Dia begitu tampan. Hampir setiap gadis di sekolah ini menyukainya. Hal itu terbukti ketika ke mana pun dia pergi, para dara menyapa bahkan sampai ada yang mencuil pipinya. Dari bibir tipis dan seksi, ia lalu meyunggingkan senyum. Membalas pujian yang didapatkan dengan tatapan ... entah.
Berada satu tingkat di bawahnya membuatku tak berani lebih mendekat. Cukup memerhatikan dia dari sudut kantin bakso setiap siang, lalu menarik bibir kala gelak tawanya terdengar. Begitu menyenangkan.
Hari ini, sesekali sepasang mata itu melirikku. Tak tergambarkan bagaimana hati ini dia buat bergemetar. Aku menundukkan wajah. Malu.
Kedua pipi terasa memanas, lalu terasa ada gemuruh keras di dalam dada. Riuh suasana saling beradu dengan deru yang tercipta dalam diri. Pandangan masih tak berpaling dari mangkok yang menyisakan kuah bercampur kecap.
"Hai, boleh aku duduk di sini?"
Aku tahu siapa pemilik suara ringan itu. Pelan wajah terangkat lalu menemukan dia. Lelaki remaja yang menjadi teman khayalan selama ini. Dua tangannya masuk ke dalam saku celana berwarna abu, lalu dia tersenyum, kepadaku.
"Aku nggak boleh duduk?"
Aku menggigit bibir bawah, gugup. Pandangan mengedar. Empat teman yang tadi menemaniku di sini, ternyata sudah menjauh, mengisi bangku lain sambil memandangi nakal. Mereka menggoda. Aku tersihir dengan rona wajahnya, hingga tak menyadari yang tengah terjadi di sekitar.
"Bo-leh, Kak."
Terbata aku menjawab sambil memainkan jari di atas paha. Kami sekarang duduk berdekatan. Sejenak bertatapan, lalu kembali aku mengalah. Menunduk.
"Kamu anak 11 A Bahasa, kan?"
"Kakak tau?"
Malu-malu aku membalas pertanyaannya. Senang, dia ternyata tahu sedikit tentang pengagumnya ini.
"Siapa yang nggak kenal kamu? Anak pintar, juara umum tiap semester, dan tulisanmu juga tiap minggu ada di mading."
Terdiam diri ini dibuatnya. Tak menyangka bahwa dia memerhatikanku.
"Hai, kalo ada yang ngajak ngomong itu dilihat matanya. Nggak sopan nunduk gitu."
Dua jemarinya meraih daguku, lalu membuat mata kami saling melanjutkan kata dalam diam. Sentuhan sesaat itu terasa hingga ke dasar hati.
"HP kamu mana?"
Setengah berbisik dia bertanya, kemudian tanpa bantahan, aku mengeluarkan benda pipih kesayangan. Dia mengetik sesuatu di sana, lalu mengambalikannya segera.
"Nanti aku WA kamu."
Lagi, dia setengah berbisik, hanya kali ini wajahnya tepat di sebelah telingaku. Membuat jarak antar wajah kami begitu dekat. Jantungku kini berdetak tak normal, juga tak mampu lidah berkata. Dia berdiri, tersenyum, lalu kembali memasukkan kedua tangannya ke saku, dan perlahan melangkah pergi.
Namun, wangi tubuhnya masih tertinggal di setiap inci diriku. Sangat melekat.
***
Tahu hal yang indah bagiku? Dia yang kusukai dalam diam, sekarang datang untuk membalas rasa. Dua bulan sudah kami menjalin hubungan yang orang sebut sebagai pacaran. Entah bagaimana bisa, semua mengalir begitu saja sejak hari itu di kantin.
Kami berbalas pesan hingga larut, lalu sedikit merasa canggung ketika bertemu di sekolah pagi hari. Sesekali juga makan bersama saat istirahat siang. Rasanya? Menyenangkan. Terlebih lagi jika beberapa anak saling riuh ketika melihat kami jalan beriringan. Serasa seperti primadona sungguhan, meski nyatanya status itu memang disematkan untukku di sekolah ini.
Naif, pintar, tak pernah membuat onar, dan cantik. Ya, itulah yang mereka katakan tentangku. Banyak hati yang datang mendekat selama ini, tetapi faktanya, hanya dia yang mampu membuatku tertarik.
"Ehemm ..."
"Eh, Mama?"
Sedikit gelagapan, kaget karena tadi melamun. Lalu cepat-cepat bersikap normal.
"Mama perhatiin kamu akhir-akhir ini sering bengong. Kamu punya pacar?"
Mata mama menyelidik, pertanyaannya pun begitu menohok. Tanpa aba-aba aku langsung diserang.
"Eh, eh, nggak, Ma."
Ketahuan jelas pasti aku tengah gugup. Embusan napas mama terdengar berat. Dia lalu duduk di tepi ranjang, ikut bersila kemudian memandangi putrinya ini begitu dalam.
"Ingat satu hal, jangan kecewain almarhum papa kamu. Papa sebelum meninggal pesan apa? Cita-cita kamu harus tercapai. Mama juga tidak mau masa depanmu hancur karena pacaran."
"Tapi, Ma ..."
"Putusin dia!"
Tanpa menunggu jawabanku, mama langsung melangkah pergi. Meninggalkan aku bersama kebimbangan. Kenapa harus putus? Bukankah hubungan kami tidak menerobos batas? Nilai mata pelajaran di sekolah pun tak berpengaruh karena kedekatan kami.
Mama jahat!
Kusambar ponsel pintar lalu mengetik pesan untuk lelaki pemilik hati ini.
"Mama nyuruh kita putus."
Menunggu beberapa saat, balasannya pun datang.
"Kenapa?"
"Nggak tau."
"Yaudah, besok kita omongin di sekolah lagi, ya."
Dia mengirimi emotikon love begitu banyak. Aku mengempaskan tubuh, mendekap benda pipih itu, lalu menatap langit kamar. Banyak pertanyaan yang hadir bersamaan. Benarkah pacaran bisa menghancurkan masa depan?
Tidak mungkin!
***
Siang ini kami bertemu di kantin, makan, lalu membahas tentang mama. Dia mencoba menenangkanku bahwa hubungan kami ini tidak memiliki efek apa pun. Senyum terbaik kemudian dia lontarkan, membelai rambutku, lalu pipi.
"Pulang sekolah tungguin aku, ya. Kita jalan bentar."
Dua pasang mata kami saling tatap, kemudian ada ragu yang datang.
"Aku ... nggak pernah jalan sama cowok."
"Sekarang aku bikin biar kamu pernah."
Dia memegangi erat jemariku, lalu menciumi punggung tangan. Aku masih belum memberi jawaban.
"Plisss ..."
"Mama gimana?"
"Bilang aja kamu jalan sama temen yang lain."
Dia berucap mantap, tanpa ragu. Aku kemudian berpikir sejenak dan mengangguk setuju. Kami menuju kelas masing-masing setelah jam istirahat habis. Kali ini jantungku berdetak tak biasa membayangkan satu motor dengan dia.
Senyum malu berhasil tercipta di bibir ini. Hingga teman sebangku mengetuk jidatku dengan tiga pulpen.
"Sakit tau!"
Ingin berkata kasar, tetapi itu tidak boleh.
Aku mengusap-usap jidat sambil memandang kesal ke arah Fina.
"Senyum-senyum terus. Liatin tuh guru lagi nerangin."
Dia berbisik, tentu saja agar tak ketahuan.
"Eh, Fin, nanti aku mau jalan sama Kevin."
Riang aku menceritakannya hingga volume suara tak terkendali. Semua mata mengarah padaku, termasuk guru Matematika yang judes. Fina? Dia tengah menunduk tanpa bersalah, seakan tak mengenalku yang baru saja bertingkah memalukan. Gaduh suara yang lain saling tertawa, bersiul, juga berkata, "cie-cie". Malu jadinya.
"Fokus! Jangan berisik!"
"I ... iya, Pak. Maaf."
Pelan aku menjawab dan yang lain pun mulai bungkam. Tentu saja tidak ada yang mau disuruh mengitari lapangan sepuluh kali, hukuman yang selalu diberikan untuk murid tak disiplin.
"Jahat," bisikku pada Fina.
Dia hanya menjulurkan lidah dan tersenyum mengejek. Hiks.
Menit demi menit terus berakhir. Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Kevin tampak sudah menunggu di depan kelas. Aku mengirimi mama pesan WA, mengatakan bahwa Fina perlu ditemani untuk mencari sebuah buku. Terpaksa nama gadis itu terpakai, tetapi sudah mendapat izin dari empunya. Satu buah novel menjadi bayarannya.
Kaki mengarah pada Kevin setelah mendapat persetujuan dari mama. Pemuda itu tersenyum, lalu meraih jemariku. Sesaat dua pasang mata kami bertemu, lalu terfokus menyusuri lantai menuju parkiran sekolah.
Memakai rok, naik ke motor besar Kevin jadi begitu sulit. Namun, berhasil juga meski harus berusaha mencari posisi duduk ternyaman.
"Kamu mau ke mana?"
Dia bertanya saat roda motor mulai berputar, meninggalkan sekolah.
"Gramedia, cari buku."
Dia tak menjawab lagi, kemudian satu tangannya mencari-cari sesuatu di belakang punggung.
"Siniin tanganmu."
Dengan lugu, kupegangi tangannya dan dia malah menarik, membuatku agak memajukan posisi. Kini, jemari kami saling mengait, menyentuh perutnya yang terasa keras. Ingin melepas, tetapi tidak bisa. Aura di sekitar wajah lalu memanas. Tubuh bersentuhan dan aku berdebar keras dalam posisi ini.
Angin berembus, mengacak-acak rambutku yang tergerai. Ranting pepohonan di sepanjang jalan bergoyang pelan, seperti melambai ke arah kami yang makin meninggalkannya. Jalanan terdengar riuh dan kami tak menambahi. Tanpa suara Kevin terus melaju, lalu memasuki sebuah komplek perumahan.
"Eh, kita mau ke mana?"
Aku bertanya penuh penasaran. Bukankah tadi sudah kubilang ingin ke Gramedia?
"Ke rumahku, cari helm dulu buat kamu."
"Oh ..."
Kami berhenti di sebuah rumah dengan gerbang tinggi. Suasana sekitar sunyi, pasti warganya hidup tak saling mencampuri. Jarang berbasa-basi, kemungkinan. Aku ikut turun, lalu mengekorinya. Rumah ini tampak sepi, tidak ada siapa pun.
"Cepetan cari, abis itu kita pergi."
Setelah berkata, aku duduk di sofa. Kevin datang dari dapur lalu membawa dua kaleng soda.
"Santai aja dulu di sini. Kita jarang bisa berduaan gini, kan?"
Ah, entah kenapa, ada rasa aneh yang terselip, sedikit tidak nyaman. Kevin mendekat kemudian memeluk. Tubuh ini seketika menegang. Hangat napasnya yang terhela menjalari tengkuk, lalu dia bangkit. Meraih tanganku menuju sebuah kamar.
"Kevin ..."
Aku memanggilnya pelan ketika tubuh sudah berbaring di ranjang.
"Biar mamamu nggak bisa misahin kita dan kamu nggak ada alasan ninggalin aku."
Seperti tengah berada dalam kebodohan. Diperdaya cinta lalu menjadi budaknya. Apakah ini yang dilakukan orang ketika berpacaran?
***
Plak!
Plak!
"Mama ..."
Tangis pecah sambil memegangi kedua pipi yang terasa sakit. Tatapan mama begitu nanar, panas tubuhnya menahan amarah bahkan menguar. Aku tahu penyebabnya.
"Kamu! Dari mana saja? Apa saja yang kamu lakukan sampai jam segini baru pulang? Mama datangi rumah Fina dan kamu tidak ada di sana. Sore tadi Mama juga datangi sekolah kamu. Mama bertanya pada satpam dan dia bilang kamu naik motor dengan laki-laki. Ini sudah jam sepuluh malam, kamu tahu itu? Jawab!"
Bentakan mama melebihi suara petir yang menggelegar. Lidah ini kelu, seperti mati hingga tak mampu bersuara. Mama membanting semua barang yang ada di dapur juga ruang tamu. Berantakan. Serpihan-serpihan kaca berserakan memenuhi lantai. Aku mengerti, kepercayaan mama juga memiliki keadaan yang sama seperti itu, bahkan lebih. Lenyap.
"Ma ..."
Masih terisak sambil melihatnya yang tiada henti menghancurkan isi rumah.
"Diam kamu! Mama mengerti yang kamu lakukan. Sana, cari saja lelaki itu! Jangan lagi temui mama!"
Emosi mama tak juga reda dan mata itu terus berderai air mata. Wanita kesayanganku kemudian memegangi dadanya, merintih. Dia tengah kesakitan.
"Ma, kita ke dokter sekarang."
Aku mendekat, tetapi seketika dia menjauh. Rintihannya terdengar pilu.
"Biarkan saja sakit jantung ini ngebunuh mama. Biar kamu puas menghabiskan waktu dengan dia!"
"Ma, maaf."
Mama lalu menyeret langkah menuju lantai atas, meninggalkanku sendiri di ruangan yang seakan mencekik, tak membiarkan udara mengisi paru-paru. Tubuh terjatuh lemah ke lantai, menyatu bersama puing penyesalan yang berguguran dari hati.
Sekarang, di sinilah aku. Seorang diri termakan ketololan. Bagaimana bisa aku menghancurkan cawan emas berharga itu? Aku harus meminta maaf lagi pada mama!
Berlari, menaiki belasan anak tangga yang tampak seperti pendakian ke gunung. Begitu lama sampainya. Sesaat setelah berada di depan kamar mama, aku ragu, lalu memutuskan untuk masuk saja tanpa mengetuk. Pelan benda dari kayu jati itu kubuka, lalu panampakan kamar mama yang berantakan mulai tertangkap mata.
Pandanganku mengedar, mencari sosok wanita berusia empat puluh lima tahun itu. Dengan langkah yang bergemetar, aku menuju kamar mandi, tidak ada, lalu menuju balkon.
Sejenak mulutku menganga, tubuh rasanya kejatuhan ribuan ton beton. Aku hancur, tak mempunyai makna lagi.
"Maaamaaa!"
Aku memeluk tubuhnya yang tergolek lemah di lantai. Menangis sejadi-jadinya sambil terus memanggil 'Mama'. Tidak ada reaksi, napasnya sudah tak berembus lagi. Kini, waktu serasa terhenti. Rasa sesal, takut, cemas, semua itu datang bersamaan, hanya saja sudah terlambat.
Mataku yang tengah mengalir sungai mendapati sesuatu di tangan mama. Foto keluarga kecil kami. Jantung bagai teremas. Entah seperti apa kesakitan yang mama bawa pergi. Dia menyusul papa dengan kekecewaan mendalam yang kubuat.
"Mama, maafin aku. Maafin. Bangun, Ma. Bangun!"
Aku mengguncang tubuhnya, berharap satu keajaiban terjadi. Namun, sia-sia.
"Maaamaaa!"
***
Bukan salah penyakit mama, ini mutlak karenaku. Kealpaan yang tak mau mendengar ucapan mama, menjadi tombak yang menusuk dada ini. Sepulang sekolah, gundukan tanah itu selalu kudatangi. Memeluk mama dari imajinasi yang terbatasi alam berbeda.
Gairah makan menghilang selama beberapa minggu ini. Seragam sekolah pun semakin melonggar. Aku kangen masakan mama. Juga kangen kasih papa.
Mata mulai menampung air, lalu seketika kulenyapkan saat melihat Kevin.
"Kevin!"
Beberapa kali kupanggil namanya sambil berlari.
Entah mengapa, dia menghindari pertemuan sejak hari itu. Dia bahkan tak datang ketika pemakaman mama. WA-ku selalu diabaikan, saat di sekolah pun susah sekali untuk berhadapan.
"Hi! Kenapa mau lari dari aku?"
Jemari ini berhasil meraih lengannya dan membuat langkah panjang itu terhenti. Bibir tipis Kevin terkatup rapat, lalu matanya seperti bingung ingin menyampaikan sesuatu.
"Chaca, maaf. Aku mau kita putus."
Tanpa jeda, sekali tarikan napas kalimatnya selesai. Kita? Putus? Pegangan di lengan agak berotot itu pun seketika melemah. Perut terasa mual lalu sosok laki-laki itu mulai buram di pandangan. Aku terjatuh dan sepertinya pelipis mengenai benda keras.
Semua gelap.
***
"Pak, Chaca udah sadar."
Jelas terdengar suara orang ketika mata mulai terbuka. Ruangan ini serba putih, lalu kurasakan sesuatu di tangan kiri. Jarum infus menancap. Pelipis terasa sakit. Benar saja, saat kuraba, ada perban yang menutupinya. Pasti sekarang aku tengah berbaring di rumah sakit. Bagaimana bisa?
"Cha ..."
Kepala sekolah kenapa bisa ada di sini juga? Terlihat Fina berdiri di belakang Pak Ferdi, dia gelisah. Tangannya saling bergulat satu sama lain. Ada apa ini?
"Kamu harus saya keluarkan dari sekolah."
"Pak, salah saya apa?"
"Kamu hamil dan pihak sekolah tidak mentolerir. Kamu tadi di sekolah pingsan dan saat diperiksa di sini, dokter mengatakan kamu hamil."
Kini, seperti tertindih batu, aku sesak, hampir mati. Kata-kata pak Ferdi tercerna sempurna di benak. Aku hamil. Berita yang sangat buruk. Tsunami dari mata langsung menerjang wajah. Fina lalu ikut menangis dan menatapku iba.
"Pak ..."
Tak bisa lagi aku melanjutkan kata, terlalu perih rasanya. Semua kerja keras untuk membangun prestasi sudah lenyap. Apa gunanya sekarang kecantikan juga kepintaran yang aku punya?
"Saya sangat menyayangkan kamu melakukan ini, Cha. Siapa orangnya?"
Pak Ferdi menatapku. Mata itu memancarkan rasa kasihan. Jelas sekali terlihat.
"Kevin, Pak. Anak 12 A IPS."
Dengan kegetiran hati, jawaban itu tersampaikan. Berharap setelah ini akan ada jalan yang tampak, arah yang menuju pada titik terang untuk hidupku. Juga suatu solusi yang mampu mengeluarkan aku dari kepekatan ini.
"Fina sudah bercerita tentang Kevin, tapi saat saya tanyai, Kevin tidak mengaku memiliki hubungan dengan kamu."
Sesaat setelah Pak Ferdi bicara, terdengar derap langkah mendekat. Pemuda itu datang tanpa wajah sesal. Mata cokelatnya menyapu ke seluruh tubuhku. Bicaralah! Aku menunggu penjelasan itu.
"Kita nggak pernah ada hubungan. Kalau kamu hamil, ya bukan anakku. Bisa aja kamu ngaku-ngaku padahal ngelakuinnya sama yang lain."
Dia lalu melangkah pergi. Aku kalah di pengadilan ini karena tak memiliki bukti untuk membela diri.
Hati ini bukan lagi retak dan tersayat rasanya, tetapi sudah mati. Aku semakin menangis, Fina lalu memeluk. Derau di dada kian mengeras. Cobaan apa ini? Belum habis duka kepergian mama, sekarang aku harus menanggung hasil dari nafsu liar.
Bukankah dia yang dulu ingin agar aku tak pergi? Akan tetapi, kenapa sekarang dia yang berlari?
Ma, benar kata mama. Pacaran menghancurkan masa depanku. Aku menyesal, tetapi sudah terlambat.
Maaf.
Bali, 24 Januari 2019
Biodata
Aku Putri Hermas. Lahir dan tinggal di Bali. Suka menulis sejak SMP, tapi hobinya tak pernah tersalurkan. Sampai akhirnya, akhir bulan September menemukan grup KBM. Mulailah terjun ke dunia literasi dengan membuat beberapa cerbung. Harapanku, suatu saat namaku akan dikenal banyak orang, karena karya yang bisa dinikmati dan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.