Kepulan asap kopi menjadi sekat antara dua raga yang pernah dekat. Tujuh tahun, tentulah bukan waktu singkat merajut asmara. Tali kasih yang terjalin dari masa remaja abu-abu putih, hingga merangkak dewasa. Kini terancam patah dan tak bermuara pada tempat yang sama. Bukan karena orang ketiga, tapi lebih pada ego yang tak lagi searah.
"Tujuh tahun dan hanya berakhir seperti ini." Suara bass dari lelaki bersurai hitam segelap malam terdengar kecewa. Tak percaya bahwa wanita yang meratu di hati sejak lama, meminta mundur dari tahtanya.
Sang lawan bicara memalingkan wajah ke arah jendela. Melempar pandangan jauh ke arah barat. Tempat swastamita biasa berpulang.
"Memang berat, tapi ini yang terbaik." Wanita beriris cokelat terang itu bersuara lirih nyaris tak terdengar. Namun, suasana senyap di kedai sore itu mampu menggaungkan ucapannya.
"Terbaik dari segi apa? Tak ingatkah kamu tentang perjuangan kita selama ini, Sya." Lelaki itu mencoba bertahan dengan argumennya.
"Aku lelah berjuang, Than. Restu itu tak kunjung datang." Air mata mulai menumpuk di balik palpebra Qalesya.
Cinta terhalang restu merupakan judul dari kisah Ethan dan Qalesya. Afeksi besar yang terjalin, nyatanya tak cukup kuat membangun pondasi hubungan. Semua goyah diterpa penolakan keluarga. Semakin terpuruk saat keyakinan berbicara.
Sedari awal, keduanya sadar tak mudah melangkah bersama, jika alur yang harus dilewati berbeda arah. Bermodal jentik cinta yang baru tumbuh, keduanya mencoba menerobos jalan pintas. Mengabaikan rambu-rambu yang ditemui di pertengahan jalan. Baik Ethan maupun Qalesya memilih menutup mata dan telinga dari semua perbedaan. Saat cinta sudah mengakar kuat, barulah mereka sadar akan tempaan kenyataan. Pahit dan menyakitkan.
"Pasti akan ada jalan, Sya." Ethan meraih tangan mungil sang kekasih yang terasa dingin. Digenggamnya telapak tangan itu erat-erat. Seakan tak ingin dia lepas walau hanya sejenak.
"Jalan kita cuma satu, Than. Sayangnya, tak ada dari kita yang mau mengalah." Tergelincir sudah buliran bening dari pelupuk mata Qalesya. Sungguh bukan akhir ini yang dia mau. Namun, apalah arti menunggu jika pada akhirnya tak bisa bersatu.
Netra keduanya beradu tatap. Menyelami perasaan gundah yang merajah dada. Pembahasan ini memang telah lama bergulir. Namun, belum juga menemukan titik akhir. Ethan yang percaya tentang institusi tujuh sakramen. Sementara Qalesya mempercayai enam rukun iman. Dua jalan yang tak searah, meski punya satu tujuan menyembah Tuhan. Keduanya saling mencintai, tapi tak akan pernah menggadaikan keyakinan yang menjadi harga mati. Rumit dan sensitif.
"Mari akhiri kerumitan ini," cetus Qalesya diiringi bunyi kepingan hati yang berserakan. Bagaimanapun lelaki di depannya itu adalah cinta pertamanya. Sosok yang tak mungkin mudah dilupakan.
Ethan bergeming. Terlalu kelu untuk menggerakkan lidah. Bibirnya terkatup rapat. Sulit mengungkapkan kata yang tersusun di otaknya. Dia hanya mampu merefleksikan sakit dari pancaran mata yang mendanau. Ternyata hubungan cintanya dan Qalesya sudah menemukan titik nadir.
Detik bergulir hingga menyentuh menit. Adu tatap itu masih terjadi. Seakan ingin menyimpan memori akhir dalam hati. Setelah cukup lama menyimpan profil masing-masing. Ethan pun mengangguk, menelan getir dan perih dalam sekali teguk.
Tangis Qalesya pecah sudah. Bukan perasaan lega yang didapat, tapi hati kian bertambah gundah. Namun, dia tak lagi bisa menjilat ludah. Keputusan berpisah sudah sah.
"Semoga kamu selalu bahagia." Ethan berucap penuh harap.
"Doaku juga sama. Semoga kamu segera bersama bahagiamu," sahut Qalesya dengan punggung tangan mengusap jejak basah di wajah.
*****
Petrikor menguap menusuk indera penciuman. Udara sisa hujan menimbulkan gigil di badan. Qalesya mengeratkan tangannya pada sosok mungil yang bergelayut dalam pelukan. Gadis mungil berpipi gempil yang terlelap di pundak kanan.
Dia berjalan menyusuri trotoar kota menuju halte. Rutinitas yang selalu dilakukannya setiap sore. Pulang kerja lalu menjemput Nabila di tempat penitipan anak. Kemudian naik bus menuju rumah.
Dua tahun setelah perpisahan penuh pilu. Qalesya menikah dengan lelaki pilihan keluarga. Awal pernikahan dilalui penuh bahagia, hingga ajal menjemput sang suami melalui kecelakaan maut. Untuk dua kalinya, wanita bernetra cokelat itu harus merasakan kehilangan. Beruntung baginya karena ada Nabila yang berusia empat bulan. Tempat terakhir untuk mencurahkan cinta dan harapan.
Tiga revolusi bumi terlewat, berganti orang tuanya yang harus kembali ke haribaan. Lagi-lagi sebuah kecelakaan merenggut paksa kebahagiaan. Qalesya hanya bisa menerima dengan lapang. Tak mencoba melawan atau menyalahkan garis Tuhan.
Sejak saat itu, hidup dan waktunya didedikasikan untuk sang putri. Dia telah menutup hati agar tak lagi tergoda rasa berlabel cinta. Setiap harinya dihabiskan dengan bermanja pada sang buah hati. Itu sudah cukup membuat perasaannya sempurna.
Qalesya duduk di bangku halte. Memangku Nabila yang semakin pulas. Dia menyeka keringat di wajah sang anak dengan ujung jilbab warna biru muda. Sore itu tak seperti biasanya. Semburat jingga yang biasa muncul di cakrawala, berganti dengan awan kelabu yang menggantung. Sepertinya hanya butuh beberapa waktu untuk memuntahkan air bercampur karbon dari angkasa raya.
Menunggu membuat Qalesya sedikit mengantuk. Beberapa kali dia menutup mulutnya yang menguap. Hingga tiba-tiba ....
"Qalesya ...!"
Tubuh Qalesya menegang. Suara bass itu sukses membuatnya berdebar. Setelah ribuan hari dia lalui untuk mengubur kenangan. Justru objek pikirannya tengah berdiri beberapa jengkal dari tempatnya.
Perlahan kepalanya menoleh. Wajah tampan dengan rahang tegas itu tersenyum manis. Tak banyak yang berubah dari lelaki itu. Mungkin hanya pakaian yang berbeda. Dari potongan modis menjadi liturgi.
"Apa kabar?" Ethan bertanya dengan mata teduh nan menentramkan. Dipandangnya sang mantan yang semakin menawan dengan jilbab biru muda.
"Aku baik. Lalu bagaimana denganmu?" Butuh kekuatan lebih bagi Qalesya menenangkan jantungnya yang belingsatan. Sungguh tak menyangka bertemu mantan akan semenegangkan ini.
"Baik." Arah pandang Ethan beralih pada sosok mungil di pangkuan sang mantan. Tanpa dijelaskan, dia sudah paham akan gadis cantik itu. Dia pasti putri Qalesya dilihat dari kemiripan yang bagai pinang dibelah dua, tapi berbeda ukuran.
Tangan kanan Ethan terangkat lalu mengelus rambut hitam si Duplikat Qalesya. "Siapa namanya?"
"Nabila."
"Nama yang cantik. Secantik wajahnya." Ethan menarik tangannya, lalu ikut menghempaskan diri di bangku.
Qalesya mengamati lelaki di sampingnya. "Sejak kapan?" tanyanya dengan nada penasaran. Sejak melihat penampilan sang mantan yang berbeda. Berpuluh pertanyaan mendesak meminta jawaban.
"Lima tahun lalu aku memilih mengabdikan diri di gereja. Tepatnya saat kudengar kabar pernikahanmu." Ethan menjawab tanpa menoleh ke arah lawan bicara. Sepasang matanya lebih memilih menelisik jalanan di depan dengan kendaraan berlalu-lalang.
Suasana berubah hening. Hanya deru mesin dan klakson bersahutan sebagai musik pengiring. Ingatan keduanya terlempar pada memori masa silam. Di mana mereka pernah saling meramaikan.
"Bagaimana kabar abi dan umi?" tanya Ethan memecah Keheningan.
"Mereka meninggal setahun yang lalu ... kecelakaan."
Tubuh Ethan tersentak. Tidak percaya dengan kabar yang didengar. Meski tak mendapat restu saat itu, tapi kebaikan abi dan umi Qalesya masih diterimanya. "Maaf, Sya. Aku tidak tahu. Aku turut berduka untukmu. Semoga mereka mendapat surga di sisi Allah."
Qalesya mengangguk mengerti. "Terima kasih doanya."
"Jadi sekarang kamu tinggal bertiga saja." Ethan mencoba menerka keadaan sang mantan. Namun, dia terkejut saat melihat Qalesya menggelengkan kepala.
"Suamiku juga sudah meninggal saat Nabila berusia empat bulan."
"Maaf ...."
"Tidak apa-apa, Than. Ini takdir yang harus aku jalani. Seperti juga perpisahan waktu itu," potong Qalesya cepat.
Keduanya kembali diam. Masa lalu itu memang menyisakan luka dalam. Bahkan Qalesya melewati setiap malamnya dengan tangisan. Teringat cinta pertamanya yang kandas menjadi kenangan.
Beda pula dengan Ethan. Perpisahan itu sempat membuatnya terjerumus dalam lingkaran setan. Bergumul dengan obat-obatan terlarang hingga membuatnya dikirim ke panti rehabilitasi untuk penyembuhan. Dalam masa-masa terpuruk itulah, dia mendapat hidayah. Perlahan dia mulai berlamentasi. Hingga hati kecilnya terpanggil untuk mengabdi pada Tuhan.
"Tidak ada rencana Tuhan yang sia-sia. Seperti pertemuan dan perpisahan kita. Jika saat itu kita memaksa bersama, maka belum tentu aku bisa dekat dengan Tuhan. Belum tentu kamu memiliki Nabila."
Ethan menoleh, dan tanpa disangka Qalesya juga tengah menatapnya. Kembali iris mereka bertemu. Tak ada lagi pandangan sendu. Hanya kilat syukur penuh haru.
"Kamu benar, Than. Ujian Tuhan itu proses untuk menempa hati agar lebih kuat. Seandainya aku tetap bersamamu. Maka aku tak akan pernah mengalami yang namanya bertahan dan bangkit dari sakit. Aku hanya akan jadi wanita lemah dan manja tanpa pernah tahu kejamnya dunia," balas Qalesya panjang lebar. "Terima kasih sudah jadi bagian masa laluku yang indah," imbuh wanita berjilbab itu dengan mengulas senyum tulus.
Ethan mengangguk dengan senyum tersungging di bibir penuhnya. Lega saat dia dan Qalesya sudah berdamai dengan masa lalu.
Bertepatan dengan itu bus yang ditunggu Qalesya berhenti. Wanita cantik itu menggendong sang putri lalu berdiri dari bangku.
"Apa kamu akan naik bus ini juga?" tanya Qalesya saat melihat sang mantan terindah ikut beringsut dari bangku.
Ethan menggeleng. "Aku ada ibadah malam ini," ucapnya sambil menunjuk ke tempat ibadah berdiri megah bergaya Eropa di seberang jalan.
"Baiklah, aku pulang dulu. Sampai jumpa, Than," pamit Qalesya sebelum melangkah menuju pintu bus.
"Sampai jumpa, Sya." Ethan menyahut dengan tangan kanan terangkat, sedangkan tangan kiri mendekap kitab.
Patah hati adalah berkah dari Tuhan. Kandas hanyalah rencana lain dari sebuah pertemuan. Perpisahan merupakan cara Sang Pencipta menyadarkan dan menyelamatkanmu dari pilihan salah. Tidak ada yang ganjil dengan perbedaan. Namun, cinta sejati tetaplah harus berarah pada ridho Illahi, Sang Maha Pembolak-balik hati.
TAMAT
Biodata
Aku orang asli Malang yang kini tinggal di Pati. Mulai menulis lima bulan lalu setelah masuk dalam grup literasi. Punya anggapan menulis sebagai sebuah terapi. Namun, perlahan tumbuh motivasi untuk menjadi lebih baik, hingga nantinya mampu melahirkan karya yang banyak diminati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.