Ismi masih berdiri di depan pintu, memandangi punggung Anggoro, pria yang akan menjadi suaminya dua minggu lagi. Senyum gadis berwajah manis itu menghiasi bibir tipisnya. Aura kebahagiaan nampak jelas dari balik netra cokelat miliknya.
Anggoro yang berada di atas motor membuka helm, tersenyum tipis dan membalas tatapan mesra calon istrinya. Kedipan manja ia lontarkan demi menambah kesan tidak sabar akan hari yang telah lima tahun mereka nantikan bersama.
Dua sejoli yang telah merajut asa itu memang sudah sama-sama dewasa, usiapun tak lagi muda. Sebelumnya, berkali-kali orangtua dari kedua belah pihak memaksa mereka berdua untuk segera menghalalkan hubungan, namun keduanya menjawab belum siap. Dengan alasan masih ingin mengejar karir.
Gadis berkulit putih itu baru merampungkan studinya satu tahun yang lalu. Dan berhasil diterima sebagai karyawan di sebuah bank swasta.
Sedangkan, Anggoro sendiri telah lama bekerja pada salah satu perusahaan yang bergerak di bidang listrik. Berdasar latar belakang pendidikan yang hanya tamatan SLTA, pria berkulit sedikit gelap itu hanya mampu ditempatkan pada lapangan.
Keduanya telah saling mengenal sejak lama, dan sama-sama memiliki rasa suka satu tahun setelah berkenalan. Kini impian untuk bisa memiliki seutuhnya satu sama lain akan segera terwujud.
Pendar mata mereka memancarkan bunga-bunga cinta yang bermekaran di musim semi. Tanah yang gersang akan segera ditumbuhi rumput yang menghijau. Dedaunan yang mengering akan bertunas kembali.
Motor bertangki di bagian depan keluaran tahun 90-an itu bergerak menjauh dari tempat Ismi berdiri. Kemudian menghilang. Ismi masuk kerumah.
Keduanya akan dipingit, pertemuan itu merupakan yang terakhir untuk mereka. Dua insan yang hatinya tengah saling berbunga-bunga tersebut menjalani rutinitas masing-masing tanpa saling menemui. Hanya bisa melepas rindu melalui saluran telepon rumah.
Hingga hari yang dinantikan tinggal empat hari. Anggoro masih saja pergi untuk bekerja, tuntutan pekerjaan memaksa dirinya untuk melakukan itu. Meski keluarga telah melarang keras. Pria bertubuh kekar dan berkumis tipis itu tetap berangkat.
Prosesi pingitan sepertinya tidak berlaku dalam hal pekerjaan. Itulah yang dilakukan keduanya. Dua hari menjelang akad nikah laki-laki berwajah manis itu memaksa untuk berangkat memenuhi tugasnya, memeriksa beberapa tiang listrik berikut kabelnya.
Keputusan yang tentu saja ditentang oleh orangtuanya. Sebagai suku Jawa, hal itu merupakan pantangan. Saat banyak anggota keluarga serta tetangga kiri kanan berkumpul guna membantu persiapan acara resepsi, sang mempelai justru pergi meninggalkan rumah.
Aturan nenek moyang yang tentu punya alasan kuat mengapa harus membuatnya. Sekali lagi, kebijakan perusahaan mengharuskan Anggoro melawan aturan tersebut. Dalam hatinya tentu saja sangat menginginkan patuh. Namun, ancaman dipecat membuat kakinya tetap melangkah memenuhi panggilan tugas.
Dirinya melangkah dengan sangsi. Tak lupa ia mencium punggung tangan ayah dan ibunya. Berpamitan tak seperti hari-hari sebelumnya. Ia menitikkan buliran bening. Kedua netranya memerah.
“Anggoro pamit ya, Pak, Bu! Tolong jaga Ismi.”
Kalimat yang membuat detak jantung ibu pria bertanggungjawab itu seakan berhenti berdetak. Mimik muka wanita paruh baya itu kebingungan. Mencari celah untuk dapat menghentikan putra semata wayangnya agar tidak pergi. Namun, sia-sia. Kehendak Tuhan telah tersurat. Buah hati kesayangannya tersebut tetap meninggalkan rumah.
Dipandangi punggung anaknya yang perlahan menjauh dan menghilang. Hatinya tak rela. Ada perasaan risau dan cemas berlebihan tak biasa mengganggu pikirannya.
Di dapur, semua orang tengah sibuk memasak dan membuat ini itu untuk hantaran. Ruang tengah diisi oleh muda mudi yang menata seserahan secantik mungkin buat mempelai wanita.
Rasa cemas dan risau itu semakin mengganggu ibu Anggoro ketika ia mengingat satu hal yang tak biasa dari putranya. Wajah manis yang biasanya selalu ceria tersebut memucat. Bibir yang kesehariannya membiru disebabkan rokok itu memutih khas orang yang sedang sakit keras. Sementara tidak ada tanda-tanda Anggoro tengah menderita penyakit berbahya. Bahkan nampak baik-baik saja sebelumnya.
Hingga menjelang siang, perasaan tersebut tak kunjung mau menghilang. Kian menjadi dan sangat mengganggu wanita berwajah ayu tersebut. Dering telepon rumah membuyarkan lamunannya, suaminya yang kebetulan sedang duduk dekat meja telepon segera mengangkatnya. Saidah, ibu Anggoro memperhatikan suaminya dari kejauhan. Melihat raut muka pria yang telah puluhan tahun menemainya baik suka maupun duka itu berubah menjadi ekspresi duka yang mendalam.
Pria jangkung itu tertunduk, mengusap muka dari atas ke bawah. Kini, bukan lagi aura kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Melainkan kesedihan, kepedihan, kecewa dan menyesal. Semua bercampur menjadi satu di balik mukanya yang telah merah padam.
Perlahan, Saidah melangkah mendekati tubuh kekar suaminya. Memegang bahu bidang yang duduk di kursi rotan ruang tengah itu. Hati kecilnya mengatakan telah terjadi sesuatu yang tidak baik. Namun, ia mencoba untuk tak bertanya terlebih dahulu. Berharap seperti biasanya, suaminya itu pasti akan jujur mengatakan sesuatu yang memang harus ia ketahui.
“Anggoro, Bu.”
Berat suara Sudirman, ayah Anggoro menahan kepedihan di balik sanubarinya. Dipejamkan matanya,berusaha mengurangi kekecewaan.
“Ada apa sama Anggoro, Pak?” Saidah memperhalus nada suaranya.
“Dia kecelakaan.”
Kali ini tak mampu lagi dirinya menahan air mata. Semua tumpah, jatuh membasahi pipi keriputnya.
Saidah yang sedari tadi berusaha tenang, tak bisa lagi menahan emosi. Ia berlari ke halaman rumah. Berteriak, meminta semua orang mencari putra semata wayangnya. Semua yang ada spontan berkerumun mendekati perempuan bertubuh mungil itu. Berusaha menenangkan ibu Anggoro tersebut.
Tak kunjung tenang, Saidah memanggil-manggil nama putranya. Dia menangis, cemas, bingung, dan menyesal kenapa tak berusaha lebih keras menghentikan Anggoro tadi pagi. Ia memaki suaminya, menyalahkan semua orang yang ada. Memukul-mukul tubuhnya sendiri. Putra tunggalnya, tidak ada yang akan meneruskan generasinya. Terlebih saat hari menjelang pernikahan, hari bahagia yang telah dinantikan buah hatinya selama lima tahun. Kembali ia merutuki dirinya sendiri.
Setelah semua terkendali, Sudirman menjelaskan bahwa Anggoro kecelakaan saat menaiki tangga yang akan digunakan untuk memanjat tiang listrik. Tidak terlalu tinggi, hanya beberapa anak tangga saja. Putranya tersebut sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun naas, lelaki yang dua hari lagi akan mengucap ikrar bersama belahan jiwanya itu tak dapat ditolong dan mengembuskan nafas terakhir. Bahkan sebelum sampai dirumah sakit.
Cukup aneh bagi orang yang mendengarnya. Bagaimana bisa hanya terjatuh saat menaiki empat anak tangga saja mengakibatkan seseorang meninggal dunia. Mustahil. Bukankah banyak orang yang bahkan telah terseret mobil hingga beberapa meter namun masih tetap bisa tertolong. Dan bisa hidup hingga sekarang. Itulah takdir, tidak ada yang bisa menebaknya akan seperti apa kita di masa depan. Semua murni rahasia sang pencipta. Penguasa segala isi dunia.
***
Sementara itu, dikamar Ismi tengah menangis tersedu. Menganggap semua hanya mimpi. Mendengar kabar bahwa Anggoro telah tiada adalah hal yang paling tidak ia inginkan. Bukan hanya Ismi, tapi semua, semua calon istri juga seorang istri tidak akan sanggup menerima warta tersebut.
Mimpinya musnah dalam sekejap mata. Anggoro yang pagi tadi sempat berpamitan padanya kini telah berpulang mendahuluinya. Mengubur semua impian dan harapan manis yang sempat mereka rajut bersama.
Bagaimanapun pria yang dicintainya telah tiada. Rasa menyesal dan semua usaha tidak akan bisa mengembalikan kehangatan kasih sayang lelaki pujaannya. Semua tinggal kenangan, bahkan rasa yang telah terpatri di hatinyapun harus ia kubur dalam-dalam. Dia harus kuat, mesti tegar, melanjutkan kembali sisa hidupnya.
Sisa-sisa cinta untuk Anggoro masih ia simpan rapat pada sisi hatinya yang lain. Mencipta ruang rindu tersendiri. Iya, rindu. Rindu yang tidak akan pernah terobati. Hanya bayangan masa lalu menemani. Yang terkadang hadir lewat mimpi. Cukup indah, biarlah meski hanya lewat mimpi. Dirinya tetap akan menjaga ruang rindu di hatinya itu untuk sang belahan hati “Anggoro”.
THE END
Biodata penulis
Buat yang mau kenal lebih dekat sama saya bisa cek kontak :
Fb : Tita Damayanti
Ig : @tita_hands
Gmail : titadamayanti765@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.