Minggu, 06 Januari 2019

#Kamis_Cerpen - Masa Lalu Membuat Masa Depan Hancur - Anna Noerhasanah



#Kamis_Cerpen
03 Januari 2018


Masa Lalu Membuat Masa Depan Hancur

Cinta bisa membuat bahagia, tetapi juga dapat membunuh karena bisanya. Seharusnya cinta itu tidak memandang seseorang dari masa lalu dan tanpa syarat. Namun, entah yang terjadi padaku sungguh berbeda dari yang lain.
Sore ini langit tampak pekat. Awan bergumul sangat kelam di angkasa. Seolah mengerti akan apa yang ada dalam hati. Jiwa masygul merundung lara. Hati gundah gulana mengundang duka nestapa. Ah, benci dengan hidup ini. Takdir masa lalu membuat masa depan hancur. Tak ada seorang pria yang enggan mendekat. Bahkan, yang sudah dekat pun malah menjauh setelah mendengar cerita masa lalu yang terjadi.
Kenangan buruk beberapa tahun lalu langsung berkelebat di depan mata. Memori yang membuatku terpuruk untuk ke sekian kalinya.
***
Aku mengenal seorang pemuda, usianya dua tahun lebih tua. Sosok yang misterius menurutku. Kami berkenalan ketika motorku mogok di tengah perjalanan, ketika itu bingung karena hari sudah siang. Tak ada angkot lewat ataupun ojek, sedang aku terburu-buru ke sekolah karena jadwal mengajar pagi. Datanglah dia menawarkan tumpangan, awalnya ragu karena khawatir ia sosok yang jahat. Namun, karena diyakinkan dan dipaksa akhirnya menerima tawarannya.
Sejak saat itu kami sering bersama. Setiap pagi senantiasa menjemput ke rumah. Tentu hati sangat berbunga-bunga, karena masih ada pria yang mau berteman denganku. Hingga setelah enam bulan saling mengenal, dia mau melanjutkan hubungan yang lebih serius. Dia mencintai dengan tulus, mau menerimaku apa adanya dan tak melihat masa lalu. Sejak kehadirannya hidupku lebih berwarna. Hari-hari terasa indah. Hingga suatu hari kejadian yang tak pernah kuharapkan terjadi. Dia menghubungi lewat telepon.
[Rere, maaf ya, aku harus pergi jauh untuk sementara waktu. Kamu jaga diri baik-baik.]
Jujur hati ini terasa begitu nyeri. Mengapa memberi kabar secara mendadak?
[Memang kamu mau ke mana, Za?]
[Aku ada panggilan kerja ke luar kota. Maaf, ya nggak memberimu kabar dulu.]
Aku menghela napas. Menata hati agar bisa bicara dengan tenang.
[Baiklah. Tapi kamu jangan lupa sama aku, ya? Sering kasih kabar.]
[Beres, Sayang. Jangan khawatir, ini semua juga demi masa depan kita.]
Aku tersenyum mendengar pengakuan Reza. Ternyata dia memang tulus menyayangi dan mencintaiku.
Kami pun mengobrol banyak hal, hingga lupa waktu. Tanpa terasa sudah satu jam lamanya kita bercengkerama. Akhirnya, Reza memutuskan sambungan telepon. Namun, yang membuat curiga dia begitu gugup. Sempat terdengar suara seorang wanita, tapi aku tak berpikir negatif mungkin perempuan itu ibu atau adiknya.
Semenjak kepergian Reza aku kembali dirundung pilu. Sendiri dan sepi, itulah yang kurasa. Awal kami berpisah Reza masih sering menghubungi. Namun, lambat laun dia tak lagi ada kabar, nomor telepon tak aktif. Semua akun sosmed-nya pun mati. Satu tahun sudah kami tak lagi berkomunikasi.
Mungkin menurut para pemuda di luar sana, seorang janda dipandang sebelah mata. Tak pantas untuk dijadikan pendamping hidup maupun diperjuangkan. Seperti aku ini ... ya, aku seorang janda muda berusia 26 tahun. Akan tetapi, status ini bukanlah kemauanku. Wanita mana yang menginginkan menjadi janda? Aku menikah ketika berusia 23 tahun, suami meninggal tiga bulan pasca pernikahan karena kecelakaan. Lalu, apa semua ini salah dan dosaku? Takdir yang menimpa ini, mengapa menjadikan orang-orang menganggap rendah seorang janda? Apa yang ada di pikiran mereka? Ah, entahlah, hidup ini benar-benar tak adil. Di saat seorang gadis, meskipun sudah tidak perawan lagi tak pernah dijadikan bahan gunjingan. Sedang seorang janda meskipun tak pernah aneh-aneh, selalu dijadikan bahan omongan. Dunia sungguh kejam.
Aku menarik napas dalam. Langit senja yang indah, tak menarik bagiku. Tak ada gunanya hidup dalam keadaan seperti ini.
“Rere.” Terdengar suara bass seorang pria.
Aku menoleh, betapa terkejutnya ketika melihat siapa yang ada di depan mata. Lelaki berhidung bangir dan beralis tebal itu tersenyum ke arahku. Dia mendekat.
“Reza?” Aku mengucek mata, takut jika ini hanya halusinasi saja.
“Apa kabar?” tanyanya menatapku dalam.
Ini bukan mimpi ataupun khayalan. Benar-benar nyata, Reza ada di depanku. Harus bahagia ataukah sedih?
“Ka-kamu, kapan pulang?” tanyaku dengan bibir bergetar menahan tangis.
“Kemarin pagi. Maaf, baru menemuimu sekarang.” Reza merengkuhku dalam pelukan.
Aku terisak di dalam pelukannya. Menumpahkan segala rasa yang membuncah. Bahu berguncang hebat.
“Aku pikir kamu telah melupakanku, Za. Tak pernah ada kabar sekian lama.” Aku mengurai pelukan.
Reza mengusap bulir mata yang masih menetes di pipiku.
“Aku nggak akan pernah melupakanmu. Aku sayang sama kamu.”
“Tapi ... bagaimana dengan keluargamu, Za? Gimana kalau mereka tahu tentang statusku?” Aku menelisik tajam wajah Reza.
Binar di matanya kini meredup. Selalu begitu jika ditanya soal keluarganya. Aku tahu, Reza belum pernah bercerita soal status yang kusandang. Karena dia pasti takut keluarganya melarang menikah denganku. Sudah pasti itu. Reza masih terdiam, wajahnya sangat gelisah.
“Za ... jawab aku!” Aku mengguncangnya dengan kasar.
Lalu, dia merengkuhku kembali dalam pelukannya. Sangat erat, seolah tak mau melepasnya lagi.
“Kamu mencintaiku, Re?” bisiknya.
Aku mengangguk. “Sangat, Za.”
“Apa pun yang terjadi kamu akan ikut denganku?”
Aku melepas pelukan. Kedua alisku bertaut. Reza tampak menghela napas panjang.
“Aku akan membawamu pergi jauh dari sini, hingga tak ada orang yang menemukan kita.” Reza menangkup pipiku dengan kedua tangannya.
“Maksudnya?” Dahiku mengernyit heran. Tak paham apa yang dimaksud Reza.
Kemudian Reza menceritakan semuanya. Keluarga besarnya mengetahui siapa aku yang sebenarnya sejak dulu. Mereka tak pernah mengizinkan hubungan kami. Karena itu dia pergi bekerja ke luar kota, agar nanti bisa membawaku tanpa sepeser harta dari orang tuanya. Sengaja tak pernah memberi kabar, sebab ingin fokus demi masa depan kami.
Aku menarik napas dalam. Selama ini telah menuduhnya yang bukan-bukan. Ternyata sebegitu tulusnya dia mencintaiku. Hingga rela berpisah dengan keluarganya. Namun, bagaimana mungkin kami menikah tanpa restu orang tua? Hubungan tanpa restu tidak akan bertahan lama. Aku tak mau merusak hubungan anak dengan orang tua.
Sejak awal berhubungan kami memang telah berkomitmen, bahwa jalinan ini bukan sekadar main-main. Namun, ikatan hingga ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, setelah mendengar pengakuan Reza, aku tak mau menjadi manusia egois. Harus merelakannya pergi dari hidupku. Mencari pendamping yang direstui orang tuanya.
“Hhmmm, aku tahu pasti keluargamu memang nggak pernah setuju, Za. Ternyata dugaanku benar, kan? Sebaiknya kita sudahi saja hubungan kita.” Aku memandang wajah Reza.
Dia tampak terkejut dengan pernyataanku.
“Tapi, Re ... aku mencintaimu dengan tulus, tak peduli akan masa lalu yang menimpamu.” Reza meraih tanganku.
Dada ini terasa begitu sesak. Mencoba ikhlas untuk merelakan orang yang kucinta.
“Aku tahu, Za. Kamu tulus, tapi orang tuamu nggak merestui. Hubungan tanpa restu nggak akan bertahan lama. Maaf ... aku harus pergi. Carilah yang lebih baik dariku, masih banyak gadis di luaran sana.” Aku melepas genggaman tangan Reza dengan perlahan. Lalu, bangkit dan melangkah meninggalkan Reza.
“Rere ... tunggu!” teriak Reza.
Aku berhenti dan menoleh. Lalu, Reza memelukku lagi.
“Izinkan aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Maafkan aku, Re.” Reza mencium pucuk kepalaku.
Hatiku benar-benar pilu. Aku pun mengurai pelukan. Mencoba tersenyum dan meninggalkan Reza tanpa menoleh lagi.
Sejujurnya aku tak sanggup berpisah dengan Reza. Setelah satu tahun tak bertemu harus memutuskan untuk mengakhiri jalinan asmara yang sudah lama bersemi. Tubuh terasa lemas, tulang-tulang serasa dilolosi satu per satu. Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Ya Allah … kenapa hidupku harus seperti ini? Jiwaku kini telah mati. Tak tahu arah jalan pulang. Ke mana raga ini akan kulabuhkan?
***
Kenangan dua tahun lalu sungguh menyakitkan. Kudengar Reza telah menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Syukurlah, kuharap dia bahagia. Meski sampai saat ini aku masih belum bisa move on dan menemukan penggantinya. Tak ada pria yang bisa menerima seorang janda sepertiku. Tidak ada lagi yang seperti Reza. Dia manusia unik yang kukenal. Ah, Reza ... maafkan aku, tak sepantasnya menyimpan namanya dalam hati. Ia telah menjadi suami orang. Aku menelan ludah. Pahit. Seperti takdir yang kuterima.
Kini, hari-hari yang kujalani tak lagi sama. Tidak lagi cerah ataupun berwarna. Semua tampak suram dan kelam. Mungkin sesuai dengan suasana hati yang tak pernah bahagia atau ceria. Sekarang tak lagi berpikir soal cinta. Jodoh tak akan tertukar, mungkin suatu saat nanti akan datang sosok yang bisa menerima masa lalu dan mencintai tanpa syarat. Entah, kapan itu. Hanya bisa berusaha dan berdoa pada Yang Maha Kuasa.
Hari semakin gelap. Aku melangkah dengan gontai untuk masuk ke kamar. Lalu, mengunci pintu dan jendela. Setelah itu menghempaskan tubuh ke ranjang. Berbaring dan menatap langit-langit kamar. Perlahan mata mulai terpejam. Sebab, dua jendela hati sudah tak mampu lagi untuk tak menutup hari.
****
--selesai--

Penulis lahir di ujung selatan wilayah Malang, 27 tahun lalu. Sejak kecil suka membaca. Menulis dimulai ketika menginjak kelas empat SD. Lalu, mulai SMA mulai menulis artikel yang dimuat di majalah sekolah saja.
Berawal dari sebuah hobby sekarang artikelnya dimuat di salah satu situs online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.