Jumat, 17 November 2017

Marni - Moh. Anang Abidin

Marni
By : Moh. Anang Abidin

Orang-orang berkata jika mataku telah buta. Telingaku tuli. Mulutku bisu. Bukan hanya itu, hatiku juga membeku. Akal sehat yang lama bersemayam dibelakang tempurung otakku menguap tak berjejak. Oleh karenanya, sebagian mereka menyarankanku untuk menemui dokter ahli kejiwaan, sebagian yang lain menyuruhku ke rumah mbah Sarto, dukun paling sakti dikampung sebelah. Barangkali sikapku ini akibat guna-guna ilmu pelet, siapa lagi kalau bukan Marni, janda mendiang penjaga pintu rel kereta api yang meninggal setahun silam.

Begitulah pembicaraan orang-orang kampung mengenaiku, entah mereka peduli terhadapku atau justru mengejek dan merendahkanku, aku pun sulit membedakan antara keduanya. Mungkin aku terlalu jengah mendengar ocehan mereka yang bagai tahu segalanya tentangku. Atau boleh jadi karena aku tak terlalu ambil pusing atas kasak-kusuk omongan warga terhadap keputusanku. Sebab, tiap hari, ada saja yang menghampiri hanya untuk sekedar memastikan kebenaran gosip itu. Dan tak jarang pula mereka mencibir atas kebodohanku mengambil keputusan yang jelas-jelas tolol.

“lihat! Bukankah itu nak Amran? Bujang lapuk yang tergila-gila pada janda lacur itu?” suara lirih itu terdengar jelas diantara sekumpulan ibu-ibu yang berbelanja sayuran di emperan rumah bu Kohar.

Tapi, lagi-lagi aku bergeming. Aku pikir, bukankah hidupku adalah milikku? Bukan milik mbok Paijah si penjual kopi di perempatan jalan yang selalu up date gosip jalanan. Bukan pula milik pak Sanusi, si tukang cukur keliling yang gemar menceritakan aib orang. Juga bukan milik mereka yang mempunyai sorot mata tajam sambil berkecamik bibir seolah memberi isyarat rendah terhadapku.

Memang, keteguhan hati yang ku miliki membuat beberapa tetangga bersimpati meski sebagian mereka mencaci. Dan tentu saja itu tak terlalu bermasalah buatku. Sebab aku maklum, begitulah hidup ditengah-tengah masyarakat. Dua sisi kehidupan, baik dan buruk akan selalu berjalan beriringan sepanjang hayat, bahkan sampai kiamat. Aku berprinsip, mencari kerelaan pada sekumpulan orang adalah perbuatan yang mustahil dan sia-sia. Oleh sebab itu, sebaik-baik sifat seseorang pastilah ada yang membenci. Sebaliknya, seburuk-buruk sikap orang pun sudah barang tentu ada yang mencintai.

Begitu halnya aku, tetapi biarlah. Bukankah aku sudah rela jika pada akhirnya orang-orang dikampung ini memberiku label sinting atau mungkin lebih parah dari itu. Sebab segalanya telah ku perhitungkan dengan sangat matang. Apapun resikonya kelak, keputusan ini tidak akan membuatku diderita penyesalan. Jalan hidup seseorang harus diputuskan melalui sikap dan konsisten. Tanpa ragu. Tanpa bimbang. Fokus pada tujuan di depan.

“untuk kesekian kalinya ku katakan padamu, aku bersedia menjadi ayah dari janin yang kau kandung itu “ kataku meyakinkan Marni, janda mendiang penjaga pintu rel kereta api yang meninggal setahun silam. Aku berharap ia senang dengan ketegasan itu, tetapi nampakknya yang kudengar hanya tangis. Tangis itu semakin lama semakin pilu, keluar dari bibir yang basah oleh air mata. Tiba-tiba lidahku keluh. Tenggorokanku tersedak. Air liurku menggantung dibawah tekak. Nampaknya, seumur hidup aku tak pernah menyaksikan seorang perempuan menanggung kesedihan begitu dalam. Air matanya menganak sungai begitu deras. Sangat deras. Ingin sekali ia kudekap dan mengambil kesedihan yang bersemayam di hatinya. Lalu menggantinya dengan tawa dan kebahagiaan yang tak penah ia rasakan sebelumnya. Namun, saat ingin kuraih tangan rapuh oleh kepedihan itu ia berlalu begitu saja. Menjauh dan pergi dari hadapanku. Ia berlari meninggalkanku tanpa sempat mengucapkan sepatah kata. Berlari dan berlari membawa pedih perih yang belum sempat ia bagi denganku. Hatiku mendorong untuk mengejar dan meraih tubuh penuh luka itu di pelukanku. Akan tetapi aku tak kuasa. Kakiku seolah kaku tak sanggup bergerak. Aku terpaku ditempatku berdiri tanpa kata. Satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah memandangnya.

Saat ia menghilang di tikungan jalan, aku teringat ucapanya diberanda ini senja kemarin. “kau tak perlu menikahiku dan membebani dirimu dengan aib yang ada dalam perutku. Cintamu juga tak seharusnya kau tambatkan pada perempuan cacat sepertiku. Tak cukupkah hinaan orang-orang terhadapmu yang bersikeras menjadikanku istrimu?jika karena iba kau ingin memilihku menjadi pendamping hidupmu, maka lupakanlah. Dan jika karena cinta kau rela menderita demi kebahagiaanku, maka simpanlah ia untuk gadis yang layak diluar sana. Sebab aku tak pantas memilikinya”. Kalimat itu begitu menyakitkan. Walau sudah sering aku berusaha keras meyakinkannya, bahwa aku mencintainya dan ingin menjadikannya sebagai pendampingku, rasanya tetap sia-sia.

Dan puncaknya adalah hari ini. Ia pergi membawa kesedihan dan berlalu. Sebagaimana ia kutemukan dengan cara yang sama. Masih teringat jelas kala ia berurai air mata sambil berjalan di bantaran rel stasiun kota lama Malang. Marni berharap kala itu tubuh lemahnya terhempas tak berkeping oleh kereta api yang lewat di jalur itu. Seolah baru saja, ia bercerita perihal keinginannya untuk mengakhiri hidup. Jika saja aku tak segera menarik tubuhya dari bantaran rel itu, mungkin keinginannya menjadi kenyataan.

“kenapa tak kau biarkan saja aku mati!?” desaknya tak terima waktu itu

“gila! apa yang kamu lakukan?”

“kenapa tak kau biarkan saja aku mati!?”

“apa yang membuatmu melakukan itu?”

“kenapa tak kau biarkan saja aku mati!? Jawab..!!”

“kau membuat keputusan yang bodoh!!”

“itu bukan urusanmu!”
kalimat terakhir yang hingga kini masih mendekam dibalik telingaku.

Tuhan seringkali mentakdirkan pertemuan seseorang dengan cara yang unik, tak dinyana dan diluar kebiasaan. Begitu juga pertemuanku dengan Marni. Siapa menyangka jika kejadian itu adalah titik awal tumbuhnya cinta sekaligus rasa iba disudut hati. Mana yang lebih besar antara keduanya, aku tak tahu. Atau mungkin memang kedua rasa itu inheren dan tak mau berpisah. Tapi yang pasti, kedua rasa itu menjadi magnet yang menarik keputusanku untuk menikahinya.

Tentu saja bukan sekedar wajah rupawan yang ia miliki membuatku mengambil keputusan itu. Marni memang cantik. Tubuhnya semampai. Kulitnya kuning bersih. Ia tak tampak seperti janda. Pantas saja banyak duda datang hendak melamarnya. Dan tak jarang pula, para jejaka pun berebut untuk mendapatkan cintanya. Orang-orang bilang Marni janda kembang. Ia lebih menarik dan di gemari banyak orang dari pada anak perawan. Hal itu pula yang membuat para ibu merasa tak tenang. Bukan hanya kuatir suami mereka bakal kepincut pada janda tanpa anak itu. Tapi juga karena anak perawan mereka tak lebih diminati. Disinilah awal malapetaka itu bermula. Marni dianggap memiliki ilmu pelet dan guna-guna yang bisa membuat siapa saja tertarik padanya. Bahwa pada dasarnya ia hanya perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan di kampungnya. Yang membedakan adalah susuk emas ditubuhnya yang membuatnya lebih menarik.

“janda lacur itu pasti memiliki ilmu guna-guna yang membuat tiap lelaki suka padanya”

“ya aku merasa begitu mbak yu”

“kurang ajar! Pantas saja suamiku sering kali nongkrong diwarung kopi pak Misnan, ternyata di depan rumah aki tua itu janda itu tinggal” kata Bu Irma pada bu Rt saat keduanya bertemu di toko milik pak Rustam.

Tuduhan kejam itu sudah kadung menjadi kebenaran yang menyesatkan. Banyak orang percaya begitu saja pada kabar burung tanpa harus mencerna terlebih dulu. Memang begitulah kiranya. Informasi yang ditularkan dari mulut satu ke mulut lain tidak hanya rawan selingkuh tapi juga merusak. Marni seolah menjadi virus yang tidak sekedar diwaspadai, bila perlu di usir. Ia adalah borok bagi warga kampung. Maka sudah selayaknya borok masyarakat itu dibersihkan agar tak merambah dan membesar.

Semakin hari, kebencian ibu-ibu itu semakin menjadi-jadi. Mereka ibarat sekam yang mudah terbakar. Sebatang korek api saja sudah dapat dengan mudah menghanguskan kebencian yang memuncak. Dan hal itu benar-benar terjadi. Dengan membawa alat dapur seadanya dan obor yang menyala, mereka berbondong-bondong mendatangi rumah Marni.

“bakar saja rumahnya!!” teriak bu Irma.

“keluar kau perempuan jalang! Keluar kau!”sahut ibu yang lain.

Keadaan begitu genting. Bila saja tidak ada pak Sapto, kepala desa tak bermoral itu, bisa  jadi rumah Marni telah menjadi abu. Demi alasan keselamatan itulah, pak Sapto menampung Marni dan mengajaknya untuk tinggal di rumah paling megah di kampung itu. Walau dengan berat hati, pada akhirnya Marni menerima tawaran pak Sapto. Namun, bukan rasa aman yang ia dapatkan, justru kepedihan lain yang lebih perih. Kenyataannya, Marni ibarat domba yang berada di kandang macan. Tentunya bukan tanpa alasan mengapa pak Sapto mau menampung Marni untuk tinggal dirumahnya?. Rupanya, ia mendapat keuntungan dari kemarahan warga yang hendak membakar rumah Marni. Di dalam kamar dimana Marni ditempatkan itulah, kepala desa bejat itu memperkosanya. Sapto telah lama memendam birahi pada Marni. Ia selalu mencari kesempatan untuk dapat mendekatinya. Dan ia mendapatkannya ketika orang-orang seisi rumah pergi hanya tinggal Marni yang terlelap dengan paha mulus yang menyingkap. Kontan saja membuat birahi Sapto berada di ubun-ubun. Dan tanpa basa basi ia melucuti Marni.

Nafsu lelaki tambun itu semakin membuncah saat melihat payu dara Marni menyebul dari balik kutangnya yang lepas oleh tarikannya. Ia semakin beringas saat Marni benar-benar tanpa sehelai benang di tubuhnya. Ia berontak tapi apalah daya bagi perempuan lemah itu untuk melawan. Sekalipun ia berteriak dan sekuat tenaga menghindar. Pada akhirnya tak sebanding dengan upayanya. Kepala desa bejat itu seolah tak peduli dengan penderitaan Marni. Ia meraung bagai macan lapar mencengkram mangsanya. Menindih dan menghentak tanpa henti. Melumat dan menjilat sekujur mulut dan leher. Sementara Marni, hanya bisa merintih hingga tubuh tambun itu basah oleh keringat lalu mengerang diatas tubuhnya.

Marni merasa hidupnya telah mati. Apa gunanya ia memiliki nyawa lagi?. Ia jijik, bahkan terhadap tubuhnya sendiri. Bunuh diri adalah pilihan terbaik untuknya. Ia berlari dan berlari meninggalkan sepetak neraka dari rumah megah kepala desa biadab itu. Dan dibantaran rel kereta api stasiun kota lama Malang itu aku menemukannya. Ku temukan ia dalam keputus-asaan yang mendalam. Lalu kubiarkan ia tinggal di panti asuhan milik kakekku. Disitulah tempat yang paling aman untuknya. Orang-orang kampung tidak bakal berani menggangu sebab kakekku orang terpandang. Aku berharap Marni memiliki kembali semangat hidupnya. Dan ditempat itu pula kugantungkan harapan masa depanku untuknya. Perlahan tapi pasti, harapanku sedikit menjadi kenyataan. Marni mulai tersenyum. Ia meraih kembali hidupnya yang sempat hilang. Namun, itu tak beberapa lama. Sebelum ia menyadari di dalam perutnya tumbuh benih. Benih dari peristiwa keji. Benih itu pula yang memupus harapannya untuk meraih kehidupannya kembali.

“Amran...! Amran..!” suara sayup-sayup itu seperti sangat ku kenal dan perlahan menyadarkanku dari lamunan.

“Marni..Amran, Marni....”  

“kenapa Marni?” tanyaku penasaran.

“Marni tertabrak kereta api!”

Biodata Penulis 

Nama : Moh. Anang Abidin
Alamat : Rejeni Rt/Rw 02/01 Krembung Sidoarjo (Tinggal di Dadaprejo, Batu)
Pekerjaan : Guru































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.