Semilir
angin berhembus mengibaskan helai demi helai daun kelapa di lereng bukit.
Sebenarnya tak banyak pohon kelapa di daerah ini, dataran tinggi dengan hawa
yang cukup dingin tak begitu cocok ditumbuhi pohon kelapa, hanya terhitung
beberapa batang saja di di kebun-kebun warga yang landai, lereng-lereng antara
bukit satu dan bukit lainnya.
Aku
tergopoh-gopoh mengikuti langkah kaki bapak, menyusuri setapak-setapak jalan
perkebunan dari bebatuan yang ditata ala kadarnya, ada yang runcing ada pula
yang sedikit lebih besar sehingga permukaan jalan menjadi tak rata. Belum lagi
harus menaklukkan jalan menanjak terjal yang akan kita dapati sedikit lagi.
“Kenapa
bapak tak jual saja sih kebun itu?” keluhku yang sudah kelelahan, meski baru
beberapa meter saja pendakian terjal yang kami lalui.
“Tuh kan, bapak juga letih!” sindirku seraya memandang raut wajahnya yang
perlahan dialiri keringat dengan hanya merespon seulas senyum kata-kataku.
Kelak anak-anak bapak siapa yang akan melanjutkan perkebunan ini, anak-anak
jaman sekarang gengsi jadi petani. Di negeri kita ini, petani adalah profesi
rendahan dan identik dengan masyarakat miskin, yah kecuali mungkin yang
terlanjur punya warisan berhektar-hektar dari kakek nenek. Meski begitu, lumrah
kebun-kebun, ladang menjadi sengketa yang berujung perang saudara sepeninggal
bapak ibu mereka.
Ladang
dan kebun para petani yang telah terbagi bersama sanak keluarga mereka berusaha
digarap seulet mungkin. Apa saja dan potensi apa saja yang mereka lihat akan
ditanamnya, meski perih pemerintah bahkan seringkali acuh tuk peduli pada
nasibnya, pedagang-pedagang pengepul yang seenaknya bermain harga, atau sistem
pajak lahan perusahaan-perusahaan besar yang kadang tak disadari mengelabui.
Yah, kita masih tetap berjuang, kalau memang Tuhan hendak beri rejeki-Nya,
pasti ada jalan.
“Atau,
bapak tukar dengan sawah, setidaknya beras masih lebih bagus ketimbang tanaman
cengkeh yang hanya akan semakin menyuburkan produksi rokok!” tambahku terus
mengomel lebih panjang sementara bapak terus saja menggerakkan langkahnya tanpa
peduli omelanku.
Kebun-kebun
cengkeh memang menjadi andalan para petani di sini, pohon-pohon kakao yang dulu
cukup diandalkan kini hampir habis ditebang, sejak mulai terserang hama
petani-petani tak mampu lagi mempertahankannya meski telah mencoba berbagai
cara, masalahnya tidak hanya buah yang menjadi hitam sebelum matang tapi juga
tikus-tikus pengerat seringkali menggagalkan pertumbuhan buahnya. Yang banyak
tersisa hanya pohon-pohon kopi yang ditanam menyeling di antara batang-batang
pohon cengkeh.
***
“Indah
sekali!” takjubku memandang berkeliling, sesaat setelah tiba di kebun bapak.
Terdapat
dua puluh batang pohon cengkeh yang ditanam bapak di lahan tak sampai sehektar
Ini.Tak seperti tahun kemarin, kali ini pohon-pohon cengkeh para petani berbuah
lebat, entahlah kemarin mungkin pengaruh musim dan cuaca yang tak stabil.
Semakin mendekat, aroma serbuk-serbuk
bunga cengkeh yang mulai bermekaran menyusup di balik indra penciuman. Seketika
aku kembali merenungi keluhanku sepanjang perjalanan tadi, hendak meralat opini-opini yang telah
kuungkap. Aroma cengkeh membuatku sadar,
biji-biji cengkeh kering yang mengandung minyak atsiri ini tidak hanya akan
menjadi bahan baku utama rokok, sejak dulu bahkan dikenal sebagai salah satu
rempah aromatik, hingga semakin berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan ia
dimanfaatkan sebagai obat-obatan, serta bahan parfum dan kosmetik.
“Ah,
mengapa aku jadi begitu anti terhadap cengkeh hanya karena amat membenci
rokok!” sesalku sembari menepuk jidat.
“Batang-batang
pohon cengkeh ini sudah semakin meninggi, tentunya semakin tahun berlalu jika
dirawat dengan baik ia akan semakin subur dan insya Allah berbuah lebat,
bukankah ini aset nak?” perlahan bapak memberiku pengertian. “Kebun adalah
kehidupan kita, jalan mencari makan, kebutuhan sandang dan papan hingga kalian
semua dapat bersekolah. Bapakmu ini petani yang amat mencintai dunia tani,
sawah ladang seperti perusahaan, mesti dijalankan dan dikelola, bahkan jika
lahan petani luas, tanamannya subur dan berbuah lebat malah biasanya
membutuhkan bantuan tenaga kerja. Hanya saja, menyebut kata karyawan jauh lebih
terpandang ketimbang menyebut seorang buruh tani. Itulah mengapa anak-anak
semua ingin sekolah dan bapak ibu mereka akan bekerja keras untuk pendidikan
mereka setinggi mungkin”.
“Iya juga!” sahutku membenarkan ulasan
bapak. Mengapa kita begitu mudah hendak jual tanah hanya karena tak lagi mampu
menggarapnya atau tenaga tak lagi mampu memetik hasilnya. Kita harus tetap
semangat memperjuangkan dunia tani, bukankah negeri kita negeri agraris? Sejak
dulu dikenal dunia dengan tanah suburnya, tempat berbagai macam tanaman buah
dan rempah bahkan datang dari negeri luar untuk dibudidaya di negeri ini oleh
para penjajah. Tetua-tetua seperti bapak
memang seharusnya sudah tergantikan, tapi sayangnya hanya segelintir saja
pemuda-pemudi yang punya perhatian terhadap lahan-lahan pertanian, dari sekian
ribu lulusan sarjana negeri ini pertahunnya, hampir semua ingin bergantung pada
kata PNS, yah hanya itu yang dianggap cukup menjamin masa depan hingga masa
tua. Sedikit sekali yang punya hasrat untuk kembali ke desa menggantikan
bapak-bapak mereka bertani, berinovasi dan berkreasi. Lulusan-lulusan ilmu
pertanian pun inginnya bekerja di kantor dengan setelan yang rapi berpadu
sepatu menggilapnya. Tak cocok sarjana-sarjana bergelut langsung dengan tanah dan
lumpur, pikirnya.
Bukankah
justru di tangan para sarjana yang tentunya berbekal segudang ilmu seharusnya
mampu menciptakan prospek pertanian masa depan yang berjaya? Di tangan
generasi-generasi yang katanya milenial, ditunjang kecanggihan teknologi dan sains,
Indonesia harus maju sebagai negeri agraria terdepan. Bukan lagi yang masih
impor beras, apalagi jika tahun-tahun di masa depan sawah-sawah kita terus
tertimbun pondasi bangunan-bangunan perumahan dan pertokoan. Ah, tak punya
sawah masih tetap bisa makan nasi bukan? Yah, bagi mereka yang berduit.
“Hei,
ikat talinya di sana!” sontak bapak membuyarkan lamunanku.
Dua batang pohon bambu yang ditebangnya
sebulan lalu itu dibuat sebagai tangga, dilubangi sisi kiri dan kanan dengan
aturan jarak yang rapi hingga ke puncak, patok-patok kokoh yang dipotong-potong
pendek lalu bapak masukkan pada masing-masing lubang sebagai anak tangga.
Setelah dililiti tali dan ditegakkan di batang pohon cengkeh bapak melemparkan
masing-masing ujung tali padaku,
“Ikatkan satu tali pada pohon itu dan
ujung yang lain pada pohon sana!” arahnya padaku. Aku sudah terbiasa dengan
pekerjaan ini, sejak studi strata satuku selesai, aku kembali ke kampung
halaman. Menengok honorer-honorer yang menumpuk di sekolah, bahkan ada yang
sudah belasan tahun, hingga untuk mendaftar CPNS pun sudah terbentur
persyaratan usia yang lewat 34 tahun.
Ah,
aku lemas membayangkan kata “Honorer”.
Ilmu
yang telah kuperoleh di bangku kuliah memang semestinya diabdikan di lapangan.
Sebagai seorang sarjana pendidik mestinya yah aku mengajar di sekolah. Tapi apa
daya, sekolah-sekolah sudah dipenuhi lulusan universitas negeri maupun swasta
yang tidak hanya ingin berbagi ilmu tapi juga menjejal peruntungan. Aku mundur, kupilih untuk menemani bapak
berkebun, meski aku bukan jebolan fakultas pertanian tapi aku lahir dan tumbuh
di lingkungan petani. Sejak kecil sepulang sekolah sering kubantu ibu membelah
buah kakao yang dipetik bapak dari kebun, hingga memetik biji-biji kopi yang
merah matang dan memanjat memetik bunga-bunga cengkeh dari tangkainya sudah
mahir kulakukan, yah bisa dibilang aku menjadi buruh tani bapak, diupah dengan
tidur dan makan di rumahnya, bahkan dipenuhi segala kebutuhan yang lain.
“Panjatlah
di sini! Sudah bapak tes tangganya, insyaa Allah aman.”
Perlahan
aku menaiki satu demi satu anak tangga tak sampai ke puncak, biasanya bapak
melarangku terlalu tinggi. Meski sudah bertahun-tahun menemaninya dalam
pekerjaan ini, ia masih tetap membuatku manja, “Tak usah terlalu tinggi, yang
bawah-bawah saja nanti bagian bapak memetik yang di puncak!”, “Jika sudah tak
kuat turunlah, biar bapak yang selesaikan!”, “Jangan mencoba menjangkau ranting
yang jauh, sudahlah, nanti kamu terjatuh!” Kalimat-kalimat itu sudah terekam
puluhan kali dalam memoriku.
“Bagaimana
dengan pendaftatran CPNS tahun ini, kamu tak ikut?” tanyanya di sela-sela
istrahat sembari menyeruput kopi hitamnya.
“Entahlah pak!” Aku selalu pesimis
ikutan daftar. Ribuan orang pastinya yang akan berjuang mengundi nasib di sana.
Meski selalu kudengar kata ini diucap orang-orang, “Cobalah, bagaimana mungkin
kamu tahu ada tidaknya rezekimu di sana jika tak pernah mencoba dan berusaha!” Tidak,
sepertinya aku lebih tertarik mengikuti kata-kata sebagain orang yang lainnya
lagi, “Ikuti kata hatimu, dan jajallah jalan passionmu!” Kalimat ini selalu
terasa menarik di benakku.
Dulu, sejak tamat sekolah menengah atas,
aku berhasrat mengikuti jejak kedua kakakku sebagai Aparatur Sipil Negara.
Kedua kakak laki-lakiku seorang polisi, makanya saat terbuka pendaftaran
penerimaan bintara polri kala itu, aku meminta izin ibu dan bapak untuk ikut,
yah postur tubuh yang tinggi salah satu modal yang bisa kuandalkan. Sayangnya,
bapak dan ibu sepakat melarangku, dalam image mereka kala itu, menjadi polwan
adalah pekerjaan yang berat. Mereka memang selalu menilaiku lemah. Yah, anak
bontot putri mereka ini memang selalu dicemaskannya.
Aku ingat kala itu, seorang teman
laki-laki dari desa sebelah ikut mendaftar dan alhamduillah ia lulus, tapi
kelulusan tidak hanya dilalui dengan rentetan tes uji, modal uang dari puluhan
hingga ratusan juta sudah menjadi rahasia umum. Untungnya bapak dari sang teman
punya beberapa petak lahan yang akhirnya harus dijual separuh untuk
mendanainya.
Yah
begitulah sekelumit permainan kotor segelintir penghuni negeri ini. Bahkan yang
sudah terdaftar sebagai calon pegawai negeri sipil pun untuk naik menjadi Pegawai
Negeri Sipil seringkali masih harus mengorek saku dalam-dalam. Meski
baliho-baliho besar yang terpampang di jalan-jalan kota besar terang sekali
menuliskan “Pandaftaran tidak dipungut biaya” tapi itu tak ada gunanya,
sekarang jamannya permainan uang, semua serba uang, uang yang bisa memenangkan
meski bisa pula menjatuhkan. Orang-orang desa yang tak tahu apa-apa, apalagi
bagi hanya seorang petani tak berpendidikan yang mengimpikan masa depan cerah
untuk anak-anaknya rela berjuang meski harus melepaskan kebun-kebun pencaharian
mereka demi anak-anak hidup lebih baik dengan profesi-profesi yang akan
mengangkat strata sosialnya.
“Lalu apa? Kalau begitu kamu kerja sama
bapak saja, biar bapak yang gaji!” ungkapnya sembari tertawa kecil.
Yah,
apa salahnya menjadi petani. Orang-orang hebat bagiku bukan sekadar yang punya
profesi terpandang atau berseragam rapi dan berkantong tebal. Tapi hebat itu
jika ia mampu mendengar kata hati, memperjuangkan passion dan memegang kuat
kejujuran, hebat itu jika ia mampu melihat potensi dan mencipta karya di sana,
hebat itu jika ia mampu tegap tegun dalam memperjuangkan mimpi dan harapannya,
dan hebat itu jika kedua orangtuanya, negaranya, dan agamanya mengaku bangga
padanya.
“Aku
punya cita-cita kok pak, punya impian dan harapan, dan pasti akan
kuperjuangkan!” balasku setelah mengusaikan lamunan.
Kembali
kupanjati anak-anak tangga, memetiki tangkai demi tangkai bunga cengkeh lalu
memasukkannya dalam kantongan kain yang kusampirkan pada tengkuk.
Kelak,
kita harus bangga menjadi petani, dari tangan-tangan generasi muda masa depan,
tanah subur sebagai citra negeri Indonesia akan membawa kejayaan.
***
Tentang penulis
Perempuan
kelahiran 5 Juni 1992 ini lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan. Ia
menyelesaikan studi Strata 1 di
Universitas Negeri Makassar 4 tahun lalu. Sejak studinya selesai ia kembali ke
kampung halaman, kesibukannya hanya berlatih menulis dan memperbanyak ilmu
dengan membaca serta membantu pekerjaan-pekerjaan ibu di rumah, seringkali pula
ia sibuk membantu ayah jika musim panen tanaman-tanaman kebunnya tiba. Tak
seperti pemuda-pemudi yang lain setelah selesai S1 biasanya sudah kerja di kantor
atau perusahaan, mengabdi sebagai tenaga honorer di sekolah, rumah sakit maupun
kantor-kantor pemerintahan atau melanjutkan studi ke strata yang lebih tinggi.
Baginya rezeki akan selalu ada jalannya selama kita tak melupakan ibadah kepada
Sang Pemberi rezeki itu sendiri, bukannya tak ada rencana masa depan atau tak
niat membagi dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperolehnya di universitas,
ia justru seorang yang punya ribuan mimpi, satu impian besarnya menerbitkan
sebuah buku telah ia wujudkan tahun lalu, sebuah buku religi berjudul “Ukhti
Hijrah Yuk” dan beberapa bulan kemarin ia bersama pemuda-pemudi di desanya
menggalakkan pendirian pondok baca untuk anak-anak di lingkungan desanya. Ia
masih punya impian-impian besar yang perlahan-lahan diwujudkannya.
Jumriah Enre dapat
dihubungi untuk kritik dan saran maupun sharing-sharing tentang konten
tulisannya melalui,
whatsApp :085850622002
Telphone :085396171158
Alamat :jln. Balakia D 137, Kec.
Sinjai Barat, Kab. Sinjai Sulawesi Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.