Jumat, 19 Januari 2018

CINTA DI MUSIM HUJAN - Anggito Abi Manyu


CINTA DI MUSIM HUJAN
Pada suatu pagi yang cerah dimusim hujan dan diliburan semester kuliah pertamaku.
Aku mengawalinya dengan olahraga ringan di sekitar komplek tempat tinggalku.
Pada pagi itu suasana terasa sangat sejuk dan sepi karena jam menunjukkan pukul
setengah enam pagi, yang terlihat hanya ibu-ibu yang sibuk dengan aktifitasnya yaitu membeli
sayuran dan membersihkan rumah. Saat itu aku sedang sendirian, tetapi temanku memanggil
dari teras rumahnya. “Mas, mau kemana?” Tanya Aril, temanku yang kocak.
“Mau keliling komplek aja nih Ril, biar dibilang sibuk gitu. Hehehehe ...” jawab aku.
Aril langsung menghampiri ku yang sedang berhenti pas di depan rumah nya.
Aku pun langsung menghampiri Aril. Setelah berbincang lumayan lama Aril langsung masuk
ke dalam rumah karena disuruh ibunya belanja sayuran.
Jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi, aku langsung menuju rumah untuk mandi
dan sarapan pagi. Setelah itu aku langsung pergi main dengan Aril yang sudah memanggilku
dari luar rumahku. Sebelum itu aku izin ke ibu yang sedang membersihkan pekarangan rumah,
“Mah, aku main sama Aril yah.” “Iyah, hati – hati yah.” Saat sedang berbincang dengan Aril aku
melihat seorang wanita yang wajahnya cantik. Wanita itu sedang membeli sesuatu di warung itu.
Seketika pandanganku terfokuskan ke wanita tersebut dan sengaja atau tidak wanita itu
memperhatikanku. “Dimas, kamu denger gak yang aku omongin?” tanya Aril yang mengejutkan
diriku yang sedang memperhatikan wanita tersebut. “Apaan Ril. Iya aku dengerin, marah mulu dah.
” Jawab aku jengkel. Saat melihat wanita itu lagi ternyata ia hilang dari pandanganku.
Setelah itu aku bermain dirumah nya Aril bermain Playstastion 3.
***
Jam menunjukkan pukul sebelas siang, aku pamit pulang ke Aril dan Ibunya. Saat perjalanan pulang,
hujan turun dengan sangat deras dan terpaksa aku harus  berteduh di kios yang lumayan jauh dari
rumahku maupun rumahnya Aril. Sebelum aku sampai di kios tersebut ada seorang wanita yang telah
sampai dulu daripadaku. Diliat dari wajahnya ia mirip wanita yang aku lihat tadi saat pergi dengan Aril.
Aku membuka percakapan, “eehhh... kamu yang tadi diwarung yah?” Wanita itu hanya diam saja
dan menunduk, mungkin dia malu.
***
Jresss...jress...jresss hujan menjadi sangat lebat. Wanita itu masih terdiam dan tidak mau melihat
ke arahku. Aku hanya bisa menghangatkan badanku dengan cara menggosok kedua tanganku agar
hangat. “Sorry, kamu dingin yah?” Terdengar suara wanita yang sedang berbicara. Setelah aku
perhatikan lagi ternyata dia itu wanita yang daritadi diam saja dan hanya menundukkan kepalanya.
“e-enggak kok, aku gak apa-apa kok.” Jawab aku gugup. Setelah itu ia menghampiri aku,
“Namaku Intan Anggraeni, bisa di panggil Intan kok.” Sambil menjulurkan tangannya tanda kami harus
bertukar informasi. “Na...namaku Dimas Setyo, bi...biasanya dipanggil Dimas.” Ketika kami berkenalan
hujan telah reda. Matahari telah menampakkan sinar yang menghangatkan Bumi ini dan dihiasi
dengan pelangi yang indah. Intan langsung pamit kepadaku. Ia langsung hilang dari hadapanku dan
menjatuhkan jaket yang ia pegang, itulah jaket yang ia beri untukku untuk membuatku tidak
kedinginan.
***
Dengan melihat jam yang ada di tangan kananku, aku langsung menuju kerumah dengan perasaan
bahagia. Hati ini masih ingin melihat dan beretemu Intan. Mungkin ini pertama kali kami bertemu,
tapi hati kami seperti sudah saling mengerti dan paham. Cinta memang sulit ditebak dan susah
dimengerti. Apakah kita akan bertemu lagi, wahai bidadari yang akan menjadikan masa depanku
bahagia.

Biodata Penulis
Anggito Abi Manyu yang biasa dipanggil oleh teman terdekat nya Gito. Ia lahir di Tangerang,
tanggal 10 januari 2002. Ia anak ke-2 dari 3 bersaudara. Semenjak duduk di bangku SMK,
ia suka menulis cerpen ataupun light novel. Ia juga sangat suka anime.

Selasa, 16 Januari 2018

Bunuh Diri, Hubungan Antara Manusia dan Tuhan


Kasus bunuh diri terus terjadi. Gangguan jiwa, stres, dan depresi diduga sebagai penyebabnya.
Penyakit jiwa perlu diatasi secepat mungkin. Cara terbaik melalui ajaran agama. Sesuai pemahaman
dalam Islam, terdapat dua jenis hubungan.

Hubungan dengan manusia (hablum minan-nas). Penderita depresi harus didampingi oleh orang
terdekat seperti: orang tua, keluarga, saudara, sahabat, atau pasangan. Tugasnya sebagai pendengar
yang baik agar mereka mau bercerita atau ‘curhat’. Walau belum tentu mengatasi masalah,
paling tidak, sedikit lega. Pendampingan itu juga agar mengingat masih ada orang yang menyayangi
mereka dan tidak berbuat nekat.

Orang depresi selalu merasa sendirian. Padahal, banyak yang lebih sengsara tetapi jauh lebih kuat
menjalani kehidupan. Mereka harus dijauhkan dari pengaruh negatif alkohol dan obat-obatan terlarang
karena memperparah kondisi mentalnya. Hubungan sosial dengan sesama manusia yang memburuk—
berupa kecewa, marah, benci—harus diperbaiki dengan hati ikhlas dan memaafkan. Juga mengampuni
diri sendiri saat tenggelam dalam rasa bersalah.

Bila merasa tidak ada orang yang dapat dipercaya untuk ‘curhat’, bisa coba terapi menulis.
Tuangkan semua dengan cara menulis diary atau buku harian. Tidak untuk dibaca oleh orang lain.
Tulis apa saja untuk meluapkan pikiran dan perasaan. Dengan begitu, penderita depresi bisa
merenungkan kembali agar berpikir lebih positif. Terapi menulis sering disarankan oleh para ahli
untuk mengatasi depresi.

Paling utama, hubungan dengan Tuhan (hablum minallah). Iman kepada-Nya. Tuhanlah yang
memberikan ujian dan cobaan bagi manusia beserta solusinya. Besar kemungkinan, penderita depresi
terlalu lama melupakan dan menjauh dari Tuhan. Mereka butuh mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta. Bersyukur atas semua pemberian, mengingat, beribadah, berdoa, serta berkeluh kesah
hanya pada-Nya.

Sesungguhnya, kembali pada pribadi. Sekeras apa pun usaha orang lain untuk menolong,
tetap kesembuhan bersumber dari keyakinan sendiri. Terlepas apa pun agama yang dianut, manusia
semestinya percaya kepada Sang Pemberi kehidupan. Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Jika manusia sadar bahwa Tuhan menyayangi, mustahil mereka melenyapkan nyawa yang
dianugerahkan.
Biodata Penulis


Perempuan bernama Riski Diannita. Lahir pada 5 April 1991 dan kini tinggal di kota
kelahirannya, Mojokerto. Pernah mengambil S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
di Universitas Wisnuwardhana Kota Malang. Bekerja sebagai pengajar les di lembaga bimbingan
belajar. Hobi menulis karya sastra sejak remaja. Sering menjadi kontributor dalam buku antologi
puisi dan cerpen oleh penerbit indie.

Karya perdana yang pernah dibukukan ialah kumpulan puisi Catatan Biru bersama sang suami
Aria Winardi (Penerbit Pena House, Blora, Agustus 2015). Karya solo berupa buku kumpulan cerpen
The Wings of Love (Penerbit Pena House, Blora, Agustus 2016) dan novel Kisah Entah di Sekolah
(Penerbit Aria Mandiri Grup, Bandung, September 2016). Novel terbaru yang terbit berjudul
1 Hati 150 Hari (PPMPI Publisher, Lamongan, Oktober 2017).
Beberapa tulisannya dapat dibaca di blog: riskidiannita.blogspot.com. Penulis dapat dihubungi
di akun Facebook: Diannita Riski. Email: riskidiannita@gmail.com.

Biarkan Kupergi Bersama Gelombang




Biarkan Kupergi Bersama Gelombang


Biarkan aku pergi bersama gelombang
setelah hidupku terlantaran tanganmu
keluargaku kaubanjiri dengan darahnya
dan rumahku kauratakan dengan tanah.

Biarkan aku pergi bersama gelombang
untuk mencari belaian yang kurindukan
bukan siksaan yang merajalela
pun bukan cemooh yang menghantam.

Biarkan aku pergi bersama gelombang
melindungi diriku di dalamnya
bersama ikan-ikan yang lebih peduli
bukan seperti dirimu.

Suatu saat aku akan kembali
merobohkan semua kuasamu.

Biodata Penulis 


Misnoto, lahir di Sumenep pada tanggal 16 Juli 1998. Saat ini tinggal di Kota malang karena meneruskan pendidikannya di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, jurusan Matematika. Walaupun ia merupakan jurusan Matematika, namun semangat untuk menulis puisi tak pernah pudar dari dirinya sehingga ia menghasil buku antologi bersama Miftahul Hanifah Qohar dengan judul Indahku dalam Junimu dan akan segera terbit antologi tungalnya dengan judul Mata Purnama yang merupak revisi dari buku Sajak Untuk Fitri.


Sabtu, 13 Januari 2018

Cinta Jangan Kau Pergi - Siti Aidah

Cinta Jangan Kau Pergi

Seperti lelaki pada umumnya, aku merasakan degup jantung yang kencang ketika bertemu seorang wanita yang kucintai, kecuali Ibu dan adik perempuanku.
Sudah 2 tahun aku berteman dengannya, dan sudah 2 tahun pula kumenaruh hati kepadanya. Aku tak pernah punya keberanian yang cukup untuk menembaknya.
Di saat matahari mulai naik dan tampak pucat, aku menunggunya di kafe. Tentunya setelah kupastikan dia tidak sibuk dengan pekerjaannya sebagai model fashion wanita muslimah.
Cinta, wanita yang sedari tadi kutunggu langsung membuka pintu kafe. Aku berdiri dan melambaikan tangan ketika dia sedang mencari keberadaanku.
Begitu Cinta tahu aku duduk di meja yang tidak jauh darinya, dia menghampiriku.
"Assalamualaikum, Gi. Sudah lama nunggu?"
"Waalaikumsalam, tidak juga."
Maaf aku berbohong, padahal aku sudah menunggunya dari 30 menit yang lalu.
"Kamu mau pesan apa?" tanyaku setelah memastikan Cinta nyaman dengan duduknya.
"Aku mau coba ayam bakar lada hitam sama es teh manis."
Sambil menunggu pesanan datang, Cinta memainkan hand phonenya, kemudian memasukan kembali ke dalam tas selempangnya.
"Kamu beda banget kali ini, aku jadi terpesona," kata Cinta.
"Jadi kemarin-kemarin enggak?" tanyaku sedikit bercanda.
Cinta hanya tersenyum.
Akhirnya pesanan kami datang, aku dan Cinta makan dalam diam. Setelah selesai makan, aku berniat mengutarakan perasaanku kepada Cinta.
"Ta, aku mau bicara sesuatu."
Cinta menatapku, dia menunggu apa yang akan aku katakan selanjutnya.
Aku sedikit gugup.
"Aku menyayangimu, Ta. Apa kamu mau jadi kekasihku?" ucapku dengan sekali helaan napas. Seperti saat mempelai pria mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu.
Cinta terdiam, dia sama sekali tidak memalingkan wajahnya dariku.
"Jika kamu bersungguh-sungguh, kamu harus membicarakan ini kepada orang tuaku. Apa kamu mau, Gi?"
"Berarti secara tidak langsung, kamu menerimaku."
"Tidak tahu, Gilang. Tergantung kamu serius atau tidak."
"Ya sudah, kalau begitu aku mengajakmu untuk menjadi istriku bukan kekasih."
"Ish, kamu menyebalkan."
Aku melihat pipi Cinta merona.
"Sekarang aku diizinkan ke rumahmu, kan?"
"Gilang!"
"Iya, ayo kita pulang!"
Aku dan Cinta berjalan ke luar kafe.
"Gi, aku izin ke alfamart dulu ya?"
"Iya."
Cinta berjalan ke alfamart di seberang jalan, entah kenapa. Aku tak ingin dia jauh dariku.

Dengan langkah berat, aku menuju parkiran motor.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras, sambil mengenakan helmku, aku melihat Cinta keluar dari alfamart, dia melihat kantong kresek yang dipegangnya. Tanpa dia sadari, mobil hitam menyentuh tubuhnya hingga membuat dia terpental cukup jauh.
"Cinta!"
Aku berteriak sambil berlari ke arahnya, kerudung yang Cinta kenakan sudah dipenuhi bercak darak. Aku khawatir. Sampai air mataku lolos begitu saja.
"Aku mencintaimu, Gi, "ucap Cinta lemah.
"Aku juga sangat mencintaimu, Ta. Kamu harus bertahan."
'Cinta jangan kau pergi,
Tinggalkan diriku sendiri,
Cinta jangan kau pergi,
Apalah arti hidup ini,
Tanpa cinta dan kasih sayang'
Aku membawa Cinta ke rumah sakit di bawah guyuran hujan. Aku berharap Cinta masih bersamak dan dia baik-baik saja. Tapi harapanku tidak direstui-Nya. Aku harus ikhlas, karena Cinta sudah kembali kepada-Nya. Aku tidak bisa menahan Cinta, meski aku berteriak, "Cinta jangan kau pergi."
Selesai...


Biodata Penulis



Siti Aidah, lahir di Bandung, 26 November 1999. Saat ini duduk di bangku kelas 3 di MA Karya Madani. Alamat di Kecamatan Cipeundeuy, Bandung Barat.Sekarang mulai aktif dalam dunia kepenulisan di media sosial. Untuk lebih mengenal penulis, boleh mengunjungi akun facebook Siti Aidah.

Rabu, 10 Januari 2018

Stasiun Danau Merpati-Sastrawady

Stasiun Danau Merpati

Empat atau lima kali dalam setahun, selalu ada saat dimana sore benar-benar berwarna kuning hingga bangku
-bangku besi stasiun yang sedianya abu-abu berubah menjadi oranye yang romantis. Saat-saat tersebut biasanya
muncul setelah musim panas yang panjang, atau sebelum semua pohon serempak menggugurkan dedaunannya.
DIa dan aku sama-sama mengagumi sore yang seperti itu.
Stasiun Danau Merpati bukanlah stasiun yang ramai; tak banyak penumpang kereta listrik yang turun disini.
Begitupula aku. Rumahku berjarak dua stasiun dari sini, seperti kebanyakan penumpang kereta lain jurusan barat.
Danau Merpati yang menjadi nama stasiun ini tepat berada di samping jalur rel. Dari bangku tunggu stasiun,
Danau Merpati tampak terhampar bagai cermin raksasa. Sore yang kuning memaksa permukaannya membiaskan
bayangan bangau sawah yang berterbangan diatasnya menjadi samar, seakan burung-burung tersebut membawa
batu-batu kerikil pelumat pasukan gajah. Dia dan aku sama-sama mengagumi bangau-bangau itu.
“Sudah lama kau tak kemari Pak Tua,” ujarnya. Aku menyunggingkan senyum. “Sampai-sampai aku berharap
kau muncul dari dalam danau membawa berupa-rupa harta karun,” lanjutnya lagi.
“Umurku sudah 45, tepat bulan ini. Aku takkan repot-repot menyelam untuk mengagetkanmu,” jawabku.
“Aku juga tak berharap demikian. Ya ampun, aku hanya bercanda, dasar orang lama!”
Aku bertemu dengan wanita ini lima bulan yang lalu, tepat disini, saat-saat pulang kerja seperti ini. Ia masih
muda, mungkin sekitar 19 atau 20 tahun. Aku tak pernah repot-repot menanyakan asal-usul, umur, bahkan
namanya. Ia mengajakku ngobrol dan aku senang pada suaranya. Suaranya lebih merdu dari anak atau istriku.
Dan hal-hal yang ia omongkan selalu menarik. Aku akan turun setiap kali kereta berhenti di stasiun ini jika
mataku menangkap wajahnya yang oranye romantis –persis seperti kursi stasiun abu-abu yang ia duduki,
sedang tertunduk khidmat dalam buku yang ia pegang. Hal ini sering membuatku bertanya-tanya,
apakah ini termasuk selingkuh?
“Aku sudah empat kali melihat kau membaca buku itu. Kau belum selesai membacanya?” tanyaku.
“Aku membacanya sudah belasan kali, lebih tepatnya.” Ia menutup buku bersampul hitam dan merah tersebut,
mencoba memalingkan perhatiannya padaku. “Ada banyak hal yang tak kumengerti didalamnya ...
berapa kalipun aku mencernanya.”
“Contohnya?”
“Cinta seorang wanita pada bayangan masa lalunya.”
“Apakah menurutmu itu sulit kau pahami?”
“Itu tak masuk akal,” tandasnya. Ia memutar tutup botol dan meneguk isinya yang tinggal separuh.
Stasiun hanya diisi suara angin dan beberapa obrolan petugas stasiun di jarak yang cukup jauh.
“Bagaimana mungkin,” lanjutnya, “Seorang wanita yang dicampakkan dengan kejam oleh seorang lelaki,
masih memimpikan lelaki tersebut setiap malam. Ia bahkan tak peduli walau lelaki itu sudah memiliki kekasih
baru,” tukasnya lagi, sembari menuntaskan air minum dalam genggamannya.
“Kau takkan mendapatkan jawabannya kalau hanya membaca nasib orang lain. Bagiku, masalah seperti itu
adalah hal yang wajar. Kau tahu, wanita adalah gajah yang memiliki seribu laci perasaan.”
“Kau ini transgender ya?” Ujarnya tanpa segan. Aku hanya tertawa. Sekumpulan bangau kembali melintas,
menuju matahari yang tampak bulat sempurna di ujung jangkauan mata.
“Akan ada banyak wanita yang tak setuju dengan yang kau katakan barusan, terutama soal kata-kata gajah,
anjutnya kemudian.
“Wanita memang selalu terlalu khawatir akan pandangan orang lain,” sahutku.
“Kau benar, aku heran mengapa wanita-wanita selalu merubah dirinya demi cinta,” tandasnya.
“Yang aku herankan justru kau yang seorang wanita tidak bisa mengerti hal semacam itu,” ujarku,
mengedarkan pandangan pada jalur rel yang sepi.
“Aku tak pernah berpikir masalah cinta,” tatapannya kosong sejenak, pandangannya tertuju pada garis kuning
batas peron. “Cinta adalah alasan yang terlalu mengada-ada.”
“Cinta kadang memang tampak mengada-ada. Seringkali tak masuk akal. Tapi hal itu pulalah yang membuat
kau, aku, stasiun ini, dan buku yang kau pegang itu ada. Aku percaya Tuhan mengawali semua kehidupan
di dunia ini dengan cinta.”
“Apakah kau sekarang berperan jadi Aristotle?” tanyanya, dengan senyum geli di wajah. Aku ikut tertawa.
“Padahal biasanya kau membahas soal sejarah atau kereta api atau apalah. Rasanya cukup ganjil mendengarmu
membahas cinta,” ungkapku.
“Mungkin.. aku hanya ingin merasakannya,” ujarnya ragu. Ia menentang matahari dengan wajahnya.
Sinar kekuningan tersebut menyapu seluruh muka, bulu matanya yang cantik berkilauan, pipinya bersemu.
“Matahari ini.. hangat sekali. Buku ini, bangau-bangau itu, suara peringatan kereta, dan suara serakmu yang
selalu menasehatiku ini-itu walau kau bukan siapa-siapaku, aku merasa lebih baik setiap kali kau menemaniku
disini, Pak Tua.” Matanya kini berkaca-kaca.
Aku hanya tertunduk, namun kemudian membalas senyumannya.
“Seperti itulah cinta,” jawabku. “Seperti kereta pada stasiun, bangau pada senja hari, koran-koran yang selalu
datang kerumahmu setiap pagi, seperti itulah cinta. Ia akan selalu hadir tanpa harus kau sadari.
Kau hanya perlu merasakan kehangatannya dalam hatimu.”
Ia melambaikan tangannya dari depan pintu keluar stasiun. Seperti biasa, ia akan pulang ketika kereta arah
barat selanjutnya tiba. Lengan sweater-nya tersingkap, lebam dan beberapa guratan masih tergambar.
Aku teringat saat pertama kali melihatnya dengan mata sembap di kursi stasiun ini.
Profesiku sebagai psikiater langsung menyadari ada yang salah padanya. Sore kekuningan tersebut lenyap
di cakrawala, setelah menenggelamkan matahari di tempat bangau-bangau tersebut terakhir terlihat.
Sejak sore itu, aku tak pernah melihatnya lagi.


Biodata Penulis

Sastrawady merupakan nama pena dari penulis yang menyukai kereta api. Pada April 2017 menelurkan
sebuah buku berjudul ‘Kereta dan Cerita-Cerita Lainnya’, yang diterbitkan melalui AE Publishing.
Dapat dihubungi melalui surel:  sastrawadyindonesia@gmail.com