Laksana bulan sabit terbalik yang menggantung di antara wajahnya, senyum itu selalu menghiasi hari-hariku, melintas hadir dalam bayangan. Meski mengganggu, aku tak ingin bayangan itu menghilang dari pikiranku walau sesaat. Aku lebih suka duduk sendiri di dalam kamar tanpa melakukan apa pun, hanya mengingat peristiwa-peristiwa saat aku bisa melihatnya, saat aku bertemu dengannya.
Jantungku berdetak lebih kencang, iramanya mengacaukan pikiran. Jemariku bergetar tak beraturan, darahku berdesir dan menghangat, saat tak sengaja mata ini beradu dengan matanya. Bak mentari yang bersinar menyilaukan, aku selalu tertunduk, tak mampu menatap lekat wajahnya.
Jangankan menyengaja bertemu dan berbincang dengannya, melihat sepeda motornya terparkir di parkiran sekolah saja hatiku berdebar tak menentu. Rambut panjang tergerai selalu kusisir rapi, kuselipkan jepit kecil gambar hati berwarna merah muda, agar aku terlihat manis saat berhadapan dengannya. Setiap hari, ketika ada sela-sela jam kosong pelajaran di sekolah, seringkali aku sengaja berdiri dari tempatku duduk. Netraku menerobos jauh memandang kelas yang berada di depan kelasku melalui jendela kaca, berharap bisa melihat meski hanya bayang-bayang gelap tubuhnya.
Serasa melayang tubuh ini saat sepulang sekolah ia menungguku di gerbang sekolah. Seluruh persendianku seolah saling melepaskan diri dari tempatnya, melemah dan tak mampu menopang tubuhku yang seharusnya tak begitu berat saat bibirnya mengeja namaku.
“Dinda, hari minggu besok ketemuan di taman kota, ya, aku tunggu jam sepuluh pagi di kursi bundar dekat bunga anggrek, bisa?”
“Oh may god, bagaimana cara aku menutup warna merah senja di ufuk sana dan bagaimana aku menyembunyikan rona merah di pipiku!” batinku berteriak.
Aku tertunduk, sesaat aku seperti seorang tunawicara, bibir ini kelu tak mampu menjawab.
“Eh ... ehm ... iya, bisa.” Sekenanya aku berusaha meraih huruf demi huruf yang bertaburan di pikiranku.
Minggu ini, aku bangun lebih awal. Aku mematut diri di depan cermin, bergonta-ganti memilih dan memilah gaun yang mesti aku kenakan. Kupilih satu gaun lengan pendek diatas siku, berwarna hijau terang sepanjang lutut dengan aksen bunga berwarna ungu di sekitar dada. Setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan, aku sudah duduk di kursi bundar dekat bunga anggrek. Aku mengatur napas, saat jarum jam di tanganku bergerak mendekati angka sepuluh.
“Hai Dinda, aku enggak terlambat, kan?” dari arah kanan, suara yang tak asing itu mengejutkanku.
Seperti barikade tentara menyambut panglimanya, aku berdiri menyambut kedatangannya. Tubuhku yang hanya setinggi bahunya, memaksa wajahku mendongak berusaha menyejajarkan pandangan. Hanya beberapa detik. Sejurus kemudian aku kembali tertunduk. Pria yang di mataku lebih mirip Lee Min Ho, dengan jaket hitam dan tas ransel hitam di punggungnya itu sukses membuat keringat dingin bercucuran membanjiri tubuhku yang tidak kepanasan.
Lagi-lagi aku tertunduk, meski ingin sekali menikmati goresan indah di bibirnya. Ini kali pertama aku bertemu dengannya tanpa seragam putih abu-abu yang biasa kami kenakan di sekolah.
“Eh...iya, enggak.” Jawabku singkat.
“Maaf, ya, aku mengganggu hari liburmu.”
“Enggak, kok.”
Tanpa ada yang memerintahkan, kami duduk berhadapan di kursi yang terbuat dari campuran semen dan pasir yang melingkari meja bundar di tengahnya. kami duduk berhadapan.
“Oh, iya, aku di tungguin mama di mobil, kami mau silaturahmi kerumah Eyang. Jadi aku langsung aja, ya?”
“Iya, enggak apa-apa.” jawabku sambil berusaha menguatkan urat leher, mendongakkan sedikit wajah.
Dia mengeluarkan sebuah bingkisan berbentuk kotak berwarna pink dari tas ranselnya. Melihat itu, jantungku kembali berdebar. Aku tak kuasa mengendalikan senyum yang terkembang sangat sempurna dari bibirku.
“Sudah lama aku ingin mengatakan ini, tapi belum ada keberanian.” Dia menghentikan ucapannya, menarik napas dalam, tertunduk menatap kotak pink di tangannya.
“Ayo teruskaaan, aku sudah tak sabar mendengar lanjutannya!” Batinku berisik girang
“Aku minta tolong sama Dinda, ya, berikan kado ini untuk Sarah. Dinda satu kos sama Sarah, 'kan? ” ujarnya sambil menatapku.
Entah dari arah mana datangnya, seperti ada petir yang menyambarku, padahal saat itu tidak ada hujan. Aku mendongakkan wajah ke arah langit, memastikan keadaannya.
Benar ... langit masih sama seperti tadi, birunya menguasai cakrawala. Tapi kenapa hatiku basah, gumpalan awan hitam begitu berat di pelupuk mataku, berdesakan seperti ingin menumpahkan hujan. Aku menarik napas panjang, mengeluarkannya perlahan, membuat bendungan di sekitar mata agar hujan tak buru-buru tumpah di hadapan pria itu.
“Iya, Sarah te-man se-kamar-ku,” jawabku terbata.
Pria itu kembali tersenyum, “Kamu adalah Dewi penolongku, Din. Sudah lama aku suka sama Sarah. Bantu aku untuk dekat sama dia ya ... please.” pria itu mengatupkan kedua jemarinya memohon padaku.
Sekuat tenaga aku berusaha menarik bibir untuk membentuk senyuman.
“Oke.” Tak ada pilihan lain selain kata itu untuk menjawabnya.
“Terima kasih, ya, Dinda. Sekali lagi, tolong ya. O ya, ini coklat buat kamu.” Ujarnya sembari mengulurkan kotak pink dan sebungkus coklat padaku.
“Ya udah, aku pergi dulu, ya, sudah ditungguin mama, tuh.” Pria itu beranjak meninggalkanku.
Aku hanya membalasnya dengan senyum yang kupaksa. Bendungan di pelupuk mataku jebol dihantam badai hujan dari kelenjar air mata. Dunia serasa runtuh.Seperti ada tombak yang menghunus tepat di jantungku. Sakitnya sampai ke ulu hati. Tak ada lagi harapan. Tak ada lagi tujuan.
Lukisan senja yang merona, kini terhapus sudah. Terganti dengan awan hitam yang kelam dan menakutkan. Ingin rasanya aku meneguk racun saat itu juga.
Tanpa sadar, aku menangis tergugu di atas kursi bundar itu. Seolah semua energi mengalir deras ke telapak tangan. Aku menjambak-jambak rambut panjangku yang tadi telah kutata hampir satu jam lamanya. Dengan hati yang berdarah, kuhempaskan kotak pink itu. Kupukul berkali-kali hingga ia lusuh, rusak, koyak. Luka di hati terasa perih dan panas tatkala bayangan wajah Sarah menyelinap di pikiran. Dadaku bergemuruh. Kuinjak-injak kotak pink itu hingga ia tak berbentuk. Aku tak tahu apa isi di dalamnya, kulemparkan ia kedalam parit selebar dua meter dengan air yang jernih dan mengalir sangat deras, di samping taman dekat aku berdiri.
“Tidak aku, tidak juga Sarah!” seolah urat maluku telah putus, aku berteriak sekencang yang aku bisa.
Aku tersadar ketika beberapa orang dewasa berkerumun di sekitarku.
“Neng kenapa? Ada masalah?” tanya seorang wanita paruh baya menghampiri dan memegang lengan kananku.
Tanpa menjawab, kukibaskan tangannya dengan tenaga yang masih terkumpul di tangan kanan. Aku berlari menjauhi kerumunan itu. Banyak pasang mata berpaling padaku.
Sesampainya di kamar kos, pintu masih terkunci, pertanda Sarah tidak ada di dalam. aku membuka pintu dan membantingnya hingga terdengar suara yang begitu keras. Cairan bening masih terus mengalir di pipiku.
Jam dinding telah berdetak ribuan kali, cahaya matahari menyelinap masuk ke jendela kamar yang berada di sebelah barat. Artinya, matahari telah condong ke arah barat. Tak ada rasa lapar meski belum ada sebutir nasi pun yang masuk sejak pagi tadi. Seperti orang setengah sadar, aku mengambil pisau pencukur alis di atas meja. Kuletakkan mata pisau itu ke atas nadi di tangan kiriku. Dua bisikan di telinga kanan dan kiriku begitu mengganggu.
Satu berkata, “Lanjutkan Dinda, itu akan membuatmu lebih baik” satu lagi berkata, “Sadar Dinda, ingat orang tuamu, jangan lakukan itu." Saat tanganku hendak menekan pisau itu, aku terkejut dengan kedatangan Sarah yang membuka pintu tiba-tiba.
“Astaghfirullahal’azim, Dinda! Kamu kenapa?” Sarah, sahabat terbaikku yang baru pulang entah dari mana terkejut, matanya terbelalak menghampiri, merebut pisau cukur alis ditangan dan memelukku erat. Aku pasrah. Kusembunyikan wajah di pundaknya yang tertutup jilbab. Aku semakin tergugu. Jilbab inikah yang membuatnya lebih mempesona dariku? batinku berbisik lirih sambil kuusap jilbab lembut di punggungnya.
Duri, 14 Februari 2019
Biodata penulis
Siti Marfungah, Ibu Rumah Tangga yang lahir tiga puluh tahun lalu di tanah Banyumas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.