Malang bagiku adalah metropolis dingin yang indah dan mampu menghipnotis. Merupakan kota pendidikan, sehingga banyak pelajar ataupun mahasiswa dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Akan tetapi, untukku seorang gadis yang tidak pernah pergi dari sini, adalah tempat penuh kenangan. Di sinilah aku menemukan cinta dan akhirnya harus kandas. Sehingga menyimpan bayangan yang menyakitkan. Setiap sudut di kota ini, menyimpan memori tentang dirinya.
Aku mulai menggoreskan pena di kertas. Menarik napas dalam-dalam. Mengingat tentang Althan. Di kafe tempat kami dulu sering bertemu, aku menuliskan segala cerita bersama Althan. Semua terasa masih baru saja terjadi. Namun, ternyata sudah hampir dua tahun kami tak bersua. Entah, dia masih mengingatku atau tidak. Lagi-lagi, dada terasa sesak. Mengapa mencintai harus sesakit ini? Cinta yang tak pernah terungkap, hanya mampu tersimpan dalam hati. Tetes demi tetes cairan bening jatuh mengenai tangan, aku mengusapnya dengan kasar. Kemudian, menatap keluar jendela, lalu lalang kendaraan tampak ramai. Hari sudah mulai senja.
Dengan perlahan aku berdiri dan melangkah meninggalkan kafe kenangan. Menarik napas dalam-dalam. Rintik-rintik cairan bening dari langit mulai turun. Aku menengadah, sepertinya Tuhan mengerti jika hati dan jiwa sedang menangis sehingga turunlah hujan.
Aku melangkah dengan gontai menuju halte terdekat. Tepatnya di depan Universitas Pasca Sarjana Brawijaya. Lalu, duduk sambil menunggu datangnya bus. Dengan pandangan kosong menatap ke kampus. Di sanalah kami dulu sering bersama dan bertemu, ketika sama-sama menjalani Program Magister Ekonomi. Di halte ini juga kami sering menghabiskan waktu berdua sambil menunggu bus datang.
Di halte sinilah, Althan berpamitan padaku. Semua terasa begitu berat dan seperti ada di depan mata. Membuat napas begitu sesak. Cintaku kandas di sini.
***
Sore itu sepulang dari kuliah, seperti biasa kami menunggu bus. Duduk di halte sambil bercanda ria. Namun, tiba-tiba dia memberi kabar yang membuatku terkejut.
“Cit ... mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu.” Althan menatapku dalam-dalam.
Sontak pupil mataku membesar dan mulut sedikit terbuka.
“Apa maksudmu? Jangan bercanda, Althan.” Aku terkekeh.
“Serius, Cit. Aku akan kembali ke Jakarta.” Althan mengalihkan pandangan.
Jawaban Althan sontak membuatku terkejut. Bagai disambar petir di siang bolong. Kenapa harus pergi? Lalu, aku bagaimana? Sudah hampir lima tahun kita bersama, empat tahun ketika menjalani Program Sarjana dan satu tahun Program Magister. Apa bisa aku tanpanya? Dada terasa sesak menahan tangis.
“Kenapa? Bukankah kuliahmu sudah setengah jalan? Lalu bagaimana kelanjutannya jika kamu kembali ke Jakarta?” Aku berharap Althan membatalkan rencananya.
Terdengar Althan menghela napas panjang.
“Aku melanjutkan kuliah di Jakarta. Papa memintaku untuk kembali ke sana.” Althan menunduk.
Ya, aku tahu Althan tak mungkin menolak permintaan papanya. Dia ke sini awalnya juga hanya ingin kuliah S1 saja, tapi karena lebih nyaman berada di Malang dia pun melanjutkan Program S2. Entah, kenapa dia memberi kabar secara tiba-tiba?
“Hhmm, kamu nggak akan melupakan sahabatmu ini, kan?” tanyaku sambil tersenyum. Senyum yang dipaksa, karena dada benar-benar sesak.
Tak sanggup rasanya jika berpisah dengan orang yang dicinta. Meskipun dia tak pernah tahu apa yang kurasa.
“Nggaklah, masak aku lupa sama sahabatku yang super cerewet ini.” Althan menjawil ujung hidungku.
Aku terkekeh. Ah, Althan ... andai dia mengerti apa yang kurasa mungkinkah tetap akan meninggalkan kota ini? Namun, biarlah dia tak perlu tahu, akan kusimpan rapat dalam hati. Hanya aku dan Tuhan saja yang paham.
***
Aku menarik napas dalam. Suara kernet bus membuyarkan lamunan. Ternyata hari pun telah gelap. Dengan langkah tergesa naik ke bus. Suasana di dalam tidak begitu ramai, mungkin karena hujan jadi tidak banyak orang yang bepergian. Ini bagus, sehingga bisa memilih tempat duduk favorit. Aku melangkah menuju kursi di dekat jendela. Lalu, menghempaskan tubuh secara kasar. Melihat keluar, menikmati suasana kota di malam hari. Kerlap-kerlip cahaya lampu kendaraan terlihat begitu memesona, aku sangat takjub.
Di sini biasanya aku ditemani Althan sehingga bisa menghilangkan rasa jenuh. Meskipun sudah tidak bersama dia masih sering menghubungi, apalagi jika aku sedang berada di bus. Namun, semua sudah berubah sejak dia menikah. Ya, dia telah dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Ternyata ia disuruh kembali ke Jakarta karena akan dinikahkan dengan anak sahabat papanya. Jiwaku benar-benar hancur ketika mendengar kabar tersebut. Tak punya harapan lagi. Cintaku benar-benar telah kandas. Akan tetapi, aku bisa apa, karena bukan kekasih ataupun orang yang penting baginya. Hanya sekadar seorang sahabat.
Aku benar-benar terpuruk, tak sanggup menjalani kehidupan tanpa Althan. Di setiap sudut kota ini merasa seperti melihatnya, dia seolah selalu berada di sampingku. Hingga aku pernah hendak menghabisi nyawa sendiri, tapi sadar jika semua tidak akan berakhir. Masih ada lagi kehidupan di alam barzah, dan tak ingin menjadi manusia kafir. Akhirnya, perlahan mulai menata hidup kembali. Berhijrah ke jalan Allah, mencoba memperbaiki diri. Jodoh tak akan tertukar, sudah ditentukan oleh Sang Maha Cinta. Aku menghela napas panjang.
Setelah hampir tiga puluh menit sampailah di halte tempat tujuan. Bus berhenti tepat ketika hujan telah reda. Aku pun melangkah menuju pintu dan keluar. Lalu, berjalan menyusuri lorong menuju tempat kos.
Ya, aku tinggal di dekat halte hanya untuk mengenangnya. Entah, sampai kapan bisa menghapus namanya dari hatiku. Berharap secepatnya bisa menghilangkan jejaknya dari mata dan pikiran.
“Semoga kamu bahagia bersama keluarga barumu.” Aku bergumam sendiri.
Dengan kasar menyeka tetesan bening yang sedari tadi tak mau berhenti. Terus mengalir menganak sungai. Jiwaku telah kosong dan mati, meski raga ini masih bernyawa. Entah, kapan akan kembali hidup.
17 Januari 2019
Selesai
Biodata Penulis
Anna Noerhasanah dilahirkan di salah desa terpencil di wilayah Malang Selatan, 27 tahun lalu. Sejak menduduki bangku sekolah dasar suka sekali membaca dan mulai suka mengarang dalam bentuk karangan pendek. Sejak SMP mulai menulis artikel walaupun hanya dibaca oleh teman di sekolah saja. Mulai SMA mulai mencoba menulis cerpen. Menulis baginya adalah cara menyampaikan kebaikan pada orang lain.
Penulis bisa dihubungi di:
FB: Anna Noerhasanah.
IG: @AnnaNoerhasanah
Wattpad: @AnnaNoerhasanah
Email: Noerchann@gmail.com
0 Response to "#Kamis_Cerpen - Halte dan Kenangan - Tema Kandas - Anna Noerhasanah"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.