Jumat, 23 Februari 2018

Fatamorgana Cinta - Heriwati Simanullang

Fatamorgana Cinta
Oleh : Heriwati
Tik.....tik.....tik.....
Derai hujan turun dengan kilat putih bergemuruh
Basahi seluruh tubuh
Sedari aku menunggumu
Petir tak lupa gerogoti, seakan melarangku
Egois kali
Ambisi ini tetap setia menanti
Mata ini telah terpesona
Dalam senyumanmu yang pertama kali


Nampak indah dari jauh
Hipnotis hati, ingin mendekat
Mendekap
Cinta telah memperdaya
Cintamu hanyalah fatamorgana semata
Indah kemilau pada pandangan saja



C:\Users\YOU\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\IMG20170501070804.jpg

Biodata Penulis


Heriwati Simanullang perempuan kelahiran, 7 Januari 1998.  Salah satu warga desa Doloksanggul,
kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera utara. Lahir dari pasangan P. Simanullang dan M.simamora.
Sedang menjalani perkuliahan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri yaitu Universitas Negeri Medan,
jurusan Sastra Indonesia. Alamat sekarang Pancing, jln. Rela, Gg Jala.  Karya penulis pernah di muat
di salah satu Event lomba puisi Musafir Kelana, dan mengikuti salah satu organisasi di perkuliahan  
UKMKP  dari jurusan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) FBS.
Alamat E-mail  : herywati simanullang@gmail.com
Facebook : herywati simanullang
whatsApp : 082258430572

Selasa, 20 Februari 2018

Dari Bunda - Yoon

Dari Bunda
Luka dan derita jiwa yang disimpannya hingga penghujung usia.
Oleh: Yoon


Putih. Putih dan putih. Warna itu mendominasi sebuah lorong yang dilalui seorang perempuan berjas
putih yang sedang berjalan dengan langkah mantap nan elegan. Kedua kakinya dengan sigap
membawa tubuh eloknya menuju sebuah ruangan di ujung. Jemari indahnya cekatan dalam membuka
kenop pintu.
Matanya mengedar ke seluruh ruangan. Ia menarik napas dalam sebelum memasuki ruangan itu.
Nomor tiga dari kiri, ia langsung menghampiri mejanya.
“Hah,” desahnya sambil memasrahkan punggungnya pada kursi kesayangannya.
Ia memijit pelipisnya pelan. Hari ini sudah terlalu banyak hal yang ia alami. Operasi berderet
mengantre membuatnya enggan walau hanya sekadar menyantap sepiring nasi.
Setelah lama di posisi itu, matanya terbuka. Buru-buru ditariknya laci sebelah kiri. Tangannya meraih
sebuah kertas usang yang terlipat rapi. Lantas ia hadap kertas itu dan ia buka perlahan.
Surat. Ah tidak pantas dikatakan surat jika hanya berisi beberapa baris kalimat. Katakanlah, sebuah
catatan. Catatan dari seseorang yang telah tiada di sisinya.
“Putriku, Jelita. Bunda senang kamu bisa sejauh ini. Maaf bunda pernah menentangmu dulu. Beberapa
alasan tak bisa bunda ungkapkan. Tapi kamu akan tahu jika kamu mencari tahu. Rak F Nomor 79.
Akan kamu ketahui alasan bunda berperilaku seperti ini.”
Ia berhenti sejenak. Memandang heran pada kertas di hadapannya. Alisnya terangkat satu.
“Udah? Gitu aja? Setelah pergi tanpa pesan, sekarang ngasih teka-teki gini? Dikira syuting film dora?”
desisnya sebal. Ia letakkan kertas itu sembarang di meja. Helaan napasnya terdengar berat.
Ia kembali diam. Bukan diam dengan pikiran yang berserakan. Tapi ia sedang bernostalgia dengan
kejadian delapan tahun lalu.
***
“Bunda, hari ini terakhir pendaftaran fakultas hukum. Bunda tanda tangan ya, aku mau langsung
ngumpul formulirnya hari ini.”
Yang Jelita panggil bunda hanya diam. Matanya kosong. Ada aura kemarahan yang dirasakan Jelita.
“Bunda, waktunya semakin siang. Aku gak—“
“Jangan.”
Alis Jelita bertaut. Ia memandang bundanya aneh. Seumur hidup belum pernah sang bunda menolak
keinginannya. Seaneh apapun keinginan itu.
“Kenapa bunda?” Bunda menggeleng.
“Kamu boleh minta apapun Jelita. Tapi tolong, jangan fakultas hukum. Kamu mau ambil akuntan,
arsitek, kedokteran atau apa terserah. Tapi tolong jangan hukum.”
“Bunda, ada apa? Bunda tak pernah seperti ini sebelumnya.”
Sang ibu hanya menggeleng. Ia menatap sendu putrinya. “Maaf, Sayang.”
“Bunda tapi aku mau hukum.” Jelita masih bersikukuh.
“Tidak. Kamu tidak akan masuk ke sana. Kamu akan masuk kedokteran.”
Kedua mata Jelita membola. Apa-apaan ini? Keputusan macam apa itu?
“Bunda,” rengeknya.
“Lahir batin, hidup mati, bunda gak rela kamu masuk hukum, Jelita.” Ibunya mengucapkan
keputusan final.
Jelita memandang bundanya kecewa. Air mata itu tak bisa ia sangkal kehadirannya. Langkahnya
langsung meninggalkan sang bunda yang menatap penuh sesal pada sang putri.
*^*
Jelita memandang pintu di hadapannya dengan perasaan tak karuan. Seumurnya, ia belum pernah
melalui pintu di hadapannya. Batas keras yang ditetapkan bundanya membuat ia tak mampu
membantah. Dan  sekarang, berkat note kecil bundanya ia harus masuk ruangan itu.
Tadi sewaktu ia mengutarakan niatnya kepada sang bibi, respon positif di dapatkannya. Dan ia
memiliki praduga jika sang bibi pun tahu apa yang telah disembunyikan bundanya berpuluh tahun ini.
Maka, jemari Jelita bergegas memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tangan kirinya refleks
menutup mata saat cahaya dari dalam ruangan bertabrakan dengan netranya. Setelah beradaptasi,
ia mulai melangkahkan kakinya.
Tiada kata terucap dari bibir indahnya. Decakan kagum tak mampu ia pendam. Ruangan itu
benar-benar rapi dan elegan. Sebuah singgasana ala direktur tertata rapi di hadapannya. Alat tulis
tertata rapi. Buku-buku berjejer rapi di rak masing-masing. Tangannya tak bisa tinggal diam.
Ia menyentuh satu per satu demi terpuaskannya rasa kagum dari benaknya.
“Wah, bukan main rapinya. Pantas aku tak diizinkan menjelajahi ruang ini,” decaknya kagum.
Matanya berserobok dengan papan bertuliskan alphabet rak. Seketika ia ingat apa yang harus ia
lakukan di sana. Heels lima centinya mengetuk lantai dengan irama konstan. Matanya nyalang
mencari sebuah huruf yang ia anggap “kunci” dari segala kekangannya delapan tahun ini.
“F nomor 79,” gumamnya sembari membelai beberapa punggung buku yang berderet rapi
di hadapannya.
Jemari telunjuk kanannya berhenti saat melihat huruf F besar di depannya. Dan ia heran saat tak
mendapati petunjuk nomor satu pun di depannya.
Hidungnya mendengus keras. Lagi-lagi bundanya berteka-teki. Tidak cukupkah teka-teki akan
pendidikannya selama ini? Masih haruskah catatan yang beliau tinggalkan itu ia pecahkan?
“79. Rak ini tinggi sekali. Ck. Bagaimana bisa aku mencari nomor itu?” Ia mendesah. Terdiam
sejenak. Rak itu ia pandangi betul-betul. Tangannya memangku rahang indahnya. Ah, andai ia
secerdas Aristoteles.
Matanya beralih pada rak E. Ia memandang dua rak itu bergantian. Dan didapatinya hal yang aneh.
Lalu ia menatap rak yang lain. Lagi-lagi didapatinya hal yang sama.
“Semua rak rata-rata per baris 13 buku, lantas mengapa rak ini hanya 10 buku per baris?” Ia bergumam.
Tangannya menelusur rak F dengan hati-hati.
“Apakah 7 itu baris dan 9 itu nomor buku di baris itu?” Tangannya cekatan membelai baris nomor 7
di depannya. Ia mendapat satu buku, ditariknya pelan buku itu.
Langkahnya beringsut mundur saat sebuah benda yang ia yakini surat kabar jatuh ke lantai.
Buku yang ia raih, ia kembalikan ke tempatnya. Fokusnya sekarang hanya satu, kertas yang t
ergeletak lesu di karpet coklat itu.
Tangannya ragu meraih kertas itu. Tak urung jua ia meraihnya sebelum dibawa berdiri. Dibukanya
perlahan kertas itu. Benar-benar sebuah surat kabar. Jelita memandangnya aneh. Untuk apa bundanya
menyimpan surat kabar tahun 1990?
Matanya nyalang menelanjangi surat kabar usang itu. Tak lama ia membaca sebuah headline yang
dengan jelas terpampang di sana.
Andrew John, Pengacara Terkenal Keluarga Kenney Divonis Hukum Mati
Setelah terungkap memiliki konspirasi dengan client-nya, pengacara terkenal Andrew John mendapat
vonis hukum mati. Hal itu dikarenakan putusan saksi yang menyatakan jika sang pengacara memiliki
dendam pribadi terhadap korban. Hukum
Jelita terpekur sesaat. Ada suatu hal yang membuat batinnya tercubit tiba-tiba. Nama itu tak asing.
Tapi entah kenapa ia tak mampu menemukan jawaban. Lantas ia memilih melanjutkan acara
membacanya.
Hukuman mati akan dilaksanakan setelah sebulan vonis dinyatakan. Hal itu sesuai permintaan
Andrew sendiri yang ingin merayakan pesta ulang tahun putrinya yang pertama, Jelita John Kenney.
Sang istri—
Bruk.
Luruh sudah tubuh Jelita. Matanya mengalirkan sungai kecil yang kemudian menjadi sangat besar.
Hatinya sesak. Samar-samar ingatannya kembali pada 26 tahun lalu. Ia ingat betul seorang laki-laki
memeluknya hangat, memberi sebuah Teddy Bear raksasa dan memberinya kecupan penuh. Kecupan
yang ia rindukan setelah lamanya masa itu berlalu. Sekarang ia mengingatnya dengan jelas.
“Ayah,” isaknya pelan dengan dada yang sesak. Ia menatap perih pada sebuah bingkai foto yang
bersender dengan bahagia di meja. Sepasang orang tua dengan putri cantik mereka di pangkuan sang
ayah.
Tangis Jelita semakin kencang. Sekarang masuk akal penolakan bundanya delapan tahun lalu. Dan ia
menyesal mengetahuinya setelah sekian lama. Setelah ia membiarkan kepergian bundanya tanpa rasa
sesak sedikit pun di relung batinnya. Kini sesak itu berkumpul jadi satu. Membuatnya merasakan
serangan jantung. Dan membuatnya kesulitan bernapas tanpa adanya rasa sesal.
“Bunda,” isaknya pelan.
*Fin*


Sabtu, 17 Februari 2018

Sketsa Wajah - M Riano Hafid Hamzah


Sketsa Wajah
M Riano Hafid Hamzah


Kau sedang menggambar dengan pensilmu di atas selembar kertas putih. Sekilas akan
telihat garis-garis samar yang melengkung atau lurus lalu membentuk oval, hingga kemudian
ketahuan bahwa itu adalah sketsa wajah belum jadi. Rambut ombakmu yang sepanjang bahu,
tertiup angin sore yang membawa kelembapan udara masuk ke dalam ruang kelas menulis ini.
Kau sengaja membuka jendela karena pendingin ruangannya memang sedang rusak. Kau juga
tidak sedang tersenyum, tertawa, ataupun bicara. Dan, mataku tak mau menjauh dari mejamu
sejak kau datang dan duduk di situ.
Pada akhirnya, kutulis saja sajak: yang melukiskan lekuk senyummu yang tanggung dan
simetris menggantung di ujung bibirmu yang tipis, lalu mengurai rambut ombak sepanjang
bahu yang kau biarkan menutupi pangkal telinga dan kerah baju, dan kemudian menampilkan
seraut wajahmu yang menggoda mata siapapun untuk menyelami kebekuanya yang sedingin
kumparan salju. Lelaki macam apakah kamu; yang melumpuhkan tangan, membisukan pensil,
dan menyasarkan tulisanku ini dalam kebuntuan.
“Rana, Sebutkan judul buku yang telah kamu baca!?”
“Filosofi Kopi, Negeri Kabut, Saksi Mata, Jazz, Parfum dan Insiden, dan Mawar Hitam.”
Jawabku nyeletuk sekenanya, lalu mengambil pensil yang jatuh di lantai.
“Buku mana yang paling berkesan bagimu?”
“Mawar Hitam dan Filosofi Kopi.”
“Mawar Hitam atau Filosofi Kopi?”
“Saya menyukai keduanya.”
Aku menoleh ke arah mejamu. Dan, kulihat senyum simpul dari bibirmu mengembang saat
pertanyaan-pertanyaan itu memburuku. Kemudian, kau tenggelam lagi dalam seketsa wajah
yang sedang kau kerjakan.
“Pilih salah satu!”
“Baiklah, Mawar Hitam.”
“Apa alasanya?”
“Ada sentuhan kedalaman. Teknik dan bahasanya berkelas.”
Selanjutnya, kami diminta untuk memilih satu judul cerita dari buku yang telah kami baca,
dan membuat tulisan yang bertema sama, “perhatikan tahapan-tahapan yang ada pada tulisan
model tersebut, mulai pembukaan hingga penutup.”
Tulisan-tulisan ini nanti akan dikumpulkan, dinilai dan dibahas dikelas. Selain itu, kami juga
diminta untuk mengubah ending cerita yang diambil dari dongeng-dongeng rakyat yang
masyhur.
Kelas menullis ini telah usai. Kau belum juga bangkit dari kursi dan beranjak pulang.
Jari-jarimu bergerak lincah mengarahkan pensil di selembar kertas itu. Bayangan awan
semakin hitam di luar. Kau mengintip langit dari jendela, lalu memasukkan pensil dan seketsa
wajah tersebut ke dalam ranselmu. Aduh! Kau menangkap mataku. Aku harus bagaimana?
“Sedang menunggu siapa?” tanyamu.
“Eh, tidak, tidak sedang menunggu siapapun.” Tukasku, dan meraih buku yang tercecer
di atas meja.
“Selera sastramu bagus.”
“O, ya? Wah, aku baru tahu. Kalau kamu suka baca apa?”
“Ada satu dari judul yang kamu sebutkan tadi.”
“Judul yang mana? Saksi Mata?”
“Bukan. Jazz, Parfum dan Insiden.”
“Oh. Jazz memang karya yang seimbang dan jujur.”
“Aku suka cara Seno memandang sesuatu. Juga caranya menulis.”
Kita berjalan saling bersisihan. Aku terbatuk-batuk beberapa kali. Dadaku berdenyut cepat
saat berdekatan denganmu. Nafasku terasa berat. Entah mengapa sore ini tidak seperti biasa.
Walaupun langit mendung, para pengendara atau pejalan kaki tidak tampak murung.
Semuanya tersenyum menyambut bakalnya hujan pertama yang akan turun. Bahkan, angin
yang berhembus, seolah mengajak daun dan bunga-bunga di taman untuk turut memeriahkanya.
“Maaf, Apakah kamu tadi menggambar seketsa wajah? Milik siapa?”
“Ah, iya. Milik seseorang.”
Kita berpisah di ujung kelokan. Aku belum tahu siapa namamu. Kita terlalu asyik
berbincang-bincang hingga lupa untuk berkenalan.  Di seberang jalan, kau membalikkan
badan dan memberiku senyuman yang sulit lepas dari ingatan. Aku melambaikan tangan
dan membalas senyumannya. Kemudian menatap layar handphoneku yang menyala.
“Rana, kau dimana?”
“Aku di dekat taman di depan penjual soto lamongan.”
“Baiklah, Tunggu di sana!”
Di dalam mobil, Siska tak berhenti mengomel. Dia marah karena aku tidak ada di tempat
saat ia tiba menjemputku. Untungnya, Siska tidak curiga bahwa aku hampir saja lupa dengan
peresmian kafe barunya.
“Bagaimana dengan pesanan bunganya, Rana?”
“Aku sudah memesanya kemarin.”
“Jam berapa bunganya akan diantar?”
“Sebelum jam 7, bunganya akan tiba.”
Aku duduk di dalam kafe. Memandang kaca tembus pandang yang berkilat karena tertimpa
cahaya lampu hias. Di depan pintu, Siska menerima pesanan bunganya dari pemuda berambut
gelombang sepanjang bahu yang datang bersama gadis muda. Persis sepertimu lekuk senyum
yang timbul dari bibirnya yang tipis. Seperti diriku, orang-orang di dalam kafe ini juga tersihir
untuk menyelami wajahnya yang sedingin dan seputih salju itu. Apakah kalian orang yang
sama? Siapa gadis muda di sebelahnya? Sayangnya, aku gagal menjawab semua keraguan ini.
Pandanganku terhalang oleh para tamu yang berdatangan menyerbu Siska di depan pintu masuk.
“Di mana dia?”
“Siapa maksudmu?”
“Pemuda bersama gadis muda yang mengantarkan bunga barusan.”
“Kau tidak tertarik dengan pengantar bunga itu, kan?” ujarnya meledekku.
“Apaan sih! Apa kau cemburu?”
“Awas, ya!”
Aku mulai jenuh dengan kehidupanku selama ini. Juga hubunganku dengan Siska.
Dari semula, hubungan kami memang salah. Menyalahi adat-budaya dan kebiasaan manusia
di sini. Tapi, Siapa yang bisa menyangkal cinta? Naluri tersembunyi ini terus meronta di alam
bawah sadarku hingga akhirnya aku tak sanggup menahanya lagi. Singkat cerita, kami pun
semakin dekat. Lalu, terjalinlah  hubungan  terlarang ini.
Aku sedang memandangi hujan pertama yang turun menjilati tanah kering di luar sana.
“Betapa enak menjadi tanah yang diguyur hujan di luar sana setelah melewati hari-hari yang
berduka.”
Setiap tamu telah pulang ke rumah masing- masing.
Siska tak menanggapiku. Dia sibuk merapikan meja dan kursi yang berantakan. Aku pun kian
hanyut dalam malam yang hujan dan cerita yang sedang kuketik. Setelah semuanya beres,
siska mengendap- ngendap agar tidak mengganggu, lalu menyelimuti tubuhku yang meringkuk
di kursi dengan kepala rebah di atas meja.
“Rana, Tolong besok pesankan edelweiss dari toko bunga kemarin!” bisiknya pelan di telingaku.
“Toko bunga itu tidak menyediakan eldeweiss.” Kataku malas dengan mata separuh terpejam.
“Coba kau tanyakan lagi! kita akan membayarnya 4 kali lipat jika pemiliknya dapat
mengantarnya kemari.”
“Astaga! Kenapa kita harus mengeluarkan uang sebanyak itu?” tanyaku sambil mengangkat
kepala dan menatap matanya.
“Rana, edelweiss adalah bunga lambang keabadian cinta.” Ujarnya lalu mendaratkan telapak
tangan pada kedua pipiku.
“Kenapa tidak kau sendiri saja yang memetikannya untukku?” cecarku seraya mengalihkan
kedua telapak tanganya.
“Rana, tolong mengertilah, aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Kau tau sendiri. Kali ini saja
biarkan kupinjam dulu tangan orang lain untuk memetiknya.”
“Baiklah, terserah padamu! besok pagi akan kupesankan.”
Tiga bulan berlalu. Kelas menulis akan segera berakhir. Kau belum juga hadir. Atau mungkin
sebetulnya kau tidak pernah terdaftar  di kelas menulis ini. Mungkinkah  kau hanya tersasar
ke sini sore itu. Siapa kau sebenarnya? Siapa yang sedang kau gambar sore itu?
Kucoba melacak jejakmu. Dan, ya Tuhan, ternyata kalian orang yang sama. Kaulah pemilik
toko bunga itu. Orang yang kutelpon pagi-pagi untuk memesan edelweiss. Dan, pemuda,
pengantar bunga yang datang bersama gadis muda, di malam peresmian kafe baru Siska.
Sungguh, andai waktu itu aku menyadarimu sejak awal, aku takkan berdiri seharu ini meratapi
sketsa wajah yang terpampang di tokomu. Maaf, pagi itu aku sedikit memaksa supaya kau mau
mendaki gunung dan memetikkan edelweiss. Tetapi, kenapa kaupenuhi permintaan itu?”
Kau sendiri yang bilang, “tak boleh meninggalkan sesuatu selain jejak kaki. Tak boleh
membawa sesuatu, kecuali kenangan. Itulah alasan saya tidak menyediakannya di sini.
Kita sudah tidak boleh memetiknya karena edelweiss semakin terancam punah. Namun,
demi nona Rana saya akan melakukannya.”
Apakah itu benar-benar demi diriku, hingga kau nekat pergi mengambilnya? dan, kenapa kau
tidak jujur saja bahwa itu adalah kau saat tahu penelpon dan pemesan bunga itu adalah aku.
Apakah kau mau memberi semacam kejutan? berarti kau sudah berhasil. Ya, memang ini
adalah kejutan, serta kenyataan pahit yang harus kutelan.
“Maaf, Apakah nama kakak ‘Rana’?” tanya seorang gadis muda yang air matanya masih
belum kering.
“Oh, ya. Saya Rana. Dari mana adik tahu nama kakak?”
“Sketsa wajah ini yang bicara pada saya. Mas Arya ingin sekali memberikanya kepada
kak Rana. Tetapi, dia tidak pernah sempat melaksanakan niatnya tersebut.”
“Dik, tolong berikan kakak serangkum mawar hitam!”
Arya. Itukah namamu. Aku baru saja bertemu adikmu yang kau tinggalkan demi
mengabadikan cinta pada hati wanita jalang ini. Maaf, aku terlambat mengunjungimu.
Tapi, aku berjanji akan selalu datang ke rumah abadimu, dan membawakan serangkum
mawar hitam untuk mengenangmu.
Terimakasih untuk sketsa wajahnya, yang kau lukis sore itu di kelas menulis.

Biodata Penulis
Nama : M. Riano Hafid Hamzah
Alamat : Rt. 004, Rw. 001, Dsn.  Ngudirejo, Ds. Ngudirejo, Kec. Diwek, Kab.
` Jombang Jawa Timur.
No. Hp. : 0812 3461 8091
Email : mokhamad_hamzah@yahoo.co.id
Facebook : M Riano Hafid Hamza