Didit dan Dunia Kriptid
Didit bersama ayah dan bundanya pindah ke sebuah rumah di kota kecil. Ayahnya adalah dokter hewan sedangkan sang bunda seorang dosen zoologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang hewan.
Dari orang tuanya, Didit mengenal berbagai jenis binatang. Kini, dia duduk di kelas empat sekolah dasar. Kecintaannya pada fauna semakin bertambah. Apalagi, sejak mengenal tetangganya sebagai pengasuh baru yang juga penyayang binatang. Perempuan setengah baya bernama Bu Lana. Beliau gemar memelihara kucing, burung, dan beberapa satwa lainnya di rumah Didit.
“Nak, nanti bantu Bu Lana kasih makan binatang ya,” ucap ayah Didit.
“Jangan merepotkan Bu Lana, baik-baik di rumah! Kami berangkat dulu.” Bunda pun berpamitan.
“Iya, Ayah-Bunda!” jawab Didit sambil mencium tangan orang tuanya yang akan pergi bekerja.
Didit tetap di rumah karena masih libur sekolah. Bu Lana adalah pengasuh yang menjaganya setiap hari. Didit senang merawat peliharaan bersama Bu Lana. Dia boleh memberi makan, memandikan, bahkan bermain-main dengan para binatang.
Suatu pagi, Didit selesai memberi makan kucing dan mengajaknya bermain. Ternyata si kucing berlari ke gudang. Di rumah baru, Didit belum pernah memasuki ruangan itu. Dia memasuki pintu gudang yang terbuka. Di dalamnya penuh barang usang dan berdebu.
“Pus, di mana kamu?” panggil Didit.
“Meong!” Suara kucingnya dari balik benda-benda antik.
Didit mencari-cari kucing tapi belum ketemu. Dia menggeledah di balik timbunan barang. Dipegangnya sebuah lukisan hutan yang tersandar miring di dinding. Tiba-tiba tangan Didit menembus lubang hitam di tengahnya. Dia coba menarik tangan tetapi makin terisap. Lengan, badan, lalu kepalanya tersedot lukisan.
“Aaaaaa ...!” Didit menjerit ketika seluruh tubuhnya masuk ke lukisan hutan belantara.
***
Setelah terjerembap ke tanah, Didit membuka mata. Dia bangun dan melihat ke sekeliling. Gelap. Sepi. Hanya berjajar pepohonan di sekitarnya.
“Di mana aku?” tanya Didit bingung.
Tidak ada orang yang menjawab kecuali suara binatang, seperti auman harimau.
Benar saja, seekor harimau loreng putih-hitam berjalan mendekati Didit. Tubuhnya membesar dan berdiri tegak seperti manusia dewasa. Dengan kepala, tangan, kaki, dan ekornya tetap berwujud harimau.
“Hei, anak kecil! Apa yang kamu lakukan di hutan?” tanya manusia setengah harimau.
“A-aku tidak tahu, kenapa bisa di sini? Ka-kamu siapa?” Didit gemetaran.
“Panggil saja Cindaku, manusia harimau.” Taring tajam menyembul dari bibirnya yang tersenyum.
“Cindaku, bagaimana cara keluar dari sini?”
“Kamu tidak akan bisa pergi sebelum bertarung denganku. Nikmati dulu jurus-jurus silat harimau!” Cindaku memulai gerakan bela dirinya.
“Jangan! Aku tidak bisa silat!”
Cindaku tidak peduli. Dia malah memamerkan cakar-cakar runcing di jemarinya.
“Aaauuummm!”
Didit segera mengambil jurus langkah seribu. Dia berlari kencang meninggalkan hutan. Tidak tahu arah tapi terus kabur. Langkahnya terhenti setelah melihat sungai besar di depan mata.
“Aduh, bagaimana ya?” Didit mencari jembatan pun tidak ada di atas sungai itu.
Namun, dari dasar sungai muncul hewan aneh. Kepalanya mirip singa dengan memakai mahkota tetapi berbelalai panjang, dan sepasang gading gajah di atas mulut. Hewan itu berbadan lembu, bersayap burung, serta bersisik ikan.
“Binatang apa lagi ini?” kata Didit bingung.
“Namaku Lembuswana, hai anak kecil!” jawab hewan yang mendekati Didit di tepi sungai.
“Lembuswana, apakah kamu bisa membantuku?”
“Tentu. Katakan, apa maumu?”
“Tadi aku dikejar Cindaku, manusia harimau. Aku harus kabur dari dia!”
“Itu mudah. Naik saja ke punggungku! Kamu mau berenang atau terbang? Aku bisa dua-duanya.”
“Wah, aku tidak pernah melihat hewan sepertimu! Coba bawa aku terbang!”
“Aku cerdas kan? Ayo, naiklah!”
Didit pun menunggang Lembuswana yang terbang melintasi sungai. Dengan sayap lebar, menuju gunung tinggi di depannya. Didit tidak perlu mendaki. Lembuswana mengantarnya sampai ke balik gunung hingga mendapati lembah berumput. Didit terpukau oleh keindahan alam yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Baiklah, aku turun di sini!” ucap Didit membuat Lembuswana berhenti di rumput.
“Kalau mau, aku akan membawamu terbang lebih jauh.”
Didit menggeleng. “Tempat apa ini? Apa aku tersesat?”
Lembuswana tertawa. “Hewan sepertiku memang ajaib! Manusia sepertimu saja kebingungan. Kalau kamu tidak mau terbang bersamaku lagi, baiklah! Aku akan pergi!”
Tanpa menunggu jawaban dari Didit, Lembuswana terbang ke angkasa.
“Hei, tunggu! Jangan pergi!” teriak Didit tapi hewan yang dipanggilnya tidak kembali.
Didit melangkah di lembah. Dia berharap menemukan jalan keluar. Namun, dia bertemu binatang luar biasa lainnya. Kepala perpaduan antara singa, harimau, dan beruang. Berkaki empat dengan badan berbulu lebat kemerahan. Taringnya pun menonjol keluar dari mulut. Didit teringat, binatang sebesar manusia dewasa itu mirip tarian tradisional yang pernah ditontonnya.
“Siapa kamu?” tanya Didit.
“Namaku Barong. Kamu, anak kecil berani-beraninya datang kemari!” Matanya membelalak.
“Maaf, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba ada di tempat ini.”
“Karena kamu di sini, kamu harus melawanku!”
“Tidaaakkk!”
Barong bergerak lincah, siap menerkam Didit. Namun, anak berusia sepuluh tahun itu lari tunggang langgang. Dia harus menyelamatkan diri. Setelah melewati lembah, dia sampai di sebuah pantai. Ada lautan luas di depannya. Didit terengah-engah hampir kehabisan napas untuk lari. Kelelahan. Ketika duduk di pasir pantai, datanglah hewan ganjil berikutnya.
“Hah, apa lagi ini?” Didit mengucek-ngucek mata.
Seekor ular kobra raksasa tanpa kaki dan badan bersisik naik dari dasar laut. Kepalanya bermahkota serta perhiasan kalung emas di leher. Ular itu melata ke tepi pantai. Mendekati Didit.
“Aku Naga. Ada apa kamu berani muncul di hadapanku?” tanya ular yang amat panjang.
“Naga, tolong! Jangan sakiti aku! Entah, bagaimana aku bisa selamat?” ratap Didit.
Naga tertawa memperlihatkan deretan gigi bagaikan gergaji.
“Mungkinkah kamu bisa selamat, anak kecil?” Naga mendekatkan kepalanya.
Didit ingin menghindar tapi kakinya sudah lemah. Kali ini, dia tidak bisa lolos. Namun, sinar matahari yang terik mendadak mendung. Gelap gulita seperti malam. Sedetik kemudian tubuh Didit melayang di udara. Hewan yang mengepakkan sayap mencengkeram bahunya.
“Aaahhh, aku terbang!” seru Didit.
Ternyata, makhluk yang sangat besar itu seperti burung. Diturunkannya Didit dalam sebuah gua. Bocah itu diselamatkan oleh binatang berparuh runcing dengan badan berbulu cokelat keemasan. Wajahnya putih, sayap kemerahan, dan berbadan manusia. Kepala burung itu berjambul.
“Siapa kamu?” tanya Didit.
“Aku Garuda. Kamu sering melihatku kan?” Binatang itu berkata ramah.
“Ya, kamu sebagai lambang negaraku.”
“Benar sekali!”
“Garuda, ini tempat apa? Kenapa banyak fauna yang tidak kukenal?”
“Ini dunia kriptid.”
“Apa itu kriptid?”
“Nanti kamu akan mengerti. Seharusnya, kamu pun tahu. Satwa yang kamu temui tadi juga berasal dari negaramu. Mereka tidak asing lagi.”
“Benarkah?”
Garuda menjelaskan, “Sebenarnya, mereka tidak jahat. Hanya menjaga diri dan menjalankan tugas. Cindaku berasal dari Sumatra, bertugas menjaga hutan. Lembuswana menjaga Sungai Mahakam, Kalimantan. Barong dari Bali bertugas melindungi alam dan melawan kejahatan. Naga dari Jawa menjaga air serta lautan. Aku Garuda bertugas menjaga langit Indonesia.”
“Wah, berarti kalian sangat hebat! Tapi, kenapa tidak bisa dilihat di dunia manusia?”
“Ada beberapa manusia yang bisa melihat tapi harus merahasiakan agar kami tidak diburu oleh orang yang serakah. Manusia hanya boleh mengabadikan kami berbentuk gambar, lukisan, patung, foto, topeng, tarian, dan benda-benda mati lainnya. Manusia merawat kami dalam kebudayaan, mitologi, dan cerita rakyat. Wujud nyata kami tidak bisa terlihat. Manusia harus berjanji untuk menjaga rahasia kami. Jika tidak, maka manusia selamanya tinggal di dunia kriptid. Tidak akan bisa pulang!”
“Garuda, aku janji akan menjaga rahasia. Aku ingin pulang!”
“Baiklah, kupegang janjimu! Jagalah selalu makhluk hidup. Jangan sakiti mereka!”
“Baik!”
“Ayo, sekarang kuantar kamu pulang!”
Didit naik ke punggung Garuda. Lalu, terbang berkeliling di atas awan dunia kriptid. Hingga mereka sampai di tengah hutan. Di antara pepohonan, ada sebuah lubang hitam.
“Di mana jalan keluarnya?” tanya Didit setelah turun dari punggung Garuda.
“Masukkan tanganmu ke lubang hitam!”
Didit mengikuti perintah Garuda. Seperti lukisan di gudang, lubang hitam itu gerbang keluar dari dunia kriptid.
“Sampai jumpa, Garuda!” ujar Didit terakhir kali sebelum tubuhnya terisap.
Garuda mengangguk.
***
“Bruuukkk!”
Didit tersungkur di lantai gudang. Dia telah keluar dari lukisan. Dilihatnya sekeliling yang ternyata rumah barunya. Syukurlah, dia kembali ke dunia nyata.
“Didit, dari mana saja kamu?” Bu Lana menghampiri.
“Bu, lukisan ini membawaku ke ....”
“Dunia kriptid!” jawaban pengasuhnya membuat Didit terkejut.
“Bu Lana tahu?”
“Pasti. Lukisan ini milikku. Akhirnya, aku menemukan penerus sebagai kriptozolog. Aku yakin padamu, Dit!” Bu Lana tersenyum.
“Apa maksudnya, Bu?”
“Kriptozologi artinya ilmu tentang hewan tersembunyi. Kamu bisa melihat hewan kriptid, seperti aku. Kita sebagai orang yang bisa menyelidiki hewan kriptid, disebut kriptozoolog.”
“Wow, hewan kriptid itu ada berapa?”
“Sangat banyak! Kamu sudah bertemu sebagian hewan kriptid Indonesia. Di negara lain, di belahan dunia sana, ada berbagai macam hewan kriptid lainnya.”
“Wah, aku ingin keliling dunia untuk meneliti hewan kriptid!”
“Kalau begitu, lukisan ini jadi milikmu! Lukisan inilah gerbang ajaib menuju dunia kriptid. Nanti setelah lanjut usia seperti Bu Lana, kamu bisa mewariskan lukisan ajaib ini kepada manusia yang berhak.”
“Iya. Terima kasih, Bu Lana.” Didit berjingkrak gembira.
Lelaki kecil itu kembali bermain dengan kucingnya. Hari beranjak sore, orang tua Didit sudah pulang. Itu berarti, Bu Lana juga harus kembali ke rumahnya.
“Tetap jaga rahasia ya, Dit!” pesan Bu Lana.
“Siap!” Didit mengacungkan jempol. Orang tuanya tersenyum memandang semangat anak mereka.
Biodata Penulis:
Perempuan bernama Riski Diannita. Lahir pada 5 April 1991 dan kini tinggal di kota kelahirannya, Mojokerto. Pernah mengambil S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Wisnuwardhana Kota Malang. Bekerja sebagai pengajar les di lembaga bimbingan belajar. Hobi menulis karya sastra sejak remaja. Sering menjadi kontributor dalam buku antologi puisi dan cerpen oleh penerbit indie.
Karya perdana yang pernah dibukukan ialah kumpulan puisi Catatan Biru bersama sang suami Aria Winardi (Penerbit Pena House, Blora, Agustus 2015). Karya solo berupa buku kumpulan cerpen The Wings of Love (Penerbit Pena House, Blora, Agustus 2016) dan novel Kisah Entah di Sekolah (Penerbit Aria Mandiri Grup, Bandung, September 2016). Novel terbaru yang terbit berjudul 1 Hati 150 Hari (PPMPI Publisher, Lamongan, Oktober 2017).
Beberapa tulisannya dapat dibaca di blog: riskidiannita.blogspot.com. Penulis dapat dihubungi di akun Facebook: Diannita Riski. Email: riskidiannita@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.