Cinta Dalam Diam (Part 1)
"Rasti, menurut kamu...cinta pertama itu apakah cowok yang pertama pacaran sama kita?" tanya Dhea yang tiba-tiba datang mengejutkanku.
"Hah? Aku gak tahu lah, Dhe..." jawabku sekenanya.
Aku sering mendengar perkataan orang tentang cinta pertama. Mereka bilang, cinta pertama akan selalu ada di hati kita, dan tak akan terlupa meski cinta pertama bukanlah yang terakhir untuk kita.
Aku sama sekali tidak percaya. Karena aku belum pernah mengalami yang namanya pacaran. Aku masih sekolah, jadi menurutku pacaran tidak terlalu penting karena harus fokus belajar.
"Rasti, kok bengong sih?" Dhea menyenggol lenganku ketika aku sedang asyik melihat pemandangan dari jendela.
Aku menoleh ke arah Dhea, dia sahabatku sejak memasuki asrama sekolah yang kini kutapaki. Menatap Dhea semakin lama, aku menjadi teringat sesuatu.
"Oh iya, Dhe. Kamu kenal gak, sama Bion? Tiba-tiba aku ingat, sepertinya kalian berasal dari daerah yang sama?" tanyaku menelisik.
Dhea mengerutkan dahi, "Bion?"
Aku mengangguk, "Iya, bapaknya guru. Dulu waktu SD kita sempat satu sekolah. Tapi setelah kelas lima, dia pindah. Sepertinya rumahnya di daerah kamu juga,"
Dhea tampak berpikir sejenak, kemudian menggeleng pelan, "Aku gak tahu, Ras. Emang kenapa?"
Aku kecewa mendengar jawaban Dhea. "Gak papa," jawabku sambil menggelengkan kepala.
Bion adalah idolaku ketika kecil. Sejak pertama dia masuk di SD-ku, dia selalu menarik perhatianku. Bahkan ketika ada anak laki-laki menggangguku, Bion dengan tegas mengusir mereka. Saat itulah, pertama kali aku mengagumi seseorang. Dan hal itu masih berlanjut hingga sekarang. Meski aku tidak tahu keberadaannya, aku percaya jika suatu saat nanti akan dipertemukan kembali dengan sosok yang kukagumi itu.
*****
2 tahun kemudian...
"Gak terasa ya, Ras. Kita udah kelas dua belas. Sebentar lagi kita lulus. Kamu mau lanjut kuliah di mana?" tanya Dhea yang sedari tadi memandangi suasana di luar jendela.
Aku mengempaskan badan di sofa. Dhea benar juga. Sepertinya kami baru saja bertemu kemarin, tapi sebentar lagi kami pisah lagi. "Gak tahu, Dhe. Belum pasti mau kuliah apa enggak. Aku pengin kerja aja, sih,"
Dhea menoleh ke arahku, "Gak kuliah dulu?"
Aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban atas pertanyaan Dhea. Dhea menaikkan sebelah alisnya kemudian menatap kembali pemandangan di luar.
"Dhe," aku teringat kembali tentang pertanyaan yang kulontarkan kepada Dhea dua tahun lalu. Aku belum yakin dengan jawabannya waktu itu. Tapi aku baru ingat untuk menanyakannya lagi sekarang. "Kamu beneran gak kenal sama Bion, ya?" tanyaku.
Dhea kembali menoleh ke arahku, "Bion yang mana sih, Ras?"
Aku beranjak dari sofa dan menghampiri Dhea.
"Dulu Bion murid baru di SD aku. Menurutku, dia anaknya beda dengan yang lain. Makanya sampe sekarang aku kagum sama dia dan berharap banget masih bisa ketemu," aku menjelaskan sambil tersenyum sendiri membayangkan sosok Bion kecil. "Tapi waktu kelas lima, dia pindah lagi. Ngikut bapaknya yang pindah kerja. Aku denger, nama tempat tinggalnya sama dengan tempat tinggal kamu. Makanya, waktu kamu sebutin nama daerah kamu, aku langsung inget dia."
Dhea mengangkat sebelah alisnya. Raut wajahnya lucu ketika dia merasa kebingungan memikirkan sesuatu.
"Nama lengkapnya Biondi Alfian. Bapaknya guru,"
"Tunggu-tunggu! Jadi maksud kamu Biondi.... Tetangga aku ada kok, Biondi. Bapaknya guru, rambutnya agak keriting. Tapi kayaknya Biondi gak keriting deh rambutnya. Kalo Bion rambutnya ikal kan yah?" kata Dhea sumringah.
Diluar dugaan, ternyata benar Dhea mengenal Bion. Rasanya senang sekali mendengar perkataan Dhea yang ternyata bertetangga dengan Bion.
"Ya ampun, Dhe... Kenapa kamu baru ngeh sekarang? Aku penasaran dari dulu, sejak kita masih kelas sepuluh..." aku menutup muka dengan kedua tanganku.
Dhea terkekeh geli. Menertawakan dirinya sendiri yang kurang tanggap terhadap pertanyaanku waktu itu. "Sorry, Rasti. Waktu itu aku gak kepikiran. Aku gak nyangka loh. Kalo ternyata, cowok yang kamu idam-idamkan itu adalah Biondi."
Aku menarik lengan Rasti dan mengajaknya duduk di sofa. "Terus-terus, Biondi tu orangnya kayak gimana, Dhe?" tanyaku penasaran.
"Ya gitu, dia emang baik, ganteng, terus apa ya..." Dhea menggaruk-garuk kepalanya. "Aku gak terlalu kenal dia sih, Ras. Tapi aku sering lihat dia ke masjid deket rumahku."
"Kamu ada nomor hapenya gak, Dhe?" tanyaku buru-buru.
Dhea menggeleng. Aku mengembuskan napas pelan.
"Tapi kalo kamu mau minta nomor hapenya, aku bisa mintain nanti kalo kita liburan. Atau, kamu mau nitip salam?" lanjut Dhea.
"Boleh, boleh..." kataku bersemangat.
*****
Hari ini sekolah libur. Di Asrama juga tidak ada kegiatan. Dhea menjadwalkan pertemuanku dengan Bion, karena aku belum bisa menghubunginya lewat telepon.
Aku menunggu Bion di depan rumah makan yang biasa aku datangi bersama Dhea. Dhea menjanjikan kedatangan Bion jam tiga sore.
Dengan perasaan harap-harap cemas aku menunggu kedatangan Bion. Aku tidak sabar ingin bertemu dengannya.
Satu jam berlalu, Bion tak kunjung datang. Aku pun melangkah gontai menjauhi rumah makan. Hari semakin sore, aku berniat pulang.
Dalam perjalanan, aku seperti melihat Bion. Aku berpapasan dengan laki-laki yang mirip sekali dengan Bion kecil. Laki-laki itu mengendarai motornya pelan. Hatiku mengatakan itu Bion. Aku menoleh untuk memastikan. Tetapi laki-laki itu terus melaju dengan sepeda motornya.
Aku menghela napas panjang. Mungkin belum saatnya aku dipertemukan dengan Bion.
*****
Liburan telah usai. Aku kembali ke asrama.
"Rastiii..." Dhea berlari mendekatiku. "Gimana waktu itu? Udah ketemu, sama Bion?" tanyanya penasaran.
Aku menggeleng pelan.
Dhea menaikkan sebelah alisnya. "Masa sih?" Dhea tak percaya.
Aku mengangguk, "Kenyataannya gitu, Dhe. Aku udah nunggu dia sejam tapi dia gak datang."
"Masa sih, Ras? Dia bilang, dia mau datang kok,"
"Dia bilang gak, mau datangnya jam berapa?"
"Jam empat, kan?"
"What?" Aku terkejut mendengar ucapan Dhea. "Bukannya kamu nyuruh aku ke lokasi jam tiga, ya?"
Dhea menepuk dahinya, "Jam empat, Ras...jam empat."
"Ya ampun, berarti yang aku lihat di jalan tu beneran Bion dong..." gumamku.
"Kamu lihat Bion di mana?" tanya Rasti penasaran.
"Waktu itu aku nunggu Bion gak datang-datang, jadi aku pulang. Waktu lagi jalan, aku kayak lihat Bion naik motor ke arah berlawanan. Tapi waktu aku tengok, dia gak berhenti. Dia tetep jalan aja..." jawabku setengah kecewa.
"Kamu, sih...gak perhatiin waktu aku bilang ketemunya jam empat. Gak sabar banget ya, yang pengen ketemu pujaan hatinya..." celetuk Dhea.
Aku hanya menunduk lesu.
*****
Besok tanggal merah, asrama libur. Jadi hari ini semua penghuni asrama bersiap-siap pulang.
"Salam ya, buat Bion," kataku sambil membereskan tas.
Dhea menganggukkan kepalanya, "Iya, tenang aja. Besok mau ketemuan lagi, gak?"
"Setelah aku pikir-pikir, gak usah aja kali ya. Takut ketahuan Ibu. Aku gak dibolehin ketemuan sama cowok di luar rumah. Kata Ibu, kesannya kayak cewek gampangan," jawabku dengan berat hati.
"Kalo gitu, nanti aku suruh Bion main ke rumah kamu aja, ya?" usul Dhea.
Aku mengerutkan dahi, "Ada-ada aja kamu, Dhe. Dia mana tahu rumahku..."
"Lah kalo Bion mau, kenapa enggak?" Dhea berkata dengan yakinnya.
Aku diam, berpikir sejenak. Sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang ingin kulontarkan kepada sahabatku itu. Namun aku menahan diri.
"Gak usah disembunyikan, kalo sebenernya kamu kepengen banget ketemu dia..." Dhea mengejutkanku karena tiba-tiba menepuk pundakku.
Aku mengerutkan dahi, "Emang kelihatan banget, ya?" Dhea mengangguk, "Padahal aku udah berusaha keras menahan diri untuk gak bertanya-tanya lagi tentang Bion sama kamu," kataku sembari menunduk pelan.
Dhea merangkulku, "Mungkin, dia cinta pertama kamu, Rasti."
Reflek aku menoleh ke arah Dhea. Dia seolah bisa membaca pikiranku, tatapan mataku, entahlah. Mungkin karena kita selalu dekat, dan aku adalah tipe orang yang mudah ditebak.
Benarkah yang dikatakan Dhea tadi? Benarkah kalau Bion cinta pertamaku? Sedangkan aku belum tahu, apa arti cinta yang sering kami bicarakan itu.
Bersambung dulu ya...
Trims untuk yang mau baca. Ditunggu kritik dan sarannya yang membangun.
By: Setya Ai Widi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.