Sabtu, 28 Juli 2018

MISTERI GADIS BERGAUN MERAH - LOZHALOUZZARA OZZHA




Jarum jam telah menunjukkan pukul satu dinihari, namun Rendra belum mampu memejamkan mata. Sebuah stasiun TV nasional masih menayangkan acara behind the screen atau di balik layar sebuah film misteri. Bayangan Ariana terus menari-nari dalam kepalanya, senyum gadis itu, gerak bibirnya saat bicara, nasihat-nasihat bijak yang diucapkan, hingga kemarahan yang meluap-luap sering kali membuat pemuda 25 tahun itu tertawa sendiri. Banyak orang mengatakan Ariana bukan gadis baik-baik, namun Rendra tidak peduli, baginya gadis itu adalah dewi penolong. Kalau tidak ada Ariana mungkin ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan kuliahnya dan memiliki karir sebagus ini.

Ia dan Ariana bertemu secara tidak sengaja. Saat itu Rendra baru saja ditimpa musibah, kedua orangtuanya tewas setelah kendaraan yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk pengangkut material bangunan. Rendra nyaris tidak percaya saat menerima berita itu. Sehari sebelum peristiwa naas itu terjadi, keduanya baru saja berkunjung ke kosnya~putra tunggal mereka~yang sedang kuliah di kota. Bahkan sambal goreng belut kesukaannya yang si mbok buatkan khusus saat datang masih tersimpan dalam stoples di atas meja, juga aroma tembakau dari rokok lintingan bapak masih jelas tercium dalam kamarnya. Untuk beberapa saat ia hanya terpaku di depan kamar, saat Parmin menyampaikan berita duka itu.

"Mas ...! Mas Rendra ...!" Seru Parmin, sembari menepuk pundak kakak sepupunya.

"Oh! Ya! Ada apa, Min?" tanya Rendra seperti orang linglung.

"Mas mau pulang sekarang bareng saya atau nanti saja sendirian, saran saya lebih baik sekarang, supaya kita bisa secepatnya mengurus pemakaman kedua orang tua sampean, Mas!"

"Oh! Ya! Pulang sekarang saja kalau begitu"

Melihat gelagat sepupunya yang masih belum dapat mengatasi rasa terkejut, akhirnya ia berinisiatif. Masuk kamar, membereskan kamar yang cukup berantakan, memasukkan beberapa barang penting ke dalam tas ransel, mematikan semua peralatan listrik yang ada, menggandengnya untuk keluar dari kamar kos, lalu mengunci kamar tersebut. Tidak lupa Parmin meminta ijin pada pemilik kos yang berada di seberang jalan, setelah menjelaskan secara ringkas kejadian yang baru saja menimpa keluarganya.

Dalam perjalanan menuju kampung halaman, Rendra nyaris tak bersuara. Parmin memaklumi, tidak mudah bagi pemuda itu untuk menerima kenyataan yang baru saja terjadi.

Tiba di rumah duka, Rendra tidak mampu lagi membendung tangisnya.

"Mbok! Bapak! Kok sampean tega ninggalin aku sendirian! Jar-re kemaren sampean pengen lihat aku cepet diwisuda, tapi kok malah pergi dengan cara begini, to!" Rendra meratap sambil memeluk jasad keduanya.

Rintihan Rendra membuat semua yang hadir larut dalam kesedihan, para pelayat di dalam ruangan yang kebanyakan ibu-ibu tidak dapat menahan rasa haru, tanpa bisa dicegah, air mata mereka mengalir begitu saja, beberapa bahkan sampai sesegukkan sambil berpelukan.

Kepala desa merangkul bahu pemuda yang tengah berduka itu.

"Sabar Nak Rendra, ikhlaskan kepergian orang tuamu, kamu harus tegar dan bisa menjalani semua ini dengan tabah," ujar Pak Kades pelan, namun Rendra masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Setelah prosesi pemakaman selesai dilakukan, Pak Kades dan beberapa perangkat desa menghampiri Rendra yang sedang duduk di ruang tamu.

"Nak Rendra, ini ada sedikit sumbangan dari warga, gunakan sebaik-baiknya, bapak harap kamu tidak putus kuliah, tetaplah menuntut ilmu, jadilah sarjana sebagaimana harapan Si Mbok dan bapakmu, gunakan uang ini sebijaksana mungkin, jadikan modal untuk membuka usaha atau mencari kerja."

Pak Kades menyerahkan sebuah amplop yang cukup tebal, Rendra menatapnya dengan pandangan sedikit terkejut. Ia baru sadar, mulai sekarang tidak akan ada lagi kiriman dari kampung. Baik berupa dana maupun makanan favorit seperti yang biasa ia terima seperti saat kedua orang tuanya masih ada. Mulai detik ini, ia harus berusaha memenuhi segala keperluannya sendiri.

Di hari ketiga, bakda isya', setelah pembacaan surat Yasin dan tahlil dilaksanakan, ketika para undangan dan sanak saudara sudah kembali ke rumahnya masing-masing, Rendra mempersiapkan diri untuk kembali ke kota. Di tengah rasa gundah akan masa depannya, saat itulah seorang gadis datang, menjelma dalam balutan gaun berwarna merah menyala. Entah bagaimana ia bisa masuk, kehadirannya yang tiba-tiba membuat pemuda itu terpana.

"Bukankah Kau perlu cara untuk mendapatkan uang, agar kuliahmu tetap berjalan dan hidupmu terus berlanjut?" tanya gadis itu dengan suara yang mendayu.


"Y ... Ya!" Rendra menyahut dengan kaku.

"Jadikan aku inspirasimu!" Perintahnya dengan anggun.

"Inspirasi?"

"Ya, inspirasi. Tulislah kisah tentangku."

"Tapi ... aku tidak mempunyai laptop atau komputer."

"Apakah kau lupa pada amplop pemberian Kepala Desa itu? Bukankah kau bisa menggunakannya untuk membeli satu di antara yang kau sebut tadi, aku rasa tidak akan menghabiskan lebih dari separuh isinya."

Rendra mengangguk tanda mengerti. Ya! Ia sudah mendapatkan jalan keluar untuk permasalahannya. Bukankah ia senang menulis! Puisi, cerpen juga kata mutiara. Ia bahkan masih menyimpan buah karyanya yang ditulis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Buku tebal bersampul coklat itu penuh dengan goresan penanya.

Kini inspirasi sedang menjelma di depannya. Gadis misterius bergaun merah, menawarkannya sebuah harapan, tentu ia tidak akan menolak.

Keesokan harinya, ia pun telah siap, setelah berpamitan dengan para tetangga juga sanak saudara dan menitipkan rumah dan ladang peninggalan orang tuanya pada Parmin, berangkatlah ia kembali ke kota. Bersama Ariana yang sudah menunggu sejak semalam, perjalanan baru segera dimulai.

Hari-hari selanjutnya adalah perjuangan, setelah berhasil membeli sebuah laptop dari sumbangan warga satu kampung, pemuda itu memulai perjalanan penuh mimpinya. Didampingi Ariana yang terus memberi motivasi tanpa henti, mengalirlah sebuah kisah misteri tentang Gadis Bergaun Merah. Tulisan yang ia buat menjadi sebuah novel setebal 400 halaman. Pada awalnya naskah itu ditolak oleh tujuh penerbit mayor, berbulan-bulan ia hidup dari uang peninggalan Si Mbok dan bapak, bahkan sumbangan dari wargapun sampai ludes ia pakai. Berkat semangat yang dipompakan Ariana akhirnya Rendra berhasil juga. Sebuah penerbit mayor tertarik mengorbitkan hasil karyanya.

Karena promosi yang cukup gencar, dan cerita yang sangat memikat, tidak sampai sebulan 10.000 eksemplar novel misterinya habis terjual hingga harus dicetak ulang. Pesanan terus berdatangan, toko-toko buku mulai kerepotan memenuhi permintaan pembaca yang penasaran pada kisah misterius Si Gadis Bergaun Merah. Pembicaraan hangat di media sosial, menambah laris buku pertama dari seorang penulis bernama pena Nara Narendra itu.

Begitu fenomenalnya novel itu, enam bulan kemudian, beberapa Rumah Produksi menyampaikan ketertarikan untuk membuat versi film dari novelnya, tentu saja Rendra tidak menolak. Setelah dicapai kesepakan dengan sebuah PH (Production House) mengenai harga dan plot cerita yang akan disampaikan , akhirnya proses pembuatan film itu dimulai.

"Thank's Ariana, berkat kamu sekarang uang bukan lagi masalah bagiku!" ujar Pemuda berwajah tirus itu.

Ariana tersenyum manis mendengar penuturan tersebut.

"Tidak perlu berterima kasih, ini sudah ketetapan Yang Kuasa atas nasibmu. Di mana ada kemauan untuk berusaha pasti akan ada jalan keluar."

"Tapi, kalau kamu nggak datang malam itu, aku nggak tau harus ngapain untuk menyambung hidup." Rendra membelai wajah kekasihnya.

"Takdir yang telah membawaku padamu malam itu, pada akhirnya takdir juga yang akan memisahkan kita malam ini."

"Memisahkan kita ...? malam ini?" Rendra menatap wajah Ariana, memastikan keseriusan sang gadis.

"Ya, sudah saatnya aku pergi, tugas untuk mendampingimu sudah selesai. Sebentar lagi film yang diadaptasi dari novelmu akan mulai tayang. Aku yakin, seperti novelnya, versi film ini juga in syaa Allah akan sukses."

"Apakah kau tak ingin mendampingiku lagi? Apa ada yang lain di hatimu?" tanya pemuda itu beruntun.

Entah mengapa, tiba-tiba kegelisahan melanda hatinya, keinginan Ariana untuk pergi membuatnya takut. Takut kehilangan inspirasi, takut tak dapat menghasilkan karya 'Best Seller' lagi.

"Akan datang Ariana-Ariana yang lain, kau tak akan sendiri, asalkan kau terus mengasah kemampuan menulismu. Tidak perlu takut kehabisan inspirasi, Allah menciptakan banyak ide di sekelilingmu, kau hanya perlu menajamkan mata hati, melihat yang tidak orang lihat, merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain, mendengar apa yang tidar didengar telinga lain."

"Tanpamu, apa aku bisa?" Keraguan terdengar dalam nada bicara pemuda berkacamata itu.

"Kau pasti bisa! Bukankah awalnya akupun hanya sebuah inspirasi? Kau menulis dengan tangan, rasa, dan intuisimu sendiri."

"Jangan pergi Ariana ... kumohon ... tinggalah sebentar lagi!"

"Maaf, waktuku sudah habis. Ingatlah!, jangan cepat berpuas diri, selalu rendah hati, dan jadilah penulis yang mampu menyampaikan kebenaran. Selamat tinggal Nara Narendra."

Perlahan bayangan Ariana mulai menghilang dari pandangan, gaun merahnya melambai dalam temaram lampu kamar. Rendra menggapai-gapaikan tangannya ke arah bayangan itu, namun yang ia dapati hanya udara kosong. Rendra terus saja memanggil pujaan hatinya.

"Ariana! Tunggu Ariana! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Ariana!"

Namun yang dipanggil sudah lenyap dari pandangan, menyisakan rasa nelangsa di dada si pemuda.

Lamat-lamat kumandang adzan subuh dari masjid di perempatan jalan menelusup di pendengaran, menyadarkan Rendra dari mimpi yang aneh. Novel berjudul Misteri Gadis Bergaun Merah tergeletak di atas meja, tidak jauh dari sikunya.

TV masih menyala, tayangan sudah berganti, pagi ini hampir semua chanel dipenuhi berita tentang ditemukannya sesosok jasad wanita yang sudah membusuk, dalam balutan gaun berwarna merah di tepi sebuah danau. Peristiwa menggemparkan itu semakin heboh, karena adanya kesamaan kejadian dengan isi novel seorang penulis yang baru menghasilkan satu karya namun langsung jadi 'Best Seller', bahkan versi filmnya pun baru akan dirilis minggu ini.

Samarinda, 12 Januari 2017


Biodata Penulis:
Lozhalouzzara Ozzha adalah nama pena sekaligus nama semua akun sosial media seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai pedagang. Lahir di sebuah desa pedalaman Kalimantan Timur (Muara Bengkal, Kutai Timur), pada 9 September 1976. Beberapa karya tulisnya pernah menghiasi media cetak di Kal-Tim, juga beberapa buku antologi. Kegemaran membaca membuatnya begitu menyukai perpustakaan dan toko buku sebagai tempat menghabiskan waktu.



Kamis, 26 Juli 2018

Senja tadi - Ka'dew Baasith


Senja tadi
By : Ka'dew Baasith

Sendu bias mentari yang pulang.
Puluhan burung melintas di langit yang muram.
Melodi elegy kembali memenuhi kepalaku,
menggedornya seakan ingin mendobrak keluar.

Kembali terdiam di batas kota,
Menatap awan yang sesegera akan menangis.
Rintihan rasa kembali menggelora.
Aku,....... Merindukannya.
Merindu senyum simpul nan teduh.
Dan lagi-lagi tentang mata tajam yang damai.

Aku,.... Merindukannya.
Ketaatan kepada sang pencipta.
Keikhlasan berkarya untuk sesama.

Akankah lagi kan ku temui sosokmu?
Di dirimu ataukah di jiwa yang lain?

Aku,... Merindumu..
Di sini, di sepertiga malam bersama Sang Pencipta Alam.
Aku merindumu..
Di sini, sesaat sebelum fajar bersama hamparan sajadah yang tergelar.
Dan aku merindumu.
Di sini, di dalam do'a yang selalu riuh ku dendangkan sepanjang malam.

Ka’dew Baasith adalah nama pena dari perempuan 25 Tahun asal klaten, Jawa Tengah “Ika Dewi Kurniawati”. Merupakan perempuan biasa yang senang menulis puisi dan cerita fiksi.
Aktif di FB dengan Nama Ika Dewi Kurniawati / Ka’dew Baasith
IG : Ka’dew Baasith

Sabtu, 21 Juli 2018

Nasihat Papa (Hari Pertama Kelas XII) – Kavian&KaviraStory Oleh: Yoon





“Kakak sudah siap?”
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan papa. Pagi ini aku tepat menjadi anak kelas XII di SMA teladan diJogja. Hari pertama, suasana baru tentunya.
Dan karena itu, dengan spesial papa mengantar kami. Tentu saja aku hanya pasang pose cool. Yup. Kavira harus selalu tampil sempurna. Gak tahu kalau Kavian.
“Kavian mau bareng? Atau berangkat sendiri?” Tak lupa papa menanyai adikku yang manja tak ketulungan itu.
“Bareng donk, Papa. Masa Vira aja yang ditawarin. Papa pilih kasih nih lama-lama. Ma, Papa nakal.”
Papa dan Mama hanya tertawa kecil melihat tingkah putra mereka. Kalau aku sih hanya mendengus kecil. Ada saja ulah King Drama ini.
“Oke, adek bareng sama Papa dan Kakak.” Mama menengahi.
Dengan heboh Kavianbersorak. Dia memang begitu. Berbanding terbalik dengan tampangnya yang tampan. Tapi kelakuan serampangan.
Tak lama kami sudah berada di mobil papa. Aku memilih duduk di belakang dan Kavian duduk di depan. Kan aku perempuan, harus dilindungi.
Sepanjang perjalanan aku hanya  menikmati pemandangan kanan dan kiri. Aku tak terlalu mendengarkan apa percakapanpapa dan Vian. Bagiku, pemandangan jalanan lebih indah. Jarang sekali bisa memperhatikan seperti ini. Ya, karena aku dan Vian lebih sering berangkat menggunakan trans Jogja. Dan itu membuatku harus waswas turun di halte berapa. Jangan tanyakan Kavian, ia hanya menurut saja kubawa kemana- mana.
“Kak, udah sampai weh. Gak mau turun?”
Aku menoleh ke depan saat mendengar Kavian berseru dengan sedikit jengkel. Oke. Mungkin aku terlalu menikmati perjalanan.
“Kakak melamun terus, Pa. Mengkhawatirkan.” Mulai lagi opera sabunKavian. Aku hanya memutar bola mata. Dan papa tertawa.
“Selama tidak ada adegan senyum-senyum sendiri mah, oke ajaDek.”
Nah ini si papa juga malah nambah-nambah. Aduin mama biar pada tahu rasa. Awas aja
“Ya udahadekduluan turun ya, Pa. Kakak sepertinya masih betah sama jok kesayangannya,” Vian membuka pintu dan turun duluan. Sebelumnya ia sudah cium tangan papa dulu kok.
“Pa, Vira juga mau—”
“Sebentar, Kak.”
Aku duduk kembali begitu mendengar papa hendak berbicara serius. Jarang loh papa memotong pembicaraan, kalau tidak ada hal penting.
“Iya, Pa?”
“Kalian sudah kelas dua belas, ya. Sebentar lagi ujian. Tolong kamu jaga adikmu dengan benar ya. Walaupun dia manja, tapi dia tetap punya sisi laki-laki remaja pada umumnya. Kan kita gak bisa mengawasi 24 jam dia bergaul sama siapa. Jadi, tolong lebih detail lagi mengawasi gerak geriknya. Jangan sampai dia nakal seperti ayah kalian.”
Papa menasihati panjang lebar. Aku cuma bisa senyum saja. Heuh, di sini yang harus dijaga itu aku. Kan aku perempuan. Bukan malah si bontot yang banyak tingkat itu. Tapi, iyainaja demi papa. Toh papa benar 1000%.
“Iya, Pa. Vira bakal jaga Vian. Lagian ya, Pa, ayah itu kan nakalnya baik. Masih punya prestasi kok.”
Papa menggeleng. “Yang namanya nakal gak ada yang baik, Kak. Ayahmu baik karena mamamu yangmendidiknya juga.”
Kembali aku terkekeh kecil. Oke. Kata mama, trackrecord papa dan Ayah Tristan memang kurang baik dulu. Jadi, wajar saja jika sisa-sisa perseteruan itu masih ada.
“Iya, Pa, iya. Vian mau berangkat dulu, Pa.” Aku bergegas mencium tangan papa. Sebenarnya aku masih mau mendengarkan nasihat papa, hanya saja Vian sudah berisik mengetuk kaca mobil.
Kembali kuingatkan. Jangan kagum dengan tampang adikku itu. Biar dia tampan, tapi dia serampangan. Terlebih pada aku, kakaknya.
“Hati-hati ya, Kak. Belajar yang benar. Nanti kalian bakal dijemput mama,” aku hanya mengacungkan jempol membalasnya.
“Lama bener.”
Pertama keluar mobil, yang kudapat adalah muka bete adik tersayangku ini. Dengan sedikitsenyum aku membalasnya. Tak lupa tanganku mengusap surainya pelan. Aku jarang sekali seperti ini. Jujur, kalau sudah pulang sekolah, aku lebih suka berdiam diri di kamar. Dan kalau sudah terlalu lama berdiam diri, Vian biasanya akan merusuh.
Yeah, dia punya kunci cadangan pintu kamarku, begitu pula aku. Jadi, sudah biasa bagi dia untuk merecoki istanaku.
“Gitudonk, Kak. Adeknya disayang. Masa dijutekin terus,”sambil memejamkan mata ia berseloroh.
Aku hanya terkekeh kecil. 18 tahun hidup bersama, banyak hal sudah kulewati bersama dia. Segala gerak-geriknya juga sudahkuhafal. Dan, selama itu pula, tak sekali pun aku tak sayang padanya. Mungkin aku terkesan cuek, tapi sebisa mungkin, aku tak pernah lepas perhatian padanya.
“Ayo masuk, Manja. Dasar keenakan.”
Setelah membuka mata ia mencebikkan bibir lagi.Imut sekali wajahnya.
“Eh, maaf, Kak.”
Langkah kami sama -sama terhenti saat ada siswi berseragam putih biru menabrak Kavian dari samping. Ia menatap kami takut. Uh, apalagi tampangku sudah menyeramkan. Well, diam – diam aku tak suka jika ada yang menyentuh adikku sembarangan. Terlepas dari kesengajaan atau tidak.
“Eh. Oke. Lain kali hati - hati.” Kavian memberi tatapan lembut pada siswi itu.
Tak lama ada siswi lain yang menyusul. Mereka membungkuk sekilas sebelum buru - buru ke aula. Sayangnya aku sempat mendengar mereka berbisik.
“Duh itu masnya ganteng banget.”
Nah kan! Heran sama Kavian. Papa mama memberi formula apa sehingga aku bisa punya adik setampan dia. Untung dia belum pernah pacaran. Hampir sih, tapi langsung disidang papa, mama dan aku.
Aku menatap Kavian. “Ingat! Gak ada gebet adik kelas ya, Vian!”
Ia hanya terkekeh pelan. Tuh kan, terkekeh pelan aja tampan sekali.
“Iya, Jutek.” Vian menarik hidungku sebelum merangkulku untuk berjalan bersama menuju kelas kami.
Yep. Waktunya menjadi senior yang paling senior di HighSchool ini.
Salam jutek manja dari Kavira yang selalu sempurna.
*Fin*


Biodata Penulis

Silakan panggil dia Yoon. Boleh kalau mau kontak di yunicahya3@gmail.com. Kalau meetup juga boleh, dia masih anak Jogja.
“Do everythingwhatmakeyouhappy, Dude.” Hidup hanya sekali. Bahagialah selagi bisa diusahakan.

Kamis, 19 Juli 2018

Berhenti - Ka’dew Baasith




Berhenti,

Jangan kau buat aku terus berlari.

Kakiku mulai goyah, kerongkonganku terasa terbakar.

Berhenti,

Sendiku tak mampu lagi menumpu tulang.

Nafasku tak lagi panjang.



Berhenti,

Cukup dengan ini.. cukup dengan ini...

Aku kepayahan, aku kehabisan nafas.

Aku mohon berhenti,

Tengoklah ke belakang,

Aku terseok sepanjang jalan, aku tenggelam dalam lautan.



Tapi kau terus berlari, kau terus melangkah pergi.

Suaraku tak sampai, menghilang di udara.

Pintaku melayang, terbang bagai asap.


Kau,

Masih tidak berhenti.



Ka’dew baasith adalah nama pena dari perempuan 25 Tahun asal klaten, Jawa Tengah “Ika Dewi Kurniawati”. Merupakan perempuan biasa yang senang menulis puisi dan cerita fiksi.
Aktif di FB dengan Nama Ika Dewi Kurniawati / Ka’dew Baasith
IG : Ka’dew Baasith

Kamis, 12 Juli 2018

Untukmu suamiku - Ka’dew baasith



Untukmu suamiku,
Terimakasih engkau telah berada di sisiku
Dalam bahagia dan terluka
Terimakasih engkau telah menerimaku apa adanya,kelebihanku dan juga kekuranganku.
Untukmu separuh hidupku,
Kini engkau bukan lagi sosok asing yang ada di seberang sana,tapi kini engkau adalah tempatku pulang.
Aku tak ingin lagi hal lain dalam hidup,kecuali berbakti kepadamu.
Taat padamu,dan menjadi rumah bagi jiwa ragamu.
Untukmu wahai pemimpinku
Terimakasih untuk setiap detik yang begitu mengagumkan,untuk setiap hela yang begitu berkesan.
Untukmu wahai sahabat terbaikku.
Terimakasih engkau telah dan akan terus menjadi ayah yang baik untuk buah hati kita.
Ku berterimakasih juga untuk setiap waktu yang engkau berikan kepadanya.
Untukmu wahai jembatan surgaku.
Terimakasih atas kesabaranmu membimbingku.
Aku bersyukur atas hadirmu.yang bahkan aku begitu merasa sempurna karna engkaulah yang melengkapi kekurangannya
Ka’dew baasith adalah nama pena dari perempuan 25 Tahun asal klaten, Jawa Tengah “Ika Dewi Kurniawati”. Merupakan perempuan biasa yang senang menulis puisi dan cerita fiksi.
Aktif di FB dengan Nama Ika Dewi Kurniawati / Ka’dew Baasith
IG : Kadew Baasith


Selasa, 10 Juli 2018

Review Novel Zahra dan Abyan




Novel karya Nurmalita Yasmin ini menceritakan tentang seorang gadis polos dan sholihah bernama Zahra Fatimah. Gadis cantik beralis tebal yang biasa dipanggil Ara ini merupakan siswi pindahan dari sebuah pesantren di Bandung. Setelah memutuskan pindah bersama keluarganya ke Jakarta, ia bersekolah di sebuah SMA swasta yang jauh dari kesan religius seperti saat berada di pesantren dulu.

Tak lama setelah pindah, Zahra bertemu dengan seorang preman sekolah bernama Muhamad Abyan Nandana. Keduanya dipertemukan ketika Zahra berusaha merelai sebuah perkelahian. Kejadian yang membuat gadis pemberani itu terluka, justru menjadi awal dari kedekatan mereka.

Setelah kejadian yang cukup menghebohkan itu, Zahra dan Abyan justru sering terlihat bersama. Namun belum juga kisah mereka dimulai, Zahra yang begitu taat kepada ajaran Islam mengalami kebimbangan. Sedangkan Abyan merasa bingung dengan sikap gadis yang tidak berhenti berlari di pikirannya itu.

Lalu bagaimana kelanjutan ceritanya? Akankah ada kisah cinta di antara keduanya? Silakan cari jawabannya di novel ini, hehehe.

Menurut saya, penulis novel ini mampu memainkan perasaan pembaca. Selain menghibur, cerita dalam novel ini juga mengandung tuntunan. Novel ini tidak hanya bercerita tentang ketaatan seorang gadis terhadap ajaran agama, namun juga ada cerita persahabatan, keluarga, dan cinta.

Awal membaca novel ini, saya langsung membayangkan sosok Dilan dan Nathan yang digabung menjadi seorang Abyan Nandana. Mungkin penulis novel ini juga merupakan penggemar Dilan dan Nathan seperti saya ya, hehe. Namun, bukan mencoba menggabungkan wajah Iqbal Ramdhan dan Jefri Nichol yang sama-sama tampan itu, tapi lebih kepada karakter yang mereka mainkan dalam film Dilan dan Dear Nathan. Gantengnya, nakalnya, lucunya, gemesnya, dapet.

Dari awal hingga akhir membaca novel ini, imajinasi saya dibuat terus melayang di udara. Bagaimana tidak? Setelah membayangkan sosok Abyan Nandana seperti sosok Dilan dan Nathan, selanjutnya saya dibuat membayangkan sosok Zahra Fatimah. Sambil senyum-senyum sendiri, saya menggambarkan sosok Zahra Fatimah seperti sosok Milea dan Salma (pasangan Dilan dan Nathan) tapi dalam versi syar’i, hehehe.

Jadi begini, penulis menggambarkan sosok Abyan Nandana sebagai seorang siswa yang sangat bandel di sekolah. Sering terlibat perkelahian, seragam acak-acakan, dan sering terlihat merokok di kantin sekolah. Namun, jangan salah. Selain terkenal karena sosoknya yang bandel, Abyan juga dikenal sebagai sosok tampan yang diinginkan banyak perempuan. Ditambah dengan motor gedenya yang keren, semakin lengkap saja kekerenan Abyan ini.

Sedangkan Zahra menjadi siswi pindahan seperti Milea dan Salma menuntutnya beradaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Sama-sama digambarkan sebagai sosok cantik dan lemah lembut, Zahra juga menjadi idaman banyak orang sama seperti Milea dan Salma. Bedanya, Zahra ini lebih islami. Ia dikenal sebagai seorang gadis sholihah yang dikagumi banyak pria.




Jadi bagaimana? Apakan kalian sependapat dengan saya? Hehehe. Bagi yang sudah baca, tolong komen ya!

Namun ingat, jauh dari kesan menjiplak lo ya. Kalau terinspirasi mungkin iya. Karena penulis novel Zahra dan Abyan ini membuat jalan ceritanya sendiri, tidak kalah menarik dengan jalan cerita Dilan dan Dear Nathan. Bagaimana tidak? Saya dibuat bertanya-tanya pada ending cerita ini. Bab demi bab dalam novel ini dikemas ringan namun tetap membuat penasaran.

Saya dibuat tidak percaya dengan jalan cerita novel ini, konflik yang hadir dalam novel ini juga sangat menarik. Sejujurnya, saya belum pernah membaca novel dengan cerita seperti ini. Ending dalam novel ini juga jelas bikin baper banget. Kalian harus baca sendiri dan rasakan sensasinya hehe.

Seperti yang saya bilang tadi, selain menghadirkan bacaan yang menghibur, novel ini juga memberikan tuntunan kepada pembacanya. Menurut saya, inilah poin plus dari novel ini. Konflik yang dihadirkan juga sangat cocok dengan keadaan seperti sekarang. Recommend banget buat di baca anak muda yang galau karena cinta yang belum halal, hehe. Selain itu bagus juga dibaca orang tua untuk dijadikan sebagai pelajaran.

Oh iya, selain bahas cerita Zahra dan Abyan yang gemesin, saya juga ingin membahas penampakan novel ini, hehehe. Novel berukuran 14×20 ini memiliki cover yang simple dan keren. Dengan warna putih bergaris seperti buku anak sekolah cukup menggambarkan kesan remaja. Apalagi ditambah dengan gambar sepatu convers hitam di bawah tulisan Zahra dan Abyan turut mempercantik tampilan depan cover novel ini.

Sedangkan tampilan belakang cover novel yang berharga 75.000 ribu ini juga tidak kalah keren. Cuplikan percakan Zahra dengan seorang teman cukup membuat baper. Ditambah dengan sedikit gambaran tentang sosok Zahra dan Abyan juga semakin menambah rasa penasaran. Selain itu, tak lupa nama penerbit AE Publishing terpampang di bagian pojok sebelah kiri, dan nomor ISBN 9786025468766 tepat di sebelah kirinya.

Tulisan dalam novel ini juga sangat rapi, hampir tidak ada typonya lo. Penggunaan beberapa kata dalam bahasa sunda juga tidak menjadi masalah, karena telah disediakan catatan kaki mengenai makna dari bahasa sunda tersebut. Jadi tidak perlu pusing kalau tidak mengerti artinya. Saya menghatamkan novel ini dengan sekali baca saja, tidak memerlukan waktu lama. Diantara ashar dan maghrib saja sudah cukum, untuk membaca 283 halaman yang terasa begitu singkat untuk novel sebagus ini hehe

Penggunaan font yang jauh dari kesan alay juga membuat pembaca merasa nyaman ketika membaca. Dan satu lagi, kualitas cover dan kertasnya tidak usah diragukan lagi. Karena novel  ini menggunakan soft cover dan kertas book papper 72 . Disediakannya pembatas buku juga sangat membantu dan semakin memberi kenyamanan saat membaca. Apalagi bagi yang ikut PO  pertama seperti saya, sudah dipastikan mendapatkan gantungan kunci yang gemesin seperti covernya lo. Hehe.


Sekian dulu review dari saya, sampai jumpa di review selanjutnya.

Sabtu, 07 Juli 2018

Stasiun Danau Merpati - Sastrawady





Empat atau lima kali dalam setahun, selalu ada saat dimana sore benar-benar berwarna kuning hingga bangku-bangku besi stasiun yang sedianya abu-abu berubah menjadi oranye yang romantis. Saat-saat tersebut biasanya muncul setelah musim panas yang panjang, atau sebelum semua pohon serempak menggugurkan dedaunannya. DIa dan aku sama-sama mengagumi sore yang seperti itu.
Stasiun Danau Merpati bukanlah stasiun yang ramai; tak banyak penumpang kereta listrik yang turun disini. Begitupula aku. Rumahku berjarak dua stasiun dari sini, seperti kebanyakan penumpang kereta lain jurusan barat. Danau Merpati yang menjadi nama stasiun ini tepat berada di samping jalur rel. Dari bangku tunggu stasiun, Danau Merpati tampak terhampar bagai cermin raksasa. Sore yang kuning memaksa permukaannya membiaskan bayangan bangau sawah yang berterbangan diatasnya menjadi samar, seakan burung-burung tersebut membawa batu-batu kerikil pelumat pasukan gajah. Dia dan aku sama-sama mengagumi bangau-bangau itu.
“Sudah lama kau tak kemari Pak Tua,” ujarnya. Aku menyunggingkan senyum. “Sampai-sampai aku berharap kau muncul dari dalam danau membawa berupa-rupa harta karun,” lanjutnya lagi.
“Umurku sudah 45, tepat bulan ini. Aku takkan repot-repot menyelam untuk mengagetkanmu,” jawabku.
“Aku juga tak berharap demikian. Ya ampun, aku hanya bercanda, dasar orang lama!”
Aku bertemu dengan wanita ini lima bulan yang lalu, tepat disini, saat-saat pulang kerja seperti ini. Ia masih muda, mungkin sekitar 19 atau 20 tahun. Aku tak pernah repot-repot menanyakan asal-usul, umur, bahkan namanya. Ia mengajakku ngobrol dan aku senang pada suaranya. Suaranya lebih merdu dari anak atau istriku. Dan hal-hal yang ia omongkan selalu menarik. Aku akan turun setiap kali kereta berhenti di stasiun ini jika mataku menangkap wajahnya yang oranye romantis –persis seperti kursi stasiun abu-abu yang ia duduki, sedang tertunduk khidmat dalam buku yang ia pegang. Hal ini sering membuatku bertanya-tanya, apakah ini termasuk selingkuh?
“Aku sudah empat kali melihat kau membaca buku itu. Kau belum selesai membacanya?” tanyaku.
“Aku membacanya sudah belasan kali, lebih tepatnya.” Ia menutup buku bersampul hitam dan merah tersebut, mencoba memalingkan perhatiannya padaku. “Ada banyak hal yang tak kumengerti didalamnya..berapa kalipun aku mencernanya.”


“Contohnya?”
“Cinta seorang wanita pada bayangan masa lalunya.”
“Apakah menurutmu itu sulit kau pahami?”
“Itu tak masuk akal,” tandasnya. Ia memutar tutup botol dan meneguk isinya yang tinggal separuh. Stasiun hanya diisi suara angin dan beberapa obrolan petugas stasiun di jarak yang cukup jauh.
“Bagaimana mungkin,” lanjutnya, “Seorang wanita yang dicampakkan dengan kejam oleh seorang lelaki, masih memimpikan lelaki tersebut setiap malam. Ia bahkan tak peduli walau lelaki itu sudah memiliki kekasih baru,” tukasnya lagi, sembari menuntaskan air minum dalam genggamannya.
“Kau takkan mendapatkan jawabannya kalau hanya membaca nasib orang lain. Bagiku, masalah seperti itu adalah hal yang wajar. Kau tahu, wanita adalah gajah yang memiliki seribu laci perasaan.”
“Kau ini transgender ya?” Ujarnya tanpa segan. Aku hanya tertawa. Sekumpulan bangau kembali melintas, menuju matahari yang tampak bulat sempurna di ujung jangkauan mata.
“Akan ada banyak wanita yang tak setuju dengan yang kau katakan barusan, terutama soal kata-kata gajah,” lanjutnya kemudian.
“Wanita memang selalu terlalu khawatir akan pandangan orang lain,” sahutku.
“Kau benar, aku heran mengapa wanita-wanita selalu merubah dirinya demi cinta,” tandasnya.
“Yang aku herankan justru kau yang seorang wanita tidak bisa mengerti hal semacam itu,” ujarku, mengedarkan pandangan pada jalur rel yang sepi.
“Aku tak pernah berpikir masalah cinta,” tatapannya kosong sejenak, pandangannya tertuju pada garis kuning batas peron. “Cinta adalah alasan yang terlalu mengada-ada.”
“Cinta kadang memang tampak mengada-ada. Seringkali tak masuk akal. Tapi hal itu pulalah yang membuat kau, aku, stasiun ini, dan buku yang kau pegang itu ada. Aku percaya Tuhan mengawali semua kehidupan di dunia ini dengan cinta.”
“Apakah kau sekarang berperan jadi Buddha?” tanyanya, dengan senyum geli di wajah. Aku ikut tertawa.
“Padahal biasanya kau membahas soal sejarah atau kereta api atau apalah. Rasanya cukup ganjil mendengarmu membahas cinta,” ungkapku.
“Mungkin.. aku hanya ingin merasakannya,” ujarnya ragu. Ia menentang matahari dengan wajahnya. Sinar kekuningan tersebut menyapu seluruh muka, bulu matanya yang cantik berkilauan, pipinya bersemu.
“Matahari ini.. hangat sekali. Buku ini, bangau-bangau itu, suara peringatan kereta, dan suara serakmu yang selalu menasehatiku ini-itu walau kau bukan siapa-siapaku, aku merasa lebih baik setiap kali kau menemaniku disini, Pak Tua.” Matanya kini berkaca-kaca.
Aku hanya tertunduk, namun kemudian membalas senyumannya.
“Seperti itulah cinta,” jawabku. “Seperti kereta pada stasiun, bangau pada senja hari, koran-koran yang selalu datang kerumahmu setiap pagi, seperti itulah cinta. Ia akan selalu hadir tanpa harus kau sadari. Kau hanya perlu merasakan kehangatannya dalam hatimu.”
Ia melambaikan tangannya dari depan pintu keluar stasiun. Seperti biasa, ia akan pulang ketika kereta arah barat selanjutnya tiba. Lengan sweater-nya tersingkap, lebam dan beberapa guratan masih tergambar. Aku teringat saat pertama kali melihatnya dengan mata sembap di kursi stasiun ini. Profesiku sebagai psikiater langsung menyadari ada yang salah padanya. Sore kekuningan tersebut lenyap di cakrawala, setelah menenggelamkan matahari di tempat bangau-bangau tersebut terakhir terlihat. Sejak sore itu, aku tak pernah melihatnya lagi.

Bio:
Sastrawady merupakan nama pena dari penulis yang menyukai kereta api. Pada April 2017 menelurkan sebuah buku berjudul Kereta dan Cerita-Cerita Lainnya, yang diterbitkan melalui AE Publishing. Dapat dihubungi melalui surel sastrawadyindonesia@gmail.com


Kamis, 05 Juli 2018

PENYESALAN - Ka’dew Baasith



Apa hebatnya menghamba dunia?
Bagaimana bisa hati tak sedikitpun berduka, ketika dosa perlahan sengaja menggerogoti jiwa?
Aku memaku di gelapnya malam di sudut ruang
Raga yang semua sakit terasa bersarang, kini tak kan mampu menolak ketika waktuku datang.

Ya, waktu dimana aku bahkan tak lagi memiliki waktu.
Waktu dimana sang lidah bahkan menjadi kelu untuk memanggil namaMu
Waktu dimana aku harus bercengkrama dengan luka yang aku sendiripun tak bisa menahannya.
Sekali lagi, itu adalah waktu dimana aku tak kan sempat walau hanya untuk berlogika.

Dan ketika waktuku telah berhenti berputar
Apakah aku sudah bernalar menginjak jalan yang benar?
Karena bahkan, aku tak mampu sedikitpun terlepas dari keterikatan semu.
Yang membuatku selalu saja mengharap kepada selainMu.

Dan ketika sang waktu sudah muak melihat kerakusanku yang kian beringas
Sudikah ia berbaik hati membiarkanku tidak berakhir naas?
Adakah ia akan mengangguk setuju  ketika aku sekuatnya merayu?
Dan akankah ia akan jemu dengan teriakanku yang semakin lama semakin pilu?
Tapi apa dia peduli?
Jawabannya tidak sama sekali.
Semua telah berlalu, siluet ungu dari tubuh yang membiru
Menjadi saksi atas kekufuranku terhadapMu


Biodata penulis:
Ka’dew baasith adalah nama pena dari perempuan 25 Tahun asal klaten, Jawa Tengah “Ika Dewi Kurniawati”. Merupakan perempuan biasa yang senang menulis puisi dan cerita fiksi.
Aktif di FB dengan Nama Ika Dewi Kurniawati / Ka’dew Baasith
IG : Kadew Baasith