Berkaca pada Pernikahan
yang Tak Selalu Sempurna
Judul : Mata Suami Mata
Istri
Penulis : Aveus Har feat. The Labitans
Penerbit : AE Publishing, Kepanjen, Malang
Cetakan : Pertama, Oktober 2018
Tebal : vi + 171 halaman
ISBN : 978-602-5915-21-5
Peresensi : Lenni Ika Wahyudiasti
Hanya
karena dongeng Cinderella diakhiri terlalu dini, dengan mudah kita menyimpulkan
bahwa pernikahan Cinderella adalah pernikahan yang sempurna. Pada kenyataannya,
kita tahu, pernikahan hanyalah sebuah titik awal cerita baru yang kisahnya
belum kita tahu. Sebuah misteri yang membentang bersama waktu, (hal. iii).
Untaian kata pada paragraf pembuka halaman pengantar
buku bersampul putih ini seperti memaksa saya untuk tak menghentikan niat
membaca seluruh kisah di dalamnya hingga tamat. Alhasil, enam belas cerpen yang tersaji di antologi ini berhasil
membuat saya terkesima lantaran kisah-kisah seputar problematika rumah tangga dua anak manusia tersebut ditulis
dengan gaya bertutur yang tak biasa. Sang penulis, Aveus Har dkk., berkisah dengan
amat lugas dan sesekali penuh ironi untuk melukiskan kehidupan perkawinan
tokoh-tokoh---yang kebanyakan merepresentasikan keberadaan kaum marjinal yang
lugu dan naïf, yang terwakili dari
nama-nama (maaf) ndeso mereka,
seperti: Karyamin, Sukemi, Sutinah, Romlah, atau Marsinah---dalam cerpennya. Penulis
kelahiran Pekalongan ini juga tak merasa risih menyisipkan narasi dan dialog ‘berani’
di beberapa bagian untuk mempertajam ironi ketidaksempurnaan hubungan
suami-isteri yang hendak disampaikannya. Tak heran bila di sampul depan buku tertera
tulisan “18+” sebagai penanda bahwa buku yang berkisah tentang ‘aneka masalah
di atas kasur’ ini sebaiknya dibaca oleh mereka yang telah cukup umur, bukan
mereka yang masih ‘bau kencur’.
Melalui belasan cerpen bernada getir, beberapa
di antaranya bernuansa satire dan hasil kolaborasinya dengan sejumlah penulis
yang tergabung dalam komunitas literasi bernama Keluarga Labita (The Labitans),
Aveus Har seolah hendak berpesan bahwa problematika dalam sebuah pernikahan
amat beragam dan penuh warna. Ia bisa muncul di manapun dan kapan saja, bahkan
sejak malam pertama! Barangkali kisah nestapa
seorang pemain biola yang tak pernah mampu memberi nafkah batin sang
istri sejak malam pertama pernikahan mereka hingga sang maut datang menjemput
berbilang tahun kemudian, bisa mewakili hal ini.
Namun,
ranjang pengantin mereka menyimpan cerita pendakian yang tak pernah sampai
puncak. Ia ingat, ia menangis saat itu. … Kecelakaan masa remaja telah merusak
kelelakiannya. Apalah artinya laki-laki tanpa kelelakian sebagaimana lampu yang
tak punya arti tanpa pijar? Namun, layakkah perempuan itu mencari hujan dari
laki-laki lain untuk tanahnya yang meranggas? (“Ia Sedang Memainkan Biola”, hal. 143-145).
Sesuai judul buku, cerpen-cerpen keren di
antologi terbitan AE Publishing ini mengupas beragam problematika pernikahan
dari netra kedua pelakunya, suami dan istri. Masalah ‘di atas ranjang’---yang dirasa
tabu buat sebagian orang---mendominasi kisah-kisah yang terangkum di sini. Pergulatan
batin seorang istri yang tak pernah merasakan kebahagiaan saat ‘berhubungan’
dengan suaminya lantaran keegoisan sang suami terekam cantik dalam cerpen unik
bertajuk “Centini Ingin Terbang Tinggi”, sementara kisah kesadisan suami di
atas dipan yang berujung pada upaya perlawanan mengerikan sang istri bisa kita temukan
dalam “Perempuan Bersuamikan Setan”.
Marsinah
sudah tak kuasa lagi memendam perasaan itu. Sakit yang begitu mampu membuat
hatinya terbujur kaku. Ia gelap mata. … Geligi Marsinah bergemeretak. Ketika
laki-laki itu terlentang kelelahan, Marsinah bangkit, melupakan rasa sakit dan
tulang-tulang yang berderit. Ia beranjak ke dapur. Dan kembali dengan tangan
menggenggam arit, (hal. 140-141).
Selain problema ranjang, agaknya gumpalan cemburu
dan aroma perselingkuhan dalam kehidupan perkawinan masih menjadi tema cerita
yang tak pernah usang. Masalah seputar
dua hal tersebut diangkat dan dikemas dengan tak biasa oleh penulis dan
rekan-rekannya dalam berbagai kisah. Ada cerita tentang kecemburuan istri pada
suaminya gegara bertetangga dengan perempuan malam dalam “Menjadi Kucing”, kisah perselingkuhan suami lantaran tuntutan
berlebihan sang istri dalam “Lipstik Artis dan Gincu Sukemi”, penyelewengan
istri dari sudut pandang keduanya dalam “Laki-laki Pelupa di Hari Ulang Tahun
Pernikahan”, “Perempuan Rumah Merah”, dan “Ia Sedang Memainkan Biola”, pun cerita
tentang murkanya seorang istri yang mendapati perselingkuhan sesama jenis sang
suami dalam “Rahasia Bantal”.
Secara keseluruhan, cerpen-cerpen tentang
kehidupan suami-istri di buku antologi setebal 171 halaman ini tersaji dengan
unik dan berbeda dalam diksi dan pilihan majas yang khas. Salah satu kekhasan gaya
berkisah Aveus Har adalah kegemarannya menggunakan diksi ‘perempuan’ sebagai pengganti kata istri dalam sejumlah cerita. Pemilihan
judul seperti “Memahami Perempuan”, “Perempuan Rumah Merah”, “Perempuan
Bersuamikan Setan”, dan “Perempuan
Tua dan Suratnya” bisa menjadi bukti. Begitu pula yang akan kita jumpai dalam
beberapa narasi berikut ini.
Tentu
saja, meskipun kelak kau dan perempuanmu
membuka rumah makan, segala tetek-bengek akan dikerjakan oleh karyawan sehingga
perempuanmu tak akan merasa
dijadikan romusha dan kau tahu perempuanmu
akan selalu bergairah menyambut rudal tempurmu sehingga ia tak akan pula merasa
dijadikan jugunianfu, (“Tiga
Nasihat Laki-laki Lansia untuk Pernikahan Bahagia”, hal. 35-36).
Laki-laki
itu tahu ketika hari-hari mereka telah setawar air sumur, gula-gula dari mantan
pacar perempuan itu menjadi candu yang dicerecap perempuannya. Laki-laki itu terluka, tetapi apalah dia bagi pohon
yang meranggas? Ketika perempuannya muntah-muntah
di beberapa pagi, ia tahu hujan dari laki-laki lain itu telah membawa kesuburan
bagi tanah perempuannya, (“Ia Sedang Memainkan Biola”, hal. 145).
Dari sisi kerapian penulisan naskah, nyaris tak
ditemui typo berarti di seluruh
kisah. Kalaupun ada, mungkin dugaan kesalahan pencantuman nama tokoh Sutinah dan
penyebutan istilah “anonoh” yang saya
dapati dalam sepenggal narasi pada cerpen “Menjadi Kucing” adalah secuil aroma typo yang menguar tipis di buku berdimensi
13 x 19 cm ini.
Lalu,
suatu ketika Karyamin melihat Sutinah pulang, dini hari (dan Karyamin seperti
biasa sedang melepas suntuk dari naskah cerita yang sedang digarapnya---ia
seorang novelis) dan mereka hanya saling lempar senyum dan pandang (sebagai
sopan santun belaka) dan istri Karyamin telah diam-diam mengawasi suaminya dari
celah tirai jendela. Pecah perang kemudian: sang istri mencerca seolah-olah
Karyamin tertangkap basah berbuat anonoh,
sedangkan Karyamin mencaci karena istrinya sungguh perempuan yang sulit
dibahagiakan.
Sutinah masuk kamar setelah mengancam,
“Awas kamu!”
Karyamin
menyusul kemudian. Namun, pintu kamar telah dikunci dari dalam. Karyamin
berpikir lebih baik ia menjadi kucing saja, dan memangsa ikan menggelepar
bernama Sutinah. Kehendak itu tidak terwujud seketika. Karyamin masih ragu.
Karyamin maih malu. Namun, setiap kali istrinya mecucu, tekadnya menjadi kucing
menggeser ragu dan malu, (hal. 63-64).
Pertanyaan mengelitik dari kutipan narasi yang
saya rasakan kejanggalannya ini adalah, “Siapakah sebenarnya yang bernama
Sutinah? Istri Karyamin atau tetangga mereka yang berprofesi sebagai ‘kupu-kupu
malam’? Atau, jangan-jangan istri Karyamin dan si ‘perempuan malam’ tersebut
sama-sama bernama Sutinah?”
Terlepas dari dugaan kekeliruan penyebutan nama
tokoh dan istilah tersebut, harus saya akui bahwa meski hanya cerita fiktif
yang notabene hasil olah imajinasi si penulis, seluruh kisah dalam buku ini adalah
potret nyata problematika kehidupan suami-istri yang bisa kita temukan di sekitar
kita. Problema tersebut akan selalu hadir dan mengalir bagai air yang sejatinya
bisa kita jadikan cermin penting meski terkadang tak selalu bening. Oleh karena
itu, kendati sepakat dengan endorsement
seorang ibu muda bernama Khopipah yang tersemat di sampul belakang bahwa pernikahan terkadang bukanlah akhir sebuah
penantian panjang para jombloers, namun mungkin pula awal sebuah penderitaan
berkepanjangan, saya punya pendapat berbeda soal perkawinan bahagia. Menurut
saya, kebahagiaan pernikahan selamanya hanya akan menjadi impian yang tak tergenggam bila ia tak diperjuangkan.
Pernikahan bahagia hanya serupa gelar juara yang takkan pernah disandang bila
kita tak berjuang untuk memenangkannya. Karenanya, membaca dan berkaca pada
kehidupan perkawinan yang tak selalu sempurna dan bahagia di buku ini bisa
menjadi langkah awal kita memperjuangkan kebahagiaan pernikahan yang kita impikan.
Bagaimana dengan Anda?
---oo000oo---
Biodata Peresensi
Lenni Ika Wahyudiasti, seorang
ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah
tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi
yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di
antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi bergengsi Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua
tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif
dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan
2017. Selain itu, ia juga menjadi kontributor utama di sejumlah proyek literasi di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah
Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah
berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan
energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis
novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram:
lenni.ika, twitter:
@lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.
0 Response to "Resensi Buku Mata Suami Mata Istri - Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.