Selasa, 12 Februari 2019

#Jumat_Cerbung - Comfort In Silence - Rina Setianingrum - Sastra Indonesia Org




Dari balik kaca toko yang tembus ke jalan. Sarah duduk di belakang meja kasir berpangku tangan. Wajahnya jenuh memandang deretan mobil yang tidak bergerak. Sementara motor saling menyalip. Nyaris menyenggol pedagang kaki lima. Meski sore hari aktivitas begitu ramai. Namun, sejak pagi butik tempat Sarah bekerja sepi pengunjung. Jika terus-terusan seperti ini, kemungkinan besar sebentar lagi bakal bangkrut. Itu artinya dia harus mencari pekerjaan baru.
Huuuff, Sarah menghembuskan napas. Kapan nasibnya akan berubah. Baru sebentar merasakan nikmatnya hidup, tiba-tiba semua hilang. Kembali seperti saat dia meninggalkan Panti Asuhan Rabiah Al Adawiyah. Tempat yang tidak sekali pun dia rindukan selama tiga tahun merantau di negeri orang. Sekalipun Bu Lilik, pemiliknya, sangat baik dan menyayanginya.
Kepedihan menjadi remaja yang dilecehkan karena tidak memiliki apa-apa dan tidak dimiliki siapa-siapa, membuat Sarah ingin segera menghapus masa lalunya. Mengejar harapan baru, menjadi orang yang dianggap dan terpandang. 
Tentu saja Bu Lilik kaget mendengar keputusan Sarah tersebut. Bayi yang ditemukannya tergeletak dalam kardus 25 tahun lalu, tiba-tiba menyatakan keinginannya untuk pergi. Padahal, Bu Lilik bermaksud mewariskan tempat ini, kelak jika Sarah dan Dyono menikah nanti. Wanita tua itu berharap, bersama guru ngaji itu, keduanya akan menjadi pasangan yang serasi. Mengabdikan diri di jalan Ilahi.
Entah mengapa, sepertinya Sarah tidak pernah tertarik dengan pemuda ini. Padahal, di mata Bu Lilik, Dyono pemuda yang santun, sholeh, cerdas, dan disenangi anak-anak. Tekat Sarah sudah bulat. Dia ingin keluar dari tempat ini demi merubah nasib.
“Ibu ndak iso ngomong, Nduk. Saiki kuwi wis ngerti opo sing apik gawe masa depanmu. Mugo-mugo kepinginanmu kewujud. Ibu ora iso ngewenehi luwih.” Bu Lilik mengusap matanya dengan ujung lengan daster yang dia pakai.
Kesepian, kekhawatiran, dan kehilangan menyelimuti hati Bu Lilik. Sekalipun banyak anak panti yang lain. Namun, perasaan Bu Lilik pada Sarah berbeda. Dia tidak bisa melupakan wajah bulat merah yang ditemukannya di depan pintu waktu itu. Tidak sedikit pun menangis saat dia menggendongnya. Tidak sedikit pun rewel ketika dia memberinya susu kaleng dan tidak sekali pun sakit saat yang lain demam. Benar-benar bayi kuat dan pemberani.
Setiap kali Bu Lilik menyanyikan tembang-tembang Jawa, matanya tidak berkedip menyimak. Kadang ikut bersuara. Membuat Bu Lilik menghentikan alunannya dan tertawa. Gemas menggelitik perutnya yang buncit terbalut gurita. Lalu mengapa ... mengapa sekarang bayi itu ingin pergi?
Dari kamarnya, Bu Lilik mendengar suara Sarah bermanja-manja dengan Oyen, Kucing kesayangannya.
“Kowe ra sah khawatir. Aku wis gedhe. Wis iso jaga awak. Kowe sing apik ning omah yo. Kancani ibu.”
Seakan memahami maksud Sarah, “Meong.”
Sarah memeluk Oyen. “ Namung kowe sing ngerti aku.”
Begitulah. Esok paginya Sarah pamit dan mencium tangan Bu Lilik. Pagi belum bersimbah cahaya, tetapi Stasiun Balapan Solo sudah dipenuhi orang. Mereka yang hendak berangkat atau sekadar mengantar sama sibuknya. Dyono juga ikut menemani Bu Lilik yang sebentar-sebentar menyeka air mata, hingga sebagian kerudungnya basah. Firasat wanita itu mengatakan, sepertinya Sarah tidak akan kembali.
Perlahan kereta mulai berjalan. Dari celah jendela, Sarah tersenyum lebar, melambaikan tangan. Lutut Bu Lilik lemas. Dyono segera memapahnya duduk. Merangkul dan mengusap-ngusap lengan Bu Lilik. Melihat itu, seonggok duri sempat menyumbat tenggorokan Sarah. Dia langsung duduk. Matanya mengerjap-ngerjap, menahan genangan air hangat yang nyaris bergulir.
Kereta makin bergerak cepat. Suaranya terdengar bising dan keras. Sekeras hati Sarah yang ingin berteriak pergi. Menjauh dari perempuan tua dan lelaki sederhana yang tidak pernah bercita-cita merubah nasib.
“Keinginan adalah sumber kelalaian bersyukur.” Malam sebelum Sarah berangkat, Dyono masih berupaya menasehatinya. Berharap pikiran gadis itu akan berubah.
Sarah mengacungkan buku ‘Meraih Sukses dan Bahagia’ yang tengah dibacanya, “Semua orang berhak bahagia dan harus mengejarnya.” tegasnya.
“Seandainya manusia tidak mengejar bahagia, mereka pasti sudah bahagia.”
Sarah mendengus pendek, “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum selama mereka tidak berusaha.”
“Yang Dia maksud berubah itu, hatimu. Penerimaanmu. Kalau kamu ridho, baru Allah ridho. Segalanya akan berubah sesuai kehendak-Nya.”
“Jadi maksudmu, aku harus menerima saja nasib seperti ini?”
“Apa kamu tidak yakin bahwa Dia pemberi takdir terbaik?”
“Tapi ini bukan takdir terbaik! Aku tidak mau dilecehkan terus. Apa aku salah memperjuangkan nasib?”
“Kamu masih ingat surat Al-Isra? Rabbi adkhilni mudkhala shidqi, wa akhrijni mukhraja shidqi. Waj’allii mil ladunka sulthanan nashiraa.”
Diamnya Sarah bukan berarti mendengarkan. Dia hanya memalingkan wajah saat Dyono menerjemahkan ayat itu.
Ya Rabbku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar. Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau, kekuasaan yang menolong.”
Hhh ... Sarah menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi kereta. Entah apa jadinya jika dia menikah dengan lelaki itu. Mungkin seumur hidupnya dia akan tinggal di panti sampai mati. Tanpa pernah merasakan keberuntungan dilahirkan ke dunia. Tempat di mana orang tidak cukup dihargai hanya dengan prestasi, namun status dan materi.
Ya, itu terbukti. Sekalipun Sarah selalu ranking tiga besar di sekolah, berkali-kali meraih juara sebagai penata rambut terbaik. Namun, orang tetap merendahkannya. Sebab di tanah yang orang-orangnya bermental feodal ini, derajat masih diukur dari harta dan keturunan. Entah keturunan darah biru atau pernah punya orangtua kaya. Itu sudah cukup menjadi modal untuk dianggap. Meski yang tertinggal hanya sisa-sisa.
Pergaulan atau silaturahmi bahasa halusnya, tidak lebih dari ajang pamer. Kalau bukan pamer harta atau pamer kemuliaan, ya pamer kebahagiaan. Entah kebahagiaan karena memiliki pasangan, anak atau orangtua. Semuanya itu tidak pernah dia punya.
Sepanjang hidupnya, Sarah hanyalah penonton. Menyaksikan manusia yang saling bersandiwara. Jika yang satu mulai iri atau cemas tersaingi. Mereka pun mulai sibuk mengingatkan saingannya agar tawadhu’, sederhana, dan rendah hati. Padahal, seandainya mereka punya kesempatan, bukan tidak mungkin mereka berkelakuan lebih buruk dari orang-orang yang mereka peringatkan.
Mirisnya, ketika kesenjangan sosial makin jelas tercipta (atau mungkin sengaja diciptakan) pada akhirnya penonton seperti Sarah terpaksa ambil peran. Dia harus mengejar identitas bukan sekedar cari makan. Meraih pembuktian, bahwa dirinya juga layak dipandang. Bukan semata karena iri. Namun, untuk menghindari sakit hati.
Kereta terus melaju. Menjauh dari segala hal yang mengingatkan Sarah tentang masa lalu. Ketika sosok keduanya telah luput dari pandangan, Sarah melepas jilbabnya perlahan. Atribut yang sejak kecil tidak pernah lekang dikenakan, juga harus menjadi bagian yang ditinggalkan. Jika dia ingin maju dan membuat perbaikan.
Sarah bernapas lega. Merasakan terpaan angin yang mengibarkan rambutnya. Semoga mulai saat ini dunia akan menoleh kepadanya. Tulisan besar itu seakan terpampang di depan mata ‘Welcome to Changi Airport, Singapore’.

BERSAMBUNG

Biodata:

Rina Setianingrum. Seorang mantan karyawati swasta yang mencoba lari dari impian menjadi penulis. Namun, akhirnya menyerah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.