Minggu, 04 Februari 2018

O R A N Y E - Lestarifs



O R A N Y E
Karya Lestarifs

29 April 2011
Teruntuk Pohon Maple
Apa ia sedang bersandar padamu sekarang ?
Apakah ia baik – baik saja ?
Apakah ia masih mengingat diriku walau sedetik ?
Bersama matahari tenggelam dan cahaya oranye yang menghiasi kota ini
Kutitipkan rasa rindu ini padamu

09 Juni 2012
Teruntuk Pohon Maple
Bagai langit setelah hujan yang menyejukkan hati
Teringat aku akan senyumannya
Hangat dekapannya
Tawa renyahnya
Dan lagi, masih terdengar hingga kini
Bagaimana cara ia memanggilku dulu
Bagaikan melodi tujuh warna
Sayang, dirinya sudah tidak dalam pandanganku

14 Maret 2013
Teruntuk Pohon Maple
Akhirnya pertemuan kami tiba
Aku masih ingat, bagaimana kami melewati musim berganti
Memilih mimpi masing – masing
Meski dia nanti telah berubah, jangan khawatir
Dirinya adalah dirinya
Dirinya, akan selalu dicintai oleh si penulis ini
Sampai kapanpun

Hembusan angin musim gugur membelai lembut surai cokelatnya. Kendati sudah lama tinggal,
ia masih belum terbiasa dengan sejuknya udara yang menyelimuti kota ini. Gadis itu
memperketat mantel. Terus melangkah ke tujuan.
Pohon – pohon maple yang membentang di sepenjuru taman menghujani dirinya dengan
daun – daun berwarna merah–oranye yang indah. Anak – anak tertawa senang bermain dengan
guguran dedaunan. Pemuda – pemudi sibuk mengabadikan berbagai momen berharga di balik
lensa. Beberapa yang lain memilih menatap sembari mengucap syukur. Karena meskipun
hanya sebuah tindakan sederhana, namun mampu untuk menghantarkan ketenangan pikiran di
tengah kesibukan.
"Daun maple adalah kesukaan gue."
Tanpa sadar, setitik kristal bening jatuh di pipi pucatnya. Nafasnya terasa sesak, seakan ada
rantai semu yang mengikat dadanya kuat. Kini kilasan – kilasan membawanya melalui
perjalanan singkat dari masa kini ke masa lalu. Menyadari bahwa kenangan – kenangan itu,
adalah sesuatu selalu membuatnya gelisah ketika malam menjemput. Sesuatu yang
menghantuinya di setiap detik.
"Gue berharapdi masa depan kelakkita akan bertemu kembali di bawah guguran daun - 
daun maple."
"Bian..." Gadis itu terisak lirih.
Sudah lama ia tidak melafalkan nama itu. Mungkin, tujuh tahun? Entahlah. Tapi yang pasti,
jiwanya merasa tenang ketika nama itu terucap. Ada sesuatu yang menggelitik di dada ketika
ia membayangkan sosoknya. Ah... apakah ini yang disebut rindu? Jika iya, sungguh ingin ia
menghilangkan perasaaan yang menyiksanya ini.
Mengusap sudut matanya kasar, ia tertawa kecil, "Aku sudah disini...." Gadis itu mendongak ke
langit, kemudian mengukir senyum tipis.
*****
"Satu...."
"Dua...."
"Dua...."
"Dua...."
"Dua setengah...."
"Ish cepetan Bian nggak usah main – ma––"
"TIGA!"
Secepat kilat Vira membalikan kertas digenggamannya. Dia lihat angka yang terpampang
disana. Sembilan puluh sembilan. Tersenyum culas, ia menoleh ke kertas milik cowok yang
duduk disebelahnya. Perlahan, senyum gadis itu hilang. Ia meluruh nelangsa ke kursi.
Sembilan puluh sembilan koma lima.
"HA GUE MENANG!" Teriak Fabian membahana membuat semua pasang mata yang ada di
kelas menoleh ke meja mereka berdua, "Dua mangkok siomay selama satu minggu, euy!
Mang Cecep, I'm coming!"
Vira diam. Gadis itu masih sedih membayangkan dompetnya yang akan semakin menipis
seminggu kedepan.
"Udah tuh muka jangan ditekuk gitu. Tuh bibir juga, jangan sampe gue khilaf."
Vira menepuk lengan Fabian, "Dasar cowok mesum! Coba aja kalau berani!" Gadis itu kembali
menatapi kertas ulangannya. Ia mendesah panjang, "Padahal gue udah ngapalin reaksi respirasi
aerobik sampe ke contohnya. Dimana ya kurangnya jawaban gue?"
Fabian ikut melihat jawaban Vira, "Hm reaksi kimia lo salah." Fabian menunjuk soal nomor
tiga, "Disini lo tulis reaksi kimia glikolisis punya 3 atom C, padahal yang bener 6 atom C."
Vira membeliakkan mata, "Eh iya bener. Kok gue bisa sampe salah tulis gini, sih?"
"Makanya kalau mau ujian itu jangan begadang." Fabian menyentil kening gadis itu. "Lagian
lo nggak mesti kali ngapalin tuh materi. Cukup perhatiin bu Ningsih waktu jelasin, pahami,
lalu tanya dimana yang nggak lo ngerti. Kalau lo ngapal, dijamin besok kalau misal ada ulangan
dadakan, pasti lo udah lupa. Tapi kalau lo memahami, sampai kapanpun lo pasti ingat."
Vira merengut sambil mengusap – usap jidatnya yang ia yakini sekarang memerah, "Udah
ceramahnya?"
Fabian mengangguk takzim, "Udah."
"Kantin, yuk! Laper gue denger omongan lo."
"Baik, Nyai." Ucap Fabian sambil membungkukan badan.
Ketika melangkah di koridor, Vira bisa merasakan semua tatapan siswi terarah pada mereka.
Oh ralat, ke arah cowok yang berdiri disampingnya. Cowok yang sudah bersamanya sedari
masih memakai singlet dan celana dalam saat bermain hujan – hujanan, cowok tertampan di
SMA Pelita–– Vira benci mengatakannya, tapi harus ia akui bahwa Fabian memang
mempunyai wajah yang good looking banget. Cowok paling dingin ketika berbicara sehingga
membuat siswi – siswi di sini gregetan–– terkecuali sama Vira karena penyaring mulut cowok
itu mendadak hilang saat berdebat dengannya, cowok yang selalu menjaga image di depan
semua orang––terkecuali sama Vira karena penyakit kegilaan tingkat kronis selalu kambuh
saat bersamanya. Dan... cowok yang diam – diam disukai oleh Vira.
Iya. Vira menyukai Fabian.
Vira juga tahu kalau Fabian menyukai dirinya. Bukan. Bukan Vira kepedean atau apa, tapi
Fabian sendirilah yang mengatakannya ketika malam kembang api di festival sekolah tahun
lalu.
"Gue suka lo, Vir. Tunggu gue, ya!"
Vira sampai sekarang tidak mengerti. Tunggu? Emangnya apa yang harus dia tunggu? Hujan
meteor?
Dan ketika Vira menanyakan apa maksud dari perkataan Fabian, cowok itu malah diam dan
cengar – cungir tidak jelas.
Kampret emang.
Jadi ya... beginilah hubungan mereka. Kalau istilah zaman sekarang sih, TTM alias Teman
Tapi Mesra. Kemanapun selalu bersama. Kalau Vira mau pergi, ia harus memberitahu Fabian
terlebih dahulu sampai mendapat izin darinya  dan dengan syarat harus cowok itu pula yang
akan mengantar. Mengobrol dan berdiskusi yang tidak jauh – jauh masih berkaitan dengan
materi sekolah, menertawakan hal – hal kecil ketika berjalan pulang menuju rumah, bahkan
sampai ke tahap cemburu nggak jelas saat Fabian dikerubungi fans – nya.
Seperti sekarang misal.
Belum juga Vira mendaratkan bokongnya di kursi, Fabian tahu – tahu sudah dikerubungi
cewek – cewek centil yang entah berasal darimana.
"Kak Bian pulang sekolah nanti ada acara, nggak?"
"Kakak sudah punya pacar?"
"Kak, ada cafe yang baru buka loh di depan sekolah. Kesana, yuk!"
"Kak Bian kok bisa ganteng banget, sih?"
Vira mendengus. Dasar perempuan kebanyakan micin.
Padahal nih ya kalau Vira jadi cewek – cewek itu, Vira lebih memilih ngomong sama tembok
daripada dengan Fabian yang hanya bergumam 'hem' sebagai jawaban dan malah asyik
berkutat dengan handphone–nya.
Tiba – tiba, Vira merasakan seseorang menepuk bibirnya. Ia menoleh garang ke arah pelaku.
"Hobi banget majuin bibir. Bukannya keliahatan seksi, malah kayak jontor." Kata gadis
berambut sebahu yang mengambil tempat duduk didepan Vira. "Kalau nggak suka tuh bilang."
Dahi Vira berkerut. Ivy yang melihatnya berdecak kesal lalu menunjuk Fabian dengan dagu.
"Gue suka, kok." Tukas Vira cepat.
Ivy menghela nafas pendek, "Bukan orangnya bego, tapi kebiasannya nanggapi celotehan
cewek – cewek itu."
Vira menunduk lesu, "Biarin ajalah. Lagian... gue juga nggak punya hak buat ngelarang."
"Dasar aneh." Ivy memasukan bakso ke mulut. Setelah selesai menguyah lalu menelan
baksonya perlahan, ia kembali berkata, "Biarpun hubungan kalian nggak jelas, tapi sebagai
sahabat, lo bisa aja bilang kalau lo nggak nyaman ngeliat dia sama cewek – cewek itu."
"Nggak segampang itu."
"Kalian berdua yang membuatnya sulit." Sanggah Ivy, "Kalian saling suka, udah kenal dari
kecil, apalagi yang ditunggu?"
"Entahlah. Gue males ngebahas itu mulu." Vira bangkit dari kursi, "Gue mau pesen. Laper
parah."
Dari ekor mata Ivy, gadis itu bisa melihat Fabian yang pamit untuk pergi memesan makanan
dan menyuruh cewek – cewek itu agar tidak mengganggunya lagi. Mengabaikan raut
kekecewaan mereka, Fabian bangkit dan menyusul Vira yang sedang mengantri di gerai mang
Cecep. Ivy menggeleng – gelengkan kepala.
"Pasangan aneh."
*****
Malam sudah beranjak. Diatas sana, bulan sepertinya tengah menyombongkan diri karena
memancarkan cahaya dengan terangnya. Membuat kegelapan nan pekat di langit menjadi
bersinar. Kerlipan bintang – bintang pun turut memperindah. Kedua sudut bibir Vira terangkat
melihatnya.
Getaran smartphone–nya mengehentikan sejenak kegiatannya mengagumi keindahan langit
malam. Ia ambil benda persegi panjang tersebut yang berada di kasur, lalu me–swipe layar
sekali.
Fabian : Nggak belajar? Besok kan ulangan Kimia.
Vira mendengus.
Vira : Tadi udah diskusi di tempat les.
Balasan Fabian datang tidak sampai semenit kemudian.
Fabian : Buka jendela kamar lo.
Vira lantas mengecek penampilannya di kaca meja rias. Memastikan tidak ada yang aneh
diwajahnya, ia melangkah tergesa lalu membuka jendela kamarnya lebar – lebar. Angin malam
langsung menerpa kulit pucatnya yang terbalut oleh piyama tipis bermotif bunga – bunga kecil.
Di balkon rumah seberang, seorang cowok dengan kaos hitam polos andalannya terlihat sudah
duduk menunggu.
"Yakin nggak belajar? Katanya masih belom paham tentang kesetimbangan." adalah sapaan
pertama yang diterima oleh Vira.
Vira mencibir, "Nggak usah belagu. Lihat aja besok, gue pasti bisa ngalahin lo kayak ulangan-
ulangan Kimia sebelumnya." Kemudian gadis itu menopang dagu, "Lagian, ada orang sok
pinter yang bilang ke gue, kalau begadang karena ngapal buat ujian itu nggak bagus."
"Anak pinter." Ujar Fabian setengah memuji, setengah mengejek.
"Bian..." Vira berucap lirih.
"Hm?" Fabian ikut bertopang dagu.
"Lo nggak pengen pacaran sama gue?" Tanya Vira blak – blakan. Kendati eskpresi yang
ditampilkan kelewat santai, namun jantung gadis itu kini sedang bergemuruh tak tahu diri.
Setelah itu hening. Lagi, Fabian menampilkan senyum yang menurut Vira sangat menjijikan
karena kelewat manis. Eh?
"Vir..."
"Ya ?"
"Tunggu gue ya."
Apa? Apa yang mesti gue tunggu Bian?
Namun pertanyaan itu hanya Vira teriakan dalam hati. Entah apa yang menahan gadis itu,
tapi setelahnya, ia selalu menyesali sikap pengecutnya itu.
Vira melengos, lantas bergumam malas, "Hem."
"Vir..."
Vira tidak menjawab. Fabian terkekeh, memandang gadis itu geli. Tak lama, suara nyanyian
lirih terdengar. Mau tak mau Vira kembali menatap cowok itu yang kini tengah menengadah
menatap langit.
"Twinkle - twinkle little star.
How I wonder what you are."
Vira merengut. Selalu saja cowok itu tahu cara agar Vira berhenti merajuk. Mendongak, Vira
turut menyanyikan lirik selanjutnya.
"Up above the world so high.
Like a diamond in the sky.
Twinkle - twinkle little star.
How I wonder what you are."
Dua sahabat itu memecah sepinya malam dengan lantunan lagu masa kecil mereka. Dengan
bintang yang menyinari wajah – wajah bahagia itu, langit pun ikut tersenyum.
*****
Dua tahun lalu, Vira memekik kegirangan hanya karena sebuah seragam. Dua tahun lalu,
Vira merengek pada Abangnya untuk menemani dirinya selama masa orientasi siswa karena
takut dengan kakak senior galak. Dua tahun lalu, Vira menangis layaknya anak kecil karena
Fabian menyembunyikan pakaian olah raganya dan membuat Vira mendapat julukan sebagai
'gorila cengeng'Dua tahun lalu, Vira memulai masa – masa menyenangkan ini.
Namun kini, semua itu hanya akan menjadi sebuah kenangan. Waktu pencaharian jati diri
sudah berakhir. Saatnya ia memulai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi guna menggapai
cita – cita. Melangkah semakin dekat dengan mimpi – mimpinya.
"Wah lo cantik banget malem ini, Vir."
"Aduh pangling gue lihatnya."
Mendapatkan pujian seperti itu, seketika pipi Vira memerah, "Makasi. Kalian juga cantik, kok."
"Kalau kami sih emang udah cantik tiap hari." Mesya, si sekretaris kelas menghendikan bahu
tak acuh. Perempuan itu memang selalu memperhatikan penampilannya di setiap tempat dan
waktu. Hal itu yang membuat wali kelas mereka memilihnya karena dianggap rapi dan telaten.
Teman sebangku Mesya, Nila, mengangguk setuju, "Bener banget. Kalau kami mah udah
biasa terlihat cantik. Beda sama lo, Vir. Lo kan biasanya cuek. Jadi liat lo kayak gini...,"
Nila memperhatikan Vira yang memakai gaun warna biru tosca sebatas lutut dari ujung kepala
ke mata kaki. Ia menepuk kedua tangan girang, "Gorgeous."
"Jangan dipuji lagi. Kalian nggak liat tuh muka udah kayak tomat busuk?" Cerca Ivy sadis
yang membuat mereka semua tertawa.
Vira hanya bisa menunduk malu. Ia sebenarnya sedang mencari Fabian yang datang
bersamanya ke acara perpisahan yang diadakan di salah satu ballroom hotel oleh pihak
sekolah. Tapi saat Fabian izin untuk mengambil makanan, cowok itu tidak kembali lagi dan
sudah hilang entah dimana. Maka dengan perasaan jengkel, Vira memilih untuk bergabung
dengan teman-teman wanitanya.
Vira merasakan seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh, matanya menangkap seorang
cowok memakai kemeja berwarna sama dengan gaunnya dipadu tuksedo hitam yang terbalut
pas di tubuh tegapnya. Cowok itu menampilkan senyum menawan.
"Boleh gue bawa Vira bentar?" Tanyanya ke teman – teman Vira.
Mesya mengibas – ngibas tangan, "Silahkan silahkan. Lama pun nggak pa – pa."
Fabian memandang Vira, "Yuk."
Setelah pamit pada teman-temannya, Vira pergi mengikuti Fabian dan menghujami cowok itu
dengan banyak pertanyaan. Fabian hanya diam sembari mengulum senyum.
*****
"Yelah kirain mau kemana. Ternyata cuman ke taman seberang."
Fabian terkekeh, "Kenapa? Lo kira gue bakal ngajak ke salah satu kamar hotel tadi?"
"Itu mah maunya lo!" Vira menyalak seraya menepuk pundak cowok itu kuat dan membuat
Fabian mengerang kesakitan.
Vira melipat tangan di dada. Bibirnya maju lima senti.
"Vir..." Panggil cowok itu pelan.
"Hm?"
"Lo udah mutusin buat kuliah dimana?"
"Udah." Kata Vira dengan nada merajuk andalannya, "Gue udah bicarain hal ini dengan
Bunda sama Abang Panji." Teringat dengan perdebatan sengit dengan keluarganya kemarin
lusa. Vira menyungging sebuah senyum manis, "Gue bakal ambil kedokteran disini aja.
Biar nggak jauh juga sama keluarga."
Fabian mengulum senyum, "Akhirnya tugas gue selesai." Gumamnya pelan.
Vira mengerutkan dahi bingung.
Setelah itu hening. Hanya terdengar helaan nafas panjang yang cowok itu keluarkan berulang
kali. Cowok itu seakan ingin menyampaikan sesuatu, tetapi berat untuk mengatakannya.
Fabian membasahi bibir bawah, "Vir..."
Entah apa, tapi Vira merasakan firasat buruk. Ia mermperketat genggaman tali ayunan yang
kini sedang didudukinya.
"Gue diterima di MBS."
Vira diam. Bibirnya mendadak kelu.
"Besok pagi jadwal penerbangan gue."
Vira tetap bungkam. Sedetik kemudian cowok itu berlutut dihadapannya. Tangan besar cowok
itu mengusap dengan hati - hati pipinya yang basah. Shit, bahkan dia sendiri tidak sadar bahwa
dirinya sedang menangis.
"Vir, please." Fabian menangkup wajah gadis itu sehingga mata mereka saling bertubrukan,
"Jangan nangis."
Tidak ada jawaban, tapi Vira mulai berhenti meneteskan air matanya lagi.
"I love you, Vir."
Kali ini Vira tertawa kencang. Jenis tawa yang dipaksakan dan terkesan suram. Dengan
menghempaskan tangan Fabian kasar, ia memasang sorot dingin pada cowok itu, "Gila. Lo
mendadak bilang mau pergi jauh dan secara bersamaan, lo bilang cinta ke gue?" Vira memukul
tubuh Fabian, "Lo jahat, Yan. Lo bego. Nyebelin. Brengsek..."
"Vira..." Fabian mencoba meraih tangan Vira.
"Lepasin gue dasar cowok nggak berguna!"
"Vira dengerin gue dulu..."
"GUE BILANG LEPAS!"
Fabian membawa gadis itu ke dekapannya. Ia rengkuh gadis itu erat – erat dan mengusap
surainya lembut. Berharap dengan tindakan itu bisa sedikit menenangkan hati gadisnya.
Namun Vira tetap memberontak. Pukulan – pukulan terus ia layangkan ke punggung Fabian.
Tapi perlahan, gadis itu mulai kehabisan tenaga. Isakan – isakan yang keluar dari bibirnya
terdengar sangat memilukan. Kini kemeja Fabian pun telah basah karena air mata gadis itu,
tapi Fabian sama sekali tidak mempersalahkannya.
"Maaf..." Bisik Fabian di telinga Vira, "Maaf karena baru mengatakannya sekarang." Fabian
menghirup dalam – dalam aroma stroberi yang menguar dari rambut gadis itu. Ah aroma ini...
aroma yang akan sangat ia rindukan nantinya.
Dirasa sudah tenang, Fabian melepaskan dekapannya dan meraih jemari gadis itu. Ia memberi
tatapan teduh yang selalu berhasil menenangkan Vira, "Gue tahu gue jahat. Gue tahu dari dulu
lo ingin hubungan kita lebih dari sekedar teman kecil." Fabian mengeratkan genggaman,
"Maafin gue. Tapi gue punya alasannya. Dan misal setelah gue jelasin lo bakal membenci gue,
gue nggak akan marah akan hal itu."
Fabian menghela nafas panjang, "Anggap gue culun, sok realitis, atau apapun itu. Tapi serius,
gue nggak mau membuat orang yang gue cintai kecewa."
Melihat Vira mendengarkannya, Fabian kembali berkata, "Kita masih tujuh belas tahun, Vir.
Masih banyak hal yang ingin kita gapai. Masih banyak hal yang ingin kita lakuin. Belum lagi,
kita masih punya orangtua yang mesti kita prioritaskan kebahagiaannya."
"Bukannya gue nggak mau pacaran sama lo, Vir. Gue ingin. Sungguh. Tapi gue mikir, kalau gue
pacaran sama lo, terus kita ada masalah, apa kita bakal galau kayak anak – anak yang lain dan
mengabaikan pelajaran karena terus memikirkan hal itu? Lalu tiap kita jalan, apa gue harus
terus – menerus meminta uang sama bokap secara gue belum berpenghasilan? Lalu misal
kita putus, apa kita masih bisa bersahabat kayak gini?"
Fabian tersenyum tipis, "Gue masih belum apa – apa, Vir. Gue belum bisa buat ngebahagiain lo.
Belum ada yang bisa lo banggain dari gue. Bukannya gue nggak berani untuk ngadapin yang
belum tentu terjadi. Bukan. Tapi gue hanya nggak mau lo kecewa sama gue nantinya."
Ya. Ini bukan tentang Fabian yang terlalu takut untuk memulai. Bukan tentang Fabian yang
dengan egois telah memainkan perasaan Vira .
Ini tentang apa yang harus mereka capai.
Karena mereka, masih berada di tengah perjalanan.
"Gue bakal dapat juara 1, Vir!"
"Nanti ajalah mainnya. Ntar juga ada waktunya buat santai."
"Gue harus bisa. Kalau enggak, gue nggak dapat surat rekomendasi buat beasiswa."
"Nggak bisa ditunda perginya? Besok kan ulangan.Lusa aja, tanggal merah jadi bisa santai 
setelah capek ngasah otak."
Vira mengerti sekarang. Mengapa Fabian paling tidak suka pergi nongkrong – nongkrong
nggak jelas–– seperti datang ke cafe hanya untuk berswafoto ria dan update status lokasi di
sosial media ––yang baginya merupakan sebuah perilaku tercela karena menghambur –
hamburkan waktu dan uang. Mengapa Fabian selalu menerornya dengan jadwal belajar.
Mengapa Fabian menyuruhnya belajar mati – matian hanya untuk menghadapi ulangan.
Semua akan ada waktunya.
Semua kerja kerasnya, akan terbayar pada akhirnya.
Karena... orang yang hanya bermimpi, akan kalah dengan orang yang berusaha mewujudkan
mimpi – mimpinya.
Vira tertawa kecil. Ia mengusap pipinya kasar, "Cerewet kamu kambuh."
Fabian nyengir, "Nggak pa – pa cerewet, yang penting bisa bikin lo senyum lagi. Makin
sayang, deh."
"Apaan sih, nggak nyambung banget." Vira jadi salah tingkah.
"Vir..."
"Hem?"
"Tunggu gue, ya?"
Vira cemberut, "Kalau gue kangen gimana?"
"Lo bisa ngirim e mail ke gue."
"Kalau lo naksir sama cewek disana gimana?"
"Bilang ke bokap, gue bersedia disunat untuk kedua kalinya."
Vira menyipitkan mata, "Beneran?"
Fabian mengangguk khidmat, "Yap." Jawabnya mantap. Kemudian ia merogoh saku jasnya.
Vira mengernyit melihat benda yang disodorkan oleh Fabian, "Yan, ini kan...."
"Letakkan di buku harian lo, ya!"
"Tap – tapi kan ini benda berharga peninggalan nyokap lo. Da – dan lo tau sendiri kalau gue...."
"Gue tau." Ujarnya, "Tapi sesibuk apapun, lo masih nulis ketika lo merasa gelisah, sedih,
ataupun marah sama gue." Fabian menunjukkan seringainya, "Termasuk mencurahkannya
di halaman belakang buku tulis."
Rasanya Vira ingin menetaskan air matanya kembali. Benda yang berada di genggamannya ini,
adalah benda paling berharga milik Fabian. Hadiah ulang tahun Fabian yang ke sepuluh tahun
dari mendiang Ibunya. Sebuah ukiran kayu sederhana berbentuk daun maple, namun
menyiratkan akan cinta yang tulus di setiap goresan.
Cinta dari seorang Ibu.
Vira ingat malam itu. Ketika mereka masih lima belas tahun, dia yang dengan iseng bertanya
tentang apa yang akan diberikan oleh Fabian jika ia menemukan cinta sejatinya.
"Karena dia adalah orang yang spesial bagi gue, maka harus menerima benda dari orang
yang spesial pula. Daun maple buatan Ibu gue. Itu yang akan gue kasih."
"Gue harap, di masa depan kelak, kita akan bertemu kembali di bawah guguran daun – daun 
maple." Fabian mendekatkan wajah mereka, "Seperti halnya Ayah dan Ibu gue dipertemukan."
Vira bisa merasakan hembusan nafas Fabian menerpa wajahnya. Hidung mereka hampir
bersentuhan. Vira merasakan kedua pipinya menghangat.
"Gue suka saat lo merona kayak gini." Bisik Fabian selirih angin malam ini. "Cantik."
Entah siapa yang menyugestikan ke dalam pikirannya, tapi yang pasti, Vira memejamkan
kedua matanya. Seolah menunggu hal yang akan terjadi selanjutnya.
Hangat.
Sudut bibir Vira terasa hangat.
Vira tahu harusnya ia bersedih. Vira tahu harusnya hatinya sakit.
Tapi, kecupan perpisahan ini, Vira bisa merasakan apa yang ingin disampaikan oleh Fabian.
Seluruh perasaan cowok itu, keyakinannya akan satu hal.
Aku pasti kembali padamu.
"Terima kasih." Bisik Fabian dengan setetes air mata yang menyusuri pipi.
*****
Tujuh tahun sudah berlalu. Sejak malam itu, sudah jutaan surat tercipta yang isinya tak jauh –
jauh dari menanyakan kabar dan menceritakan keseharian masing – masing. Berharap dengan
goresan – goresan itu, tiap untaian kata per kata, dapat mengikis rasa rindu yang sudah
menumpuk di kalbu. Menegaskan hati bahwa, dibalik jahatnya jarak dan waktu yang
membentang, kelak akan ada cerita indah untuk keduanya.
Mereka berdua pun sepakat untuk tidak melakukan panggilan video sehingga bisa lebih fokus
dan cepat menyelesaikan pendidikan mereka. Keputusan yang cukup bijak mengingat bila
sedikit saja Fabian melihat wajah Vira dan mengobrol dengannya, tidak bisa dipungkiri bahwa
Fabian akan melakukan tindakan radikal seperti keluar dari kampus dan pulang ke kampung
halaman hanya untuk segera bertemu dengan gadisnya. 
Berbekal dengan uang tabungan hasil kerja paruh waktu selama kuliah dan gajinya di salah satu
perusahaan industri di Australia, kini Fabian sedang merintis membangun sebuah perusahaan
yang bergerak dalam bidang properti. Sulit memang, apalagi berada di negeri orang dan tidak
mempunyai kerabat sama sekali. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin, bukan?
Vira sendiri setelah selesai menempuh studinya, ia mendapatkan pekerjaan tetap di salah satu
rumah sakit swasta ternama di Jakarta. Dirinya sudah banyak dikenal sebagai dokter bedah
yang sangat kompeten. Dia juga pernah menjadi Ketua Ikatan Dokter Indonesia Jakarta pada
periode tahun kemarin.
Dan setelah semua keberhasilannya, Vira memutuskan untuk mendatangi pria itu.
Karena, janji pria itu kepada Ayahnya, telah terpenuhi.
Ya. Vira mengetahui hal itu dari Abangnya ketika usai acara wisuda. Panji bercerita bahwa
Fabian terlibat obrolan serius dengan Ayahnya–– yang tidak sengaja Panji dengar saat setelah
ia kembali dari minimarket ––di depan ruang perawatan Ayahnya.
Henri, Ayah Vira yang saat itu mengetahui bahwa waktunya di dunia sudah tak lama lagi,
meminta–– lebih tepatnya memohon ––kepada Fabian untuk menjaga Vira dari hal – hal
buruk seperti pergaulan bebas dan memastikan masa depan putri kecilnya. Cita – cita gadis
itu yang ingin menjadi seorang dokter, yang Vira utarakan langsung pada Henri di ruang
inapnya saat malam Natal, yakni sebuah keinginan untuk menyembuhkan orang banyak karena
seringnya Vira menemani Henri yang keluar–masuk rumah sakit dan bertegur sapa dengan
pasien – pasien yang ada disana. 
Fabian yang masih kelas tiga SMP, menyanggupinya dengan anggukan mantap.
Vira mendekap buku hariannya di dada. Memejamkan mata, ia membayangkan sosoknya
sedang berada dihadapannya. Sosok yang sangat ia rindukan kehadirannya, "Aku disini."
Perlahan, kelopak matanya kembali terbuka. Sinar yang secara tiba – tiba masuk ke retinanya
membuat Vira mengerjap untuk beberapa saat.
Dia di sana.
Prianya ada di sana.
Wajah itu sedikit berubah. Garis – garis tegas membingkai pipinya yang kokoh. Rambut
kusutnya yang dibiarkan panjang melewati telinga. Lalu mata itu, Vira tidak akan lupa
sepasang mata dengan binar polos yang selalu berhasil menghipnotis dirinya.
Pria itu melangkah mendekat. Senyum manis nan hangat tersungging dibibirnya. Vira menghirup
oksigen banyak – banyak. Mendadak, badan Vira terasa kaku. Dadanya seperti mau meledak karena
jantungnya berdetak tidak normal.
Seperkian detik, di bawah guyuran daun – daun maple, dengan terpaan bias cahaya senja dan
semilir angin musim dingin, Vira sudah berada di dalam dekapan yang menghangatkan.
"I miss you." Bisik pria itu.
Vira tersenyum lebar, "Me too..." Lengan Vira perlahan naik melingkari punggung Fabian.
Ia berkata lirih, "My Orange."


BIODATA PENULIS


Suci Fitri Lestari atau biasa dipanggil Ci adalah anak pertama dari tiga bersaudara.
Gadis yang lahir pada 14 Februari 1999, hobi mengoleksi anime bergenre romance comedy
dan mendengarkan musik – musik klasik. Kegemarannya dalam menulis muncul saat membaca
ribuan cerita di salah satu aplikasi online atau biasa disebut ‘Dunia Oranye’. Kini ia
sedang duduk di bangku perkuliahan semester I dan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris.
Alamat : Jalan Beringin Gg.Belibis No.4 Psr.VII Desa Tembung, Kec. Percut Sei Tuan, Kab.
Deli Serdang – Sumatera Utara
No.Telp : 085668993557
Akun Medsos : Instagram : ucifitri
Facebook : Uci Fitri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.