Dari balik kaca toko
yang tembus ke jalan. Sarah duduk di belakang meja kasir berpangku tangan.
Wajahnya jenuh memandang deretan mobil yang tidak bergerak. Sementara motor
saling menyalip. Nyaris menyenggol pedagang kaki lima. Meski sore hari
aktivitas begitu ramai. Namun, sejak pagi butik tempat Sarah bekerja sepi
pengunjung. Jika terus-terusan seperti ini, kemungkinan besar sebentar lagi
bakal bangkrut. Itu artinya dia harus mencari pekerjaan baru.
Huuuff, Sarah
menghembuskan napas. Kapan nasibnya akan berubah. Baru sebentar merasakan
nikmatnya hidup, tiba-tiba semua hilang. Kembali seperti saat dia meninggalkan
Panti Asuhan Rabiah Al Adawiyah. Tempat yang tidak sekali pun dia rindukan
selama tiga tahun merantau di negeri orang. Sekalipun Bu Lilik,
pemiliknya, sangat baik dan menyayanginya.
Kepedihan menjadi remaja yang dilecehkan karena tidak
memiliki apa-apa dan tidak dimiliki siapa-siapa, membuat Sarah ingin segera
menghapus masa lalunya. Mengejar harapan baru, menjadi orang yang dianggap dan
terpandang.
Tentu saja Bu Lilik kaget
mendengar keputusan Sarah tersebut. Bayi yang ditemukannya tergeletak dalam
kardus 25 tahun lalu, tiba-tiba menyatakan keinginannya untuk pergi. Padahal,
Bu Lilik bermaksud mewariskan tempat ini, kelak jika Sarah dan Dyono menikah
nanti. Wanita tua itu berharap, bersama guru ngaji itu, keduanya akan menjadi
pasangan yang serasi. Mengabdikan diri di jalan Ilahi.
Entah mengapa,
sepertinya Sarah tidak pernah tertarik dengan pemuda ini. Padahal, di mata Bu
Lilik, Dyono pemuda yang santun, sholeh,
cerdas, dan disenangi anak-anak. Tekat Sarah sudah bulat. Dia ingin keluar dari
tempat ini demi merubah nasib.
“Ibu ndak iso ngomong,
Nduk. Saiki kuwi wis ngerti opo sing apik gawe masa depanmu. Mugo-mugo
kepinginanmu kewujud. Ibu ora iso ngewenehi luwih.” Bu Lilik mengusap matanya
dengan ujung lengan daster yang dia pakai.
Kesepian, kekhawatiran,
dan kehilangan menyelimuti hati Bu Lilik. Sekalipun banyak anak panti yang
lain. Namun, perasaan Bu Lilik pada Sarah berbeda. Dia tidak bisa melupakan wajah
bulat merah yang ditemukannya di depan pintu waktu itu. Tidak sedikit pun
menangis saat dia menggendongnya. Tidak sedikit pun rewel ketika dia memberinya
susu kaleng dan tidak sekali pun sakit saat yang lain demam. Benar-benar bayi kuat
dan pemberani.
Setiap kali Bu Lilik
menyanyikan tembang-tembang Jawa, matanya tidak berkedip menyimak. Kadang ikut
bersuara. Membuat Bu Lilik menghentikan alunannya dan tertawa. Gemas
menggelitik perutnya yang buncit terbalut gurita. Lalu mengapa ... mengapa
sekarang bayi itu ingin pergi?
Dari kamarnya, Bu
Lilik mendengar suara Sarah bermanja-manja dengan Oyen, Kucing kesayangannya.
“Kowe ra sah khawatir.
Aku wis gedhe. Wis iso jaga awak. Kowe sing apik ning omah yo. Kancani ibu.”
Seakan memahami maksud
Sarah, “Meong.”
Sarah memeluk Oyen. “
Namung kowe sing ngerti aku.”
Begitulah. Esok
paginya Sarah pamit dan mencium tangan Bu Lilik. Pagi belum bersimbah cahaya,
tetapi Stasiun Balapan Solo sudah dipenuhi orang. Mereka yang hendak berangkat
atau sekadar mengantar sama sibuknya. Dyono juga ikut menemani Bu Lilik yang sebentar-sebentar
menyeka air mata, hingga sebagian kerudungnya basah. Firasat wanita itu
mengatakan, sepertinya Sarah tidak akan kembali.
Perlahan kereta mulai
berjalan. Dari celah jendela, Sarah tersenyum lebar, melambaikan tangan. Lutut
Bu Lilik lemas. Dyono segera memapahnya duduk. Merangkul dan mengusap-ngusap
lengan Bu Lilik. Melihat itu, seonggok duri sempat menyumbat tenggorokan Sarah.
Dia langsung duduk. Matanya mengerjap-ngerjap, menahan genangan air hangat yang
nyaris bergulir.
Kereta makin bergerak
cepat. Suaranya terdengar bising dan keras. Sekeras hati Sarah yang ingin
berteriak pergi. Menjauh dari perempuan tua dan lelaki sederhana yang tidak
pernah bercita-cita merubah nasib.
“Keinginan adalah
sumber kelalaian bersyukur.” Malam sebelum Sarah berangkat, Dyono masih
berupaya menasehatinya. Berharap pikiran gadis itu akan berubah.
Sarah mengacungkan
buku ‘Meraih Sukses dan Bahagia’ yang tengah dibacanya, “Semua orang berhak bahagia
dan harus mengejarnya.” tegasnya.
“Seandainya manusia
tidak mengejar bahagia, mereka pasti sudah bahagia.”
Sarah mendengus
pendek, “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum selama mereka tidak berusaha.”
“Yang Dia maksud
berubah itu, hatimu. Penerimaanmu. Kalau kamu ridho, baru Allah ridho.
Segalanya akan berubah sesuai kehendak-Nya.”
“Jadi maksudmu, aku
harus menerima saja nasib seperti ini?”
“Apa kamu tidak yakin
bahwa Dia pemberi takdir terbaik?”
“Tapi ini bukan takdir
terbaik! Aku tidak mau dilecehkan terus. Apa aku salah memperjuangkan nasib?”
“Kamu masih ingat
surat Al-Isra? Rabbi adkhilni mudkhala
shidqi, wa akhrijni mukhraja shidqi. Waj’allii mil ladunka sulthanan nashiraa.”
Diamnya Sarah bukan
berarti mendengarkan. Dia hanya memalingkan wajah saat Dyono menerjemahkan ayat
itu.
”Ya Rabbku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah
aku secara keluar yang benar. Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau, kekuasaan
yang menolong.”
Hhh ... Sarah
menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi kereta. Entah apa jadinya jika dia
menikah dengan lelaki itu. Mungkin seumur hidupnya dia akan tinggal di panti
sampai mati. Tanpa pernah merasakan keberuntungan dilahirkan ke dunia. Tempat
di mana orang tidak cukup dihargai hanya dengan prestasi, namun status dan
materi.
Ya, itu terbukti.
Sekalipun Sarah selalu ranking tiga besar di sekolah, berkali-kali meraih juara
sebagai penata rambut terbaik. Namun, orang tetap merendahkannya. Sebab di
tanah yang orang-orangnya bermental feodal ini, derajat masih diukur dari harta
dan keturunan. Entah keturunan darah biru atau pernah punya orangtua kaya. Itu
sudah cukup menjadi modal untuk dianggap. Meski yang tertinggal hanya sisa-sisa.
Pergaulan atau silaturahmi
bahasa halusnya, tidak lebih dari ajang pamer. Kalau bukan pamer harta atau
pamer kemuliaan, ya pamer kebahagiaan. Entah kebahagiaan karena memiliki pasangan,
anak atau orangtua. Semuanya itu tidak pernah dia punya.
Sepanjang hidupnya,
Sarah hanyalah penonton. Menyaksikan manusia yang saling bersandiwara. Jika
yang satu mulai iri atau cemas tersaingi. Mereka pun mulai sibuk mengingatkan
saingannya agar tawadhu’, sederhana,
dan rendah hati. Padahal, seandainya mereka punya kesempatan, bukan tidak
mungkin mereka berkelakuan lebih buruk dari orang-orang yang mereka
peringatkan.
Mirisnya, ketika
kesenjangan sosial makin jelas tercipta (atau mungkin sengaja diciptakan) pada
akhirnya penonton seperti Sarah terpaksa ambil peran. Dia harus mengejar
identitas bukan sekedar cari makan. Meraih pembuktian, bahwa dirinya juga layak
dipandang. Bukan semata karena iri. Namun, untuk menghindari sakit hati.
Kereta terus melaju.
Menjauh dari segala hal yang mengingatkan Sarah tentang masa lalu. Ketika sosok
keduanya telah luput dari pandangan, Sarah melepas jilbabnya perlahan. Atribut
yang sejak kecil tidak pernah lekang dikenakan, juga harus menjadi bagian yang
ditinggalkan. Jika dia ingin maju dan membuat perbaikan.
Sarah bernapas lega.
Merasakan terpaan angin yang mengibarkan rambutnya. Semoga mulai saat ini dunia
akan menoleh kepadanya. Tulisan besar itu seakan terpampang di depan mata ‘Welcome
to Changi Airport, Singapore’.
BERSAMBUNG
Rina Setianingrum. Seorang
mantan karyawati swasta yang mencoba lari dari impian menjadi penulis. Namun,
akhirnya menyerah.
0 Response to "#Jumat_Cerbung - Comfort In Silence - Rina Setianingrum - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.