Jarum jam telah menunjukkan
pukul satu dinihari, namun Rendra belum mampu memejamkan mata. Sebuah stasiun
TV nasional masih menayangkan acara behind the screen atau di balik layar
sebuah film misteri. Bayangan Ariana terus menari-nari dalam kepalanya, senyum
gadis itu, gerak bibirnya saat bicara, nasihat-nasihat bijak yang diucapkan,
hingga kemarahan yang meluap-luap sering kali membuat pemuda 25 tahun itu
tertawa sendiri. Banyak orang mengatakan Ariana bukan gadis baik-baik, namun
Rendra tidak peduli, baginya gadis itu adalah dewi penolong. Kalau tidak ada
Ariana mungkin ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan kuliahnya dan memiliki
karir sebagus ini.
Ia dan Ariana bertemu secara
tidak sengaja. Saat itu Rendra baru saja ditimpa musibah, kedua orangtuanya
tewas setelah kendaraan yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk pengangkut
material bangunan. Rendra nyaris tidak percaya saat menerima berita itu. Sehari
sebelum peristiwa naas itu terjadi, keduanya baru saja berkunjung ke
kosnya~putra tunggal mereka~yang sedang kuliah di kota. Bahkan sambal goreng
belut kesukaannya yang si mbok buatkan khusus saat datang masih tersimpan dalam
stoples di atas meja, juga aroma tembakau dari rokok lintingan bapak masih
jelas tercium dalam kamarnya. Untuk beberapa saat ia hanya terpaku di depan
kamar, saat Parmin menyampaikan berita duka itu.
"Mas ...! Mas Rendra
...!" Seru Parmin, sembari menepuk pundak kakak sepupunya.
"Oh! Ya! Ada apa,
Min?" tanya Rendra seperti orang linglung.
"Mas mau pulang sekarang
bareng saya atau nanti saja sendirian, saran saya lebih baik sekarang, supaya
kita bisa secepatnya mengurus pemakaman kedua orang tua sampean, Mas!"
"Oh! Ya! Pulang sekarang
saja kalau begitu"
Melihat gelagat sepupunya
yang masih belum dapat mengatasi rasa terkejut, akhirnya ia berinisiatif. Masuk
kamar, membereskan kamar yang cukup berantakan, memasukkan beberapa barang
penting ke dalam tas ransel, mematikan semua peralatan listrik yang ada,
menggandengnya untuk keluar dari kamar kos, lalu mengunci kamar tersebut. Tidak
lupa Parmin meminta ijin pada pemilik kos yang berada di seberang jalan,
setelah menjelaskan secara ringkas kejadian yang baru saja menimpa keluarganya.
Dalam perjalanan menuju
kampung halaman, Rendra nyaris tak bersuara. Parmin memaklumi, tidak mudah bagi
pemuda itu untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi.
Tiba di rumah duka, Rendra
tidak mampu lagi membendung tangisnya.
"Mbok! Bapak! Kok
sampean tega ninggalin aku sendirian! Jar-re kemaren sampean pengen lihat aku
cepet diwisuda, tapi kok malah pergi dengan cara begini, to!" Rendra
meratap sambil memeluk jasad keduanya.
Rintihan Rendra membuat semua
yang hadir larut dalam kesedihan, para pelayat di dalam ruangan yang kebanyakan
ibu-ibu tidak dapat menahan rasa haru, tanpa bisa dicegah, air mata mereka
mengalir begitu saja, beberapa bahkan sampai sesegukkan sambil berpelukan.
Kepala desa merangkul bahu
pemuda yang tengah berduka itu.
"Sabar Nak Rendra,
ikhlaskan kepergian orang tuamu, kamu harus tegar dan bisa menjalani semua ini
dengan tabah," ujar Pak Kades pelan, namun Rendra masih bisa mendengarnya
dengan jelas.
Setelah prosesi pemakaman
selesai dilakukan, Pak Kades dan beberapa perangkat desa menghampiri Rendra
yang sedang duduk di ruang tamu.
"Nak Rendra, ini ada
sedikit sumbangan dari warga, gunakan sebaik-baiknya, bapak harap kamu tidak
putus kuliah, tetaplah menuntut ilmu, jadilah sarjana sebagaimana harapan Si
Mbok dan bapakmu, gunakan uang ini sebijaksana mungkin, jadikan modal untuk
membuka usaha atau mencari kerja."
Pak Kades menyerahkan sebuah
amplop yang cukup tebal, Rendra menatapnya dengan pandangan sedikit terkejut.
Ia baru sadar, mulai sekarang tidak akan ada lagi kiriman dari kampung. Baik
berupa dana maupun makanan favorit seperti yang biasa ia terima seperti saat
kedua orang tuanya masih ada. Mulai detik ini, ia harus berusaha memenuhi
segala keperluannya sendiri.
Di hari ketiga, bakda isya',
setelah pembacaan surat Yasin dan tahlil dilaksanakan, ketika para undangan dan
sanak saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing, Rendra mempersiapkan
diri untuk kembali ke kota. Di tengah rasa gundah akan masa depannya, saat
itulah seorang gadis datang, menjelma dalam balutan gaun berwarna merah
menyala. Entah bagaimana ia bisa masuk, kehadirannya yang tiba-tiba membuat
pemuda itu terpana.
"Bukankah Kau perlu cara
untuk mendapatkan uang, agar kuliahmu tetap berjalan dan hidupmu terus
berlanjut?" tanya gadis itu dengan suara yang mendayu.
"Y ... Ya!" Rendra
menyahut dengan kaku.
"Jadikan aku
inspirasimu!" Perintahnya dengan anggun.
"Inspirasi?"
"Ya, inspirasi. Tulislah
kisah tentangku."
"Tapi ... aku tidak
mempunyai laptop atau komputer."
"Apakah kau lupa pada
amplop pemberian Kepala Desa itu? Bukankah kau bisa menggunakannya untuk
membeli satu di antara yang kau sebut tadi, aku rasa tidak akan menghabiskan
lebih dari separuh isinya."
Rendra mengangguk tanda
mengerti. Ya! Ia sudah mendapatkan jalan keluar untuk permasalahannya. Bukankah
ia senang menulis! Puisi, cerpen juga kata mutiara. Ia bahkan masih menyimpan
buah karyanya yang ditulis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Buku
tebal bersampul coklat itu penuh dengan goresan penanya.
Kini inspirasi sedang
menjelma di depannya. Gadis misterius bergaun merah, menawarkannya sebuah
harapan, tentu ia tidak akan menolak.
Keesokan harinya, ia pun
telah siap, setelah berpamitan dengan para tetangga juga sanak saudara dan
menitipkan rumah dan ladang peninggalan orang tuanya pada Parmin, berangkatlah
ia kembali ke kota. Bersama Ariana yang sudah menunggu sejak semalam,
perjalanan baru segera dimulai.
Hari-hari selanjutnya adalah
perjuangan, setelah berhasil membeli sebuah laptop dari sumbangan warga satu
kampung, pemuda itu memulai perjalanan penuh mimpinya. Didampingi Ariana yang
terus memberi motivasi tanpa henti, mengalirlah sebuah kisah misteri tentang
Gadis Bergaun Merah. Tulisan yang ia buat menjadi sebuah novel setebal 400
halaman. Pada awalnya naskah itu ditolak oleh tujuh penerbit mayor, berbulan-bulan
ia hidup dari uang peninggalan Si Mbok dan bapak, bahkan sumbangan dari
wargapun sampai ludes ia pakai. Berkat semangat yang dipompakan Ariana akhirnya
Rendra berhasil juga. Sebuah penerbit mayor tertarik mengorbitkan hasil
karyanya.
Karena promosi yang cukup
gencar, dan cerita yang sangat memikat, tidak sampai sebulan 10.000 eksemplar
novel misterinya habis terjual hingga harus dicetak ulang. Pesanan terus
berdatangan, toko-toko buku mulai kerepotan memenuhi permintaan pembaca yang
penasaran pada kisah misterius Si Gadis Bergaun Merah. Pembicaraan hangat di
media sosial, menambah laris buku pertama dari seorang penulis bernama pena
Nara Narendra itu.
Begitu fenomenalnya novel
itu, enam bulan kemudian, beberapa Rumah Produksi menyampaikan ketertarikan
untuk membuat versi film dari novelnya, tentu saja Rendra tidak menolak.
Setelah dicapai kesepakan dengan sebuah PH (Production House) mengenai harga
dan plot cerita yang akan disampaikan , akhirnya proses pembuatan film itu
dimulai.
"Thank's Ariana, berkat
kamu sekarang uang bukan lagi masalah bagiku!" ujar Pemuda berwajah tirus
itu.
Ariana tersenyum manis
mendengar penuturan tersebut.
"Tidak perlu berterima
kasih, ini sudah ketetapan Yang Kuasa atas nasibmu. Di mana ada kemauan untuk
berusaha pasti akan ada jalan keluar."
"Tapi, kalau kamu nggak
datang malam itu, aku nggak tau harus ngapain untuk menyambung hidup."
Rendra membelai wajah kekasihnya.
"Takdir yang telah
membawaku padamu malam itu, pada akhirnya takdir juga yang akan memisahkan kita
malam ini."
"Memisahkan kita ...?
malam ini?" Rendra menatap wajah Ariana, memastikan keseriusan sang gadis.
"Ya, sudah saatnya aku
pergi, tugas untuk mendampingimu sudah selesai. Sebentar lagi film yang
diadaptasi dari novelmu akan mulai tayang. Aku yakin, seperti novelnya, versi
film ini juga in syaa Allah akan sukses."
"Apakah kau tak ingin
mendampingiku lagi? Apa ada yang lain di hatimu?" tanya pemuda itu
beruntun.
Entah mengapa, tiba-tiba
kegelisahan melanda hatinya, keinginan Ariana untuk pergi membuatnya takut.
Takut kehilangan inspirasi, takut tak dapat menghasilkan karya 'Best Seller'
lagi.
"Akan datang
Ariana-Ariana yang lain, kau tak akan sendiri, asalkan kau terus mengasah
kemampuan menulismu. Tidak perlu takut kehabisan inspirasi, Allah menciptakan
banyak ide di sekelilingmu, kau hanya perlu menajamkan mata hati, melihat yang
tidak orang lihat, merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain, mendengar apa
yang tidar didengar telinga lain."
"Tanpamu, apa aku
bisa?" Keraguan terdengar dalam nada bicara pemuda berkacamata itu.
"Kau pasti bisa!
Bukankah awalnya akupun hanya sebuah inspirasi? Kau menulis dengan tangan,
rasa, dan intuisimu sendiri."
"Jangan pergi Ariana ...
kumohon ... tinggalah sebentar lagi!"
"Maaf, waktuku sudah
habis. Ingatlah!, jangan cepat berpuas diri, selalu rendah hati, dan jadilah
penulis yang mampu menyampaikan kebenaran. Selamat tinggal Nara Narendra."
Perlahan bayangan Ariana
mulai menghilang dari pandangan, gaun merahnya melambai dalam temaram lampu
kamar. Rendra menggapai-gapaikan tangannya ke arah bayangan itu, namun yang ia
dapati hanya udara kosong. Rendra terus saja memanggil pujaan hatinya.
"Ariana! Tunggu Ariana!
Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Ariana!"
Namun yang dipanggil sudah
lenyap dari pandangan, menyisakan rasa nelangsa di dada si pemuda.
Lamat-lamat kumandang adzan
subuh dari masjid di perempatan jalan menelusup di pendengaran, menyadarkan
Rendra dari mimpi yang aneh. Novel berjudul Misteri Gadis Bergaun Merah
tergeletak di atas meja, tidak jauh dari sikunya.
TV masih menyala, tayangan
sudah berganti, pagi ini hampir semua chanel dipenuhi berita tentang
ditemukannya sesosok jasad wanita yang sudah membusuk, dalam balutan gaun
berwarna merah di tepi sebuah danau. Peristiwa menggemparkan itu semakin heboh,
karena adanya kesamaan kejadian dengan isi novel seorang penulis yang baru
menghasilkan satu karya namun langsung jadi 'Best Seller', bahkan versi filmnya
pun baru akan dirilis minggu ini.
Samarinda, 12 Januari 2017
Biodata Penulis:
Lozhalouzzara Ozzha adalah
nama pena sekaligus nama semua akun sosial media seorang ibu rumah tangga yang
berprofesi sebagai pedagang. Lahir di sebuah desa pedalaman Kalimantan Timur
(Muara Bengkal, Kutai Timur), pada 9 September 1976. Beberapa karya tulisnya pernah
menghiasi media cetak di Kal-Tim, juga beberapa buku antologi. Kegemaran
membaca membuatnya begitu menyukai perpustakaan dan toko buku sebagai tempat
menghabiskan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.