Sabtu, 28 Juli 2018

MISTERI GADIS BERGAUN MERAH - LOZHALOUZZARA OZZHA




Jarum jam telah menunjukkan pukul satu dinihari, namun Rendra belum mampu memejamkan mata. Sebuah stasiun TV nasional masih menayangkan acara behind the screen atau di balik layar sebuah film misteri. Bayangan Ariana terus menari-nari dalam kepalanya, senyum gadis itu, gerak bibirnya saat bicara, nasihat-nasihat bijak yang diucapkan, hingga kemarahan yang meluap-luap sering kali membuat pemuda 25 tahun itu tertawa sendiri. Banyak orang mengatakan Ariana bukan gadis baik-baik, namun Rendra tidak peduli, baginya gadis itu adalah dewi penolong. Kalau tidak ada Ariana mungkin ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan kuliahnya dan memiliki karir sebagus ini.

Ia dan Ariana bertemu secara tidak sengaja. Saat itu Rendra baru saja ditimpa musibah, kedua orangtuanya tewas setelah kendaraan yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk pengangkut material bangunan. Rendra nyaris tidak percaya saat menerima berita itu. Sehari sebelum peristiwa naas itu terjadi, keduanya baru saja berkunjung ke kosnya~putra tunggal mereka~yang sedang kuliah di kota. Bahkan sambal goreng belut kesukaannya yang si mbok buatkan khusus saat datang masih tersimpan dalam stoples di atas meja, juga aroma tembakau dari rokok lintingan bapak masih jelas tercium dalam kamarnya. Untuk beberapa saat ia hanya terpaku di depan kamar, saat Parmin menyampaikan berita duka itu.

"Mas ...! Mas Rendra ...!" Seru Parmin, sembari menepuk pundak kakak sepupunya.

"Oh! Ya! Ada apa, Min?" tanya Rendra seperti orang linglung.

"Mas mau pulang sekarang bareng saya atau nanti saja sendirian, saran saya lebih baik sekarang, supaya kita bisa secepatnya mengurus pemakaman kedua orang tua sampean, Mas!"

"Oh! Ya! Pulang sekarang saja kalau begitu"

Melihat gelagat sepupunya yang masih belum dapat mengatasi rasa terkejut, akhirnya ia berinisiatif. Masuk kamar, membereskan kamar yang cukup berantakan, memasukkan beberapa barang penting ke dalam tas ransel, mematikan semua peralatan listrik yang ada, menggandengnya untuk keluar dari kamar kos, lalu mengunci kamar tersebut. Tidak lupa Parmin meminta ijin pada pemilik kos yang berada di seberang jalan, setelah menjelaskan secara ringkas kejadian yang baru saja menimpa keluarganya.

Dalam perjalanan menuju kampung halaman, Rendra nyaris tak bersuara. Parmin memaklumi, tidak mudah bagi pemuda itu untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi.

Tiba di rumah duka, Rendra tidak mampu lagi membendung tangisnya.

"Mbok! Bapak! Kok sampean tega ninggalin aku sendirian! Jar-re kemaren sampean pengen lihat aku cepet diwisuda, tapi kok malah pergi dengan cara begini, to!" Rendra meratap sambil memeluk jasad keduanya.

Rintihan Rendra membuat semua yang hadir larut dalam kesedihan, para pelayat di dalam ruangan yang kebanyakan ibu-ibu tidak dapat menahan rasa haru, tanpa bisa dicegah, air mata mereka mengalir begitu saja, beberapa bahkan sampai sesegukkan sambil berpelukan.

Kepala desa merangkul bahu pemuda yang tengah berduka itu.

"Sabar Nak Rendra, ikhlaskan kepergian orang tuamu, kamu harus tegar dan bisa menjalani semua ini dengan tabah," ujar Pak Kades pelan, namun Rendra masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Setelah prosesi pemakaman selesai dilakukan, Pak Kades dan beberapa perangkat desa menghampiri Rendra yang sedang duduk di ruang tamu.

"Nak Rendra, ini ada sedikit sumbangan dari warga, gunakan sebaik-baiknya, bapak harap kamu tidak putus kuliah, tetaplah menuntut ilmu, jadilah sarjana sebagaimana harapan Si Mbok dan bapakmu, gunakan uang ini sebijaksana mungkin, jadikan modal untuk membuka usaha atau mencari kerja."

Pak Kades menyerahkan sebuah amplop yang cukup tebal, Rendra menatapnya dengan pandangan sedikit terkejut. Ia baru sadar, mulai sekarang tidak akan ada lagi kiriman dari kampung. Baik berupa dana maupun makanan favorit seperti yang biasa ia terima seperti saat kedua orang tuanya masih ada. Mulai detik ini, ia harus berusaha memenuhi segala keperluannya sendiri.

Di hari ketiga, bakda isya', setelah pembacaan surat Yasin dan tahlil dilaksanakan, ketika para undangan dan sanak saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing, Rendra mempersiapkan diri untuk kembali ke kota. Di tengah rasa gundah akan masa depannya, saat itulah seorang gadis datang, menjelma dalam balutan gaun berwarna merah menyala. Entah bagaimana ia bisa masuk, kehadirannya yang tiba-tiba membuat pemuda itu terpana.

"Bukankah Kau perlu cara untuk mendapatkan uang, agar kuliahmu tetap berjalan dan hidupmu terus berlanjut?" tanya gadis itu dengan suara yang mendayu.


"Y ... Ya!" Rendra menyahut dengan kaku.

"Jadikan aku inspirasimu!" Perintahnya dengan anggun.

"Inspirasi?"

"Ya, inspirasi. Tulislah kisah tentangku."

"Tapi ... aku tidak mempunyai laptop atau komputer."

"Apakah kau lupa pada amplop pemberian Kepala Desa itu? Bukankah kau bisa menggunakannya untuk membeli satu di antara yang kau sebut tadi, aku rasa tidak akan menghabiskan lebih dari separuh isinya."

Rendra mengangguk tanda mengerti. Ya! Ia sudah mendapatkan jalan keluar untuk permasalahannya. Bukankah ia senang menulis! Puisi, cerpen juga kata mutiara. Ia bahkan masih menyimpan buah karyanya yang ditulis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Buku tebal bersampul coklat itu penuh dengan goresan penanya.

Kini inspirasi sedang menjelma di depannya. Gadis misterius bergaun merah, menawarkannya sebuah harapan, tentu ia tidak akan menolak.

Keesokan harinya, ia pun telah siap, setelah berpamitan dengan para tetangga juga sanak saudara dan menitipkan rumah dan ladang peninggalan orang tuanya pada Parmin, berangkatlah ia kembali ke kota. Bersama Ariana yang sudah menunggu sejak semalam, perjalanan baru segera dimulai.

Hari-hari selanjutnya adalah perjuangan, setelah berhasil membeli sebuah laptop dari sumbangan warga satu kampung, pemuda itu memulai perjalanan penuh mimpinya. Didampingi Ariana yang terus memberi motivasi tanpa henti, mengalirlah sebuah kisah misteri tentang Gadis Bergaun Merah. Tulisan yang ia buat menjadi sebuah novel setebal 400 halaman. Pada awalnya naskah itu ditolak oleh tujuh penerbit mayor, berbulan-bulan ia hidup dari uang peninggalan Si Mbok dan bapak, bahkan sumbangan dari wargapun sampai ludes ia pakai. Berkat semangat yang dipompakan Ariana akhirnya Rendra berhasil juga. Sebuah penerbit mayor tertarik mengorbitkan hasil karyanya.

Karena promosi yang cukup gencar, dan cerita yang sangat memikat, tidak sampai sebulan 10.000 eksemplar novel misterinya habis terjual hingga harus dicetak ulang. Pesanan terus berdatangan, toko-toko buku mulai kerepotan memenuhi permintaan pembaca yang penasaran pada kisah misterius Si Gadis Bergaun Merah. Pembicaraan hangat di media sosial, menambah laris buku pertama dari seorang penulis bernama pena Nara Narendra itu.

Begitu fenomenalnya novel itu, enam bulan kemudian, beberapa Rumah Produksi menyampaikan ketertarikan untuk membuat versi film dari novelnya, tentu saja Rendra tidak menolak. Setelah dicapai kesepakan dengan sebuah PH (Production House) mengenai harga dan plot cerita yang akan disampaikan , akhirnya proses pembuatan film itu dimulai.

"Thank's Ariana, berkat kamu sekarang uang bukan lagi masalah bagiku!" ujar Pemuda berwajah tirus itu.

Ariana tersenyum manis mendengar penuturan tersebut.

"Tidak perlu berterima kasih, ini sudah ketetapan Yang Kuasa atas nasibmu. Di mana ada kemauan untuk berusaha pasti akan ada jalan keluar."

"Tapi, kalau kamu nggak datang malam itu, aku nggak tau harus ngapain untuk menyambung hidup." Rendra membelai wajah kekasihnya.

"Takdir yang telah membawaku padamu malam itu, pada akhirnya takdir juga yang akan memisahkan kita malam ini."

"Memisahkan kita ...? malam ini?" Rendra menatap wajah Ariana, memastikan keseriusan sang gadis.

"Ya, sudah saatnya aku pergi, tugas untuk mendampingimu sudah selesai. Sebentar lagi film yang diadaptasi dari novelmu akan mulai tayang. Aku yakin, seperti novelnya, versi film ini juga in syaa Allah akan sukses."

"Apakah kau tak ingin mendampingiku lagi? Apa ada yang lain di hatimu?" tanya pemuda itu beruntun.

Entah mengapa, tiba-tiba kegelisahan melanda hatinya, keinginan Ariana untuk pergi membuatnya takut. Takut kehilangan inspirasi, takut tak dapat menghasilkan karya 'Best Seller' lagi.

"Akan datang Ariana-Ariana yang lain, kau tak akan sendiri, asalkan kau terus mengasah kemampuan menulismu. Tidak perlu takut kehabisan inspirasi, Allah menciptakan banyak ide di sekelilingmu, kau hanya perlu menajamkan mata hati, melihat yang tidak orang lihat, merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain, mendengar apa yang tidar didengar telinga lain."

"Tanpamu, apa aku bisa?" Keraguan terdengar dalam nada bicara pemuda berkacamata itu.

"Kau pasti bisa! Bukankah awalnya akupun hanya sebuah inspirasi? Kau menulis dengan tangan, rasa, dan intuisimu sendiri."

"Jangan pergi Ariana ... kumohon ... tinggalah sebentar lagi!"

"Maaf, waktuku sudah habis. Ingatlah!, jangan cepat berpuas diri, selalu rendah hati, dan jadilah penulis yang mampu menyampaikan kebenaran. Selamat tinggal Nara Narendra."

Perlahan bayangan Ariana mulai menghilang dari pandangan, gaun merahnya melambai dalam temaram lampu kamar. Rendra menggapai-gapaikan tangannya ke arah bayangan itu, namun yang ia dapati hanya udara kosong. Rendra terus saja memanggil pujaan hatinya.

"Ariana! Tunggu Ariana! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Ariana!"

Namun yang dipanggil sudah lenyap dari pandangan, menyisakan rasa nelangsa di dada si pemuda.

Lamat-lamat kumandang adzan subuh dari masjid di perempatan jalan menelusup di pendengaran, menyadarkan Rendra dari mimpi yang aneh. Novel berjudul Misteri Gadis Bergaun Merah tergeletak di atas meja, tidak jauh dari sikunya.

TV masih menyala, tayangan sudah berganti, pagi ini hampir semua chanel dipenuhi berita tentang ditemukannya sesosok jasad wanita yang sudah membusuk, dalam balutan gaun berwarna merah di tepi sebuah danau. Peristiwa menggemparkan itu semakin heboh, karena adanya kesamaan kejadian dengan isi novel seorang penulis yang baru menghasilkan satu karya namun langsung jadi 'Best Seller', bahkan versi filmnya pun baru akan dirilis minggu ini.

Samarinda, 12 Januari 2017


Biodata Penulis:
Lozhalouzzara Ozzha adalah nama pena sekaligus nama semua akun sosial media seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai pedagang. Lahir di sebuah desa pedalaman Kalimantan Timur (Muara Bengkal, Kutai Timur), pada 9 September 1976. Beberapa karya tulisnya pernah menghiasi media cetak di Kal-Tim, juga beberapa buku antologi. Kegemaran membaca membuatnya begitu menyukai perpustakaan dan toko buku sebagai tempat menghabiskan waktu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.