Kutatap jalanan yang mulai sepi dari pengendara yang lewat. Pepohonan rindang yang berfungsi untuk penghijauan itu membuat teduh bagi siapa saja yang kebetulan melintas. Terik matahari tak menyengat, sinarnya mulai pudar menandakan hari mulai sore. Lampu jalan dihidupkan secara serentak.
Diam, aku mematung. Bayangan kejadian tadi siang terasa begitu jelas di depan mata. Rupanya memori otak ini berfungsi dengan baik. Terasa melelahkan dan menyakitkan jika bayangan itu terlintas kembali. Ada rasa yang telah pergi menorehkan luka dalam kalbu.
Siang itu, Jojo akan datang menemuiku. Kebetulan, aku masih berada di taman kota, sengaja menyegarkan jiwa karena rutinitas pekerjaan dan tugas yang menumpuk. Sengaja menghilangkan penat sambil menjernihkan pikiran. Mungkin tak apa bagi seorang pekerja yang hanya libur satu hari dalam seminggu.
Memandang rumput yang hijau sambil duduk di kursi yang hanya muat untuk dua orang itu menjadi pilihan terbaik. Hitung-hitung refreshing. Sudah sepuluh menit berlalu, rupanya Jojo belum kunjung datang. Khawatir, itu sudah pasti. Kembali melangkahkan kaki menyusuri taman.
Aku kaget, tiba-tiba ada yang menutup mataku dari arah belakang. Rasa takut mulai menjalar. Tapi, harumnya parfum membuatku tersenyum. Aku tahu, itu pasti Jojo. Wewangian ini serasa tak asing, wangi parfum yang sama yang selalu dipakai Jojo saat aku memberikannya untuk yang pertama kali.
Kuraba tangan sebelah kiri, ada cincin yang melekat di jari manisnya. Ya, aku tak mungkin salah, ia Jojo sang pujaan hati.
"Jojo, ya?" tanyaku dan kurasakan ia mulai melepas tangannya dari netraku. Kutolehkan badan ini. Benar dugaanku, Jojo datang.
Tampan, bahkan sangat tampan dia hari ini mengenakan kaos oblong putih, celana jeans, dan dipadu padankan dengan jaket kulit. Sungguh mempesona. Rambut basah yang tertata rapi serta senyuman yang memikat membuat daya tarik bagi yang melihat. Tak salah, aku memilihnya menjadi kekasih jiwa.
Secara fisik penampilannya dengan postur tubuh yang tinggi, berambut lurus, berbadan layaknya atlet, muka yang oval, hidung mancung, dan kulit putih yang tentu saja membuat banyak wanita menyukai dan mengejarnya. Beruntungnya diri ini karena ia memilihku.
"Vi, aku ingin bicara. Duduklah!" perintahnya singkat. Kuperhatikan ia tampak serius tak banyak candaan seperti biasanya. Ada apa ini? Kulihat matanya yang memerah, aku penasaran karena ia selalu ceria. Kenapa hari ini terasa berbeda?
Dia duduk, aku mengikutinya. Kami masih sama-sama diam, sembari memandang hijaunya pepohonan. Tatapannya lurus ke depan. Aku yakin, ada sesuatu yang tidak beres.
"Jo, bicaralah! Kenapa kau hanya diam?" Ia menundukkan wajahnya, matanya bertambah merah seperti orang yang ingin menangis. Ke mana Jojo yang ceria? Aku rasa dihadapkan dengan Jojo dari sisi yang lain.
Kusentuh wajah penyemangat, ada air yang masih lengket. Kuusap hendak membersihkan tetesan air yang berasal dari netranya. Ia menoleh, kami saling berhadapan. Tapi sayang, ia sepertinya membisu tak mengucapkan sepatah kata pun. Bibirnya hanya diam seribu bahasa hanya air mata semakin turun membanjir.
"Jo ... bicaralah, bukannya kau yang ingin bicara tapi malah diam. Kau pernah bilang tak ada sesuatu pun di antara kita yang harus ditutupi. Apapun yang terjadi, kau harus katakan."
Kupandang wajah itu, mengambil selembar tisu dari tas, dan mengelap air yang dilarang keluar itu. Ia diam tak memberikan respon, rasanya aku sedang berbicara sendiri.
Akhirnya, ia membuka mulut, "Vi, kau harus janji, apapun yang akan kukatakan nanti kita akan tetap bersama," Ia mengambil napas sebentar, memandang wajahku dan aku hanya menganggukkan kepala singkat, lalu melanjutkan, "Mama ... Mama--"
"Mamamu kenapa Jo? Katakan yang jelas, apa beliau sakit?" tanyaku heran dengan perkataan sepotong demi sepotong yang keluar darinya.
"Mama ingin kita berpisah."
Mak jleb,
Kata-kata itu bagai petir di siang hari bolong. Singkat tapi mematikan. Aku tak percaya dengan ucapannya yang bagaikan racun.
"Ta ... tapi kenapa?" tanyaku penuh selidik. Jangan-jangan hanya akal-akalannya saja.
"Karena agama kita berbeda."
Jojo tiba-tiba memelukku untuk yang pertama kalinya. Ada desiran aneh yang datang, pelukannya terasa erat. Buliran air mataku jatuh, aku tak sanggup.
Haruskah aku memaksanya untuk terus bersamaku sementara ibunya melarang hubungan kami. Apakah aku boleh egois sementara anak lelaki harus tunduk kepada ibu, surganya.
Apakah cinta berlainan agama ini harus kandas?
Lampung, 18 Januari 2019
Biodata
Francisca Fefriana, seorang wanita lahir pada 27 tahun silam. Membaca dan menulis adalah hobinya sedari kecil. Jika ingin menghubunginya melalui akun:
FB : Francisca Fefriana
Email : franciscafefriana@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.