Azan asar belum lama selesai berkumandang. Hujan baru saja reda.
Menyisakan suasana sore yang sejuk. Kuletakkan novel Moral Code yang belum
selesai dibaca. Rozan, putra sulungku, tampak bergegas keluar rumah.
“Mau ke mana, Zan?” Aku mengikutinya ke teras depan.
“Main!” Bocah sepuluh tahun itu menyambar sepeda dan mengayuhnya
cepat. Melesat.
“Asar dulu!” teriakku.
“Sudah!” Dalam sekejap, ia hilang dari tikungan.
Aku sedang melipat mukena saat Rozan kembali. Wajahnya cemberut
seperti kecewa. Baru lima belas menit yang lalu dia pergi dengan semangat.
“Kenapa? Kok sudah pulang?”
“Gak ada teman. Pada pergi,” tukasnya kesal.
“Ya udah, main aja di rumah.”
Aku kembali melanjutkan membaca novel. Mumpung hari Sabtu dan suami
sedang tugas keluar kota. Jarang-jarang punya kesempatan 'me time’.
“Aaaawww … Maaasss! Ibuuu ….” Teriakan Alisha, putri kecilku,
menggedor gendang telinga.
“Pinjam sebentar!”
“Enggak!”
“Pelit!”
Brak!
“Waaa … Ibuuu! Ibuuu!”
Halah, ini dua anak mengganggu saja.
“Hei! Ada apa ini?”
Berbagai mainan berserakan di ruang keluarga.
“Mas gangguin aku. Bonekaku diambil. Rumah-rumahan dirubuhin.”
“Aku cuma pinjam!”
“Yaelah, Mas. Anak laki, kok main Barbie? Jangan ganggu adek.
Main yang lain sana. Mainan Mas, kan banyak, atau baca buku aja kayak Ibu.
Kemarin kita beli banyak buku cerita.”
“Males. Dah baca semua.”
“Jadi maunya apa?”
“Main sepeda.”
“Ya udah sana! Kenapa malah gangguin adek?”
“Sendirian gak asyik!”
Aku terdiam. Berpikir sebentar.
“Ayo sama Ibu!”
“Beneran, Bu?” Aku mengangguk.
“Aku ikut!” seru gadis usia tujuh tahun yang wajahnya mirip
sekali denganku.
Kami pun berkeliling kompleks yang cukup luas, dengan sepeda
masing-masing. Mengayuh sambil mengobrol, melempar canda dan tertawa. Kebetulan
jalanan sepi. Kedua buah hati tampak bahagia sekali. Sesekali berhenti bila
Alisha lelah. Mampir di taman bermain ayunan dan perosotan lalu ke minimart
membeli minum. Diakhiri makan es krim sebelum kembali ke rumah, saat magrib
menjelang.
***
Satu putaran revolusi bumi berlalu tanpa terasa. Delapan bulan
yang lalu kami pindah ke Qatar mengikuti suami bekerja.
Aku menatap dua wajah mungil di hadapan. Berusaha tegar saat
melihat raut sedih yang terlukis dengan genangan air di netra. Memeluk erat
keduanya sambil membisikkan nasihat-nasihat dan meyakinkan mereka, bahwa semua
akan baik-baik saja.
Perpisahan selalu terasa berat. Terpaksa kutinggalkan keluarga
demi bakti pada pertiwi. Permohonan pengunduran diriku ditolak. Prosedur
birokrasi yang tidak mudah dimengerti anak-anak.
Sebagai dokter PNS, aku harus memenuhi kewajiban sekian tahun di satu kota
kecil di Jawa Barat.
***
Pesawat yang membawaku kembali ke tanah air baru saja landing. Sembilan jam
perjalanan udara cukup melelahkan. Setibanya di rumah, kunyalakan ponsel yang
mati sejak take off kemarin malam.
Satu notifikasi email masuk. Dari Rozan. Oh, belum sampai 24 jam
berpisah, rindu sudah membuncah begitu hebat hingga menyesakkan dada.
Kubuka emailnya. Anak ini memang sudah biasa menggunakan
komputer. Rupanya sepulangnya dari mengantarku ke bandara, ia langsung mengirim
email.
Dear, Mom
My father (Ayah) told me to send a letter to you, to express my
feelings without you.
It's been a hard day without you and i missed you so much.
I have also been thinking about the things we did together. Like
when we are in Bintaro, we did a race between you and me. I won a few seconds.
Do you remember when we ride bicycle together? It was fun.
I also been thinking of other things, like we went to park as a
family, eating pizzas, and others.
I just wanted to say i love you and i missed you. Please be okay
and come back soon.
Yours Sincerely,
Rozan
Dia memang lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris. Kini air
mata tak dapat lagi kubendung. Tak disangka. Aktivitas yang menurutku biasa,
begitu melekat di memorinya.
Ah, benar ternyata, kegiatan bersama anak lebih penting daripada
segudang mainan. Mereka tidak banyak mengingat benda yang dihadiahkan. Namun,
waktu yang dihabiskan bersama orang tua yang akan dikenang.
Ibu janji, Nak. Nanti kita akan main sepeda bersama lagi.
Insyaallah.
Plara, 10 Januari 2019
-selesai-
Biodata Penulis
Tiga puluh menit menjelang tengah malam. Vindy Ruslianti, lahir di Jakarta. Ibu dari satu putra dan tiga
putri. Hobi membaca dan menonton terutama cerita detektif/spionase. Tertarik
pada kegiatan dan hal-hal yang berhubungan dengan edukasi anak dan orangtua.
Tidak punya banyak pengalaman menulis fiksi. Memulai sejak November 2018 di
sela kesibukan harian. Tulisannya baru sebatas di posting di beberapa grup
kepenulisan. Ia dapat dihubungi melalui akun facebook sesuai namanya atau email
vindyruslianti@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.