Rabu, 30 Januari 2019

Puisi - Luka Dalam - Diksi Pradipta






Luka Dalam

Waktu ke waktu
Masa ke masa
Serasa cepat berlalu
Entah apa yang kau pikirkan
Hingga membuatku penasaran
Hampa, kesal, dan amarah yang bergejolak
Itulah yang kurasakan
Menunggu jawaban yang tak pernah terbalas

Detik demi detik
Kumenunggu
Tetapi apa yang kudapatkan
Sikap yang dingin

Sekian lama kumenunggu
Hanya mendapat jawaban itu
Hatiku hancur seketika
Kecewa berat kurasakan

Kuingin lampiaskan amarah ini
Namun apa dayaku
Aku hanya sendiri di tengah keramaian

Apa yang kau pikirkan selama ini
Hingga kau tega
Khianati janji kita selama ini
Bertahun lamanya aku berusaha
Menjadi seperti yang kau inginkan
Inikah balasanmu kepadaku


Biodata



Nama saya Diksi Pradipta. Lahir di Wonosobo 3 Maret 2000. Alamat Ngadikusuman RT 21 RW 08. Saat ini menjadi siswa kelas 12 Bahasa 2 di SMA Muhammadiyah Wonosobo. Di SMA Muhammadiyah saya mengikuti Ekstrakurikuler Jurnalistik dan Ekstrakurikuler Menjahit. Di Ekstrakurikuler Jurnalistik saya mendapatkan pengalaman yang sangat banyak dalam dunia tulis menulis. Saya sering menulis puisi untuk mengisi waktu luang.


#Jumat_Cerbung - Cinta Dalam Diam (part 3) - BAB III (Hati yang Berbunga-bunga) - Setya Ai Widi - Sastra Indonesia




Pagi ini aku kembali ke sekolah. Matahari bersinar cerah. Burung-burung berkicau dengan merdunya, seolah mereka tahu tentang hatiku yang sedang berbunga-bunga.
Pertemuanku dengan Bion kemarin, membawa kebahagiaan tersendiri yang belum pernah sekalipun kualami. Kurasa, Dhea memang benar. Sepertinya aku sedang jatuh cinta.
"Rastiii ..."
Aku menoleh kesana-kemari, mencari sumber suara yang baru saja kudengar. 
Seseorang melambaikan tangan ke arahku kemudian berlari kecil menghampiriku.


"Kamu beda, hari ini," seloroh Nuri. Teman seangkatan tapi beda kelas denganku.
"Beda gimana?" tanyaku bingung.
Nuri tertawa kecil. "Kamu terlihat lebih semangat dari biasanya," katanya kemudian.
"Masa, sih?"
Nuri mengangguk. "Pasti karena laki-laki tampan yang kemarin datang ke rumah kamu, ya?" godanya. Yah, selain teman beda kelas, aku dan Nuri bertetangga.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil tertawa mendengar ucapan Nuri. "Laki-laki tampan," kataku membenarkan.
"Yaaa ... begitulah," sahut Nuri.
"Dia temenku waktu SD. Kita sudah lama banget gak ketemu, terus dia main deh ke rumah," kataku penuh semangat.
Nuri manggut-manggut. "Tapi beneran loh, Ras. Cowok kemarin tuh lumayan juga buat jadi gebetan," celetuk Nuri.
"Gebetan siapa? Nuri gak boleh deketin dia, kali. Dia gebetan Rasti, loh," tiba-tiba Dhea muncul dari belakang dan mensejajarkan langkah denganku.
"Oooh ... pantesan Rasti lebih semangat hari ini. Ternyata, yang datang kemarin itu gebetannya," kata Nuri sambil terkekeh.
"Jangan keras-keras ngomongnya, takut jadi gosip," sahutku.
Kami bertiga pun tertawa seraya berjalan menuju kelas.

*****
Kuhanya diam, memendam, dan menahan,
Segala kerinduan, memanggil namamu,
Di setiap malam, ingin engkau datang,
Dan hadir di mimpiku, rindu ...


Terdengar MP3 dari ponsel Dhea yang tiba-tiba mengingatkanku tentang Bion. Kubuka jendela kamar asrama yang menghadap ke pemukiman, kulihat lampu gemerlapan menghiasi gelapnya malam.
"Eh, Ras, kemarin gimana? Bion orangnya baik, kan?" Dhea membuka pembicaraan. Tangan dan matanya masih sibuk berkutat dengan Kamus Bahasa Inggrisnya yang tebal.
Aku mengangguk pelan. Sepertinya Dhea tak memperhatikan.
"Dia ganteng, kan?" Dhea bertanya lagi.
"Iya, Dhea ... dia baik, ganteng," jawabku tanpa sadar, sambil menerawang membayangkan sosok Bion.
"Jadi gimana? Kamu tambah suka sama dia, ya?"
Aku menoleh ke arah Dhea yang tertawa karena berhasil menggodaku.
"Menurut kamu?" tanyaku sedikit malu.
"Ya jelas, jawabannya pasti 'iya'."
Kulihat, Dhea masih mengerjakan tugas. Aku pun kembali menutup jendela.
"Kok ditutup lagi?" tanya Dhea sambil mendongak ke arahku.
"Biar kamu fokus ngerjain tugas. Masa iya, kamu nanyain Bion terus," celotehku asal.
"Lagian mau nanyain apa kalo bukan Bion? Dia kan lagi jadi trending topic kita belakangan ini," Dhea terkekeh.
"Iya deh, iya .... Hari Minggu besok, suruh Bion datang lagi, yah? Tapi jangan bilang kalo aku yang nyuruh," kataku seraya merebahkan diri di pembaringan.
"Idih, gengsi nih ceritanya?"
"Bukan gengsi, Dhe. Tapi malu," kataku sambil menutup muka dengan selimut.
"Iya deh, nanti aku bilangin kalo ketemu," jawab Dhea membuatku semakin semangat.
Dalam hati, aku hanya berharap. Semoga Bion masih sendiri. Dalam arti kata, belum punya pacar. Tapi setelah pertemuanku dengan Bion kemarin, aku tidak yakin kalau dia belum punya tambatan hati. Aku takut hatinya telah ada yang memiliki.

Bersambung ....

29 Januari 2019

Biodata

Setya Ai Widi, si penulis amatir yang masih harus banyak belajar.

Mohon kritik dan sarannya yang membangun ya, terima kasih.

Selasa, 29 Januari 2019

#Sabtu_Tema - Cerpen - Berubah Dalam Istikamah - Francisca Fefriana - Sastra Indonesia




Berubah Dalam Istikamah

Hujan datang mengundang insan untuk segera menyelesaikan aktivitas dan segera pulang. Rupanya air bercampur karbon yang turun dari langit itu selalu membawa kesejukan bagi penduduk bumi yang sudah satu bulan ini merasakan panas matahari yang luar biasa.
Aku baru saja tiba di kampus sejak tetesan air dari angkasa itu turun. Hari ini aku memakai hijab instan hitam yang sesuai dengan warna rok yang kukenakan. Banyak bola mata yang melirikku. Aku jadi salah tingkah. Entahlah, rasanya seperti seseorang yang melakukan kesalahan.
Pandangan netra mereka begitu tajam menusuk jiwa yang baru saja berhijrah ini. Kemarin, aku telah berpindah agama di sebuah Kantor Urusan Agama tanpa sepengetahuan pihak keluarga. Keputusan itu kuambil murni karena keinginanku sendiri, tidak ada tekanan dari siapa pun. Tapi sayangnya, aku belum berani mengutarakannya di hadapan keluarga.


Hari ini, aku mulai menjalankan salah satu perintah Allah yang tertera dalam Al-Qur'an yaitu dengan memakai kain penutup kepala. Hijab itu berfungsi sebagai penutup aurat wanita muslim. Berbagai respon dari teman-teman mulai muncul berdatangan satu per satu.
"Loh, Vivi bukannya non muslim, kenapa pakai hijab?"
"Vivi pakai hijab? Mau bikin pencitraan?"
"Orang aneh, dia pikir pantes gitu pakek hijab!"
"Dia pindah agama kah?"
"Ngapain juga pakek hijab? Orang biasanya juga pakeknya rok pendek, cih!"
"Agama itu bukan permainan yang bisa seenaknya saja diganti-ganti tiap saat!"
Tidak kupedulikan cibiran dari orang-orang yang tidak sependapat denganku. Aku berlari masuk ke dalam kelas yang kebetulan masih sepi. Duduk di pojok ruangan persegi panjang, lalu kutundukkan wajah ini. Buliran bening perlahan mulai menetes. Kata-kata yang keluar dari lisan mereka terlalu pedas, menyakitkan.
"Ya Allah, Ya Rabbi, kuatkanlah hamba," ucapku pelan.
Aku menangis dalam diam, memegang hijab tidak berdosa ini. Apa salah aku memakai kain ini sampai-sampai mereka menghakimi? Tidak berselang lama, terdengar suara gagang pintu. Sepertinya, ada orang lain yang hendak masuk.
Tanpa menunggu terlalu lama, segera kuhapus air yang masih melekat dengan sempurna di wajah. Aku tidak mau ketahuan jika aku menangis. Kuangkat kepala ini, penasaran siapakah yang akan masuk. Suara sepatu mengagetkanku, rupanya Intan, salah satu teman dekat.
Intan mulai duduk, pandangannya menyusuri setiap sudut ruangan. Aku tertangkap basah sedang mengelap pipi menggunakan hijab. Ia mulai mendekatiku, tidak percaya jika yang dilihatnya adalah aku.
Tanpa banyak tanya, ia memegang pundak kemudian memperhatikanku. Rupanya, Intan penasaran dengan hijab yang kupakai. Aku menjawab, dan ia mendengarkan sambil sesekali menatap. Suara lembutnya yang khas memberikan semangat dan motivasi. Kemudian ia merangkul dan menguatkan jiwaku yang terguncang.


Perlahan, ia menuntunku untuk duduk di kursi warna cokelat tua itu. Ia bagaikan air yang memberikan kesejukan dalam tanah gersang.

Kami sama-sama terdiam, lalu ia melanjutkan ucapan, "Vi, tetaplah istikamah dalam menjalankan agama yang kau yakini. Aku percaya kau wanita yang hebat, mampu untuk tegar dan ikhlas dalam hijrahmu. Aku mendukungmu."

***


Hari-hari kulewati seperti biasa dan Intan mulai mengajariku banyak hal tentang sholat dan puasa. Aku bersyukur karena memiliki teman yang baik hati dan sabar. Sejak saat itu, aku mulai sholat dan menjalankan perintah-perintah yang sesuai dengan syariat agama walau masih sembunyi-sembunyi dari keluarga. Biarlah, Allah menguatkan hati dan keyakinan sesuai dengan kehendak-Nya. Aku percaya, suatu saat nanti akan ada jalan yang terbaik dan aku harus istikamah dalam menjalankan perintah-Nya.



26 Januari 2019

Biodata

Francisca Fefriana, seorang wanita yang lahir pada 27 tahun silam. Ia mempunyai hobi membaca dan menulis. Untuk berkomunikasi dengannya silakan hubungi akun di bawah ini:

FB      : Francisca Fefriana
Email  : franciscafefriana@gmail.com

Puisi - Cinta Dalam Diam - Mei Bulan Safitri




Cinta Dalam Diam


Raga ini terasa sangat berat untuk bangkit
Seperti tertimpa beban yang sangat berat
Merasakan sesak napas
Sulit untuk bergerak

Hanya menangis yang dapat kulakukan
Menangis dalam diam tanpa kau ketahui
Aku yang berjuang dan merasakan sakit
Tapi dia yang kau perjuangkan dan obati dengan kasih sayang

Lalu apa kabar denganku yang lemah ini?
Sungguh bodoh diriku
Memperjuangkan pria yang jelas tidak mencintaiku
Aku bodoh bukan? Bahkan sangat bodoh

Aku menghabiskan banyak uang untuk sekolahku
Mengasah otak dengan sekolah hingga menjadi lulusan sarjana
Tapi ketika mengenal cinta?
Aku menjadi gadis yang bodoh dan tuli

Miris, sangatlah miris
Gadis yang masuk di dalam kategori kelas pintar
Tapi ternyata bodoh soal cinta
Memang benar cinta membuat orang menjadi bodoh

Banyuwangi, 24 Januari 2019

Biodata



Mei Bulan Safitri. Akrab disapa dengan panggilan Mei. Lahir 15 tahun yang lalu. Tepatnya, Surabaya, 7 Mei. Saat ini tinggal di Kota Banyuwangi, Jawa Timur. Aku duduk di bangku kelas X. Saat ini aku bersekolah di SMK Kesehatan yang ada di Banyuwangi, mengambil jurusan Farmasi. Aku sangat menyukai kesunyian, dan senja. Bagiku keduanya sangatlah indah. Aku memiliki hobi melukis, menulis, membaca, dan juga memasak. Aku seorang gadis yang sangat suka marah-marah tidak jelas, aku memiliki dua adik perempuan. Cita-citaku ingin menjadi seorang dokter, model, dan penulis terkenal di Indonesia. Karyaku untuk novel dapat di lihat di wattpad https://my.w.tt/lsI51NKkJT dan untuk quotes bisa di lihat di instagramku @meybulansafitrii. Terima kasih.



Senin, 28 Januari 2019

Resensi Buku Mata Suami Mata Istri - Lenni Ika Wahyudiasti - Sastra Indonesia






Berkaca pada Pernikahan yang Tak Selalu Sempurna

Judul                            :  Mata Suami Mata Istri
Penulis                         :  Aveus Har feat. The Labitans
Penerbit                        :  AE Publishing, Kepanjen, Malang
Cetakan                       :  Pertama, Oktober 2018
Tebal                           :  vi + 171 halaman
ISBN                           :  978-602-5915-21-5   
Peresensi                     :  Lenni Ika Wahyudiasti

Hanya karena dongeng Cinderella diakhiri terlalu dini, dengan mudah kita menyimpulkan bahwa pernikahan Cinderella adalah pernikahan yang sempurna. Pada kenyataannya, kita tahu, pernikahan hanyalah sebuah titik awal cerita baru yang kisahnya belum kita tahu. Sebuah misteri yang membentang bersama waktu, (hal. iii).

Untaian kata pada paragraf pembuka halaman pengantar buku bersampul putih ini seperti memaksa saya untuk tak menghentikan niat membaca seluruh kisah di dalamnya hingga tamat. Alhasil, enam belas cerpen yang tersaji di antologi ini berhasil membuat saya terkesima lantaran kisah-kisah seputar problematika  rumah tangga dua anak manusia tersebut ditulis dengan gaya bertutur yang tak biasa. Sang penulis, Aveus Har dkk., berkisah dengan amat lugas dan sesekali penuh ironi untuk melukiskan kehidupan perkawinan tokoh-tokoh---yang kebanyakan merepresentasikan keberadaan kaum marjinal yang lugu dan naïf, yang terwakili dari nama-nama (maaf) ndeso mereka, seperti: Karyamin, Sukemi, Sutinah, Romlah, atau Marsinah---dalam cerpennya. Penulis kelahiran Pekalongan ini juga tak merasa risih menyisipkan narasi dan dialog ‘berani’ di beberapa bagian untuk mempertajam ironi ketidaksempurnaan hubungan suami-isteri yang hendak disampaikannya. Tak heran bila di sampul depan buku tertera tulisan “18+” sebagai penanda bahwa buku yang berkisah tentang ‘aneka masalah di atas kasur’ ini sebaiknya dibaca oleh mereka yang telah cukup umur, bukan mereka yang masih ‘bau kencur’.

Melalui belasan cerpen bernada getir, beberapa di antaranya bernuansa satire dan hasil kolaborasinya dengan sejumlah penulis yang tergabung dalam komunitas literasi bernama Keluarga Labita (The Labitans), Aveus Har seolah hendak berpesan bahwa problematika dalam sebuah pernikahan amat beragam dan penuh warna. Ia bisa muncul di manapun dan kapan saja, bahkan sejak malam pertama! Barangkali kisah nestapa  seorang pemain biola yang tak pernah mampu memberi nafkah batin sang istri sejak malam pertama pernikahan mereka hingga sang maut datang menjemput berbilang tahun kemudian, bisa mewakili hal ini.

Namun, ranjang pengantin mereka menyimpan cerita pendakian yang tak pernah sampai puncak. Ia ingat, ia menangis saat itu. … Kecelakaan masa remaja telah merusak kelelakiannya. Apalah artinya laki-laki tanpa kelelakian sebagaimana lampu yang tak punya arti tanpa pijar? Namun, layakkah perempuan itu mencari hujan dari laki-laki lain untuk tanahnya yang meranggas? (“Ia Sedang Memainkan Biola”, hal. 143-145).

Sesuai judul buku, cerpen-cerpen keren di antologi terbitan AE Publishing ini mengupas beragam problematika pernikahan dari netra kedua pelakunya, suami dan istri. Masalah ‘di atas ranjang’---yang dirasa tabu buat sebagian orang---mendominasi kisah-kisah yang terangkum di sini. Pergulatan batin seorang istri yang tak pernah merasakan kebahagiaan saat ‘berhubungan’ dengan suaminya lantaran keegoisan sang suami terekam cantik dalam cerpen unik bertajuk “Centini Ingin Terbang Tinggi”, sementara kisah kesadisan suami di atas dipan yang berujung pada upaya perlawanan mengerikan sang istri bisa kita temukan dalam “Perempuan Bersuamikan Setan”.

Marsinah sudah tak kuasa lagi memendam perasaan itu. Sakit yang begitu mampu membuat hatinya terbujur kaku. Ia gelap mata. … Geligi Marsinah bergemeretak. Ketika laki-laki itu terlentang kelelahan, Marsinah bangkit, melupakan rasa sakit dan tulang-tulang yang berderit. Ia beranjak ke dapur. Dan kembali dengan tangan menggenggam arit, (hal. 140-141).

Selain problema ranjang, agaknya gumpalan cemburu dan aroma perselingkuhan dalam kehidupan perkawinan masih menjadi tema cerita yang tak pernah usang. Masalah  seputar dua hal tersebut diangkat dan dikemas dengan tak biasa oleh penulis dan rekan-rekannya dalam berbagai kisah. Ada cerita tentang kecemburuan istri pada suaminya gegara bertetangga dengan perempuan malam dalam “Menjadi Kucing”,  kisah perselingkuhan suami lantaran tuntutan berlebihan sang istri dalam “Lipstik Artis dan Gincu Sukemi”, penyelewengan istri dari sudut pandang keduanya dalam “Laki-laki Pelupa di Hari Ulang Tahun Pernikahan”, “Perempuan Rumah Merah”, dan “Ia Sedang Memainkan Biola”, pun cerita tentang murkanya seorang istri yang mendapati perselingkuhan sesama jenis sang suami dalam “Rahasia Bantal”.   

Secara keseluruhan, cerpen-cerpen tentang kehidupan suami-istri di buku antologi setebal 171 halaman ini tersaji dengan unik dan berbeda dalam diksi dan pilihan majas yang khas. Salah satu kekhasan gaya berkisah Aveus Har adalah kegemarannya menggunakan diksi ‘perempuan’ sebagai  pengganti kata istri dalam sejumlah cerita. Pemilihan judul seperti “Memahami Perempuan”, “Perempuan Rumah Merah”, “Perempuan Bersuamikan Setan”, dan “Perempuan Tua dan Suratnya” bisa menjadi bukti. Begitu pula yang akan kita jumpai dalam beberapa narasi berikut ini.

Tentu saja, meskipun kelak kau dan perempuanmu membuka rumah makan, segala tetek-bengek akan dikerjakan oleh karyawan sehingga perempuanmu tak akan merasa dijadikan romusha dan kau tahu perempuanmu akan selalu bergairah menyambut rudal tempurmu sehingga ia tak akan pula merasa dijadikan jugunianfu, (“Tiga Nasihat Laki-laki Lansia untuk Pernikahan Bahagia”, hal. 35-36).
 
Laki-laki itu tahu ketika hari-hari mereka telah setawar air sumur, gula-gula dari mantan pacar perempuan itu menjadi candu yang dicerecap perempuannya. Laki-laki itu terluka, tetapi apalah dia bagi pohon yang meranggas? Ketika perempuannya muntah-muntah di beberapa pagi, ia tahu hujan dari laki-laki lain itu telah membawa kesuburan bagi tanah perempuannya, (“Ia Sedang Memainkan Biola”, hal. 145).

Dari sisi kerapian penulisan naskah, nyaris tak ditemui typo berarti di seluruh kisah. Kalaupun ada, mungkin dugaan kesalahan pencantuman nama tokoh Sutinah dan penyebutan istilah “anonoh” yang saya dapati dalam sepenggal narasi pada cerpen “Menjadi Kucing” adalah secuil aroma typo yang menguar tipis di buku berdimensi 13 x 19 cm ini.

Lalu, suatu ketika Karyamin melihat Sutinah pulang, dini hari (dan Karyamin seperti biasa sedang melepas suntuk dari naskah cerita yang sedang digarapnya---ia seorang novelis) dan mereka hanya saling lempar senyum dan pandang (sebagai sopan santun belaka) dan istri Karyamin telah diam-diam mengawasi suaminya dari celah tirai jendela. Pecah perang kemudian: sang istri mencerca seolah-olah Karyamin tertangkap basah berbuat anonoh, sedangkan Karyamin mencaci karena istrinya sungguh perempuan yang sulit dibahagiakan.
Sutinah masuk kamar setelah mengancam, “Awas kamu!”
Karyamin menyusul kemudian. Namun, pintu kamar telah dikunci dari dalam. Karyamin berpikir lebih baik ia menjadi kucing saja, dan memangsa ikan menggelepar bernama Sutinah. Kehendak itu tidak terwujud seketika. Karyamin masih ragu. Karyamin maih malu. Namun, setiap kali istrinya mecucu, tekadnya menjadi kucing menggeser ragu dan malu, (hal. 63-64).

Pertanyaan mengelitik dari kutipan narasi yang saya rasakan kejanggalannya ini adalah, “Siapakah sebenarnya yang bernama Sutinah? Istri Karyamin atau tetangga mereka yang berprofesi sebagai ‘kupu-kupu malam’? Atau, jangan-jangan istri Karyamin dan si ‘perempuan malam’ tersebut sama-sama bernama Sutinah?” 
 
Terlepas dari dugaan kekeliruan penyebutan nama tokoh dan istilah tersebut, harus saya akui bahwa meski hanya cerita fiktif yang notabene hasil olah imajinasi si penulis, seluruh kisah dalam buku ini adalah potret nyata problematika kehidupan suami-istri yang bisa kita temukan di sekitar kita. Problema tersebut akan selalu hadir dan mengalir bagai air yang sejatinya bisa kita jadikan cermin penting meski terkadang tak selalu bening. Oleh karena itu, kendati sepakat dengan endorsement seorang ibu muda bernama Khopipah yang tersemat di sampul belakang bahwa pernikahan terkadang bukanlah akhir sebuah penantian panjang para jombloers, namun mungkin pula awal sebuah penderitaan berkepanjangan, saya punya pendapat berbeda soal perkawinan bahagia. Menurut saya, kebahagiaan pernikahan selamanya hanya akan menjadi  impian yang tak tergenggam bila ia tak diperjuangkan. Pernikahan bahagia hanya serupa gelar juara yang takkan pernah disandang bila kita tak berjuang untuk memenangkannya. Karenanya, membaca dan berkaca pada kehidupan perkawinan yang tak selalu sempurna dan bahagia di buku ini bisa menjadi langkah awal kita memperjuangkan kebahagiaan pernikahan  yang kita impikan.

Bagaimana dengan Anda?


---oo000oo---


Biodata Peresensi



Lenni Ika Wahyudiasti, seorang ibu penyuka aksara di Surabaya yang saat ini tengah bertugas di belahan bumi bernama Sulawesi. Sejumlah tulisannya telah tersebar dalam seratus dua puluhan buku antologi bersama, hasil berbagai event literasi yang diikutinya sejak Februari 2014. Beberapa di antaranya menjadi juara, termasuk di event literasi bergengsi Nabawia-LIPIA Madinah tahun 2014, dua tahun berturut-turut menyabet gelar juara pertama Lomba Karya Tulis Inspiratif dalam rangka Hari Pabean Internasional pada tahun 2014 dan 2015 serta beragam lomba literasi lainnya di tahun 2016 dan 2017. Selain itu, ia juga menjadi kontributor utama di sejumlah proyek literasi  di lingkungan Kementerian Keuangan, Majalah Warta Bea Cukai dan beberapa harian di Nusantara. Kendati telah berhasil menelurkan buku solo pertama bertajuk Pada Sebuah Ramadhan (Goresan Pena Publishing, 2014), perempuan energik yang selalu merasa ‘hijau’ di dunia literasi ini masih merajut mimpi untuk bisa menulis novel inspiratif suatu hari. Silakan hubungi ia di akun facebook bernama sama, akun Instagram: lenni.ika, twitter: @lenni_ika atau email: lenniika@yahoo.co.id.

#Kamis_Cerpen - Terlambat - Putri Hermas





Dia begitu tampan. Hampir setiap gadis di sekolah ini menyukainya. Hal itu terbukti ketika ke mana pun dia pergi, para dara menyapa bahkan sampai ada yang mencuil pipinya. Dari bibir tipis dan seksi, ia lalu meyunggingkan senyum. Membalas pujian yang didapatkan dengan tatapan ... entah.
Berada satu tingkat di bawahnya membuatku tak berani lebih mendekat. Cukup memerhatikan dia dari sudut kantin bakso setiap siang, lalu menarik bibir kala gelak tawanya terdengar. Begitu menyenangkan.
Hari ini, sesekali sepasang mata itu melirikku. Tak tergambarkan bagaimana hati ini dia buat bergemetar. Aku menundukkan wajah. Malu.
Kedua pipi terasa memanas, lalu terasa ada gemuruh keras di dalam dada. Riuh suasana saling beradu dengan deru yang tercipta dalam diri. Pandangan masih tak berpaling dari mangkok yang menyisakan kuah bercampur kecap.
"Hai, boleh aku duduk di sini?"
Aku tahu siapa pemilik suara ringan itu. Pelan wajah terangkat lalu menemukan dia. Lelaki remaja yang menjadi teman khayalan selama ini. Dua tangannya masuk ke dalam saku celana berwarna abu, lalu dia tersenyum, kepadaku.
"Aku nggak boleh duduk?"
Aku menggigit bibir bawah, gugup. Pandangan mengedar. Empat teman yang tadi menemaniku di sini, ternyata sudah menjauh, mengisi bangku lain sambil memandangi nakal. Mereka menggoda. Aku tersihir dengan rona wajahnya, hingga tak menyadari yang tengah terjadi di sekitar.
"Bo-leh, Kak."
Terbata aku menjawab sambil memainkan jari di atas paha. Kami sekarang duduk berdekatan. Sejenak bertatapan, lalu kembali aku mengalah. Menunduk.
"Kamu anak 11 A Bahasa, kan?"
"Kakak tau?"
Malu-malu aku membalas pertanyaannya. Senang, dia ternyata tahu sedikit tentang pengagumnya ini.
"Siapa yang nggak kenal kamu? Anak pintar, juara umum tiap semester, dan tulisanmu juga tiap minggu ada di mading."
Terdiam diri ini dibuatnya. Tak menyangka bahwa dia memerhatikanku.
"Hai, kalo ada yang ngajak ngomong itu dilihat matanya. Nggak sopan nunduk gitu."
Dua jemarinya meraih daguku, lalu membuat mata kami saling melanjutkan kata dalam diam. Sentuhan sesaat itu terasa hingga ke dasar hati.
"HP kamu mana?"
Setengah berbisik dia bertanya, kemudian tanpa bantahan, aku mengeluarkan benda pipih kesayangan. Dia mengetik sesuatu di sana, lalu mengambalikannya segera.
"Nanti aku WA kamu."
Lagi, dia setengah berbisik, hanya kali ini wajahnya tepat di sebelah telingaku. Membuat jarak antar wajah kami begitu dekat. Jantungku kini berdetak tak normal, juga tak mampu lidah berkata. Dia berdiri, tersenyum, lalu kembali memasukkan kedua tangannya ke saku, dan perlahan melangkah pergi.
Namun, wangi tubuhnya masih tertinggal di setiap inci diriku. Sangat melekat.
***
Tahu hal yang indah bagiku? Dia yang kusukai dalam diam, sekarang datang untuk membalas rasa. Dua bulan sudah kami menjalin hubungan yang orang sebut sebagai pacaran. Entah bagaimana bisa, semua mengalir begitu saja sejak hari itu di kantin.
Kami berbalas pesan hingga larut, lalu sedikit merasa canggung ketika bertemu di sekolah pagi hari. Sesekali juga makan bersama saat istirahat siang. Rasanya? Menyenangkan. Terlebih lagi jika beberapa anak saling riuh ketika melihat kami jalan beriringan. Serasa seperti primadona sungguhan, meski nyatanya status itu memang disematkan untukku di sekolah ini.
Naif, pintar, tak pernah membuat onar, dan cantik. Ya, itulah yang mereka katakan tentangku. Banyak hati yang datang mendekat selama ini, tetapi faktanya, hanya dia yang mampu membuatku tertarik.
"Ehemm ..."
"Eh, Mama?"
Sedikit gelagapan, kaget karena tadi melamun. Lalu cepat-cepat bersikap normal.
"Mama perhatiin kamu akhir-akhir ini sering bengong. Kamu punya pacar?"
Mata mama menyelidik, pertanyaannya pun begitu menohok. Tanpa aba-aba aku langsung diserang.
"Eh, eh, nggak, Ma."
Ketahuan jelas pasti aku tengah gugup. Embusan napas mama terdengar berat. Dia lalu duduk di tepi ranjang, ikut bersila kemudian memandangi putrinya ini begitu dalam.
"Ingat satu hal, jangan kecewain almarhum papa kamu. Papa sebelum meninggal pesan apa? Cita-cita kamu harus tercapai. Mama juga tidak mau masa depanmu hancur karena pacaran."
"Tapi, Ma ..."
"Putusin dia!"
Tanpa menunggu jawabanku, mama langsung melangkah pergi. Meninggalkan aku bersama kebimbangan. Kenapa harus putus? Bukankah hubungan kami tidak menerobos batas? Nilai mata pelajaran di sekolah pun tak berpengaruh karena kedekatan kami.
Mama jahat!
Kusambar ponsel pintar lalu mengetik pesan untuk lelaki pemilik hati ini.
"Mama nyuruh kita putus."
Menunggu beberapa saat, balasannya pun datang.
"Kenapa?"
"Nggak tau."
"Yaudah, besok kita omongin di sekolah lagi, ya."
Dia mengirimi emotikon love begitu banyak. Aku mengempaskan tubuh, mendekap benda pipih itu, lalu menatap langit kamar. Banyak pertanyaan yang hadir bersamaan. Benarkah pacaran bisa menghancurkan masa depan?
Tidak mungkin!
***
Siang ini kami bertemu di kantin, makan, lalu membahas tentang mama. Dia mencoba menenangkanku bahwa hubungan kami ini tidak memiliki efek apa pun. Senyum terbaik kemudian dia lontarkan, membelai rambutku, lalu pipi.
"Pulang sekolah tungguin aku, ya. Kita jalan bentar."
Dua pasang mata kami saling tatap, kemudian ada ragu yang datang.
"Aku ... nggak pernah jalan sama cowok."
"Sekarang aku bikin biar kamu pernah."
Dia memegangi erat jemariku, lalu menciumi punggung tangan. Aku masih belum memberi jawaban.
"Plisss ..."
"Mama gimana?"
"Bilang aja kamu jalan sama temen yang lain."
Dia berucap mantap, tanpa ragu. Aku kemudian berpikir sejenak dan mengangguk setuju. Kami menuju kelas masing-masing setelah jam istirahat habis. Kali ini jantungku berdetak tak biasa membayangkan satu motor dengan dia.
Senyum malu berhasil tercipta di bibir ini. Hingga teman sebangku mengetuk jidatku dengan tiga pulpen.
"Sakit tau!"
Ingin berkata kasar, tetapi itu tidak boleh.
Aku mengusap-usap jidat sambil memandang kesal ke arah Fina.
"Senyum-senyum terus. Liatin tuh guru lagi nerangin."
Dia berbisik, tentu saja agar tak ketahuan.
"Eh, Fin, nanti aku mau jalan sama Kevin."
Riang aku menceritakannya hingga volume suara tak terkendali. Semua mata mengarah padaku, termasuk guru Matematika yang judes. Fina? Dia tengah menunduk tanpa bersalah, seakan tak mengenalku yang baru saja bertingkah memalukan. Gaduh suara yang lain saling tertawa, bersiul, juga berkata, "cie-cie". Malu jadinya.
"Fokus! Jangan berisik!"
"I ... iya, Pak. Maaf."
Pelan aku menjawab dan yang lain pun mulai bungkam. Tentu saja tidak ada yang mau disuruh mengitari lapangan sepuluh kali, hukuman yang selalu diberikan untuk murid tak disiplin.
"Jahat," bisikku pada Fina.
Dia hanya menjulurkan lidah dan tersenyum mengejek. Hiks.
Menit demi menit terus berakhir. Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Kevin tampak sudah menunggu di depan kelas. Aku mengirimi mama pesan WA, mengatakan bahwa Fina perlu ditemani untuk mencari sebuah buku. Terpaksa nama gadis itu terpakai, tetapi sudah mendapat izin dari empunya. Satu buah novel menjadi bayarannya.
Kaki mengarah pada Kevin setelah mendapat persetujuan dari mama. Pemuda itu tersenyum, lalu meraih jemariku. Sesaat dua pasang mata kami bertemu, lalu terfokus menyusuri lantai menuju parkiran sekolah.
Memakai rok, naik ke motor besar Kevin jadi begitu sulit. Namun, berhasil juga meski harus berusaha mencari posisi duduk ternyaman.
"Kamu mau ke mana?"
Dia bertanya saat roda motor mulai berputar, meninggalkan sekolah.
"Gramedia, cari buku."
Dia tak menjawab lagi, kemudian satu tangannya mencari-cari sesuatu di belakang punggung.
"Siniin tanganmu."
Dengan lugu, kupegangi tangannya dan dia malah menarik, membuatku agak memajukan posisi. Kini, jemari kami saling mengait, menyentuh perutnya yang terasa keras. Ingin melepas, tetapi tidak bisa. Aura di sekitar wajah lalu memanas. Tubuh bersentuhan dan aku berdebar keras dalam posisi ini.
Angin berembus, mengacak-acak rambutku yang tergerai. Ranting pepohonan di sepanjang jalan bergoyang pelan, seperti melambai ke arah kami yang makin meninggalkannya. Jalanan terdengar riuh dan kami tak menambahi. Tanpa suara Kevin terus melaju, lalu memasuki sebuah komplek perumahan.
"Eh, kita mau ke mana?"
Aku bertanya penuh penasaran. Bukankah tadi sudah kubilang ingin ke Gramedia?
"Ke rumahku, cari helm dulu buat kamu."
"Oh ..."
Kami berhenti di sebuah rumah dengan gerbang tinggi. Suasana sekitar sunyi, pasti warganya hidup tak saling mencampuri. Jarang berbasa-basi, kemungkinan. Aku ikut turun, lalu mengekorinya. Rumah ini tampak sepi, tidak ada siapa pun.
"Cepetan cari, abis itu kita pergi."
Setelah berkata, aku duduk di sofa. Kevin datang dari dapur lalu membawa dua kaleng soda.
"Santai aja dulu di sini. Kita jarang bisa berduaan gini, kan?"
Ah, entah kenapa, ada rasa aneh yang terselip, sedikit tidak nyaman. Kevin mendekat kemudian memeluk. Tubuh ini seketika menegang. Hangat napasnya yang terhela menjalari tengkuk, lalu dia bangkit. Meraih tanganku menuju sebuah kamar.
"Kevin ..."
Aku memanggilnya pelan ketika tubuh sudah berbaring di ranjang.
"Biar mamamu nggak bisa misahin kita dan kamu nggak ada alasan ninggalin aku."
Seperti tengah berada dalam kebodohan. Diperdaya cinta lalu menjadi budaknya. Apakah ini yang dilakukan orang ketika berpacaran?
***
Plak!
Plak!
"Mama ..."
Tangis pecah sambil memegangi kedua pipi yang terasa sakit. Tatapan mama begitu nanar, panas tubuhnya menahan amarah bahkan menguar. Aku tahu penyebabnya.
"Kamu! Dari mana saja? Apa saja yang kamu lakukan sampai jam segini baru pulang? Mama datangi rumah Fina dan kamu tidak ada di sana. Sore tadi Mama juga datangi sekolah kamu. Mama bertanya pada satpam dan dia bilang kamu naik motor dengan laki-laki. Ini sudah jam sepuluh malam, kamu tahu itu? Jawab!"
Bentakan mama melebihi suara petir yang menggelegar. Lidah ini kelu, seperti mati hingga tak mampu bersuara. Mama membanting semua barang yang ada di dapur juga ruang tamu. Berantakan. Serpihan-serpihan kaca berserakan memenuhi lantai. Aku mengerti, kepercayaan mama juga memiliki keadaan yang sama seperti itu, bahkan lebih. Lenyap.
"Ma ..."
Masih terisak sambil melihatnya yang tiada henti menghancurkan isi rumah.
"Diam kamu! Mama mengerti yang kamu lakukan. Sana, cari saja lelaki itu! Jangan lagi temui mama!"
Emosi mama tak juga reda dan mata itu terus berderai air mata. Wanita kesayanganku kemudian memegangi dadanya, merintih. Dia tengah kesakitan.
"Ma, kita ke dokter sekarang."
Aku mendekat, tetapi seketika dia menjauh. Rintihannya terdengar pilu.
"Biarkan saja sakit jantung ini ngebunuh mama. Biar kamu puas menghabiskan waktu dengan dia!"
"Ma, maaf."
Mama lalu menyeret langkah menuju lantai atas, meninggalkanku sendiri di ruangan yang seakan mencekik, tak membiarkan udara mengisi paru-paru. Tubuh terjatuh lemah ke lantai, menyatu bersama puing penyesalan yang berguguran dari hati.
Sekarang, di sinilah aku. Seorang diri termakan ketololan. Bagaimana bisa aku menghancurkan cawan emas berharga itu? Aku harus meminta maaf lagi pada mama!
Berlari, menaiki belasan anak tangga yang tampak seperti pendakian ke gunung. Begitu lama sampainya. Sesaat setelah berada di depan kamar mama, aku ragu, lalu memutuskan untuk masuk saja tanpa mengetuk. Pelan benda dari kayu jati itu kubuka, lalu panampakan kamar mama yang berantakan mulai tertangkap mata.
Pandanganku mengedar, mencari sosok wanita berusia empat puluh lima tahun itu. Dengan langkah yang bergemetar, aku menuju kamar mandi, tidak ada, lalu menuju balkon.
Sejenak mulutku menganga, tubuh rasanya kejatuhan ribuan ton beton. Aku hancur, tak mempunyai makna lagi.
"Maaamaaa!"
Aku memeluk tubuhnya yang tergolek lemah di lantai. Menangis sejadi-jadinya sambil terus memanggil 'Mama'. Tidak ada reaksi, napasnya sudah tak berembus lagi. Kini, waktu serasa terhenti. Rasa sesal, takut, cemas, semua itu datang bersamaan, hanya saja sudah terlambat.
Mataku yang tengah mengalir sungai mendapati sesuatu di tangan mama. Foto keluarga kecil kami. Jantung bagai teremas. Entah seperti apa kesakitan yang mama bawa pergi. Dia menyusul papa dengan kekecewaan mendalam yang kubuat.
"Mama, maafin aku. Maafin. Bangun, Ma. Bangun!"
Aku mengguncang tubuhnya, berharap satu keajaiban terjadi. Namun, sia-sia.
"Maaamaaa!"
***
Bukan salah penyakit mama, ini mutlak karenaku. Kealpaan yang tak mau mendengar ucapan mama, menjadi tombak yang menusuk dada ini. Sepulang sekolah, gundukan tanah itu selalu kudatangi. Memeluk mama dari imajinasi yang terbatasi alam berbeda.
Gairah makan menghilang selama beberapa minggu ini. Seragam sekolah pun semakin melonggar. Aku kangen masakan mama. Juga kangen kasih papa.
Mata mulai menampung air, lalu seketika kulenyapkan saat melihat Kevin.
"Kevin!"
Beberapa kali kupanggil namanya sambil berlari.
Entah mengapa, dia menghindari pertemuan sejak hari itu. Dia bahkan tak datang ketika pemakaman mama. WA-ku selalu diabaikan, saat di sekolah pun susah sekali untuk berhadapan.
"Hi! Kenapa mau lari dari aku?"
Jemari ini berhasil meraih lengannya dan membuat langkah panjang itu terhenti. Bibir tipis Kevin terkatup rapat, lalu matanya seperti bingung ingin menyampaikan sesuatu.
"Chaca, maaf. Aku mau kita putus."
Tanpa jeda, sekali tarikan napas kalimatnya selesai. Kita? Putus? Pegangan di lengan agak berotot itu pun seketika melemah. Perut terasa mual lalu sosok laki-laki itu mulai buram di pandangan. Aku terjatuh dan sepertinya pelipis mengenai benda keras.
Semua gelap.
***
"Pak, Chaca udah sadar."
Jelas terdengar suara orang ketika mata mulai terbuka. Ruangan ini serba putih, lalu kurasakan sesuatu di tangan kiri. Jarum infus menancap. Pelipis terasa sakit. Benar saja, saat kuraba, ada perban yang menutupinya. Pasti sekarang aku tengah berbaring di rumah sakit. Bagaimana bisa?
"Cha ..."
Kepala sekolah kenapa bisa ada di sini juga? Terlihat Fina berdiri di belakang Pak Ferdi, dia gelisah. Tangannya saling bergulat satu sama lain. Ada apa ini?
"Kamu harus saya keluarkan dari sekolah."
"Pak, salah saya apa?"
"Kamu hamil dan pihak sekolah tidak mentolerir. Kamu tadi di sekolah pingsan dan saat diperiksa di sini, dokter mengatakan kamu hamil."
Kini, seperti tertindih batu, aku sesak, hampir mati. Kata-kata pak Ferdi tercerna sempurna di benak. Aku hamil. Berita yang sangat buruk. Tsunami dari mata langsung menerjang wajah. Fina lalu ikut menangis dan menatapku iba.
"Pak ..."
Tak bisa lagi aku melanjutkan kata, terlalu perih rasanya. Semua kerja keras untuk membangun prestasi sudah lenyap. Apa gunanya sekarang kecantikan juga kepintaran yang aku punya?
"Saya sangat menyayangkan kamu melakukan ini, Cha. Siapa orangnya?"
Pak Ferdi menatapku. Mata itu memancarkan rasa kasihan. Jelas sekali terlihat.
"Kevin, Pak. Anak 12 A IPS."
Dengan kegetiran hati, jawaban itu tersampaikan. Berharap setelah ini akan ada jalan yang tampak, arah yang menuju pada titik terang untuk hidupku. Juga suatu solusi yang mampu mengeluarkan aku dari kepekatan ini.
"Fina sudah bercerita tentang Kevin, tapi saat saya tanyai, Kevin tidak mengaku memiliki hubungan dengan kamu."
Sesaat setelah Pak Ferdi bicara, terdengar derap langkah mendekat. Pemuda itu datang tanpa wajah sesal. Mata cokelatnya menyapu ke seluruh tubuhku. Bicaralah! Aku menunggu penjelasan itu.
"Kita nggak pernah ada hubungan. Kalau kamu hamil, ya bukan anakku. Bisa aja kamu ngaku-ngaku padahal ngelakuinnya sama yang lain."
Dia lalu melangkah pergi. Aku kalah di pengadilan ini karena tak memiliki bukti untuk membela diri.
Hati ini bukan lagi retak dan tersayat rasanya, tetapi sudah mati. Aku semakin menangis, Fina lalu memeluk. Derau di dada kian mengeras. Cobaan apa ini? Belum habis duka kepergian mama, sekarang aku harus menanggung hasil dari nafsu liar.
Bukankah dia yang dulu ingin agar aku tak pergi? Akan tetapi, kenapa sekarang dia yang berlari?
Ma, benar kata mama. Pacaran menghancurkan masa depanku. Aku menyesal, tetapi sudah terlambat.
Maaf.

Bali, 24 Januari 2019

Biodata

Aku Putri Hermas. Lahir dan tinggal di Bali. Suka menulis sejak SMP, tapi hobinya tak pernah tersalurkan. Sampai akhirnya, akhir bulan September menemukan grup KBM. Mulailah terjun ke dunia literasi dengan membuat beberapa cerbung. Harapanku, suatu saat namaku akan dikenal banyak orang, karena karya yang bisa dinikmati dan bermanfaat.