Cinta Jangan Kau Pergi
Seperti lelaki pada umumnya, aku merasakan degup jantung yang kencang ketika bertemu seorang wanita yang kucintai, kecuali Ibu dan adik perempuanku.
Sudah 2 tahun aku berteman dengannya, dan sudah 2 tahun pula kumenaruh hati kepadanya. Aku tak pernah punya keberanian yang cukup untuk menembaknya.
Di saat matahari mulai naik dan tampak pucat, aku menunggunya di kafe. Tentunya setelah kupastikan dia tidak sibuk dengan pekerjaannya sebagai model fashion wanita muslimah.
Cinta, wanita yang sedari tadi kutunggu langsung membuka pintu kafe. Aku berdiri dan melambaikan tangan ketika dia sedang mencari keberadaanku.
Begitu Cinta tahu aku duduk di meja yang tidak jauh darinya, dia menghampiriku.
"Assalamualaikum, Gi. Sudah lama nunggu?"
"Waalaikumsalam, tidak juga."
Maaf aku berbohong, padahal aku sudah menunggunya dari 30 menit yang lalu.
"Kamu mau pesan apa?" tanyaku setelah memastikan Cinta nyaman dengan duduknya.
"Aku mau coba ayam bakar lada hitam sama es teh manis."
Sambil menunggu pesanan datang, Cinta memainkan hand phonenya, kemudian memasukan kembali ke dalam tas selempangnya.
"Kamu beda banget kali ini, aku jadi terpesona," kata Cinta.
"Jadi kemarin-kemarin enggak?" tanyaku sedikit bercanda.
Cinta hanya tersenyum.
Akhirnya pesanan kami datang, aku dan Cinta makan dalam diam. Setelah selesai makan, aku berniat mengutarakan perasaanku kepada Cinta.
"Ta, aku mau bicara sesuatu."
Cinta menatapku, dia menunggu apa yang akan aku katakan selanjutnya.
Aku sedikit gugup.
"Aku menyayangimu, Ta. Apa kamu mau jadi kekasihku?" ucapku dengan sekali helaan napas. Seperti saat mempelai pria mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu.
Cinta terdiam, dia sama sekali tidak memalingkan wajahnya dariku.
"Jika kamu bersungguh-sungguh, kamu harus membicarakan ini kepada orang tuaku. Apa kamu mau, Gi?"
"Berarti secara tidak langsung, kamu menerimaku."
"Tidak tahu, Gilang. Tergantung kamu serius atau tidak."
"Ya sudah, kalau begitu aku mengajakmu untuk menjadi istriku bukan kekasih."
"Ish, kamu menyebalkan."
Aku melihat pipi Cinta merona.
"Sekarang aku diizinkan ke rumahmu, kan?"
"Gilang!"
"Iya, ayo kita pulang!"
Aku dan Cinta berjalan ke luar kafe.
"Gi, aku izin ke alfamart dulu ya?"
"Iya."
Cinta berjalan ke alfamart di seberang jalan, entah kenapa. Aku tak ingin dia jauh dariku.
Dengan langkah berat, aku menuju parkiran motor.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras, sambil mengenakan helmku, aku melihat Cinta keluar dari alfamart, dia melihat kantong kresek yang dipegangnya. Tanpa dia sadari, mobil hitam menyentuh tubuhnya hingga membuat dia terpental cukup jauh.
"Cinta!"
Aku berteriak sambil berlari ke arahnya, kerudung yang Cinta kenakan sudah dipenuhi bercak darak. Aku khawatir. Sampai air mataku lolos begitu saja.
"Aku mencintaimu, Gi, "ucap Cinta lemah.
"Aku juga sangat mencintaimu, Ta. Kamu harus bertahan."
'Cinta jangan kau pergi,
Tinggalkan diriku sendiri,
Cinta jangan kau pergi,
Apalah arti hidup ini,
Tanpa cinta dan kasih sayang'
Aku membawa Cinta ke rumah sakit di bawah guyuran hujan. Aku berharap Cinta masih bersamak dan dia baik-baik saja. Tapi harapanku tidak direstui-Nya. Aku harus ikhlas, karena Cinta sudah kembali kepada-Nya. Aku tidak bisa menahan Cinta, meski aku berteriak, "Cinta jangan kau pergi."
Selesai...
Biodata Penulis
Siti Aidah, lahir di Bandung, 26 November 1999. Saat ini duduk di bangku kelas 3 di MA Karya Madani. Alamat di Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat.Sekarang mulai aktif dalam dunia kepenulisan di media sosial. Untuk lebih mengenal penulis, boleh mengunjungi akun facebook Siti Aidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.