Jumat, 08 Februari 2019

#Kamis_Cerpen - Kemarau yang Tak Berlalu - Irum_Wr - Sastra Indonesia Org




Rengganis masih saja berdiri di antara tumpukan jerami. Tidak peduli terik surya yang membakar hingga pori. Menghitamkan kulit bahkan terkadang menimbulkan nyeri.
Sesekali tangan kecilnya menyeka wajah yang dipenuhi peluh. Sudah tidak terisi lagi botol berisi air yang ia bawa sebagai bekal dari rumah tadi pagi.
Matanya nanar mencari. Siapa tahu ada orang yang bisa dimintainya seteguk minuman untuk membasuh dahaga.
Cacing di perutnya pun sudah mulai menggeliat tanda mau diisi. Sejak pagi memang tidak sebutir nasi pun masuk ke perutnya. Namun ia tetap bertahan.
Dielusnya perut yang sudah mulai perih. Bibirnya sesekali terkatup menahan nyeri yang dirasa. Ia harus kuat.
Buliran sisa orang mengerek padi inilah yang akan ia bawa pulang nantinya dan akan ditukar dengan beberapa bungkus mi instan. Jika dirinya sedang beruntung, maka nasi plus lauk pun akan ia dapatkan sebagai bonus dari orang yang merasa kasihan.
Hidup Rengganis memanglah keras. Harusnya seusia dia masih menggelayut manja di tangan orangtua, meminta jatah uang jajan juga bermain dengan kawan-kawan.
Namun, tidak demikian dengan dia. Sejak lahir sudah diasuh oleh neneknya. Tidak diketahui siapa orangtua yang telah tega membuang bayi cantik di tengah ladang sembilan tahun silam.
Untung saja, Nek Ratmi waktu itu masih pagi buta bermaksud hendak ke sungai membuang hajat, mendengar suara tangis dari ladang warga.
Ada rasa takut menyelinap, karena ia pikir itu adalah tangisan anak makhluk jadi-jadian. Meski demikian, rasa penasaran lebih kuat mendorong niatnya untuk melihat.
Semakin dekat, suara tangisan itu semakin kuat. Mata Nek Ratmi terbelalak saat melihat onggokan kain berwarna biru yang tergeletak di tengah ladang itu berisi bayi perempuan cantik lengkap dengan ari-arinya.
Tak berpikir lama, ia pun langsung menggendong bayi mungil yang ketakutan itu dalam dekapan. Ia bawa pulang lalu melaporkan ke RT setempat tentang penemuannya.
Pagi itu Desa Semanding dibuat gempar. Namun, apa daya. Tidak seorang pun tahu siapa orangtua yang telah tega membuang bayi itu sebenarnya.
Oleh Ketua RT diberikanlah bayi itu pada Nek Ratmi yang telah menemukannya untuk dirawat.
Sayang, setelah delapan tahun berjalan, Nek Ratmi sakit-sakitan. Terpaksa Rengganislah yang harus berjuang membantu sang nenek memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tidak peduli usianya yang masih belia. Rengganis dengan tenaga yang dimiliki selalu cekatan menawarkan tenaga untuk membantu para tetangga yang membutuhkan.
Untungnya, ada saja tetangga yang merasa iba. Mereka selalu membantunya dengan memberi pekerjaan. Kalau tidak begitu, dia turun ke sawah orang yang sedang memanen padinya.
Tangannya cekatan memisah bulir padi dari tangkai yang masih tersisa dari akar, atau dari tumpukan jerami yang tidak ikut terkena mesin penderesnya. Seperti yang ia lakukan siang ini.
Hatinya tidak pernah bersedih, bagaimana pun ia masih tahu rasanya bersyukur diberi kesempatan hidup seperti yang selalu dinasehatkan neneknya.
Ia hanya berharap kemarau dalam hidupnya segera berakhir, berganti dengan deras keberuntungan. Ia ingin membalas budi serta membahagiakan nenek yang telah merawatnya penuh kasih sayang.

Jember, 07 Februari 2019

Biodata:



Saya dilahirkan di desa kecil pinggiran Klaten Timur. Mengenal literasi sejak SMA dan baru memulai kembali akhir-akhir ini. Saya memiliki impian membuat sebuah buku yang bisa menginspirasi serta memotivasi pembaca karya saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.