Sabtu, 12 Januari 2019

#Kamis_Cerpen - Sepeda Usang - Anna Noerhasanah





“Pak, sudah to nggak usah dipandangi terus sepedanya.” Terdengar istriku berbicara dengan sedikit berteriak dari dalam rumah.
Aku hanya menoleh sekilas, lalu memandang kembali sepeda ontel yang telah usang. Aku menarik napas panjang. Sepeda ini penuh kenangan bersama Retna, anakku. Jika mengingatnya pasti hati terasa sangat sakit. Entah, sampai kapan akan kulupakan memori bersamanya.
Dulu setiap pagi, aku selalu mengantarnya ke sekolah. Dia sangat senang, sambil bernyanyi ketika kubonceng. Ah, andai waktu bisa diulang kembali, ingin rasanya kembali ke masa itu. Di mana Retna selalu bermanja dan berceloteh ketika naik sepeda. Namun, itu dulu, sekarang tinggallah nostalgia saja.
“Pak, sudah jangan bersedih lagi. Ayo, sarapan dulu. Ini sepeda nggak akan bikin kenyang.” Marni tiba-tiba sudah ada di sampingku.
Aku tersenyum. Marni, istriku memang selalu setia mendampingi dari dulu hingga sekarang. Beruntung sekali memiliki istri sepertinya.
“Bapak diajak sarapan, kok, malah senyam-senyum sendiri. Ayo,” ajak Marni.
Aku mengangguk dan mengikuti Marni masuk ke rumah. Menikmati hidangan makan pagi yang nikmat. Alhamdulillah, di usia yang sudah tua ini masih diberi kesehatan dan kenikmatan hidup.
Sehabis sarapan aku kembali ke teras sambil membawa secangkir kopi pahit favorit. Semenjak satu tahun yang lalu, aku harus mengurangi minuman manis karena diabetes. Ah, mengapa aku harus teringat Retna, setiap kali memandang sepeda ini.
Kenangan beberapa tahun lalu, ketika Retna masih duduk di bangku sekolah dasar membuat jiwaku dirundung duka.
***
“Pak, ayo antar Retna.” Retna anakku telah siap memakai seragam merah putihnya.
Waktu itu adalah hari terakhir Retna mengikuti ujian nasional. Dia sangat antusias. Setelah berpamitan pada Marni, kami pun berangkat. Setiap hari aku mengantarnya sekolah dengan sepeda tua kesayangan. Ini adalah peninggalan bapakku dulu.
Dalam perjalanan Retna berceloteh dengan riang. Ia mengatakan selulus dari sekolah dasar, akan melanjutkan ke SMP favorit, kemudian nanti mau menjadi dokter. Tentu aku menanggapi dengan suka cita. Mendukung semua yang Retna inginkan. Kalau dia jadi orang sukses pastilah sebagai orang tua akan bangga.
Aku mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga, agar bisa segera sampai di sekolah. Retna yang meminta untuk cepat-cepat, khawatir akan terlambat mengikuti ujian. Namun, tiba-tiba saja dari arah berlawanan, melaju sebuah mobil dengan sangat kencang. Sontak membuatku kaget dan tak bisa menghindar. Aku terpental jauh ke selokan di pinggir jalan. Sedang Retna tak tahu lagi di mana.
Kepala terasa begitu pusing. Dengan tertatih aku bangkit dan melangkah menuju jalanan. Di jalan raya tampak orang berkerumun. Hati terasa sangat was-was, semoga saja Retna tak apa-apa. Namun, seketika tubuh lemas dan seluruh tulang bagai dilolosi satu per satu. Melihat Retna tergolek lemah dan berlumuran darah. Dari telinga dan hidungnya mengalir cairan merah yang segar. Matanya terpejam.
Aku langsung menghambur memeluk tubuh Retna yang lemah. Menepuk-nepuk pipinya dengan cemas. Keringat dingin keluar dari dahi.
“Retna! Retna! Bangun, Nak. Buka matamu, ini Bapak.” Aku menaruh kepalanya di pangkuan.
Perlahan mata Retna terbuka dan tersenyum ke arahku.
“Ba-bapak ....” Retna berkata dengan suara terbata-bata, kemudian dia tak sadarkan diri lagi.
“Retna!” teriakku histeris.
Orang-orang hanya melihat tanpa menolong. Aku berteriak histeris, meminta orang untuk memanggil ambulans.
“Cepat panggil Ambulans!” teriakku histeris.
Allah, rencana apa ini? Takdir apa yang telah Kau siapkan untuk hamba?
Tak lama kemudian ambulans datang. Aku langsung menggotong tubuh Retna untuk dibawa ke dalamnya.
Setiba di rumah sakit, Retna langsung dibawa ke UGD. Aku mondar-mandir menunggu kabar Retna yang sedang ditangani dokter. Tak lama kemudian datanglah Marni dengan tergopoh-gopoh.
“Gimana keadaan anak kita, Pak?” tanya istriku dengan suara bergetar.
Aku menggeleng.
“Tenang, Bu. Kita doakan agar baik-baik saja,” ucapku menenangkan Marni. Padahal jiwaku pun panik.
Tak lama kemudian, dokter laki-laki yang berpakaian putih ke luar dari ruang UGD. Aku langsung menghampirinya.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanyaku.
“Maafkan kami, tim medis sudah berusaha semaksimal mungkin. Pasien sepertinya mengalami benturan yang sangat hebat di kepala yang mengakibatkan darah keluar cukup banyak, melalui telinga dan hidung. Mungkin karena benturan hebat pada bagian otak depan atau pun belakang kepala. Pasien tak dapat diselamatkan, maafkan kami, Pak, Bu.” Dokter menjawab sambil menatapku dengan prihatin.
Tubuh langsung luruh. Sungguh tak pernah menyangka sebelumnya, anakku akan pergi secepat ini. Di usia yang sangat belia, bahkan belum sempat merasakan duduk di bangku SMP. Hari terakhir di mana ia harusnya menjalani ujian akhir nasional, ternyata malah berakhir juga ujian hidupnya. Allah, takdir-Mu memang tak pernah ada yang tahu pasti.
Dokter pun mengajak kami untuk melihat Retna yang terakhir kalinya. Hatiku benar-benar sakit, melihat anakku terbujur kaku tak bernyawa. Ya Allah … ampunilah segala dosa dan kesalahan anak hamba. Terimalah ia di sisi-Mu. Aamiin.
Marni tampak sangat terpukul, dia memeluk tubuh Retna yang tak bernyawa.
“Sudah, Bu. Ikhlaskan Retna, biarkan dia tenang di sana. Jangan ditangisi lagi, Allah lebih sayang padanya. Retna sudah kembali pada Sang Pemilik.” Aku mengusap lembut pundak Marni.
Marni menyeka sudut matanya yang penuh dengan linangan buliran bening. Hatiku masygul. Atma gelisah dirundung duka nestapa. Ah, kematian memang selalu datang tiba-tiba. Tak peduli tua ataupun muda.
“Maafkan Bapak, Nak. Belum bisa membahagiakanmu.” Aku mencium kening Retna yang sudah dingin.
***
“Pak, kenapa lagi?” Pertanyaan Marni membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum kecut, lalu menggeleng.
“Pasti teringat Retna, ya? Sudahlah, Pak, kasihan dia. Bapak harus ikhlas, agar ia tenang di sana.” Marni menatapku iba.
“Entahlah, Bu. Bapak tiba-tiba kangen sama dia. Seandainya dia masih hidup, pasti sudah jadi gadis dewasa yang sebentar lagi akan menikah.” Aku tersenyum hambar.
“Bapak … nggak usah berkhayal. Ingat, Retna sudah tidur dengan tenang di surga. Biarkan dia bahagia. Ikhlaskanlah kepergiannya. Apa mungkin sebaiknya sepeda ini dijual ke tukang rongsokan aja?” tanya Marni.
“Eh, jangan, Bu. Sepeda usang ini meskipun sudah rengsek, jangan pernah dibuang ataupun dijual. Ini satu-satunya kenangan Bapak bersama Retna.” Mataku tajam menelisik wajah Marni.
Marni menunduk. Matanya tampak berkaca-kaca.
“Iya kalau gitu Bapak jangan bersedih lagi, ya? Jangan pernah memikirkan Retna lagi. Bukannya Bapak yang dulu selalu menasehati Ibu agar nggak bersedih terus?”
Aku bergeming. Benar yang Marni katakan, dulu aku yang selalu menasehati agar mengikhlaskan kepergian Retna. Kenapa justru aku yang masih terpuruk hingga saat ini? Aku mendesah pelan.
Oh, Allah … ampuni hamba jika belum bisa menerima takdir dari-Mu. Kutahu ini salah dan dosa.
Mulai hari ini aku berjanji akan melupakan kenangan tentang Retna. Supaya dia tenang dan bahagia di alam sana. Aku pun memeluk Marni.
Aku lupa jika masih memiliki istri yang harus diperhatikan. Retna telah dipanggil oleh pemilik nyawa, maka tak boleh meratapi atau menyesalinya. Bukankah yang bernyawa pasti akan mati juga? Tinggal menanti kapan waktunya tiba.

Malang, 10 Januari 2019
--selesai—

Biodata Penulis

Anna Noerhasanah dilahirkan di salah desa terpencil di wilayah Malang Selatan, 27 tahun lalu. Tepatnya di Dusun Krajan, Desa Girimulyo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Akan tetapi, banyak yang mengira penulis ini masih SMA. Sejak menduduki bangku sekolah dasar suka sekali membaca dan mulai suka mengarang dalam bentuk karangan pendek. Sejak SMP mulai menulis artikel walaupun hanya dibaca oleh teman di sekolah saja. Mulai SMA mulai mencoba menulis cerpen. Lalu, vakum menulis selama bertahun-tahun, dan mulai menulis lagi bulan september 2018. Berawal dari sebuah hobby sekarang bisa menghasilkan rupiah. Artikel-artikelnya dimuat di situs online.


Penulis bisa dihubungi di:
FB: Anna Noerhasanah.
IG: @AnnaNoerhasanah
Wattpad: @AnnaNoerhasanah
Email: Noerchann@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.