah dalam novel ini pun bergulir menjadi konflik unik di antara para tokohnya. Emma merasa tak siap menerima lamaran sang kekasih, lantaran ada rahasia masa lalu menghantui dan membuat risih. Masih ada segenggam rahasia masa silam selama ini ia pendam. Ada kisah cintanya dengan Baruna yang menggantung dan hambar, cinta dalam hatinya pada Arya---kakak Baruna---yang tak sempat mekar, pun retaknya hubungan Emma dengan Kinanthi, ibu kandungnya sendiri, yang tak kunjung kelar. Dari sekian rahasia hidupnya, hubungan tak sehat Emma dan ibunyalah membuat gadis itu ragu untuk memperkenalkan Farrel pada sang mama.

Di tengah rasa gamang, secara tak terduga Emma kembali bertemu dengan Arya yang mau tak mau melemparnya kembali pada kenangan masa silam ketika ia diam-diam jatuh hati pada lelaki ini sehingga ‘terpaksa’ menghindar dari lamaran Baruna dan kabur ke Budapest. Tanpa Emma sadari, keputusannya lari dari kenyataan itu ternyata berujung pada kecelakaan tragis yang menewaskan Baruna dan kematian mendadak ibunda kakak-beradik—Arya dan Baruna---tersebut tak berselang lama kemudian. Tak pelak, Arya pun menuding Emma sebagai penyebab utama ia kehilangan orang-orang terkasihnya dan membenci gadis itu setengah mati.

Persoalan makin rumit ketika mama Emma, ternyata ‘bersahabat’ dengan Arya yang dikenal perempuan paruh baya ini lewat aktivitasnya dalam sebuah komunitas pecinta seni mewarnai. Lewat ‘persahabatan’ tersebut, Arya seolah menemukan pengganti sosok ibunya yang telah tiada, sementara mama Emma begitu berharap Arya menjadi menantunya. Hubungan Emma dan sang mama pun kian menegang karena Emma tak ingin mengkhianati Farrel dengan memenuhi harapan ibunya untuk ‘dekat’ dengan Arya, yang kini amat membencinya.  

Kegalauan Emma kian memuncak ketika gadis 29 tahun ini mendapati ibunya jatuh pingsan dan diagnosa dokter mengarah pada penyakit serius yang bisa membahayakan jiwa. Saat itulah Emma sadar bahwa ia tak ingin kehilangan ibunya dan berniat memenuhi apapun permintaannya. Lalu, ke manakah kegalauan Emma ini bermuara?  Tetap bersama Farrel, lelaki yang begitu mencintai dan dicintainya, ataukah pilihannya berlabuh pada Arya, cinta masa lalu dalam diamnya, yang begitu dipuja ibunya?

“Mama tahu, Mama tidak boleh mencampuri urusanmu. Tetapi, Mama tidak berbohong bahwa Mama selalu berdoa, jika Arya jodohmu maka semoga Allah memudahkan jalannya.” Siapa pun yang menerima tatapan Mama ketika menyampaikan kalimat panjangnya tadi, pasti menyimpulkan bahwa itulah tatapan penuh pengharapan. Pengharapan yang menusuk-nusuk ulu hati ..., (hal.228-229).



Konflik antara Emma dan sang mama ini amat menarik. Boleh jadi lebih menarik daripada menebak siapa yang akhirnya dipilih Emma untuk menjadi pendamping hidupnya.  Dalam bentangan konflik yang tercipta, ada pelajaran berharga  dari friksi ibu dan anak yang sebenarnya saling mendamba. Hikmah penting yang saya catat adalah bahwa sekeruh apapun hubungan ibu dan anak, sejatinya keduanya memiliki ikatan cinta yang tak mudah terkikis, meski ia sempat retak dan terkoyak. Bila kemudian konflik dan friksi di antara mereka mengemuka, bisa jadi itu semata karena masing-masing pihak memiliki cara mencintai yang berbeda.

Dalam hati Emma merintih, ... Mama, ayo bangun! Apa pun yang Mama minta, akan kulakukan. Asal Mama bangun, Mama harus bangun. Kita akan perbaiki semuanya. Kita akan berbicara layaknya anak perempuan dan mamanya. ... Asal Mama bangun! Jangan tinggalkan aku dalam keadaan masih durhaka!” (hal. 145)

“Mama tidak akan menghapus menu kue lumpur itu sampai kapan pun, Emma. Kue itu resep jajanan yang pertama kali nenekmu ajarkan pada Mama. Dan karena Mama tahu kue itu kesukaanmu.”
Rasa haru menyelimuti Emma. Ke mana saja dirinya selama ini? Lihatlah! Mama bukanlah macan yang siap menerkam. Mungkin mamanya bukan orang berjiwa lembut seperti ibu lain. Dia punya cara tersendiri untuk mencintai anaknya, (hal. 161).

Meski masih saya temui saltik di beberapa halaman, termasuk di sampul belakang buku, seperti kata “menyajikan” yang tertulis “menyajian” dan frasa “ia akan tidak akan pernah sampai tujuan, selamanya …” yang agak membingungkan,   secara keseluruhan novel apik karya penulis lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga---yang juga aktif memberi pelatihan Public Speaking---ini tak pantas dilewatkan. Tak hanya bertutur tentang kisah romansa sang tokoh utama dan pasangannya yang mewarnai ikhtiar Emma dan sang mama membangun kembali cinta yang sempat memudar di antara mereka, di novel ini terselip pula kisah perjuangan Vanda, sahabat Emma yang single parent saat mengoptimalkan tumbuh-kembang anak kandungnya yang terlahir ‘berbeda’.

Senantiasa ada yang unik dan khas dalam karya-karya Ida. Salah satunya adalah keberadaan sejumlah istilah biologi dalam untaian kalimat yang ditulisnya. Narasi “Secara fisiologis tubuhnya bekerja dalam ritme jatuh cinta. Kadar dopamin dalam otaknya sedang tinggi, sementara kadar seretonin meluncur rendah (hal. 7)” dan kalimat ”Kata-kata Vanda bagai anak panah yang melesat tajam, membangunkan neuron di kepala Emma, (hal. 9)” seolah mewakili dunia medis yang menjadi profesi sang tokoh yang kebetulan sama dengan latar belakang pendidikan Ida.

Over all, ada banyak hikmah dan kalimat sarat makna yang saya dapatkan di Wonderwall.  Selain pelajaran bahwa kita harus berdamai dengan masa lalu bila tak mau kehilangan masa depan, lewat novel ini, Ida sepertinya ingin pula berpesan bahwa kendati adakalanya kita dan orang tua kita berbeda pandangan, kita tetap  wajib berbuat ihsan----terlebih pada ibu---dan pantang merenggangkan hubungan.

Mengapa demikian?

Ida menegaskan alasannya dalam kalimat yang dituturkan Arya,  ”Percayalah, cinta Ibu tidak akan sesempit itu. Cinta Ibu mampu mengikis habis rasa egonya. Ibu bisa saja menolak keinginan kita karena kekhawatirannya. Itu pun tanda cintanya pada anaknya. Tetapi saat anaknya memilih jalan yang tidak sesuai dengan harapan ibu maka ibu memiliki doa sebagai senjatanya,” (hal. 263).

---oo000oo---

Biodata Peresensi


Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Kendati  sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014 plus sebuah buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, twitter: @lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.




Senin, 25 Maret 2019

Opening Dalam Bentuk Dialog Harus Kuat - Sastra Indonesia Org




Selain opening dalam  bentuk narasi/ deskripsi, opening juga boleh menggunakan bentuk dialog. Akan tetapi, jika ingin memulai opening dengan dialog maka dialog harus benar-benar kuat, bukan dialog biasa. Sayangnya, masih banyak penulis pemula yang asal tulis saja dalam menyajikan dialog untuk sebuah opening.

Perlu kamu ketahui, dialog ucapan salam maupun sapaan seperti Assalamu’alaikum, halo/ hai, selamat pagi/ siang/ sore/ malam, dan lain sebagainya itu juga merupakan dialog biasa/ tidak kuat untuk opening. Contoh saja:

Assalamu’alaikum Bu Siti,” salam Ina.

atau

“Hai Ari, lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” sapa Zahra.

Ada lagi dialog yang terkesan basi. Perhatikan dialog di bawah ini:

“Halo Metty, lagi apa? Sudah makan belum?” tanya Rio di seberang telepon.





Oleh karena itu, buatlah dialog yang greget dalam opening. Agar dialog itu kuat, salah satunya dengan cara membuat dialog yang langsung masuk ke konflik. Misalnya opening dialog di bawah ini:

“Kalian itu jahat, selalu aku yang disalahkan. Kalian selalu memperlakukanku seperti seorang budak. Apa salahku sebenarnya pada kalian, hah?” ucap Ratih pada keluarganya.

Dialog opening yang kuat juga bisa didapatkan dengan cara menggunakan kalimat kontroversial. Misalnya:

“Tuhan, kenapa mereka jahat sekali kepadaku? Salahku apa ya Tuhan?” seru Ratih berulang kali di dalam kamar bersama linangan air mata.
Jadi, apabila kamu ingin memakai dialog dalam opening, pastikan dialog tersebut benar-benar kuat, unik/ menarik, dan juga berbobot. Bukan dialog standar lho ya teman-teman J.

Bagaimana? Sudah paham?

All picture by: Google


#Sabtu_Tema - Bidadari Kedua - Adinda Mahesa - Sastra Indonesia Org




Matanya bulat bak purnama, memancar sinar pucat yang indah. Beberapa detik mata itu menatap tak percaya orang di hadapan, disertai mulut yang membentuk bulatan. Sampai akhirnya, binar pucat itu berubah cerah dan indah. Senyum serupa sabit pun melengkung dari sudut bibirnya.

Gadis itu berkata, "Indah mau, Bu! Indah mau nikah muda! Apalagi sama duda kaya raya, ulala!"
Ibunya tersenyum, lega. Tak menyangka anaknya akan menerima lamaran keluarga sahabat lamanya dengan lapang dada, tanpa pemerontakan sama sekali. Padahal, ia sempat ragu membahas hal ini, mengingat usia anaknya baru menginjak sembilan belas tahun. Masa SMA-nya baru selesai beberapa bulan lalu, kuliah juga baru semester satu. Namun, sepertinya anak gadisnya tak keberatan menyandang status istri muda seorang duda yang ditinggal mati istri tercinta. Gadis itu bahkan berkata akan dengan suka rela belajar memasak untuk suaminya kelak.
"Kamu yakin, Nak?" tanya ibunya pelan. Gadis bernama Indah itu pun mengangguk mantap sambil tersenyum manis.
"Memangnya ... kamu nggak punya pacar?" Sekali lagi ibunya ingin memastikan perjodohan ini akan berjalan tanpa hambatan.
Indah mengangguk. "Ada, kok. Pacar Indah banyak malah, ada tiga. Tapi biarin aja. Mereka juga belum ada yang beneran mau nikahin Indah." Enteng sekali gadis itu berkata, sampai membuat sang ibu hanya bisa menggeleng.
Singkat cerita, Indah berhasil meyakinkan ibunda untuk menerima pinangan keluarga sahabatnya itu. Meskipun belum tahu seperti apa rupa orang yang akan menemani seumur hidupnya, Indah tetap saja menyungging senyum bahagia. Merasa jatuh cinta, tanpa perlu bertatap muka. Entahlah ... yang dia rasa hanya, Tuhan sedang mendekatkan hal baik padanya.
Angin berdesir lembut, menerbangkan helaian rambut panjangnya saat ia memutuskan duduk di halaman rumah malam harinya. Tabur gemintang di atas cakrawala ditatap dengan penuh bahagia. Sesekali matanya memejam, membayangkan kehidupan indah yang akan ia jalani setelah hari ini. Menikah, menjadi istri dan ibu kelak. Namun, saat bayang kelam muncul dalam ingatan, gadis itu menghela napas panjang.
"Nggak semua orang seperti Ayah, 'kan?" bisiknya, meyakinkan diri lagi. Ingatan tentang perceraian orang tua saat ia berusia tujuh tahun terus saja menghantui meski sudah ia coba enyahkan.
Lagi, semilir angin menerbangkan ingatan masa kecil yang penuh akan cacian dan hinaan. Karena hamil di luar nikah, ibunya tak pernah dihargai oleh keluarga ayahnya, begitu pun Indah. Akibatnya, mereka harus bekerja mati-matian banting tulang untuk kehidupan setelah ditinggal sang ayah. Namun, dengan kesabaran yang ditularkan ibu padanya, Indah yakin, ia akan meraih bahagia suatu hari.
"Di mana pun Ayah sekarang, Indah harap Ayah bahagia. Sama kayak Indah dan Ibu. Kami bahagia meski tanpa Ayah," lirihnya pada langit kelam.
Malam itu dihabiskannya dengan banyak doa dan harapan, pada hari esok yang akan menentukan jalan panjang.
***
Polesan bedak tipis menyempurnakan wajah tanpa noda milik Indah. Gadis itu tersenyum menatap bayang di cermin, merapikan sekali lagi rambut hitam yang dicepol tinggi berhias bunga mawar merah segar tanaman ibunya. Sederhana, tetapi berkelas. Itulah yang ia pikirkan ketika menangkap bayangnya di cermin. Tak lupa ia berdoa semoga dapat memenangkan hati calon suami di pertemuan pertama ini sebelum bangkit memenuhi panggilan ibunya.
Ditemani jantung yang berdegup kencang, gadis itu berjalan agak cepat, merasa tak sabar. Hari ini dia menggunakan gaun hitam selutut, tanpa tambahan aksesoris apa pun. Ketika tiba di ruang tamu yang tak jauh dari kamarnya, gadis itu tertegun. Menatap lamat-lamat sosok pria berkemeja putih yang sedang duduk di sofa tunggal dengan pandangan tertunduk. Diperhatikan garis-garis wajah itu, mencoba menyatukan kepingan memori yang pecah menyebar di dalam kepala.
"Sini, Nak." Panggilan ibunya membuyarkan sesaat lamunan Indah. Ia mengangguk, duduk di sebelah ibunya, tepat di seberang laki-laki yang belum juga mengalihkan tatap padanya. Obrolan ringan berlangsung, orang tua lelaki itu banyak sekali mengajukan pertanyaan dan dijawab ramah oleh Indah meski pikirannya masih saja melayang entah ke mana. Dia yakin, pernah bertemu pria itu, entah pada bagian kehidupannya yang mana. Pasti ada satu kenangan tentang pria itu, hanya saja, ia tak mampu mengingatnya.
"Yusuf, kamu nggak mau tanya sesuatu sama Indah?" Ibu dari lelaki itu bertanya, anaknya menggeleng. Tentu saja itu membuat Indah kecewa, tetapi hanya sesaat karena setelahnya gadis itu kembali tersenyum ceria.
"Kalau Indah yang tanya, boleh?" Dia menatap pria yang masih bergeming itu, menanti jawaban. Sampai akhirnya sosok itu mengangguk, menambah lebar senyum di wajah Indah.
"Abang ... kenapa nggak mau lihat Indah?"
Dengkusan cukup keras terdengar, disertai gelengan.
"Nggak mau nambah dosa," ucap pria itu lugas.
Indah melongo, tak mengerti maksudnya. Belum sempat otak mencerna ucapan lelaki itu, dia malah bangkit berdiri dan mengatakan sesuatu yang lebih membingungkan Indah.
"Maaf, Bu." Laki-laki itu menatap sekilas ibu Indah. "Saya hanya akan ke sini lagi, kalau Indah sudah berhijab. Saya permisi." Lalu, salam merdu menggema di telinga Indah, diiringi langkah ketiga tamu mereka. Ruangan senyap, tersekap pikiran yang tergagap. Dengan napas yang masih setengah tertahan, Indah akhirnya menoleh pada ibunya setelah beberapa saat terdiam.
"Bu ... Indah mau ke ATM, jebolin tabungan buat beli gamis sama jilbab. Kalau sekali lagi masih nggak mau juga, Indah seret dia ke KUA."
"Hus," bisik ibunya. "Kalau nanti sudah berhijab, mulutnya itu juga harus dijaga. Jangan sembarangan kalau ngomong, Nak. Kamu itu perempuan." Ibunya memberi ceramah singkat, Indah nyengir kuda.
Ditemani ibunya, Indah membeli beberapa pakaian longgar dan selendang. Saat anaknya berjalan di depannya, wanita berusia belum genap empat puluh tahun itu tersenyum miris, menyeka air mata. Berkata dalam hati bahwa ia rela meninggalkan anak tunggalnya jika Yusuf yang menjadi penjaganya.
Maaf, Nak, tapi ibu sudah lelah, lirihnya dalam hati sambil memegang bagian perut bawah yang kembali nyeri. Rasa yang belakangan selalu menemani hari, membuatnya tak sanggup bertahan lebih lama. Penyakit yang sudah ia tanggung lebih dari 3 tahun itu terus saja menggerogoti daya hidupnya. Sampai saat ia hampir menyerah, tetapi tertahan oleh anaknya. Apa yang akan terjadi bila ia meninggalkan Indah seorang diri? Tak ada seorang pun yang sudi melihat, apalagi mengurusnya. Beruntung, Allah mengirimkan orang tua Yusuf yang merupakan sahabat lamanya tanpa pernah ia duga. Mereka menanyakan Indah yang terakhir ditemui saat ia berusia sepuluh tahun. Lalu, berniat meminang untuk menyembuhkan patah hati sang putra.
"Bu," bisik Indah di tengah pasar. "Mimpi apa Indah bisa punya suami ganteng, kaya, dan saleh kayak Bang Yusuf itu? Ah, Ibu memang terbaik, deh! Nggak salah pilihin Indah calon suami." Gadis itu menggantungkan sebelah tangan di lengan ibunya manja. Wanita itu balas tersenyum dalam sakitnya.
"Bukan ibu yang memilihkan kamu calon suami, tapi Allah. Coba lihat, belum apa-apa, Allah sudah membisikkan di telinga Yusuf untuk mendekatkanmu pada-Nya." Wanita bernama Ratih itu tersenyum lembut. "Pesan ibu satu, Nak. Apa pun yang terjadi kelak, jaga kehormatanmu. Jangan sampai kamu seperti ibu. Ibu nggak mau kamu dimaki orang, seperti mereka memaki ibu. Jadilah bidadari surga untuk Yusuf kelak, berusahalah untuk selalu istikamah di jalan Allah, agar kelak kalian bisa bersatu di janah-Nya."
Itulah pesan terakhir sang ibu sebelum meregang nyawa sesaat setelah ijab kabul diucapkan Yusuf. Akhirnya, hari itu menjelma menjadi hari paling bahagia sekaligus duka bagi Indah. Ia kehilangan permata jiwanya, sesaat setelah menemukan penjaga. Seperti ia tak boleh memiliki keduanya dalam waktu bersamaan.
***
Indah menggigit bibir, lagi-lagi telur yang ia masak gosong. Gadis itu mengembus napas kesal, memandang telur tiga warna di depannya dengan penuh rasa bersalah. Haruskah ia membuangnya lagi? Padahal, ia sudah belajar seumur hidup dari ibu untuk tidak membuang makanan.
"Gosong lagi?" Suara berat itu terdengar dari arah pintu dapur, mengiringi kedatangan pria berkemeja hijau muda. Indah mengangguk, wajahnya memanas. Sudah satu minggu mereka menikah dan ia belum juga bisa menggoreng telur. Padahal, tak ada pembantu di rumah mereka yang bisa membantunya memasak. Jadi, Yusuflah yang mengambil peran itu. Menggoreng dua buah telur untuk mereka.
"Bang ... maaf," lirih Indah di sela makan mereka. Lagi-lagi Yusuf hanya mengangguk. Sudah seminggu mereka menikah, tetapi suaminya masih saja dingin tak tersentuh. Membuat Indah kadang merasa sakit di ulu hatinya, entah karena apa.
"Bang ... Indah boleh ikut kursus masak, nggak?" tanyanya, melihat penuh harap pada Yusuf yang sudah menghabiskan makanannya.
Setelah minum, Yusuf menggeleng. "Kamu masih harus kuliah, beresin rumah juga. Kalau mau kursus masak, nanti kelelahan. Lagipula kamu dipinang oleh orang tua saya untuk menjadi istri, bukan pembantu saya."
Indah tersenyum miris. Menjadi istri pun tak sempurna, pikirnya. Seminggu menikah, Yusuf bahkan tak pernah menciumnya. Entah apa yang harus dilakukan agar pria itu benar-benar menoleh padanya.
"Indah mau berhenti kuliah aja kalau gitu, Bang. Abang nggak malu, 'kan, punya istri tamatan SMA?"
Yusuf menghela napas panjang sebelum bangkit berdiri. "Terserah kamu kalau mau berhenti kuliah. Tapi kalau nggak sanggup belajar masak, pakai pembantu aja."
Lelaki itu hampir melangkah meninggalkannya saat Indah memberanikan diri menggapai tangan dan menyalaminya. Senyum tipis tersungging di wajah teduh Yusuf, sebelum salamnya terdengar. Indah tersenyum menatap punggung tegap suaminya, menggumam doa semoga ia selalu berada dalam lindungan Allah. Indah tahu, jalannya memenangkan hati Yusuf tak akan mudah. Namun, ia yakin, Allah pasti membantunya.
***
Saat baru menikah, ada satu larangan yang dibuat Yusuf untuknya. Indah tidak boleh masuk ke sebuah ruangan di rumah itu, entah karena apa. Pintu yang selalu terkunci rapat jelas saja menarik rasa penasaran gadis itu, tetapi dia berusaha menekannya dan menuruti perintah Yusuf. Karena menurut ceramah yang didengar, seorang istri harus selalu patuh pada kebaikan yang diajarkan suami padanya. Jadi, Indah berusaha menjadi setaat para wanita penghuni surga sebelum dirinya.
Namun, siang itu Yusuf melihatnya berdiri di balik pintu. Indah tergagap, takut merayap hingga ke tulang-belulangnya.
"Indah ... Indah nggak masuk, kok. Cuma berdiri di sini aja."
Yusuf mengangguk, merogoh kunci di saku celana hitamnya, laku membuka ruangan itu. Sebuah kamar dengan perabot tertutup kain putih terlihat, Indah melangkah antusias mengikuti suaminya.
"Ini dulu kamar kami," lirih Yusuf, menyingkap tabir putih sebuah pigura yang menampilkan foto pernikahan dengan istri pertamanya. Indah mendekat, tertegun seketika. Wajah Yusuf di foto itu sangat berbeda dengan yang ia lihat saat ini. Di sana, wajah pria itu begitu ceria.
"Kamu tahu? Rasanya aneh ketika melihat kamu yang tidur di samping saya, bukan Fatimah." Ucapan Yusuf begitu menohok Indah, tetapi ia masih berusaha maklum.
Satu lagi foto tersingkap, mata Indah semakin membulat.
"Ini ...." Rupanya, itulah kepingan memori yang terus mencoba masuk, tentang siapa Yusuf di masa lalunya.
"Ini anak Abang?"
"Iya," jawab Yusuf, terlihat sedih. "Itu anak kami, Adam namanya. Dia meninggal bersama ibunya saat kecelakaan itu. Hanya saya yang selamat. Padahal, hanya tinggal beberapa hari sebelum dia masuk TK, tapi Allah memanggilnya. Memanggil kedua poros kehidupan saya."
Air mata luruh di wajah Indah, membelah wajah cerahnya menjadi duka. Hatinya tercabik, lebih parah dari saat Yusuf mengabaikannya.
"Indah, saya takut kamu akan seperti saya." Yusuf berkata, melihat ke dalam matanya. "Saya takut kamu akan bergantung kepada saya, padahal usia tak pernah bisa kita duga."
Hanya beberapa baris kata, lalu hening kembali meraja. Namun, saat Yusuf menutup kembali pigura yang tadi ia buka dan berniat pergi, Indah melingkarkan tangan di perutnya. Memeluknya dari belakang.
"Indah janji, Indah akan belajar agama lebih baik lagi. Maaf, Indah sudah ingkar. Padahal dulu, Abang sudah nyuruh Indah pakai jilbab waktu nolongin Indah dari preman itu."
Yusuf tersenyum, balas menggenggam tangan istrinya tanpa menoleh. "Kamu ingat kejadian itu? Padahal sudah 5 tahun lebih, 'kan?"
Indah mengangguk. "Indah ingat, Bang. Indah ingat muka Adam. Indah ingat waktu itu dia bilang, supaya Indah jadi teman Abang."
Tawa miris lolos dari mulut Yusuf, air tak terasa menggenang di matanya. Ia tak menyangka, bahwa apa yang dikatakan anaknya serupa firasat yang kelak akan menjadi kenyataan. Indah menjadi temannya sekarang, teman hidupnya.
"Abang ... Indah tahu, Indah nggak bisa menggantikan almarhumah istri Abang. Indah tahu, Indah nggak sebaik beliau. Tapi, Indah mohon, berikan Indah tempat di hati Abang. Barang secuil saja, Bang."
Tanpa meminta, sebenarnya gadis itu sudah menempati sisi terindah di hati Yusuf saat ini. Namun, seperti yang dikatakannya tadi, ia takut bila Indah akan berakhir seperti dirinya. Dia takut jika Indah harus hancur bila takdir tak sesuai kehendaknya.
"Bang ... izinkan Indah jadi istri Abang seutuhnya. Izinkan Indah menjadi bidadari kedua Abang di surga kelak. Izinkan Indah menjadi teman untuk Adam nanti, Bang."
Hanya kata-kata itu, dan Yusuf pun luluh. Ia berubah menjadi sosok hangat dan pelindung sempurna bagi Indah. Menjadi imam yang meluruskan salahnya. Dan pelipur bagi semua laranya.
***
Indah tersenyum, menatap kedua bocah gempal yang sedang tertawa di tengah taman bermain. Namun, sesaat kemudian anak perempuannya menangis, membuat kakak kembarnya naik darah dan memukul anak yang membuat adik kesayangannya menangis.
Indah berlari melerai, menggendong anak perempuannya, serta menarik lembut tangan anak laki-lakinya. Membawa mereka ke pinggir taman.
"Kenapa nangis, Sayang?" tanyanya lembut, mengusap wajah anaknya.
"Mereka bilang, kami nggak punya ayah." Aak perempuannya mengadu, tersedu.
"Bunda, kan, sudah sering bilang. Ali dan Alia punya ayah, namanya Yusuf Abdurrahman. Hanya, Ayah sudah di surga sekarang."
"Main sama Abang Adam?" Ali bertanya, Indah mengangguk.
"Tapi ... kami nggak ditemani main." Alia tergugu, melihat iri teman sebayanya yang ditemani oleh kedua orang tua. Sementara dirinya hanya bersama ibu, kadang nenek dan kakeknya.
"Karena ... Ali, kan, sama Alia berdua, kalau Bang Adam sendirian. Nanti, kita juga akan ke sana, kok. Asal Ali dan Alia jadi anak baik, Ayah pasti nunggu kita di sana."
Tak sadar, seorang wanita tua mengangis di belakang mereka. Sesaat setelahnya Ali dan Alia kembali ceria, berlari meninggalkan ibunya. Ibu Yusuf mendekat, mengusap bahu tegar Indah.
"Kamu masih muda, Nak," bisiknya. "Apa salahnya kalau menikah lagi? Mama dan Papa pasti mengizinkan."
"Tapi ... Indah sudah janji sama Bang Yusuf, Ma. Indah akan jadi bidadari keduanya di surga."
"Tapi, kamu sendiri tahu, usaha Yusuf bangkrut sebelum dia meninggal. Begitu juga dengan usaha Papa. Hidupmu akan berat, Nak. Kamu butuh biaya untuk membesarkan kedua anakmu." Wanita itu berkata lagi, seolah tak lelah berusaha menggoyahkan hati Indah. Namun, seperti biasa, hanya senyum yang membalasnya.
Indah tahu, apa yang dikatakan mertuanya benar. Hidup sebagai janda muda sangatlah tidak mudah. Tak jarang tetangga perempuannya datang menggedor rumah, mengatainya menggoda suami mereka untuk bertahan hidup. Padahal, Indah lebih rela berpuasa sepanjang pekan untuk berhemat daripada menghalalkan yang haram untuk anak-anaknya. Seperti janji pada mendiang ibunya, ia akan menjaga kehormatan. Dan seperti apa yang telah ia katakan pada suaminya, ia akan selalu menjaga jalannya agar selalu menuju ketaatan. Karena surga adalah apa yang ia rindu saat ini. Tempat yang akan menyatukan kembali dengan sang suami yang telah dipanggil Ilahi, 6 bulan setelah kelahiran anak kembar mereka. Kematian tiba-tiba Yusuf sangat memukulnya, tetapi Indah tetap berprasangka baik kepada takdir Allah. Indah yakin, inilah yang terbaik bagi mereka.
"Bang ... Abang bahagia, 'kan, di sana?" bisik Indah sebelum memejamkan mata malam harinya. Kedua anaknya tidur di samping kiri dan kanannya, mengapit dengan aroma surga yang selalu dirindunya.
"Bang ... tunggu Indah di sana, Bang. Tunggu sampai Indah bisa mengatakan langsung pada Abang, betapa rindunya Indah. Tunggu sampai Indah memeluk Abang seperti dulu."
Lalu ia terpejam, terlempar kepada mimpi yang menampilkan senyum teduh Yusuf. Mimpi yang menemaninya melewati setiap malam sepi. Mimpi yang dititipkan Ilahi untuk tetap pada ketaatan untuk menjaga diri.
*****
Palembang, 23 Maret 2019


Biodata penulis :

Adinda Mahesa, nama pena seorang gadis berusia dua puluh tujuh tahun. Mulai menyukai puisi sejak kelas dua SMP, dan akhirnya benar-benar jatuh cinta pada dunia literasi sepuluh tahun kemudian.

Sabtu, 23 Maret 2019

#Jumat_Cerbung - 06. Comfort In Silence - Rina Setianingrum - Sastra Indonesia Org


Kisah sebelumnya

Tiga bulan sudah Roy meninggalkan rumah. Sementara Sarah masih belum mendapat pekerjaan tetap. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia terpaksa jual minuman asongan yang diambil dari agen. Hasilnya pas-pasan buat makan. Jangankan untuk menyekolahkan Icha di sekolah baru, untuk membayar kontrakan pun tidak cukup. Bulan ini juga dia belum bayar. Untung orang tua Irfan_pemiliknya_tidak menagih. Mungkin karena anaknya teman dekat Icha. Sarah beruntung mereka sangat baik dan perhatian.
Terpikir dalam benak Sarah untuk menghubungi Bu Mieke lagi. Wanita itu punya banyak bisnis. Mungkin saja ada lowongan di tempat usahanya yang lain. Namun, ada sedikit keengganan di hati Sarah. Dia tidak mungkin meninggalkan Icha di rumah, juga tidak bisa membawanya menemui Bu Mieke. Selama ini Sarah mengaku belum berkeluarga.
Dari keterangan karyawan lain, Sarah mendengar bahwa Bu Mieke juga tidak memiliki anak dan suami. Namun, bagi perempuan sekaya itu, pastilah bukan masalah. Dia tidak membutuhkan siapa-siapa untuk menghidupi dirinya. Tidak seperti dirinya yang selalu membutuhkan pertolongan.
Sempat tebersit di hati Sarah untuk menghubungi Bu Liliek. Rasa kangen itu tiba-tiba menyusup. Ingin kembali merasakan kehangatan di tengah-tengah panti. Namun niat itu juga ditepisnya. Dia tidak mungkin menemui wanita itu dengan keadaan seperti ini. Bukan karena malu, tetapi ... Bu Liliek paling tidak bisa melihat dirinya kecewa.
Pernah suatu kali Sarah pulang dari sekolah. Bu Liliek cemas melihat matanya sembab. Dia kira ada murid yang menyakitinya. Bu Liliek sudah siap-siap mendatangi guru. Akhirnya Sarah terus terang. Dia kesal, karena melihat teman-temannya punya orang tua dan merencanakan liburan bersama keluarga.
Seketika itu juga Bu Liliek merasa bersalah karena tidak pernah mengajak Sarah bepergian. Dia langsung menjual kambing dan membawa Sarah jalan-jalan ke Jogja. Mereka menginap di rumah salah seorang kenalan Bu Liliek. Bukan main girangnya Sarah saat itu. Mereka foto-foto di candi, di pantai, makan di restoran bagus, belanja. Namun tiba-tiba ashma Bu Liliek kambuh. Mereka pun terpaksa pulang.
Mendadak, Sarah seperti baru tersadar. Dia merasa bersalah telah mengabaikan cinta dan pengorbanan Bu Liliek. Padahal selama ini orang tua itu sudah memperlakukannya seperti anak sendiri. Namun dia masih mengharapkan orang tua lain. Seakan semua yang Bu Liliek berikan tak ada artinya. Hanya karena dia cemburu melihat keberuntungan orang lain.
Kali lain, pulang dari acara ulang tahun, Sarah ngambek. Sepatunya diledek, lantaran yang lain datang ke pesta dengan memakai sepatu formal. Sementara dia hanya punya sepatu kets yang agak butut. Esoknya Sarah tidak mau sekolah. Saat itu Bu Liliek tidak punya uang membelikan yang bagus. Dyono yang sudah mengajar di sebuah madrasah, langsung mengajak Sarah belanja.
Sayangnya, uang Dyono juga tidak cukup membeli merek Meri Kler seperti yang Sarah mau. Akhirnya Sarah memilih sepatu lain yang modelnya mirip. Bu Liliek senang melihat senyum Sarah kembali merekah. Ya, mereka memang sebenar-benarnya keluarga yang menyayanginya.
Namun, lambat laun perasaan itu pudar. Tertutup oleh sakit hati yang kian menggunung. Terutama ketika dirinya ditinggalkan teman-teman karena tidak bisa mengikuti gaya hidup mereka. Itulah sebabnya dia ingin keluar dari panti.
Andai dirinya memutuskan kembali, Bu Liliek pasti sangat bahagia menerima. Tidak ada dendam di hati perempuan itu, kecuali kasih. Namun Sarah tidak sanggup melakukannya. Dia sudah memilih jalan ini. Apapun yang terjadi, dia harus bangkit. Dia harus meraih cita-citanya semula. Sukses dan bahagia!. 
----

Matahari terik memanggang. Menembus kulit Sarah yang tengah berdiri di depan sebuah kios. Jalanan pasar yang sempit, becek oleh genangan air got akibat endapan sampah . Cipratan motor yang melewatinya tak membuat Sarah hirau. Dia sibuk menghitung uang, hasil menjual cincin kawin. Mengira-ngira apa saja yang harus dibayar; uang kontrakan, makanan, ongkos untuk melamar kerja, dan ... matanya tertumbuk pada jejeran sepatu yang dipajang di emperan. Ya, dia harus membelinya juga untuk interview.
Sarah meraih salah satunya yang bertumit sedang. Ada perasaan mengganjal ketika dia mencoba sepatu murah itu. Lekukannya, tidak menempel di telapak kaki. Bahannya pun terlalu kaku hingga membuat jarinya rasa tercengkeram. Lem yang digunakan untuk menempel aksesoris pun tampak berlebih dan menggumpal. Membuat seluruh tampilannya semakin tak berkelas. Tanpa berniat mencoba lebih lama, Sarah langsung membayar dan memasukannya ke dalam tas.
Tiba-tiba, seseorang menyentuh pundaknya, “Sarah?!”
“Yon?!” Sarah terperanjat.
Dyono sendiri tak kalah tercengang. Tatapannya menyapu Sarah dari ujung kaki hingga kepala. Bagaimana mungkin ... keadaan Sarah seperti ini?. Padahal semua orang di panti mengira cita-citanya sudah berhasil. Sudah sukses dan bahagia bersama Mr. Lim yang baik hati.
Sarah tak tahu harus menyembunyikan dirinya kemana. Dyono berdiri di hadapannya Seperti arwah yang tiba-tiba muncul. Andai bisa pura-pura hilang ingatan, dia pasti akan melakukannya. Mengapa dia harus bertemu di tempat ini?.
“Tolong, Yon. Jangan bilang Bu Liliek soal keadaanku. Jangan bilang kamu ketemu aku.” Di warung bakso tempat Dyono mengajaknya makan, Sarah memohon.
Dyono menghela napas. Dia tidak menyangka, kedatangannya ke Jakarta untuk menghadiri rapat guru, malah membawanya bertemu Sarah. Lelaki yang baru diangkat menjadi kepala sekolah itu, miris mendengar penuturan perempuan yang pernah dicintainya, atau masih?.
“Kamu tahu, Bu Liliek terus-terusan mikirin kamu. Saiki malah sakit-sakitan. Tiap ada orang yang mau berangkat Singapur, Bu Liliek selalu pesen. Minta dikabari nek ketemu kamu.”
Air mata Sarah menetes ke dalam mangkuk. Dyono langsung mengambilkan kotak tissue.
“Ojo bilang Bu Liliek, Yon.” Sarah menggeleng keras,”aku wis salah tenan.” Dia mengelap air mata dan membuang ingus dengan keras.
Sarah menolak ketika Dyono hendak mengantarnya pulang. Dia tidak ingin Dyono melihat Icha dan semakin mengasihani dirinya.
“Ojo membenci keadaanmu Sarah. Allah bilang, bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Bisa jadi engkau mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu.”
Mulanya Sarah juga tidak mau menerima uang pemberian Dyono. Namun Dyono mendesak. Dia juga membujuk Sarah agar kembali ke panti.
Sarah menggeleng, ”Aku ‘ra mungkin kembali ning panti, Yon.”
”Nopo to Sarah? Kamu sama Icha butuh tempat tinggal sing layak. Opo sing di arep ning Jakarta?.” Dyono benar-benar tidak mengerti, mengapa Sarah keras kepala mempertahankan keadaan ini. Padahal di panti hidupnya bakal lebih terjamin. “Saiki aku wis dadi kepala sekolah. Aku iso bantu kamu, nek kamu butuh opo-opo.”
Sarah tersinggung. Dyono terdengar seperti sedang memamerkan kesuksesannya, “Baru dadi kepala sekolah wis sombong. Kuwi mikir aku ra iso ngidupi diriku sendiri? Ra iso sukses?” Sarah mengembalikan uang pemberian Dyono,”Aku ‘ra butuh bantuanmu!”
Dyono kaget. Dia sama sekali tidak bermaksud menghina Sarah. Niatnya benar-benar ingin menolong. Dia yakin, di panti akan ada banyak orang yang bisa mengurus Icha kalau Sarah ingin bekerja. Sebegitu sempitkah Solo bagi Sarah, hingga merasa tempat itu tidak bisa membuatnya berkembang? Mengapa dia lebih memilih mempertaruhkan hidupnya di kota ini?.
Pertemuan dengan Dyono makin memicu Sarah untuk segera mendapat pekerjaan. Dia harus tunjukan pada semua orang yang melecehkannya, kalau dia bisa! Dia bisa sukses dan bahagia!
Keesokan paginya, Sarah bersiap-siap interview di sebuah salon besar.
“Tunggu di sini, ya! Jangan kemana-mana!” Sarah berkata sambil mengacungkan telunjuknya pada Icha.
Sebelum memasuki salon mewah itu, dia mengganti sendal teplek dengan sepatu yang dibelinya di pasar. Digosoknya dengan tissue basah agar kelihatan mengkilap. Sambil menambahkan lipstick, Sarah mengecek penampilannya di salah satu kaca mobil yang diparkir. Persis di depan Icha duduk. Ijazah kecantikan dan surat lamaran pun sudah dia siapkan. Semoga wawancara kali ini lolos dan diterima, Sarah berdoa dalam hati.
“Ingat, ya. Jangan kemana-mana! Awas kalau nakal, nanti mama pergi!”
Setengah takut, Icha mengangguk cepat. Dia mengawasi Sarah yang memasuki pintu kaca. Setelah melihat ibunya menghilang dari pandangan, Icha memundurkan punggungnya ke sandaran. Kedua kakinya yang menggantung bergoyang-goyang. Semakin cepat hingga mengganggu ibu yang duduk di sebelahnya. Dia menghardik Icha keras. Icha langsung terdiam.
Dia mulai jenuh. Bocah itu mengeluarkan buku gambar dan mulai membuat coretan-coretan dengan pensilnya. Namun, selang beberapa menit, konsentrasinya terganggu. Bau gorengan menggelitik hidungnya. Perutnya mendadak lapar.
Kedua kaki yang menggantung di kursi itu turun dan mencari arah datangnya aroma. Air liurnya nyaris menetes melihat gorengan yang terdapat dalam gerobak pikul. Tanpa menyadari kalau makanan itu masih panas, kedua tangan kecil itu langsung meraupnya. Begitu merasakan minyak itu menggigit kulitnya, dia spontan melemparkan pisang-pisang itu hingga berhamburan.
“Heh! Kecil-kecil maling!” Penjual gorengan yang baru kembali, berteriak kaget.
Icha kaget dan marah. Dia mengambil gorengan yang jatuh dan melemparnya ke penjual. Tukang gorengan membentak Icha lebih keras. Icha ketakutan. Penjual pura-pura mengejarnya. Icha berlari menjauh.
Ketika hendak kembali ke kursi, dia melihat perempuan yang menghardiknya masih ada di sana. Dia spontan menghindar dan menyeberang. Menerabas kendaraan yang lalu lalang tanpa menoleh kiri kanan. Kakinya yang jinjit, berlari melewati beberapa ruko besar. Sampai di tengah perempatan jalan yang lebar,
Icha kebingungan. Klakson mobil dan derum motor semakin bising dan ramai. Jalanan macet dan orang-orang berteriak menyuruhnya minggir.
Anak itu tak tahu harus kemana. Tantrumnya kumat. Dia terus berputar-putar di tengah perempatan jalan.
“Hey, minggir!” bentak seorang pengemudi yang turun dari mobil.
Icha menjerit kuat-kuat sambil menutup telinganya,”Mamaaa!”
----BERSAMBUNG---


Biodata penulis :

Rina Setianingrum. Seorang mantan karyawati swasta yang pernah lari dari impian menjadi penulis. 
Namun akhirnya menyerah.

Jumat, 22 Maret 2019

#Kamis_Cerpen - Fans - Tri Ningsih - Sastra Indonesia Org




Kuhempaskan ponsel dari tangan. Rasanya semakin muak membaca perkelahian manusia-manusia egois di sana. Meributkan apa pun yang bisa dijadikan topik supaya mereka terlihat seperti penggemar setia.
Aku tersenyum sinis membaca berita tadi. Hanya karena sang idola tertangkap kamera paparazi sedang bersama artis lain. Mereka langsung menyerang si artis dengan hujatan-hujatan mengerikan. Alih-alih memberi selamat, mereka malah justru seperti menghina si artis karena tidak pantas bersanding dengan sang idola.
Sepenting itukah mereka memposisikan diri mereka sebagai fans? Bukankah fans hanya mensupport sang idola saja. Perlukah komentar-komentar pedas seperti itu sampai harus terucap?
Ahhh ... andai saja mereka yang mengaku paling update pada idolanya itu tahu bagaimana sebenarnya kehidupan sang idola.
Mereka bahkan tidak tahu betul apa yang sudah idolnya itu korbankan supaya bisa menjadi seperti sekarang. Bukankah ketika terus ditekan dengan komentar-komentar yang tidak berguna, itu bisa membuat idola mereka merasa terpuruk, hilang kepercayaan diri, depresi, dan bisa saja vakum.
Aku memeluk lutut di ujung ranjang. Kupandangi poster idol. Masih sangat muda dan penuh talenta. Kemampuannya memetik gitar dan memainkan piano selalu memukau para penggemarnya. Ditambah lagi lagu-lagu melankolis ciptaan dirinya sendiri yang pastinya membuat kami para pemujanya semakin menggilai.
"Kau itu bintang ... bagaimana bisa aku meraihmu dari tempat sejauh ini?" Aku mulai menggumam.
"Kau itu bintang ... bagaimana mungkin bintang yang begitu bersinar di langit gelap, bisa melihatku di antara keramaian yang terang ini?" Aku menatap gambarnya lekat dari tempat tidur.
"Kau itu bintang ... ke mana pun kau pergi, dirimu akan tetap bersinar. Tak perduli sebanyak apapun cahaya yang bisa engkau pancarkan, dirimu akan selalu terlihat olehku. Karena engkaulah bintangku ...." Aku bergerak menuruni ranjang dan berjalan pelan ke arah postermu, namun pandanganku tak lepas darimu.
"Seandainya mereka menyadari, mereka hanya sekadar fans, mereka pasti tidak akan bersedih ketika kau dekat dengan gadis mana pun. Sehingga kau tidak perlu merasa terganggu dengan kehidupan pribadimu." Aku mulai terisak.
Aku meringkuk kembali di ranjang. Rasanya menyakitkan karena tak banyak yang bisa aku lakukan untuk sekadar membelanya.
Aku meraih ponsel untuk melihat jam. Namun nyatanya aku login ke sosial media dan mendapati postinganmu.
[Thanks. All that you talk about me is the form of your love. The day after tomorrow I will give a new song through live broadcast..]
Caption dengan fotonya yang sedang memangku gitar itu langsung dibanjiri ribuan love tapi dia mematikan kolom komentar.
Lihat ... dia bahkan masih berkarya di tengah kegalauannya. Mungkin karena masih trauma atau kesal akhirnya dia memilih mematikan kolom komentar.
Adakalanya apa yang kita rasakan tidak perlu diungkapkan supaya tidak menyakiti orang lain dan bukanlah suatu kejahatan atau dosa jika aku mencintai seseorang diam-diam.
Karena hanya aku yang bisa merasakan sakitnya juga nikmatnya bagaimana rasa itu memainkan, bahkan kadang memporak-porandakan hatiku.


Biodata penulis:

Lahir di tanah ngapak pada 13 April dengan selamat. Namun, sekitar dua belas tahun ini telah menetap di bumi melayu.

Suka sekali dengan warna hitam dan merah, juga sangat antusias dengan bacaan dari karya R.L. Stine.
Untuk film lebih memilih genre thriller dari pada romance. Tapi kenyataannya, hasil karya kebanyakan tulisan romance.